Monday, January 4, 2016

TUGAS 3 _ KEBUDAYAAN DAN SEJARAH INDONESIA

 SEJARAH DAN KEBUDAYAAN KOTA AMBON

Oke kali ini saya akan menjelaskan tentang kebudayaan yang ada di suku ambon , ambon adalah ibukota dari kepulauan maluku yang berada di daerah indonesia timur. Akses menuju kota ambon itu bisa di lalui dengan dua cara yang memungkinkan, yaitu dengan menggunakan transportasi laut kalau kita sedang berada di jakarta pusat kita bisa bergerak ke araj utara jakarta yaitu pelabuhan tanjung priuk disana kita bisa memulai perjalanan  dengan kapal menuju kota ambon dan turun di Pelabuhan (Dermaga) Nusantara Yos Soedarso tipe kelas 4, difungsikan sebagai Pelabuhan utama untuk kegiatan ekspor dan Impor serta penumpang, sedangkan untuk mendukung kegiatan pelayaran antar pulau tersedia Pelabuhan Gudang Arang dan Pelabuhan Slamet Riyadi yang berfungsi sebagi pelabuhan lokal yang dikelola oleh PT. PELINDO.
Gambar 1.1 Ikon Kota Ambon
Kedua kita juga bisa menggunakan Transportasi udara kalau kita  berada di jakarta pusat kita bergerak menuju tanggerang untuk menuju bandara internasional soekarno hatta untuk menaiki pesawat lalu kita mendarat Bandara Udara di Kota Ambon yaitu Bandara Udara Pattimura dengan fungsi sebagai Bandara Internasional, telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas sesuai dengan peruntukannya sebagai Bandara Internasional, berlokasi di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon, berjarak 36 Km dari pusat Kota Ambon. Nah setelah saya membahasa bagaimana cara nya kita menuju ke kota ambon sekarang langsung saja yuk kita bahas tentang sejarah kota ambon .


Kota Ambon atau Amboina atau Ambonese (kadang dieja sebagai Ambong atau Ambuni) adalah sebuah kota dan sekaligus ibu kota dari provinsi Maluku, Indonesia. Kota ini dikenal juga dengan nama Ambon Manise yang berarti kota Ambon yang indah/manis/cantik, merupakan Kota terbesar di wilayah kepulauan Maluku dan menjadi sentral bagi wilayah kepulauan Maluku. Saat ini kota Ambon menjadi pusat pelabuhan, pariwisata dan pendidikan di wilayah kepulauan Maluku.

Kota Ambon berbatasan dengan Laut Banda disebelah selatan dan dengan kabupaten Maluku Tengah di sebelah timur (pulau-pulau Lease yang terdiri atas pulau-pulau Haruku, pulau Saparua, pulau Molana, pulau Pombo dan pulau Nusalaut), di sebelah barat (petuanan negeri Hila, Leihitu, Maluku Tengah dan Kaitetu, Leihitu, Maluku Tengah yang masuk dalam kecamatan Leihitu, Maluku Tengah) dan di sebelah utara (kecamatan Salahutu, Maluku Tengah).

Kota ini tergolong sebagai salah satu kota utama dan kota besar diregion pembangunan Indonesia Timur dilihat dari aspek perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Ambon, sempat diguncang kerusuhan sosial bermotifkan SARA antara tahun 1996-2002. Namun, sekarang Ambon Manise sudah berbenah diri menjadi kota yang lebih maju dan dilirik sebagai kota internasional di Indonesia Timur.

Dilihat dari aspek demografis dan etnisitas, kota Ambon ini merupakan potret kota yang plural. Dimana dikota ini berdiam etnis-etnis Alifuru (asli Maluku), Jawa, Bali, Buton, Bugis, Makassar, Papua, Melayu, Minahasa, Minang, Flobamora (suku Flores, Sumba, Alor dan Timor) dan orang-orang keturunan asing (komunitas peranakan Tionghoa, komunitas Arab-Ambon, komunitas Spanyol-Ambon, komunitas Portugis-Ambon dan komunitas Belanda-Ambon).

Saat ini, kota Ambon terbagi atas 5 kecamatan yaitu Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon, Teluk Banguala dan Leitimur Selatan, yang terbagi lagi atas 50 keluarahan-desa. Kota Ambon mulai berkembang semenjak kedatangan Portugis pada tahun 1513, kemudian sekitar tahun 1575, penguasa Portugis mengerahkan penduduk di sekitarnya untuk membangun benteng Kota Laha atau Ferangi yang diberi nama waktu itu Nossa Senhora de Anunciada di dataran Honipopu. Dalam perkembangannya sekelompok masyarakat pekerja yang membangun benteng tersebut mendirikan perkampungan yang disebut Soa, kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Cita de Amboina dalam bahasa Spanyol atau Cidado do Amboino dalam bahasa Portugis ) karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis teritorial yang teratur.     

Selanjutnya, setelah Belanda berhasil menguasai kepulauan Maluku dan Ambon khususnya dari kekuasaan Portugis, benteng tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan beberapa Gubernur Jenderal Belanda dan diberi nama Nieuw Victoria (terletak di depan Lapangan Merdeka, bekas Markas Yonif Linud 733/Masariku kini markas Detasemen Kavaleri). Benteng ini merupakan tempat di mana Pattimura dieksekusi. Pahlawan Nasional Slamet Rijadi juga gugur di benteng ini dalam pertempuran melawan pasukan Republik Maluku Selatan.

Sejarah penentuan hari jadi kota Ambon

Hari lahir atau hari jadi kota Ambon telah diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar di Kota Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur ratusan tahun itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9).

