Assalamualaikum wr.wb
Tak kenal maka tak sayang. Kalau tidak kenal, gimana mau di
sayang? Hehee…
Perkenalkan nama saya Hans
Muhammad Gymnastiar. Saya adalah anak kedua dari 6 bersaudara (banyak ya heee).
Saya lahir di Jakarta 3 November 1996, dan tahun ini saya akan berumur 20
tahun. Saya adalah mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Sejarah Program
Studi Usaha Jasa Pariwisata. Tapi sekarang udah pisah dari Sejarah, jadinya
berdiri sendiri deh hehee. Mungkin sedikit ya yang tau kalau di UNJ ada Pariwisata.
UJP di UNJ sendiri bisa dibilang baru karena baru didirikan pada tahun 2003 dan
saya adalah angkatan yang ke-11nya. Cukup sedikit perkenalan dari saya yaa..
Sekarang saya ingin bercerita tentang
suku Baduy/Badui, disebut juga Urang Kanekes/Orang Kanekes. Mereka adalah salah
satu Suku di Indonesia yang berada di Kabupaten Lebak, Banten dan terbagi
menjadi dua kelompok yaitu Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka merupakan
salah satu suku unik yang terisolasi dari dunia luar, menjaga hidup yang
tradisional, tidak mengenal sekolah dan tidak menggunakan listrik di dalam
desanya. Mereka sangat memegang teguh adat-istiadat yang telah turun temurun
ada di adat mereka.
Pada kesempatan kali ini saya
akan lebih memfokuskan bahasan saya
tentang sosok perempuan suku Baduy/Urang Kanekes. Mungkin kesan pertama apabila
melihat perempuan Baduy adalah mereka merupakan perempuan yang rajin, mandiri,
ramah tamah dan lainnya. Itu juga yang saya rasakan pada saat kemarin melakukan observasi disana pada tanggal 22 - 24 Desember lalu bersama dengan teman - teman satu angkatan saya. Walaupun begitu, sosok perempuan di Baduy
sangat dihormati dan mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan laki –
laki di dalam suku Baduy.
Kesan paling pertama saat saya berjumpa
dengan perempuan Baduy adalah melihat pakaian yang mereka kenakan, maka
dari itu pertama - tama saya ingin membahas pakaian yang digunakan sehari – hari oleh
perempuan Baduy. Pakaian yang dikenakan perempuan Baduy mulai dari perempuan
yang masih anak – anak maupun yang sudah dewasa sama dan bisa dibilang sangat
sederhana juga tidak menampilkan perbedaan yang mencolok diantara wanita Baduy
Dalam maupun Baduy Luar. Model dan potongan pakaiannya sama. Untuk Baduy Dalam
menggunakan warna baju putih dan Baduy Luar warnanya hitam. Mereka juga
menggunakan kain sarung yang berwarna biru kehitam – hitaman untuk pakaian
sehari – harinya. Untuk pakaian yang mereka pakai sehari – hari itupun mereka
buat sendiri dengan cara menenun. Seluruh pakaian dari orang Baduy merupakan
hasil tenunan dari perempuan – perempuan Baduy.
Pakaian Perempuan Baduy Luar |
Pakaian Perempuan Baduy Dalam |
Wanita Baduy yang diwawancarai sementara ia sedang menenun |
Walaupun seorang wanita, sosok
perempuan di Baduy memiliki peran yang khas dan tidak boleh dilakukan oleh
pria. Maka dari itu sosok pria dan wanita Baduy mempunyai peran yang sama
penting dan tidak ada yang mendominasi. Ada beberapa konsep yang menjadi acuan kesetaraan gender di suku Baduy.
Yang pertama konsep Ambu, kata Ambu dalam bahasa Baduy
diartikan sebagai Ibu/Istri dan dalam lingkup lebih besar dapat diartikan alam
semesta. Fungsi dan peran Ambu dalam masyarakat Baduy sangat dihormati karena
mempunyai peran sebagai pemelihara, pengayom, dan pelindung. Dalam
kesehariannya pun Ibu mempunyai dua peran yaitu peran dirumah dan diladang.
Dirumah tangga, Ambu sebagai seorang ibu dan istri yang melayani keluarga dengan
sepenuh hati dan mengabdikan hari – harinya untuk keluarga. Diladang, Ibu
mempunyai peran menjaga dan memelihara padi. Oleh karena itu wanita ditempatkan
dalam posisi yang lebih terhormat.
