Oke kali ini saya akan menjelaskan tentang kebudayaan yang
ada di suku ambon , ambon adalah ibukota dari kepulauan maluku yang berada di
daerah indonesia timur. Akses menuju kota ambon itu bisa di lalui dengan dua cara
yang memungkinkan, yaitu dengan menggunakan transportasi laut kalau kita sedang
berada di jakarta pusat kita bisa bergerak ke araj utara jakarta yaitu
pelabuhan tanjung priuk disana kita bisa memulai perjalanan dengan kapal menuju kota ambon dan turun di
Pelabuhan (Dermaga) Nusantara Yos Soedarso tipe kelas 4, difungsikan sebagai
Pelabuhan utama untuk kegiatan ekspor dan Impor serta penumpang, sedangkan
untuk mendukung kegiatan pelayaran antar pulau tersedia Pelabuhan Gudang Arang
dan Pelabuhan Slamet Riyadi yang berfungsi sebagi pelabuhan lokal yang dikelola
oleh PT. PELINDO.
Gambar 1.1 Ikon Kota Ambon |
Kedua kita juga bisa menggunakan Transportasi udara kalau
kita berada di jakarta pusat kita
bergerak menuju tanggerang untuk menuju bandara internasional soekarno hatta
untuk menaiki pesawat lalu kita mendarat Bandara Udara di Kota Ambon yaitu
Bandara Udara Pattimura dengan fungsi sebagai Bandara Internasional, telah
dilengkapi dengan berbagai fasilitas sesuai dengan peruntukannya sebagai
Bandara Internasional, berlokasi di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon, berjarak
36 Km dari pusat Kota Ambon. Nah setelah saya membahasa bagaimana cara nya kita
menuju ke kota ambon sekarang langsung saja yuk kita bahas tentang sejarah kota
ambon .
Kota Ambon atau Amboina atau
Ambonese (kadang dieja sebagai Ambong atau Ambuni) adalah sebuah kota dan
sekaligus ibu kota dari provinsi Maluku, Indonesia. Kota ini dikenal juga
dengan nama Ambon Manise yang berarti kota Ambon yang indah/manis/cantik,
merupakan Kota terbesar di wilayah kepulauan Maluku dan menjadi sentral bagi
wilayah kepulauan Maluku. Saat ini kota Ambon menjadi pusat pelabuhan,
pariwisata dan pendidikan di wilayah kepulauan Maluku.
Kota Ambon berbatasan dengan Laut
Banda disebelah selatan dan dengan kabupaten Maluku Tengah di sebelah timur
(pulau-pulau Lease yang terdiri atas pulau-pulau Haruku, pulau Saparua, pulau
Molana, pulau Pombo dan pulau Nusalaut), di sebelah barat (petuanan negeri
Hila, Leihitu, Maluku Tengah dan Kaitetu, Leihitu, Maluku Tengah yang masuk
dalam kecamatan Leihitu, Maluku Tengah) dan di sebelah utara (kecamatan
Salahutu, Maluku Tengah).
Kota ini tergolong sebagai salah
satu kota utama dan kota besar diregion pembangunan Indonesia Timur dilihat
dari aspek perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Ambon, sempat diguncang
kerusuhan sosial bermotifkan SARA antara tahun 1996-2002. Namun, sekarang Ambon
Manise sudah berbenah diri menjadi kota yang lebih maju dan dilirik sebagai
kota internasional di Indonesia Timur.
Dilihat dari aspek demografis dan
etnisitas, kota Ambon ini merupakan potret kota yang plural. Dimana dikota ini
berdiam etnis-etnis Alifuru (asli Maluku), Jawa, Bali, Buton, Bugis, Makassar,
Papua, Melayu, Minahasa, Minang, Flobamora (suku Flores, Sumba, Alor dan Timor)
dan orang-orang keturunan asing (komunitas peranakan Tionghoa, komunitas
Arab-Ambon, komunitas Spanyol-Ambon, komunitas Portugis-Ambon dan komunitas
Belanda-Ambon).
