Monday, January 4, 2016

Tugas 5_Observasi Baduy_Sosok Perempuan Baduy

Assalamualaikum wr.wb
Tak kenal maka tak sayang. Kalau tidak kenal, gimana mau di sayang? Hehee…

Perkenalkan nama saya Hans Muhammad Gymnastiar. Saya adalah anak kedua dari 6 bersaudara (banyak ya heee). Saya lahir di Jakarta 3 November 1996, dan tahun ini saya akan berumur 20 tahun. Saya adalah mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Sejarah Program Studi Usaha Jasa Pariwisata. Tapi sekarang udah pisah dari Sejarah, jadinya berdiri sendiri deh hehee. Mungkin sedikit ya yang tau kalau di UNJ ada Pariwisata. UJP di UNJ sendiri bisa dibilang baru karena baru didirikan pada tahun 2003 dan saya adalah angkatan yang ke-11nya. Cukup sedikit perkenalan dari saya yaa..

Sekarang saya ingin bercerita tentang suku Baduy/Badui, disebut juga Urang Kanekes/Orang Kanekes. Mereka adalah salah satu Suku di Indonesia yang berada di Kabupaten Lebak, Banten dan terbagi menjadi dua kelompok yaitu Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka merupakan salah satu suku unik yang terisolasi dari dunia luar, menjaga hidup yang tradisional, tidak mengenal sekolah dan tidak menggunakan listrik di dalam desanya. Mereka sangat memegang teguh adat-istiadat yang telah turun temurun ada di adat mereka.

Pada kesempatan kali ini saya akan lebih  memfokuskan bahasan saya tentang sosok perempuan suku Baduy/Urang Kanekes. Mungkin kesan pertama apabila melihat perempuan Baduy adalah mereka merupakan perempuan yang rajin, mandiri, ramah tamah dan lainnya. Itu juga yang saya rasakan pada saat kemarin melakukan observasi disana pada tanggal 22 - 24 Desember lalu bersama dengan teman - teman satu angkatan saya. Walaupun begitu, sosok perempuan di Baduy sangat dihormati dan mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan laki – laki di dalam suku Baduy.

Kesan paling pertama saat saya berjumpa dengan perempuan Baduy adalah melihat pakaian yang mereka kenakan, maka dari itu pertama - tama saya ingin membahas pakaian yang digunakan sehari – hari oleh perempuan Baduy. Pakaian yang dikenakan perempuan Baduy mulai dari perempuan yang masih anak – anak maupun yang sudah dewasa sama dan bisa dibilang sangat sederhana juga tidak menampilkan perbedaan yang mencolok diantara wanita Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Model dan potongan pakaiannya sama. Untuk Baduy Dalam menggunakan warna baju putih dan Baduy Luar warnanya hitam. Mereka juga menggunakan kain sarung yang berwarna biru kehitam – hitaman untuk pakaian sehari – harinya. Untuk pakaian yang mereka pakai sehari – hari itupun mereka buat sendiri dengan cara menenun. Seluruh pakaian dari orang Baduy merupakan hasil tenunan dari perempuan – perempuan Baduy.
Pakaian Perempuan Baduy Luar
Pakaian Perempuan Baduy Dalam

Wanita Baduy yang diwawancarai sementara ia sedang menenun


Walaupun seorang wanita, sosok perempuan di Baduy memiliki peran yang khas dan tidak boleh dilakukan oleh pria. Maka dari itu sosok pria dan wanita Baduy mempunyai peran yang sama penting dan tidak ada yang mendominasi. Ada beberapa konsep yang menjadi  acuan kesetaraan gender di suku Baduy.

Yang pertama konsep Ambu, kata Ambu dalam bahasa Baduy diartikan sebagai Ibu/Istri dan dalam lingkup lebih besar dapat diartikan alam semesta. Fungsi dan peran Ambu dalam masyarakat Baduy sangat dihormati karena mempunyai peran sebagai pemelihara, pengayom, dan pelindung. Dalam kesehariannya pun Ibu mempunyai dua peran yaitu peran dirumah dan diladang. Dirumah tangga, Ambu sebagai seorang ibu dan istri yang melayani keluarga dengan sepenuh hati dan mengabdikan hari – harinya untuk keluarga. Diladang, Ibu mempunyai peran menjaga dan memelihara padi. Oleh karena itu wanita ditempatkan dalam posisi yang lebih terhormat.

