Sunday, January 3, 2016

T3_Rika Romadhan_ Pariwisata Sejarah dan Budaya Indonesia



Pariwisata Sejarah dan Budaya Indonesia

Pariwisata budaya di Pulau Riau

Halooo semuaa…. Lama tidak berjumpa kesempatan kali ini, saya akan memperkenalkan diri kembali nama saya, rika romadhan saya saat ini saya sedang menjalani perkulihan semester 3 di Universitas Negeri Jakarta. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas tenteng sebuah Pulau yang kaya akan minyak, dan kota yang memiliki kebudayaan leluhur yang masih melekat.

Kepulauan Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia. Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara; Malaysia dan provinsi Kalimantan Barat di timur; provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura, Malaysia dan provinsi Riau di sebelah barat. Yang dimana sekarang kepulau riau sudah berdiri kokoh dengan tidak lagi menjadi kesatuan Sumatera tengah.Sebelum kita membahas kepulau Riau yang kaya akan wisata budaya, dan suku-suku asli didalamnya, kita akan membahas asal mula terbentu nama riau.
Riau berasal dari penamaan orang portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Secara etimologis kata “Riau” berasal dari kata “Rio” (Bahasa Portugis) yang berarti “sungai”. Misalnya Rio de Janeiro artinya Sungai Januari. Di pulau Bintan ada sebuah sungai yang bernama Rio, yaitu sungai Rio. Dari kata Rio ini berubah menjadi Riau. Orang Belanda menulis kata Riau ini dengan “Riouw” dan sekarang dikenal tulisan Riouw dengan perkataan Riau saja.Nama Riau yang berasal dari penuturan orang melayu setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannnya negeri baru di sungai Carang, Untuk dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai inilah yang kemudian bernama Ulu Riau.
Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut:
Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota Kerajaan Johor) di perintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan, di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “dimana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana di tempat yang rioh”, Sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di maksud jika di tanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh”
Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu, nama ini di pakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang membentuk Kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang. Kemudian dengan perjanjian London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbagi menjadi dua.Bagian Johor, Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan bagian Riau-Lingga berada dibawah pengaruh Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda 1905-1942, nama Riau di pakai untuk sebuah karesidenan yang daerahnya meliputi kepulauan Riau serta Pesisir timur sumatera bagian tengah. Demikian juga pada saat zaman Jepang, nama Riau juga masih di pertahankan. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada tahun 1958, nama Riau masih dipergunakan sampai sekarang ini.
Setelah kita membahas asal mula provinsi Riau, tak terlepas dari itu bahwa di Pulau Riau pula memiliki Suku Asli yang memiiliki adat istiadat leluhur yang masih melekat.Pulau Sumatra sangat melekat dengan yang namanya, suku Batak maupun Suku Minangkabau. Kedua suku tersebut memnag popular karena menjadi suku yang banyak sekali populasinya. Namun, ada beberapa suku asli yang mendiami Pulau Sumatra yang belum popular atau terdengar oleh kita, seperti halnya Suku Asli Riau.
Sama halnya dengan wilayah lain di Indonesia, Provinsi Riau memiliki suku asli yang sampai sekarang masih hidup berkelompok dan terus menjunjung tinggi adat istiadat yang mereka peroleh dari nenemoyang mereka. Kebanyakan suku-suku asli ini tetap mempertahankan tradisi yang menjadi ciri khas mereka dan tidak terpengaruh dengan budaya modern.Salah satu Suku Asli Riau yang hidup dengan kebudayaan mereka, yaitu Suku Sakai

Suku Sakai

Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.

Ada yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.

Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri, pendapat ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung. Bisa jadi anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga kedua anggapan tersebut benar. Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku Sakai ini di sepanjang daratan Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).

Nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Jelas julukan ini diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau.
Untuk dapat mengetahaui dan mengenal lebih jelas kebudayaan suku sakai, kita dapat melihatnya melalui unsure kebudayaan, yaitu

  •   Bahasa Suku Sakai
Bahasa Sakai digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai alat komunikasi antar etnik dan terkadang juga digunakan dalam berkomunikasi dengan penduduk yang berlainan etnis. Komunikasi dengan penduduk yang berlainan etnis dapat terlaksana karena struktur maupun kosa kata bahasa Sakai memiliki banyak persamaan dengan bahasa Melayu dan Bahasa Minangkabau. Penduduk di Kecamatan Mandau pada umumnya dapat berbahasa Melayu dan berbahasa Minangkabau. Selain untuk berkomunikasi, banyak kata dalam bahasa Sakai yang digunakan untuk menamai jenis kayu yang ada disekitar lingkungan mereka. Bahasa Sakai ini juga digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa budaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Sakai.