Saat ini, kota Ambon terbagi atas
5 kecamatan yaitu Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon, Teluk Banguala dan Leitimur
Selatan, yang terbagi lagi atas 50 keluarahan-desa. Kota Ambon mulai berkembang
semenjak kedatangan Portugis pada tahun 1513, kemudian sekitar tahun 1575,
penguasa Portugis mengerahkan penduduk di sekitarnya untuk membangun benteng
Kota Laha atau Ferangi yang diberi nama waktu itu Nossa Senhora de Anunciada di
dataran Honipopu. Dalam perkembangannya sekelompok masyarakat pekerja yang
membangun benteng tersebut mendirikan perkampungan yang disebut Soa, kelompok
masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Cita
de Amboina dalam bahasa Spanyol atau Cidado do Amboino dalam bahasa Portugis )
karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi
masyarakat geneologis teritorial yang teratur.
Selanjutnya, setelah Belanda
berhasil menguasai kepulauan Maluku dan Ambon khususnya dari kekuasaan
Portugis, benteng tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan beberapa Gubernur
Jenderal Belanda dan diberi nama Nieuw Victoria (terletak di depan Lapangan
Merdeka, bekas Markas Yonif Linud 733/Masariku kini markas Detasemen Kavaleri).
Benteng ini merupakan tempat di mana Pattimura dieksekusi. Pahlawan Nasional
Slamet Rijadi juga gugur di benteng ini dalam pertempuran melawan pasukan
Republik Maluku Selatan.
Sejarah penentuan hari jadi kota Ambon
Hari lahir atau hari jadi kota
Ambon telah diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar
di Kota Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur
ratusan tahun itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil
inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir
Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan
Kolonel Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9).
Untuk itu dikeluarkannya Surat Keputusan
Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor
25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972, yang isinya mengenai
pembentukan Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon dengan tugas untuk menggali dan
menentukan hari lahir kota Ambon. Kemudian dengan suratnya tertanggal 24
Oktober 1972 nomor PK. I/4168 selaku Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon
menyerahkan tugasnya itu kepada Fakultas Keguruan Universitas Pattimura untuk
menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota
Ambon.
Selanjutnya pada tanggal 26
Oktober 1972 Pimpinan Fakultas Keguruan mengadakan rapat dengan pimpinan
Jurusan Sejarah dan hasilnya adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dekan
Fakultas Keguruan Universitas pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972
tentang pembentukan Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini
berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972, dihadiri oleh
kurang lebih dua ratus orang yang terdiri dari unsur-unsur akademis, Tokoh Masyarakat
dan Tokoh adat serta aparat Pemerintah Kodya Ambon maupun Provinsi Maluku.
Desa adat suku Ambon dibangun
sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan,
atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang
dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut
”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku
lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa”
yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang
disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang
juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat
dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di
dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari
sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja,
masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis,
”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul
dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in
memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas
kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab
itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai
pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik
seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang
sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan
kekerabatan lainnya.
B. KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Desa adat suku Ambon dibangun
sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan,
atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang
dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut
”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku
lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa”
yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang
disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang
juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat
dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di
dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari
sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja,
masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan. Dalam
proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama
tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan
negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang
mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap
kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen
konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna
mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai
kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok
masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam kehidupan masyarakat Maluku
pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan
terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung
dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan
yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang
sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA”. Hubungan
pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu
kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan
juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa
Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987,
hlm 183).
Dengan demikian, walaupun ada dua
agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan
persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan
memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan
kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat
besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan
erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang
menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di
Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama
yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan
big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya “Pela (Gandong)” bisa menjadi
jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang
masih merupakan pergumulan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap
”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan
administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan
pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan
”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan.
Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon
dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan
dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat
tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :
-
Tuan tanah
-
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan
kependudukan
-
Kapitan
-
Seseorang yang ahli dalam peperangan
-
Kewang
-
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
-
Marinyo
Seseorang yang bertugas
memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai
Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi.
Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :
Patalima
Lima bagian, merupakan
orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah di mana
Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya
dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk
membantu pertahanan dari serangan musuh.
-
Jajaro
-
Organisasi kewanitaan Suku Ambon
-
Ngungare
-
Organisasi kepemudaan
-
Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus
pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.
Pela Minum Darah
Hampir sama dengan Pela Keras.
Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka
masing-masing yang dicampur menjadi satu.
-
Pela Makan Sirih
-
Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang
pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
-
Muhabet
-
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara
kematian
-
Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok
orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke
Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelompok yaitu
patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam wargawarganya di tato,
sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian Pela
Pela berasal dari kata “Pila”
yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika ditambah dengan
akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak
mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan
pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa
pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan
persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu
atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan.
Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama
(Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan
dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang
dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang.
Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua
kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama
lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat
masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan
itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau
saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit.,
Cooley, hlm 184).
Jenis-Jenis Pela
a) Pela Keras Atau
Pela Minum Darah
Dikatakan demikian oleh karena
pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak
dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur
dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah
persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil
dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut
saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka
diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk
mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya
jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus
membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan.
Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari
tuntutan-tuntutan, antara lain:
-
tidak boleh menikah
-
saling membantu dan memikul beban.
Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun
pela batukarang.
b) Pela Lunak
Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela ini tidak diikat
dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang.
Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk
saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada yang menolongnya.
Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan
tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak
dilarang untuk menikah sesama pela.
c) Pela Ade Kaka
Pela jenis ini pada umumnya
merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana
tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini
berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini
biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat
yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk
selamanya karena diikat dengan sumpah darah.
Panas Pela
Panas Pela adalah suatu kegiatan
yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah
dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi
pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah
untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan
Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya pela telah mengandung
unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan
bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling
merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi
yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan
agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai
kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa
ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu
dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh. Inilah suatu pergumulan.
D. SISTEM
KEKERABATAN
Sistem kekerabatan orang Ambon
berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal.
Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah
mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal. Mata
rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam
hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal.
Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan
lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili
merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari
warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat
nenek moyang.
E. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian orang Ambon pada
umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah
di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batangbatang serta
dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara
demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi.
Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan
buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik
persawahan Jawa.
Sagu adalah makanan pokok orang
Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan
tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi
blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon
makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental
(pepedu).
Disamping pertanian, orang Ambon
kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka
menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan. Hampir semua
penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara,
yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat
dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah.
Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang ternate yang
dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan
jungku atau orambi.
F. AGAMA DAN ADAT
Mayoritas penduduk di Maluku
memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan
Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan
pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah
Maluku.
Pemantapan kerukunan hidup
beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama
pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai
landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya
kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada
hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka
peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung
terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati
diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
G. UPACARA ADAT
”Antar Sontong”
Antar sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan
perahu dan lentera untuk mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya
lentera mereka menuju pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk
menciduk mereka dari laut.
”Pukul Manyapu”
Pukul manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di
Desa Mamala-Morela yang biasanya dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya
Idul Fitri.
H. SISTEM PERKAWINAN
Orang Ambon mengenal tiga macam
cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin masuk. Kawin Lari atau
Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama
disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk
menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak
diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai
oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka
bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana
perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut
keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.
Bentuk perkawinan ang kedua
adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang
gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada
orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan
masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan pula pengumpulan
kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan
tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi
keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.
Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin
Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada
tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:
-
Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar
mas kawin secara adat.
-
Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak
tunggal dan tidak punya anak laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan
suaminya ke dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen.
-
Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima
menantu perempuannya yang disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan
lainnya.
Orang-orang yang beragama Islam
pada umumnya menikah sesuai dengan hukum Islam. Namun disini juga terjadi hal
yang sama, yaitu apabila sang suami belum mampu membayar mas kawin menurut adat
maka wanita itu tidak perlu ikut bersama suaminya. Selain wajib membayar mahar
(mas kawin menurut hukum Islam), pengantin laki-laki juga harus membayar harta
adat yang berupa sisir mas, gong dan madanolam. Secara umum, poligini
diijinkan, kecuali bagi mereka yang beragama Nasrani.
