Pariwisata
Sejarah dan Budaya Indonesia
Pariwisata budaya di Pulau Riau
Halooo semuaa…. Lama tidak
berjumpa kesempatan kali ini, saya akan memperkenalkan diri kembali nama saya,
rika romadhan saya saat ini saya sedang menjalani perkulihan semester 3 di Universitas
Negeri Jakarta. Pada
kesempatan kali ini saya akan membahas tenteng sebuah Pulau yang kaya akan
minyak, dan kota yang memiliki kebudayaan leluhur yang masih melekat.
Kepulauan Riau
adalah sebuah provinsi di Indonesia.
Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam
dan Kamboja
di sebelah utara; Malaysia dan provinsi Kalimantan
Barat di timur; provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura,
Malaysia
dan provinsi Riau
di sebelah barat. Yang dimana sekarang kepulau riau sudah berdiri kokoh dengan
tidak lagi menjadi kesatuan Sumatera tengah.Sebelum kita membahas kepulau Riau
yang kaya akan wisata budaya, dan suku-suku asli didalamnya, kita akan membahas
asal mula terbentu nama riau.
Riau berasal dari penamaan
orang portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Secara etimologis kata
“Riau” berasal dari kata “Rio” (Bahasa Portugis) yang berarti “sungai”.
Misalnya Rio de Janeiro artinya Sungai Januari. Di pulau Bintan ada sebuah
sungai yang bernama Rio, yaitu sungai Rio. Dari kata Rio ini berubah menjadi
Riau. Orang Belanda menulis kata Riau ini dengan “Riouw” dan sekarang dikenal
tulisan Riouw dengan perkataan Riau saja.Nama Riau yang berasal dari penuturan
orang melayu setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannnya
negeri baru di sungai Carang, Untuk dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai
inilah yang kemudian bernama Ulu Riau.
Adapun peristiwa itu kira-kira
mempunyai teks sebagai berikut:
Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota Kerajaan Johor) di perintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan, di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “dimana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana di tempat yang rioh”, Sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di maksud jika di tanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh”
Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota Kerajaan Johor) di perintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan, di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “dimana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana di tempat yang rioh”, Sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di maksud jika di tanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh”
Berdasarkan beberapa
keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari
penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama
itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan
pusat kerajaan melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu, nama
ini di pakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang membentuk
Kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang. Kemudian dengan perjanjian London 1824
antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbagi menjadi dua.Bagian Johor,
Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan bagian Riau-Lingga
berada dibawah pengaruh Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda 1905-1942, nama
Riau di pakai untuk sebuah karesidenan yang daerahnya meliputi kepulauan Riau
serta Pesisir timur sumatera bagian tengah. Demikian juga pada saat zaman
Jepang, nama Riau juga masih di pertahankan. Setelah Provinsi Riau terbentuk
pada tahun 1958, nama Riau masih dipergunakan sampai sekarang ini.
Setelah kita membahas asal
mula provinsi Riau, tak terlepas dari itu bahwa di Pulau Riau pula memiliki
Suku Asli yang memiiliki adat istiadat leluhur yang masih melekat.Pulau Sumatra
sangat melekat dengan yang namanya, suku Batak maupun Suku Minangkabau. Kedua
suku tersebut memnag popular karena menjadi suku yang banyak sekali
populasinya. Namun, ada beberapa suku asli yang mendiami Pulau Sumatra yang
belum popular atau terdengar oleh kita, seperti halnya Suku Asli Riau.
Sama halnya dengan wilayah
lain di Indonesia, Provinsi Riau memiliki suku asli yang sampai sekarang masih
hidup berkelompok dan terus menjunjung tinggi adat istiadat yang mereka peroleh
dari nenemoyang mereka. Kebanyakan suku-suku asli ini tetap mempertahankan
tradisi yang menjadi ciri khas mereka dan tidak terpengaruh dengan budaya
modern.Salah satu Suku Asli Riau yang hidup dengan kebudayaan mereka, yaitu
Suku Sakai
Suku Sakai
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di
Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan
keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu
Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk
asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai
merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau
berabad-abad lalu. Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing
yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu,
alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan,
berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan
karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi
lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok
masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya,
masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau
kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
Ada yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari
keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai
Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang
asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai
merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua.
Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni
Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki
postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan
berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum
Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua
atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan
gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum
Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau
Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik,
orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk
menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih
ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil
kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang
orang-orang Sakai.
Sementara pendapat kedua
mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan Batusangkar.
Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri
Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur
negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk
mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian
mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan
hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah
menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai
Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah
tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak
dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut
sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri, pendapat ini dianggap yang
lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari
Negeri Pagarruyung. Bisa jadi anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga
kedua anggapan tersebut benar. Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku
Sakai ini di sepanjang daratan Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang
terbesar hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan
Pulau Rupat).
Nama Sakai konon berasal dari
huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka adalah
anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari
hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Jelas julukan ini diprotes oleh
masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal
yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan
kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih
melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di
daerah Riau.
Untuk dapat mengetahaui dan
mengenal lebih jelas kebudayaan suku sakai, kita dapat melihatnya melalui
unsure kebudayaan, yaitu
- Bahasa Suku Sakai
Bahasa Sakai digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai
alat komunikasi antar etnik dan terkadang juga digunakan dalam berkomunikasi
dengan penduduk yang berlainan etnis. Komunikasi dengan penduduk yang berlainan
etnis dapat terlaksana karena struktur maupun kosa kata bahasa Sakai memiliki
banyak persamaan dengan bahasa Melayu dan Bahasa Minangkabau. Penduduk di
Kecamatan Mandau pada umumnya dapat berbahasa Melayu dan berbahasa Minangkabau.
Selain untuk berkomunikasi, banyak kata dalam bahasa Sakai yang digunakan untuk
menamai jenis kayu yang ada disekitar lingkungan mereka. Bahasa Sakai ini juga
digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa budaya dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat suku Sakai.
- Organisasi Sosial Suku Sakai
Masyarakat
Sakai pada masa lalu mempunyai sistem pemerintahan yang mereka sebut Perbatinan
yang dipimpin oleh Batin. Orang Sakai menempati 13 anak sungai, permukiman
mereka disebut batin. Perbatinan ini terdiri atas Perbatinan Lima dan Perbatinan
Delapan.
Perbatinan Lima
Orang sakai
datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua
gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14,
langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing
membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan
perbatinan lima. (lima dukuh). Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau,
rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau
hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk
kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri
hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai
Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
Perbatinan Delapan.
Beberapa
lamanya setelah keberangkatan rombongan meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini
telah menjadi padat lagi. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja,
sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah
keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang
menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam
meninggalkan Pagarruyung. Tujuan mereka adalah membuka tempat baru untuk
bermukim. Sehingga mereka sampai di hulu sungai Syam-Syam, di Mandau dan
berkeliling sampai di daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Di tempat ini
mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya.
Suatu ketika seorang istri hamil dan nyidam,
dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada
dalam kandungan. Tetapi yang di dengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang
dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sehingga suami pergi berburu dan tidak
pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau
tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di
pimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari
daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang
perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang
bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta
maaf kepada raja Pagarruyng, kemudian mereka menceritakan semua apa yang telah
mereka alami. Dan raja mengirim satu rombongan untuk menyusul Batin Sangkar.
Rombongan
yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati
hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa
tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat
pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat
pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri,
Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam.
Secara
kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang
disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan
tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar
menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin
untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan
atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja
Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan
kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari
kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut meliputi
wilayah Petani, Sebanga, Air Jamban, Pinggir,
Semunai, Sam‐Sam, Kandis,Balai Makam.
- Sistem Kekerabatan Suku Sakai
Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu
dititik beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan
adalah kedudukan anak perempuan dari anak laki‐laki.
Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak laki‐laki hanya seolah‐olah
pemberi bibit keturunan kepada isteri. Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai
besar, semua barang milik baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah milik
wanita. Kedudukan kepala suku diwariskan dari wanita, dan anak‐anak mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu menurut
masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka
seolah‐olah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan
berarti anak laki‐laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki‐laki membantu orang tua meringankan beban hidup keluarga.
Namun menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga
yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal
digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka sebagian
menggunakan hukum Islam.
Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan
yang penting dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan
bekerjasama dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang
Sakai kelompok‐kelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam
kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau
dua kelompok keluarga. Namun sistem ini (pola kerjasama) di antara mereka tidak
selamanya dapat diaplikasikan ke semua jenis ‘gotong royong’, semisal yang
diinisiasi pemerintah seperti Jumat bersih atau ‘tanggung renteng’ dalam
pengelolaan dana bergulir. Hal‐hal demikian tidak dikenal oleh
masyarakat, dan terkesan ‘mengada‐ada’.
Ego perorangan dalam masyarakat Sakai sangat kuat, Suparlan (1995) menyebutkan
bahwa ‘ego diri sendiri’ bukan ‘ego kelompok’ merupakan pusat dalam pertukaran.
Jika orang Sakai berutang atau memberikan sesuatu barang kepada orang lain,
maka kewajiban yang memberikan sesuatu barang tersebutlah yang menagih. Artinya
orang yang berkepentingan itulah yang harus meminta kembali apa yang
diberikannya. Termasuk dalam hal memberikan jasa dan timbal‐baliknya (balas‐jasa).
- Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Suku Sakai
Sistem teknologi dan peralatan yang digunakan masyarakat
suku Sakai dalam kesehariannya dapat terlihat pada aktivitas berburu dan
berladangnya, dalam hal berburu Peralatan yang digunakan oleh suku Sakai adalah
parang, panah dan juga memakai jerat sentakserta konjouw. Konjouw adalah
tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh
mantra-mantra hewan. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat terkenal dengan
mencari ikan dengan menggunakan perahu serta kail tradisional hasil buatan
mereka sendiri dan suku Sakai juga senang menangkap udang dan kepiting dengan
menggunakan perangkap yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu
atau rotan.
- Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Sakai
Masyarakat suku sakai memiliki banyak bentuk mata
pencaharian, hal ini dikarenakan system ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat
suku sakai di pengaruhi kondisi daerah yang mereka tempati atau yang mereka
huni. Oleh karena itu masyarakat suku sakai mempunyai banyak bentuk mata
pencarian demi menghidupi keluarganya di antara banyak mata pencarian yang
dilakukan masyarakat suku sakai antara lain adalah:
- Berladang
Dalam
kehidupan sosial mereka setiap orang sakai atau setiap keluarga mereka harus
mempunyai sebidang tanah atau sebidang ladang. Pada umumnya anak-anak laki-laki
yang lajang atau yang belum mempunyai istri seharusnya atau wajib sudah
mempunyai ladang, setidaknya sedikit bidang ladang. Jika anak bujang dari
keluarga suku sakai tersebut tidak mempunyai ladang maka anak bujang ini ikut
membantu dan mempunyai bagian ladang sendiri, dari sebuah ketetanggaan ladang
bersama dengan kerabat dekat yaitu kakak perempuan ( dalam urut pertama ) atau
kakak laki-laki ( yang sudah berkeluarga ). Karena dengan hasil berladang ini
lah membuat mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Ladang
merupakan faktor pertama dalam memenuhi kehidupan suku sakai, karena ladang
merupakan tempat mereka di hidupkan dari kecil sehingga menjadi dewasa.
Rumah-rumah mereka dibangun di atas ladang, serta diladang inilah mereka merasa
kehidupan yang dapat membedakan antara hak pribadi dan hak-hak sosial keluarga
mereka masing-masing.
- Menanam ubi manggalo
Orang
sakai dalam kegiatan mata pencaharian dalam budaya tradisional mereka di
samping berladang mereka juga menanam ubi manggalo ( Ubi beracun ). Ubi ini
biasanya ditanam di lain dari lokasi ladang. Ubi manggalo ditanam setelah
berumur 1-2 tahun baru dapat dimakan langsung karena mengandung racun. Untuk
mengkonsumsi ubi ini maka orang sakai melakukan beberapa cara untuk
menghilangkan racun tersebut dengan cara disimpan:
- Ubi manggola tidak boleh disimpan selama 1-2 hari, setelah ubi dicabut langsung dicuci disungai atau rawa
- Ubi manggalo yang sudah bersih kulitnya dari kotoran lalu ditaruh di dalam keranjang anyaman lalau ubi ini di rendam selama 3 hari 3 malam
- Setelah di rendam, ubi ini diparut oleh pihak wanita sehingga halus, lalu ubi yang telah halus ini di masukan kedalam goni untuk memeras atau membuang air yang terdapat dalam ubi tersebut
- Racun yang terdapatt pada ubi ini pun hilang dikarenakan air yang terkandung pada ubi ini telah diperas. Lalu ubi manggalo ini dimasukan kedalam kuali yang diletakan di atas api secara maksimal
- Dengan menggunakan sebuah sendok kayu besar dan panjang parutan ubi manggalo di adukan dan diratakan sampai hasil parutan menjadi kering. Orang sakai menyebutkan proses ini dengan ” Menyangga “
- Proses terakhir yang dilakukan suku sakai adalah menyimpan ubi yang telah kering tersebut karena ubi ini tidak memiliki racun lagi. Hasil ini disebut dengan ” Manggalo Mersik “
Manggalo
mersik mirip dengan kerak nasi, berbutir-butir atau bergumpal-gumpal
kecil.manggalo mersik dapat juga di gunakan sebagai makanan pokok suku sakai,
biasanya manggalo mersik ini di sajikan dengan lauk pauk seperti gulai ikan,
sayur-sayuran dan berbagai macam makanan lainnya.
Tangguk, wadah yang digunakan untuk menyimpan ubi yang telah dilepas |
Gegalung Galo, alat yang digunakan untuk menjepit ubi |
- Berburu dan Mencari Ikan di Sungai
Berburu atau mencari ikan merupakan mata pencaharian asli
suku sakai, sedangkan berladang dipengaruhi oleh pada masa kesultanan siak.
Pengertian berburu oleh orang sakai bukanlah kegiatan membunuh hewan tetapi mereka melakukan dengan
menjerat alat buruan mereka yaitu KONJOUW. Konjouw adalah tombak yang terbuat
dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Hewan
yang mereka sering buru adalah kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Hasil
tangkapan buruan ini mereka gunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari biasanya
mereka jadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat
terkenal dengan mencari ikan. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengail,
serta mereka juga senang menangkap udang dengan menggunakan tangguk, suku sakai
mengenal lebih dari 30 jenis ikan. Di rawa-rawa atau di sungai-sungai kecil
mereka menangkap ikan dengan menggunakan lukah dan jarring, orang-orang sakai
pada masa lalunya memasang lukah dari jarring pada sore hari menjelang malam
dan pada pagi hari dapat dilihat hasil tangkapannya. Pada biasanya ikan yang
mereka tangkap langsung mereka goreng. Jika jumlah tangkapannya relative banyak
maka sebagian dari ikan itu untuk dijual kepada orang lain, bahkan suku sakai
biasanya membarter ikan tangkapan dengan barang yang mereka perlukan.
- Sistem Religi Suku Sakai
Salah
satu ciri masyarakat Sakai adalah agama mereka yang bersifat animistik.
Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka
tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur
animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek
moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau
mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu
juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki
kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di
tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia. Akan tetapi
kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini
berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga
keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut ‘Antu, tidak lagi
menyelimuti kehidupan mereka. Hal ini terjadi akibat banyaknya pembukaan hutan
untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program
transmigrasi yang telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku
sakai.
- Sistem Kesenian Suku Sakai
Salah satu bentuk kesenian yang terdapat pada masyarakat suku Sakai adalah
tarian makan sirih atau tari persembahan, tari persembahan merupakan tarian
yang biasa dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu agung. Tari ini dibawakan
oleh 8 sampai 10 orang perempuan. Gerak tari persembahan sangat sederhana,
bertumpu pada gerakan tangan dan kaki. Gerakan menunduk sambil merapatkan
telapak tangan merupakan bentuk penghormatan kepada para tamu yang datang.
Para penari mengenakan baju yang biasa dipakai mempelai
perempuan, yaitu baju adat yang disebut dengan baju kurung teluk belanga.
Pada bagian kepala, terdapat mahkota yang dilengkapi dengan hiasan-hiasan
berbentuk bunga. Sementara, bagian bawah tubuh para penari dibalut oleh kain
songket berwarna cerah. Tari persembahan dipentaskan dengan iringan musik
Melayu yang bersumber dari perpaduan antara suara marwas, gendang, gambus, dan
lain sebagainya. Saat pertunjukan, salah satu penari dalam tari persembahan
akan membawa kotak yang berisi sirih. Sirih dalam kotak tersebut kemudian
dibuka dan tamu yang dianggap agung diberi kesempatan pertama untuk
mengambilnya sebagai bentuk penghormatan, kemudian diikuti oleh tamu yang lain.
Karenanya,
Selain itu, Dilingkungan masyarakat suku sakai masih
ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan
upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan
oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
- Upacara kematian
- Upacara kelahiran
- Upacara pernikahan
- Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan
lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa
alam diantaranya,
- Upacara menanam padi
- Upacara menyiang
- Upacara sorang sirih
- Upacara tolak bala.
Meski suku sakai sudah mulai modern, suku sakai masih
mengandalkan dukun untuk pengobatan, hal ini merupakan turun-temurun. Menurut,
suku sakai dukun sebagai dokter yang bisa mendiaknosa pasien yang dibantu oleh
arwah. Tetapi tidak sembarang orang bisa menjadi dukun, dibolehkan menjadi
dukun apabila telah mendapatkan wangsit atau dapat keturunan dari saudara
lelaki yang juga menuntut ilmu dari dukun lain.
Selama
melakukan pengobatan, pihak pasien juga membuat ritual diantara membuat
miniatur kapal yang di lengkapi bunga, burung tiruan dan menyalakan obor. Tapi
tidak selama miniatur kapal, terkadang sesuai dari pemintaan dari dukun. Dalam
pengobatan ini, dukun mengunakan atribut ikat kepala yang berwarna merah dan
selempang berwarna merah. Lalu dukun melakukan ritual, yaitu membaca mantra dan
berdiri mengambil campuran putih dan kuning untuk disebarkan keseluruh ruangan
selama 3 kali. Hal ini dilakukan sampai dukun menemukan jawaban tentang
penyakit pasien.Pengobatan ini dipercaya ampuh menyembuhkan penyakit pasien
sejak 100 tahun silam
- Rumah adat Suku Sakai
Ada
sebagaian orang sakai yang masih hidup berpindah-pindah, namun mereka tetap
memerlukan rumah untuk bertempat tinggal.mereka umumnya mendiami di hutan-hutan
dan bertempat tinggal dialiran sungai-sungai untuk mendirikan rumah. Rumah
menurut orang saki disebut dengan umah. Rumah atau umah orang sakai berbentuk
persegi panjang dan juga berbentuk panggung. Rumah orang sakai di buat dengan
berbentuk panggung karena untuk menghindari serangan hewan-hewan buas, seperti
gajah. Harimau, macan, ular, dan lain-lain. Bagi orang skai rumah atau umah
bukan hanya tempat berteduh yang nyaman dan tenang tetapi juga sebagai tempat
melakukan sebuah acar atau ritual keagamaan.
Rumah
orang sakai ini termasuk rumah yang sangat unik, karena dapat berdiri dengan
kokoh tanpa menggunakan paku. Hanya disambung dengan tali rotan. Keunikan
lainnya adalah mereka menggunakan kayu sebagai bahan utamanya seperti tiang dan
juga yang lain dengan cara kayu utuh.
Rumah orang sakai juga tergolong rumah yang
sederhana, hanya ada satu ruangan yang digunakan untuk serbaguna. Hanya
berkisar ukuran 4x6 saja. Lantai dan dindidngnya terbuat dari kulit kayu,
sedangkan atapnya terbuat dari jerami atau daun kelapa.
Meskipun rumah orang sakai terbilang unik dan
sederhana, namun rumah ini memiliki bebarapa fungsi bagi kehidupannya. Diantara
fungsi rumah bagi orang sakai adalah sebagai berikut; Tempat tinggal keluarga,
Tempat upacara adat, Tempat penyimpanan barang, Tempat kegiatan social.
Rika Romadhan
4423143928
UJP/A 2015
rikaromadhann@gmail.com
path:rika romadhan
informasinya bagus *two thumbs up*
ReplyDeleteNambah ilmu banget :)
ReplyDeleteBaru tau ada suku ini di Indonesia :)
ReplyDeleteNice info...
Makasih buat infonya :)
ReplyDeleteMakasih buat infonya :)
ReplyDeleteInformasinya bermanfaat bngt
ReplyDeleteInformasinya bermanfaat bngt
ReplyDeleteKeren Nih boleh akh sekali-sekali kesini :)
ReplyDelete