Kedua ada konsep Nyi Pohaci, sebutan lengkapnya Nyi Pohaci
Sang Hyang Asri atau kadang disingkat Nyi Sri. Nyi Pohaci sama dengan Dewi Sri
pada masyarakat Jawa yang berkaitan erat
dengan kegiatan pertanian sawah (padi). Dianggap sebagai sumber penghidupan dan
dalam ungkapan Baduy mengatakan “hirup
turun tinu rahayu, hurip lalarn pohaci” yang berarti “hidup berasal dari Tuhan,
kehidupan berasal dari Pohaci”. Padi merupakan sumber penghidupan dan dianggap suci dalam masyarakat Baduy
karena seluruh masyarakat Baduy bermata pencaharian utamanya berladang menanam
padi. Seluruh kegiatan mulai dari menanam, memelihara dan memanen padi harus
dilakukan dengan perilaku yang terbaik dan terpuji. Setelah selesai memanen
padi, masyarakat Baduy mengadakan upacara adat kawalu untuk menyambut datangnya padi
dari ladang ke lumbung padi (tempat menyimpan padi) dan mereka melaksanakan
puasa pada tanggal yang telah ditentukan untuk melambangkan penghormatan,
penghargaan, dan rasa syukur kepada Nyi Pohaci. Padi yang melambangkan Nyi
Pohaci tersebut menyiratkan bahwa wanita merupakan sosok yang harus di hormati,
di junjung, dan diperlakukan sebaik mungkin sebagaimana masyarakat Baduy
berperilaku baik dalam menanam, memelihara dan memanen padi.
Yang terakhir adalah konsep keseimbangan. Konsep ini tidak
hanya berfokus pada wanita saja, tetapi juga pada pria. Tidak ada yang
mendominasi sehingga pria dan wanita Baduy selalu hidup sejajar dan harmonis.
Dalam kehidupan kesukuan mereka, wanita (istri) merupakan syarat mutlak seorang
pemipin. Wanita dianggap sebagai penyeimbang seorang pemimpin kesukuan.
Kegiatan orang Baduy sebagian
besar berkaitan dengan padi. Setiap waganya diwajibkan bekerja di ladang baik
pria maupun wanita dan tidak ada pembedaan yang tegas diantaranya. Wanita Baduy
mempunyai peran yang penting dalam rangkaian ritual ngaseuk, mipit, nganyar,
dan ngalaksa. Itu merupakan kegiatan upacara yang berkaitan dengan
padi. Didalam ritual tersebut wanita mempunyai peran penting tidak kalah dalam
peran pria. Upacara-upacara yang berkaitan dengan padi itu harus dilakukan oleh
wanita dan tidak boleh dilaksanakan oleh pria. Menurut keyakinan orang Baduy,
upacara seperti ngaseuk, mipit, nganyaran dan ngalaksa merupakan
kegiatan yang terpenting dan bermakna paling sakral. Dalam melaksanakan ritual
tersebut menunjukan bahwa wanita merupakan suatu kehormatan dan ketinggian
derajat wanita Baduy.
Seluruh konsep diatas menunjukan
betapa pentingnya sosok perempuan Baduy dan tidak kalah pentingnya dengan pria
– pria Baduy. Diibaratkan seperti pentingnya padi untuk penghidupan manusia,
wanita dan pria di Baduy menunjukan keharmonisan dan kesetaraan diantara
keduanya.
Semoga
tulisan ini bisa bermanfaat dan menambah ilmu untuk siapa saja yang membaca yaaJ Aminn…
Referensi:
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjh28jHzovKAhXBTY4KHaYeBpoQFgg8MAg&url=http%3A%2F%2Fejurnal.esaunggul.ac.id%2Findex.php%2FLex%2Farticle%2Fdownload%2F252%2F229&usg=AFQjCNEZkEDG8GaCZFN48HS9RLyv2zpA0g
diakses pada 2 Januari 2016 pukul 19.50
http://kumeokmemehdipacok.blogspot.co.id/2014/01/pakaian-adat-perempuan-baduy.html
diakses pada 2 Januari 2016 pukul 17.33
Hans Muhammad Gymnastiar
4423143968
UJP A 2014
Universitas Negeri Jakarta
Tak kenal maka ta'aruf kenalin nama saya tasha siti nabila saya ank d3 tatarias unj 2015.menarik ya tulisan di blog ini sangat bermanfaat sekali utk mengenali budaya indonesia buat kita
ReplyDeleteMenarik👍👍
ReplyDeleteGood(y)
ReplyDeleteBloggernya keren, tulisannya keren. Bikin tambah wawasan dan mengenal berbagai macam ragam suku di Indonesia
ReplyDeleteCukup bagus
ReplyDeleteMenarik, memberikan pengetahuan budaya indonesia
ReplyDeleteLumayan nih buat nambah wawasan tentang budaya indonesia makasih yaaa
ReplyDeleteSangat menarik pembahasan tentang baduy ini. Sangat tertarik untuk kesana. Makasih infonyaaaa
ReplyDeleteCukup menambah wawasan...
ReplyDeleteKerennn