Pakaian Adat
Ambon
Gambar 1.2 Pakaian adat Ambon |
Ada beberapa contoh busana yang
pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk
bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang
dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera masing-masing.
Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang dijahit dengan
cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian
rupa dengan rapih. Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain palekat,
yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita. Kebaya manapal yang
sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di rumah,
biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. Bila mereka
akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan
panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain
pelekat. Selain busana sehari-hari yang
telah disebutkan tadi, masih ada lagi busana lain yang khususnya dipakai oleh
untuk kaum wanita yang merupakan pendatang dari kepulauan Lease dan telah
menetap di Ambon ratusan tahun lamanya. Mereka biasanya mengenakan baju cele,
yakni sejenis kebaya berlengan pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah
sepanjang 15 sentimeter tanpa kancing. Bila akan bepergian, mereka akan
melengkapinya dengan sapu tangan. Untuk busana kerja di rumah atau dikebun,
baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat
menyebutnya baju cele tangan sepanggal.
Sementara itu kaum pria di Ambon
mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung yang berlengan pendek dan tidak
berkancing, dilengkapi dengan celana kartou yakni celana yang pada bagian
atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan. Khusus untuk kaum pria
yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut celana Makasar yang
panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar. Sedangkan busana yang
dikenakan pada saat bepergian, biasanya terdiri atas baju baniang yakni baju
berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing, dengan leher agak
tertutup. Pasangannya adalah celana panjang berikut topi yang dikenakan di
kepala.
Penampilan gaya berbusana warga
masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara keagamaan
berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. Walaupun model bajunya sama, tapi
kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan dalam
kesempatan tersebut biasanya hitam polos atau warna dasar hitam. Kecuali pada
saat upacara sidi yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk menjadi
pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu busana hitam ini ditabukan atau
dilarang digunakan.
Busana dalam upacara keagamaan
biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas baju dan kain hitam
atau kebaya dan kain hitam. Dilengkapi dengan kaeng pikol, yakni kain hitam
berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri; kole, yakni baju dalam atau
kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya hitam; lenso pinggang,
yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang diletakkan di pinggang melainkan
hanya dipegang saja. Sementara itu busana prianya terdiri atas baniang, kebaya
hitam, dan celana panjang, Jenis busana lain, khususnya dalam upacara sidi,
dipakai oleh kaum remaja yang berasal dari golongan bangsawan diantaranya baju
tangan kancing, yakni baju cele berlengan panjang dengan kancing pada
pergelangan tangannya; busana rok, yang terdiri atas kebaya putih berlengan
panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending pengikat pinggang yang
terbuat dari perak, bersepatu dengan kaus kaki putih; dan seperangkat busana
yang terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna putih, dan kaus tangan
berwarna putih.
Adapun busana yang dikenakan pada
saat berlangsung upacara adat seperti pelantikan raja, pembersihan negeri,
penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama. Hanya ada penambahan
tertentu pada kelengkapan busana mereka. Busana raja terdiri atas baju hitam,
celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala disalempang di dada,
patala di pinggang, dan topi. Begitu pula kaum wanitanya yang memakai baju
hitam seperti baju cele . Para tua-tua adat mengenakan baju hitam, celana
panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat pinggang. Sedangkan
pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana panjang hitam tanpa
menggunakan alas kaki.
DAFTAR
PUSTAKA
https://tiwipratiwi07.wordpress.com/2012/01/12/suku-ambon/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Ambon#Transportasi
http://innarahmaani.blogspot.co.id/2013/01/kebudayaan-dan-sistem-kehidupan-suku.html
M. Rizki Eka Putra
4423143962
UJP A 2014
Universitas Negeri Jakarta
No comments:
Post a Comment