  •   Organisasi Sosial Suku Sakai

Masyarakat Sakai pada masa lalu mempunyai sistem pemerintahan yang mereka sebut Perbatinan yang dipimpin oleh Batin. Orang Sakai menempati 13 anak sungai, permukiman mereka disebut batin. Perbatinan ini terdiri atas Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan.

              Perbatinan Lima 


Orang sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima dukuh). Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
 
Perbatinan Delapan.



Beberapa lamanya setelah keberangkatan rombongan meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja, sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Tujuan mereka adalah membuka tempat baru untuk bermukim. Sehingga mereka sampai di hulu sungai Syam-Syam, di Mandau dan berkeliling sampai di daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Di tempat ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya.

 Suatu ketika seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang di dengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sehingga suami pergi berburu dan tidak pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di pimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta maaf kepada raja Pagarruyng, kemudian mereka menceritakan semua apa yang telah mereka alami. Dan raja mengirim satu rombongan untuk menyusul Batin Sangkar.

Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam.

      Secara kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut meliputi wilayah Petani, Sebanga, Air Jamban, Pinggir, Semunai, SamSam, Kandis,Balai Makam.
  •   Sistem Kekerabatan Suku Sakai
Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah kedudukan anak perempuan dari anak lakilaki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak lakilaki hanya seolaholah pemberi bibit keturunan kepada isteri. Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai besar, semua barang milik baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah milik wanita. Kedudukan kepala suku diwariskan dari wanita, dan anakanak mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka seolaholah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan berarti anak lakilaki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak lakilaki membantu orang tua meringankan beban hidup keluarga. Namun menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.

Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompokkelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok keluarga. Namun sistem ini (pola kerjasama) di antara mereka tidak selamanya dapat diaplikasikan ke semua jenis ‘gotong royong’, semisal yang diinisiasi pemerintah seperti Jumat bersih atau ‘tanggung renteng’ dalam pengelolaan dana bergulir. Halhal demikian tidak dikenal oleh masyarakat, dan terkesan ‘mengadaada’. Ego perorangan dalam masyarakat Sakai sangat kuat, Suparlan (1995) menyebutkan bahwa ‘ego diri sendiri’ bukan ‘ego kelompok’ merupakan pusat dalam pertukaran. Jika orang Sakai berutang atau memberikan sesuatu barang kepada orang lain, maka kewajiban yang memberikan sesuatu barang tersebutlah yang menagih. Artinya orang yang berkepentingan itulah yang harus meminta kembali apa yang diberikannya. Termasuk dalam hal memberikan jasa dan timbalbaliknya (balasjasa).

  • Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Suku Sakai
Sistem teknologi dan peralatan yang digunakan masyarakat suku Sakai dalam kesehariannya dapat terlihat pada aktivitas berburu dan berladangnya, dalam hal berburu Peralatan yang digunakan oleh suku Sakai adalah parang, panah dan juga memakai jerat sentakserta konjouw. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat terkenal dengan mencari ikan dengan menggunakan perahu serta kail tradisional hasil buatan mereka sendiri dan suku Sakai juga senang menangkap udang dan kepiting dengan menggunakan perangkap yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan.
  •   Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Sakai
Masyarakat suku sakai memiliki banyak bentuk mata pencaharian, hal ini dikarenakan system ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat suku sakai di pengaruhi kondisi daerah yang mereka tempati atau yang mereka huni. Oleh karena itu masyarakat suku sakai mempunyai banyak bentuk mata pencarian demi menghidupi keluarganya di antara banyak mata pencarian yang dilakukan masyarakat suku sakai antara lain adalah:
  1. Berladang
Dalam kehidupan sosial mereka setiap orang sakai atau setiap keluarga mereka harus mempunyai sebidang tanah atau sebidang ladang. Pada umumnya anak-anak laki-laki yang lajang atau yang belum mempunyai istri seharusnya atau wajib sudah mempunyai ladang, setidaknya sedikit bidang ladang. Jika anak bujang dari keluarga suku sakai tersebut tidak mempunyai ladang maka anak bujang ini ikut membantu dan mempunyai bagian ladang sendiri, dari sebuah ketetanggaan ladang bersama dengan kerabat dekat yaitu kakak perempuan ( dalam urut pertama ) atau kakak laki-laki ( yang sudah berkeluarga ). Karena dengan hasil berladang ini lah membuat mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Ladang merupakan faktor pertama dalam memenuhi kehidupan suku sakai, karena ladang merupakan tempat mereka di hidupkan dari kecil sehingga menjadi dewasa. Rumah-rumah mereka dibangun di atas ladang, serta diladang inilah mereka merasa kehidupan yang dapat membedakan antara hak pribadi dan hak-hak sosial keluarga mereka masing-masing.
  1. Menanam ubi manggalo
Orang sakai dalam kegiatan mata pencaharian dalam budaya tradisional mereka di samping berladang mereka juga menanam ubi manggalo ( Ubi beracun ). Ubi ini biasanya ditanam di lain dari lokasi ladang. Ubi manggalo ditanam setelah berumur 1-2 tahun baru dapat dimakan langsung karena mengandung racun. Untuk mengkonsumsi ubi ini maka orang sakai melakukan beberapa cara untuk menghilangkan racun tersebut dengan cara disimpan:
  1. Ubi manggola tidak boleh disimpan selama 1-2 hari, setelah ubi dicabut langsung dicuci disungai atau rawa
  2. Ubi manggalo yang sudah bersih kulitnya dari kotoran lalu ditaruh di dalam keranjang anyaman lalau ubi ini di rendam selama 3 hari 3 malam
  3. Setelah di rendam, ubi ini diparut oleh pihak wanita sehingga halus, lalu ubi yang telah halus ini di masukan kedalam goni untuk memeras atau membuang air yang terdapat dalam ubi tersebut
  4. Racun yang terdapatt pada ubi ini pun hilang dikarenakan air yang terkandung pada ubi ini telah diperas. Lalu ubi manggalo ini dimasukan kedalam kuali yang diletakan di atas api secara maksimal
  5. Dengan menggunakan sebuah sendok kayu besar dan panjang parutan ubi manggalo di adukan dan diratakan sampai hasil parutan menjadi kering. Orang sakai menyebutkan proses ini dengan ” Menyangga “
  6. Proses terakhir yang dilakukan suku sakai adalah menyimpan ubi yang telah kering tersebut karena ubi ini tidak memiliki racun lagi. Hasil ini disebut dengan ” Manggalo Mersik “
Manggalo mersik mirip dengan kerak nasi, berbutir-butir atau bergumpal-gumpal kecil.manggalo mersik dapat juga di gunakan sebagai makanan pokok suku sakai, biasanya manggalo mersik ini di sajikan dengan lauk pauk seperti gulai ikan, sayur-sayuran dan berbagai macam makanan lainnya.
Tangguk, wadah yang digunakan untuk menyimpan ubi yang telah dilepas
Gegalung Galo, alat yang digunakan untuk menjepit ubi
 
Alat yang digunakan untuk memarut ubi manggalo
    

















  • Berburu dan Mencari Ikan di Sungai
Berburu atau mencari ikan merupakan mata pencaharian asli suku sakai, sedangkan berladang dipengaruhi oleh pada masa kesultanan siak. Pengertian berburu oleh orang sakai bukanlah kegiatan  membunuh hewan tetapi mereka melakukan dengan menjerat alat buruan mereka yaitu KONJOUW. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Hewan yang mereka sering buru adalah kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Hasil tangkapan buruan ini mereka gunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari biasanya mereka jadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat terkenal dengan mencari ikan. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengail, serta mereka juga senang menangkap udang dengan menggunakan tangguk, suku sakai mengenal lebih dari 30 jenis ikan. Di rawa-rawa atau di sungai-sungai kecil mereka menangkap ikan dengan menggunakan lukah dan jarring, orang-orang sakai pada masa lalunya memasang lukah dari jarring pada sore hari menjelang malam dan pada pagi hari dapat dilihat hasil tangkapannya. Pada biasanya ikan yang mereka tangkap langsung mereka goreng. Jika jumlah tangkapannya relative banyak maka sebagian dari ikan itu untuk dijual kepada orang lain, bahkan suku sakai biasanya membarter ikan tangkapan dengan barang yang mereka perlukan.

  • Sistem Religi Suku Sakai
Salah satu ciri masyarakat Sakai adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia. Akan tetapi kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut ‘Antu, tidak lagi menyelimuti kehidupan mereka. Hal ini terjadi akibat banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi yang telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.
  •  Sistem Kesenian Suku Sakai

Salah satu bentuk kesenian yang terdapat pada masyarakat suku Sakai adalah tarian makan sirih atau tari persembahan, tari persembahan merupakan tarian yang biasa dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu agung. Tari ini dibawakan oleh 8 sampai 10 orang perempuan. Gerak tari persembahan sangat sederhana, bertumpu pada gerakan tangan dan kaki. Gerakan menunduk sambil merapatkan telapak tangan merupakan bentuk penghormatan kepada para tamu yang datang. 