Kedua ada konsep Nyi Pohaci, sebutan lengkapnya Nyi Pohaci Sang Hyang Asri atau kadang disingkat Nyi Sri. Nyi Pohaci sama dengan Dewi Sri pada masyarakat  Jawa yang berkaitan erat dengan kegiatan pertanian sawah (padi). Dianggap sebagai sumber penghidupan dan dalam ungkapan Baduy mengatakan “hirup turun tinu rahayu, hurip lalarn pohaci”  yang berarti “hidup berasal dari Tuhan, kehidupan berasal dari Pohaci”. Padi merupakan sumber penghidupan  dan dianggap suci dalam masyarakat Baduy karena seluruh masyarakat Baduy bermata pencaharian utamanya berladang menanam padi. Seluruh kegiatan mulai dari menanam, memelihara dan memanen padi harus dilakukan dengan perilaku yang terbaik dan terpuji. Setelah selesai memanen padi,  masyarakat  Baduy mengadakan upacara adat kawalu untuk menyambut datangnya padi dari ladang ke lumbung padi (tempat menyimpan padi) dan mereka melaksanakan puasa pada tanggal yang telah ditentukan untuk melambangkan penghormatan, penghargaan, dan rasa syukur kepada Nyi Pohaci. Padi yang melambangkan Nyi Pohaci tersebut menyiratkan bahwa wanita merupakan sosok yang harus di hormati, di junjung, dan diperlakukan sebaik mungkin sebagaimana masyarakat Baduy berperilaku baik dalam menanam, memelihara dan memanen padi.

Yang terakhir adalah konsep keseimbangan. Konsep ini tidak hanya berfokus pada wanita saja, tetapi juga pada pria. Tidak ada yang mendominasi sehingga pria dan wanita Baduy selalu hidup sejajar dan harmonis. Dalam kehidupan kesukuan mereka, wanita (istri) merupakan syarat mutlak seorang pemipin. Wanita dianggap sebagai penyeimbang seorang pemimpin kesukuan.

Kegiatan orang Baduy sebagian besar berkaitan dengan padi. Setiap waganya diwajibkan bekerja di ladang baik pria maupun wanita dan tidak ada pembedaan yang tegas diantaranya. Wanita Baduy mempunyai peran yang penting dalam rangkaian ritual ngaseuk, mipit, nganyar, dan ngalaksa. Itu merupakan kegiatan upacara yang berkaitan dengan padi. Didalam ritual tersebut wanita mempunyai peran penting tidak kalah dalam peran pria. Upacara-upacara yang berkaitan dengan padi itu harus dilakukan oleh wanita dan tidak boleh dilaksanakan oleh pria. Menurut keyakinan orang Baduy, upacara seperti ngaseuk, mipit, nganyaran dan ngalaksa merupakan kegiatan yang terpenting dan bermakna paling sakral. Dalam melaksanakan ritual tersebut menunjukan bahwa wanita merupakan suatu kehormatan dan ketinggian derajat wanita Baduy.

Seluruh konsep diatas menunjukan betapa pentingnya sosok perempuan Baduy dan tidak kalah pentingnya dengan pria – pria Baduy. Diibaratkan seperti pentingnya padi untuk penghidupan manusia, wanita dan pria di Baduy menunjukan keharmonisan dan kesetaraan diantara keduanya.
                Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan menambah ilmu untuk siapa saja yang membaca yaaJ Aminn…



Referensi:



Hans Muhammad Gymnastiar
4423143968
UJP A 2014
Universitas Negeri Jakarta

9 comments:

  1. Tak kenal maka ta'aruf kenalin nama saya tasha siti nabila saya ank d3 tatarias unj 2015.menarik ya tulisan di blog ini sangat bermanfaat sekali utk mengenali budaya indonesia buat kita

    ReplyDelete
  2. Bloggernya keren, tulisannya keren. Bikin tambah wawasan dan mengenal berbagai macam ragam suku di Indonesia

    ReplyDelete
  3. Menarik, memberikan pengetahuan budaya indonesia

    ReplyDelete
  4. Lumayan nih buat nambah wawasan tentang budaya indonesia makasih yaaa

    ReplyDelete
  5. Sangat menarik pembahasan tentang baduy ini. Sangat tertarik untuk kesana. Makasih infonyaaaa

    ReplyDelete