Untuk itu dikeluarkannya Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972, yang isinya mengenai pembentukan Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon dengan tugas untuk menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Kemudian dengan suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168 selaku Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon menyerahkan tugasnya itu kepada Fakultas Keguruan Universitas Pattimura untuk menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota Ambon.

Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1972 Pimpinan Fakultas Keguruan mengadakan rapat dengan pimpinan Jurusan Sejarah dan hasilnya adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972, dihadiri oleh kurang lebih dua ratus orang yang terdiri dari unsur-unsur akademis, Tokoh Masyarakat dan Tokoh adat serta aparat Pemerintah Kodya Ambon maupun Provinsi Maluku.


Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.

Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.

B. KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan. Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.


C. SISTEM KEMASYARAKATAN

Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA”. Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm 183).

Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya “Pela (Gandong)” bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :
-          Tuan tanah
-          Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
-          Kapitan
-          Seseorang yang ahli dalam peperangan
-           Kewang
-          Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
-          Marinyo
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :


Patalima

Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
-          Jajaro
-          Organisasi kewanitaan Suku Ambon
-          Ngungare
-          Organisasi kepemudaan
-          Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.

Pela Minum Darah

Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
-          Pela Makan Sirih
-          Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
-          Muhabet
-          Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian
-          Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.

Pengertian Pela

Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).

Jenis-Jenis Pela

a)      Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:
-          tidak boleh menikah
-          saling membantu dan memikul beban.
Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.

b)      Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.

c)      Pela Ade Kaka
Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.
Panas Pela

Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.


Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi

Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh. Inilah suatu pergumulan.

D. SISTEM KEKERABATAN

Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal. Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal. Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.

E. MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.

Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).

Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan. Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.


F. AGAMA DAN ADAT

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.

Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.

G. UPACARA ADAT

”Antar Sontong”
Antar sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka menuju pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk menciduk mereka dari laut.
”Pukul Manyapu”
Pukul manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa Mamala-Morela yang biasanya dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul Fitri.

H. SISTEM PERKAWINAN

Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin masuk. Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.

Bentuk perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.

  Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:
-          Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
-          Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen.
-          Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya yang disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.

Orang-orang yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan hukum Islam. Namun disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila sang suami belum mampu membayar mas kawin menurut adat maka wanita itu tidak perlu ikut bersama suaminya. Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam), pengantin laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas, gong dan madanolam. Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi mereka yang beragama Nasrani.

Pakaian Adat Ambon

Gambar 1.2 Pakaian adat Ambon

Ada beberapa contoh busana yang pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera masing-masing. Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian rupa dengan rapih. Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain palekat, yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita. Kebaya manapal yang sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di rumah, biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. Bila mereka akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain pelekat.  Selain busana sehari-hari yang telah disebutkan tadi, masih ada lagi busana lain yang khususnya dipakai oleh untuk kaum wanita yang merupakan pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon ratusan tahun lamanya. Mereka biasanya mengenakan baju cele, yakni sejenis kebaya berlengan pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 sentimeter tanpa kancing. Bila akan bepergian, mereka akan melengkapinya dengan sapu tangan. Untuk busana kerja di rumah atau dikebun, baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat menyebutnya baju cele tangan sepanggal.

Sementara itu kaum pria di Ambon mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung yang berlengan pendek dan tidak berkancing, dilengkapi dengan celana kartou yakni celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan. Khusus untuk kaum pria yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut celana Makasar yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar. Sedangkan busana yang dikenakan pada saat bepergian, biasanya terdiri atas baju baniang yakni baju berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing, dengan leher agak tertutup. Pasangannya adalah celana panjang berikut topi yang dikenakan di kepala.

Penampilan gaya berbusana warga masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara keagamaan berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. Walaupun model bajunya sama, tapi kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan dalam kesempatan tersebut biasanya hitam polos atau warna dasar hitam. Kecuali pada saat upacara sidi yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk menjadi pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu busana hitam ini ditabukan atau dilarang digunakan.

Busana dalam upacara keagamaan biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas baju dan kain hitam atau kebaya dan kain hitam. Dilengkapi dengan kaeng pikol, yakni kain hitam berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri; kole, yakni baju dalam atau kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya hitam; lenso pinggang, yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang diletakkan di pinggang melainkan hanya dipegang saja. Sementara itu busana prianya terdiri atas baniang, kebaya hitam, dan celana panjang, Jenis busana lain, khususnya dalam upacara sidi, dipakai oleh kaum remaja yang berasal dari golongan bangsawan diantaranya baju tangan kancing, yakni baju cele berlengan panjang dengan kancing pada pergelangan tangannya; busana rok, yang terdiri atas kebaya putih berlengan panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending pengikat pinggang yang terbuat dari perak, bersepatu dengan kaus kaki putih; dan seperangkat busana yang terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna putih, dan kaus tangan berwarna putih.

Adapun busana yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat seperti pelantikan raja, pembersihan negeri, penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama. Hanya ada penambahan tertentu pada kelengkapan busana mereka. Busana raja terdiri atas baju hitam, celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala disalempang di dada, patala di pinggang, dan topi. Begitu pula kaum wanitanya yang memakai baju hitam seperti baju cele . Para tua-tua adat mengenakan baju hitam, celana panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat pinggang. Sedangkan pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana panjang hitam tanpa menggunakan alas kaki.



DAFTAR PUSTAKA
https://tiwipratiwi07.wordpress.com/2012/01/12/suku-ambon/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Ambon#Transportasi
http://innarahmaani.blogspot.co.id/2013/01/kebudayaan-dan-sistem-kehidupan-suku.html


M. Rizki Eka Putra
4423143962
UJP A 2014
Universitas Negeri Jakarta


No comments:

Post a Comment