 Para penari mengenakan baju yang biasa dipakai mempelai perempuan, yaitu baju adat yang disebut dengan baju kurung teluk belanga. Pada bagian kepala, terdapat mahkota yang dilengkapi dengan hiasan-hiasan berbentuk bunga. Sementara, bagian bawah tubuh para penari dibalut oleh kain songket berwarna cerah. Tari persembahan dipentaskan dengan iringan musik Melayu yang bersumber dari perpaduan antara suara marwas, gendang, gambus, dan lain sebagainya. Saat pertunjukan, salah satu penari dalam tari persembahan akan membawa kotak yang berisi sirih. Sirih dalam kotak tersebut kemudian dibuka dan tamu yang dianggap agung diberi kesempatan pertama untuk mengambilnya sebagai bentuk penghormatan, kemudian diikuti oleh tamu yang lain. Karenanya,

banyak orang yang menyebut tari persembahan ini dengan sebutan tari makan sirih.
Selain itu, Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
  1. Upacara kematian
  2. Upacara kelahiran
  3. Upacara pernikahan
  4. Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
  1. Upacara menanam padi
  2. Upacara menyiang
  3. Upacara sorang sirih
  4. Upacara tolak bala.
  5.  


Meski suku sakai sudah mulai modern, suku sakai masih mengandalkan dukun untuk pengobatan, hal ini merupakan turun-temurun. Menurut, suku sakai dukun sebagai dokter yang bisa mendiaknosa pasien yang dibantu oleh arwah. Tetapi tidak sembarang orang bisa menjadi dukun, dibolehkan menjadi dukun apabila telah mendapatkan wangsit atau dapat keturunan dari saudara lelaki yang juga menuntut ilmu dari dukun lain.
Selama melakukan pengobatan, pihak pasien juga membuat ritual diantara membuat miniatur kapal yang di lengkapi bunga, burung tiruan dan menyalakan obor. Tapi tidak selama miniatur kapal, terkadang sesuai dari pemintaan dari dukun. Dalam pengobatan ini, dukun mengunakan atribut ikat kepala yang berwarna merah dan selempang berwarna merah. Lalu dukun melakukan ritual, yaitu membaca mantra dan berdiri mengambil campuran putih dan kuning untuk disebarkan keseluruh ruangan selama 3 kali. Hal ini dilakukan sampai dukun menemukan jawaban tentang penyakit pasien.Pengobatan ini dipercaya ampuh menyembuhkan penyakit pasien sejak 100 tahun silam



  • Rumah adat Suku Sakai

Ada sebagaian orang sakai yang masih hidup berpindah-pindah, namun mereka tetap memerlukan rumah untuk bertempat tinggal.mereka umumnya mendiami di hutan-hutan dan bertempat tinggal dialiran sungai-sungai untuk mendirikan rumah. Rumah menurut orang saki disebut dengan umah. Rumah atau umah orang sakai berbentuk persegi panjang dan juga berbentuk panggung. Rumah orang sakai di buat dengan berbentuk panggung karena untuk menghindari serangan hewan-hewan buas, seperti gajah. Harimau, macan, ular, dan lain-lain. Bagi orang skai rumah atau umah bukan hanya tempat berteduh yang nyaman dan tenang tetapi juga sebagai tempat melakukan sebuah acar atau ritual keagamaan.
Rumah orang sakai ini termasuk rumah yang sangat unik, karena dapat berdiri dengan kokoh tanpa menggunakan paku. Hanya disambung dengan tali rotan. Keunikan lainnya adalah mereka menggunakan kayu sebagai bahan utamanya seperti tiang dan juga yang lain dengan cara kayu utuh.
 Rumah orang sakai juga tergolong rumah yang sederhana, hanya ada satu ruangan yang digunakan untuk serbaguna. Hanya berkisar ukuran 4x6 saja. Lantai dan dindidngnya terbuat dari kulit kayu, sedangkan atapnya terbuat dari jerami atau daun kelapa.
 Meskipun rumah orang sakai terbilang unik dan sederhana, namun rumah ini memiliki bebarapa fungsi bagi kehidupannya. Diantara fungsi rumah bagi orang sakai adalah sebagai berikut; Tempat tinggal keluarga, Tempat upacara adat, Tempat penyimpanan barang, Tempat kegiatan social.







Daftar Pustaka


Rika Romadhan
4423143928
UJP/A 2015
rikaromadhann@gmail.com
path:rika romadhan 

8 comments: