Sunday, January 3, 2016

T3_ Sabilah Ulfa Harnum_Pariwisata Sejarah dan Budaya Indonesia


Pariwisata Sejarah dan Budaya Indonesia
Wisata sejarah dan Budaya di kota Yogyakarta

Semangat pagi semua, Assalamualaikum Wr. Wb salam hangat termanis untuk semua pembaca.  perkenankan saya untuk memperkenalkan diri nama saya Sabilah Ulfa Harnum mahasiswi yang Alhamdulillah sampai saat ini masih aktif  belajar di jurusan Usaha Jasa Pariwisata UNJ semester 3.pada kesempatan kali ini saya akan membahas tenteng sebuah kota yang sangat istimewa, kota yang sarat dengan objek wisata budaya dan sejarahnya.
Yogyakarta adalah salah satu kota terbesar di Indonesia,selain kota terbesar ,Yogyakarta juga menjadi salah satu kota tersibuk di Indonesia. Berbicara tentang Yogyakarta yang terbersit di benak kita adalah keragaman budaya serta sejarahnya yang menarik dan unik untuk dipelajari, ya memang tidak salah dalam materi kali ini saya akan menceritakan tentang wisata sejarah dan budaya  di kota yang biasa disebut dengan kota budaya. Yogyakarta adalah kota yang biasa disebut kota budaya mengapa demikian? Tidak perlu diragukan lagi jika sejarah kebudayaan Yogyakarta tetap lestari hingga kini. Warisan nenek moyang masih tetap bisa disaksikan di kota Istimewa ini seperti Candi Prambanan yang merupakan peninggalan kerajaan Mataram kuno. Kesultanan Ngayogyakarta juga masih tetap dipertahankan sampai sekarang sehingga membuat warisan budaya tidak akan hilang.sebelum saya menceritakan wisata sejarahnya. Saya akan menceritakan terlebih dahulu tentang asal usul nama Yogyakarta,ternyata selain kebudayaan yang menarik asal usul namanya pun cukup unik, Nama Yogyakarta terambil dari dua kata, yaitu Ayogya atau '''Ayodhya''' yang berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik". Ayodhya merupakan kota yang bersejarah di India dimana wiracarita Ramayana terjadi. Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya.mungkin banyak yang belum tahu bahwa dahulu Yogyakarta bukan merupakan sebuah daerah atau kota melainkan sebagai sebuah Negara bagian atau kerajaan tersendiri.yogyakarta memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Objek wisata di Yogyakarta bukan hanya terkenal seantero Indonesia, namun juga sudah terkenal di seluruh dunia, maka dari itu tidak sulit untuk menemukan wisatawan mancanegara di kota istimewa ini.mungkin sudah menjadi rahasia umum untuk setiap wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke kota ini selain ke kota bali tentunya.kali ini saya akan mengajak pembaca untuk mengetahui objek wisata bersejarah seperti candi prambanan, keraton Yogyakarta,goa jomblang dan objek wisata lain disekitarnya.
A. Keraton Yogyakarta
Objek wisata pertama adalah keraton Yogyakarta,keraton Yogyakarta berada di pusat kota Yogyakarta dekat dengan alun-alun kota. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO. Tata ruang dan arsitektur umum keratin Yogyakarta, Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).keraton Yogyakarta dibagi menjadi beberapa bagian komplek, seperti komplek depan terdiri dari Gladhag-Pangurakan Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan  yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan atau pembuangan. Di komplek bagian depan juga ada objek wisata yang unik yang sangat diminati oleh kaum muda yaitu alun-alun lor,alun-alun lora dalah sebuah padang rumput yang cukup luas pada zaman dahulu namun sekarang sedikit menyempit karena ada pelebaran jalan, nah di dalam alun-alun ini terdapat sepasang pohon beringin yang sangat besar dan diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran atau Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem  yang boleh melewati atau berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Pegawai  atau abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil. Selain itu ada juga mitos lain yang berkembang yaitu anda bisa berjalan diantara dua beringin kembar ini Syarat untuk melakukan kegiatan ini hanya satu, yaitu Anda tidak boleh curang atau mengintip sambil melewati celah di antara kedua pohon beringin itu. Jarak yang harus Anda lewati sekitar 10-20 meter saja. Jika mengintip, maka dipercaya Anda akan dihantui oleh hal-hal gaib.Meski dianggap mudah, tidak sedikit wisatawan gagal melewati celah pohon beringin kembar itu. Mitosnya, jika Anda dapat melewatinya, maka konon rezeki dan hidup Anda akan sukses. Jika tidak berhasil, berarti Anda belum memiliki hati yang bersih.Kegiatan ini dapat Anda lakukan pada siang atau malam hari. Akan tetapi, wisatawan gemar melakukannya pada malam hari karena suasana dan atmosfirnya yang berbeda. Anda dapat menyewa penutup mata seharga Rp 3.000 saja yang biasanya disewakan oleh orang setempat. Ingat, jangan curang!.
masih dalam komplek keraton ada lagi objek wisata yang pastinya tidak boleh terlewatkan untuk dikunjungi, yaitu Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta. Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Pada masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.mungkin juga banyak yang belum tahu apa perbedaan keraton Yogyakarta dengan keraton-keraton lain di nusantara, Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta dibangun bukan hanya sebagai tempat tinggal sultan pada zaman dahulu saja, pembangunan keraton ini juga mempunyai makna filosofis yang tinggi, yang menarik adalah bahkan  pohon beringin yang dibangun disekitar halaman istana pun mempunyai makna filosofi tersendiri, Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem" (damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan).  sungguh objek wisata yang sangat menarik dan patut untuk dikunjungi.
                Untuk tempat makan diarea wilayah keraton ada sebuah restoran yang sangat unik yaitu bernama “Bela Raos”. Bela raos mulai beroperasi sejak 23 januari 2004, tujuan didirakannya tempat makan ini adalah agar masyarakat umum dapat mengetahui dan menikmati aneka kekayaan kuliner khas dari keraton Yogyakarta, makanan yang disajikan pun makanan yang merupakan kesukaan sultan pada zaman dahulu.
Selain melihat-lihat objek wisata sejarah keraton Yogyakarta, kita juga bisa melihat wisata budaya yang ada di sekitar keraton, warisan budaya yang sangat bernilai untuk masyarakat Yogyakarta dan terus dikembangkan hingga detik ini. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing. Warisan budaya itu antara lain:
  • ·         Tumplak Wajik
Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.
  • ·         Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.

  • ·         Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan secara bergantian menandai perayaan sekaten.Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang dia tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil dia masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

  • ·         Upacara Siraman atau Jamasan Pusaka
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan  yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan. Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun.

  • ·         Labuhan
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di larung (dihanyutkan). Anda pasti mengenal kan sosok mbah marijan? Nah jika anda mengenal sosok beliau, beliau adalah sosok yang sangat berjasa bagi kelangsungan upacara adat labuhan, apabila upacara adat labuhan sedang diadakan di lereng gunung merapi maka mbah marijan selaku juru kunci gunung merapi yang  memimpin upacara adat tersebut, sedangkan jika sedang diadakan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo.
Untuk akses menuju keraton Yogyakarta sangat mudah karena lokasinya tepat di jantung kota Yogyakarta atau dekat dengan alun-alun kota, kita bisa menggunakan bis umum dengan tariff hanya sebesar 3.000 rupiah, jam buka objek ini dibuka setiap hari kecuali jika adat upacara adat, Dibuka mulai pukul 08.30 - 14.00 kecuali hari Jumat hanya sampai pukul 13.00.

B. Museum Sonobudoyo
                Objek wisata bersejarah yang kedua adalah museum Sonobudoyo, museum ini letaknya dekat dengan keraton Yogyakarta anda hanya perlu menggunakan kendaraan seperti transjogja ataupun becak kendaraan khas jogja. Museum Sonobudoyo adalah museum sejarah dan kebudayaan Jawa, termasuk bangunan arsitektur klasik Jawa. Museum ini menyimpan koleksi mengenai budaya dan sejarah Jawa yang dianggap paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Selain keramik pada zaman Neolitik dan patung perunggu dari abad ke-8, museum ini juga menyimpan beberapa macam bentuk wayang kulit, berbagai senjata kuno (termasuk keris), dan topeng Jawa.Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit. Museum Sonobudoyo Unit I terletak di Jalan Pangurakan No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di nDalem Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.Museum yang terletak di bagian utara Alun-alon Lor dari kraton Yogyakarta itu pada malam hari juga menampilkan pertunjukkan wayang kulit dalam bentuk penampilan aslinya (dengan menggunakan bahasa Jawa diiringi dengan musik gamelan Jawa). Pertunjukan wayang kulit ini disajikan secara ringkas dari jam 08.00-10.00 malam pada hari kerja untuk para turis asing maupun turis domestik.
                Sejarah dari museum ini tidak terlepas dari keraton Yogyakarta, Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta. Pada tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun 1931 dengan anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg. Bangunan museum menggunakan tanah bekas “Shouten” tanah hadiah dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan ditandai dengan sengkalan candrasengkala “Buta ngrasa estining lata” yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masehi. Sedangkan peresmian dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada hari Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan ditandai candra sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha” yang berarti tahun Jawa atau tepatnya tanggal 6  Nopember 1935 tahun Masehi. Pada masa pendudukan Jepang Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran). Di jaman Kemerdekaan kemudian dikelola oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke Pemerintah Pusat / Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Otonomi Daerah. Museum Sonobudoyo mulai Januari 2001 bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY diusulkan menjadi UPTD Perda No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang pembentukan dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah dilingkungan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan SK Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl. 4 Nopember tentang TU – Poksi.Pada tanggal 6 November 1935 Masehi diresmikan dan dibuka untuk umum dengan ditandai candrasengkala Kayu Winayangan ing Brahaman Budha yang menunjukan 9 Ruwah 1866 Jawa. Sedangkan nama museum bernama Museum Sonobudoyo, sono berarti tempat dan budoyo berarti budaya.Pada tahun 1939 ntuk menunjang dan melengkapi usaha dari Java Instituut maka dibukalah Sekolah Kerajinan Seni Ukir atau Kunstambacht School.
Museum ini dilengkapi dengan berbagai macam koleksi, bisa dibilang museum ini adalah museum terlengkap yang ada di kota jogja karena terdiri dari Koleksi Numismatik dan Heraldik, Koleksi Filologi, Koleksi Keramologika, Koleksi, Seni rupa, Koleksi Teknologi, Koleksi Geologi , Koleksi Biologi, Koleksi Arkeologi, Koleksi Etnografi, Koleksi Historika. Jam kunjungan museum selasa-kamis pukul 08.00-15.30 wib, jumat 08.00-14.00, sabtu dan minggu 08.00-15.30 sedangkan untuk pagelaran wayang senin-sabtu 20.00-22.00
Tiket masuk museum sendiri yaitu berkisar 3.000 rupiah untuk dewasa dan 2.500 rupiah untuk anak-anak, serta 5.000 rupiah untuk wisatawan asing sedangkan untuk pagelaran wayang dipatok harga 20.000 rupiah, sangat murah bukan.
Disekitar museum sonobudoyo ada tempat makan yang sudah terkenal oleh wisatawan domestic maupun mancanegara, menurut para penggemar kuliner jogja tidak lengkap rasanya jika mengunjungi jogja tanpa mampir ke tempat makan ini, tempat makan ini bernama angkringan gareng pethruk, seperti angkringan pada umumnya angkringan gareng pethruk mempunyai makanan khas seperti nasi kucing dan berbagai macam sate, namun makanan yang menjadi andalan dari angkringan ini adalah nasi bakarnya Ketika dibuka, isi nasi bungkus daun pisang tersebut pun segera diketahui. Irirsan telur dadar, kering tempe, dan suwiran ayam pedas menjadi lauk isian dari nasi bungkus tersebut. Sangat unik dan lezat. Dengan ukuran porsi yang tak kecil membuat menu nasi bungkus ini menjadi santapan yang mengenyangkan. Tidak sulit untuk menemukan angkringan ini karena letaknya yang strategis dan dipenuhi dengan atribut tradisional khas kota jogja. Buka setiap hari mulai pukul 17.00-23.00 wib.

C. Jalan Malioboro
Sudah puas mengunjungi objek wisata yang bersejarah beserta warisan budanyanya? Kalau belum, saya akan mengajak anda lagi untuk berwisata objek wisata kali ini bukan hanya terkenal dengan sejarahnya saja tapi juga terkenal dengan tempat berbelanjanya. Malioboro, Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.Pada tanggal 20 Desember 2013, pukul 10.30 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo. Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan.
Sejarah malioboro, Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. itu mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka jalan malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. pendirian jalan malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan).Perwujudan awal yang merupakan bagian dari konsep kota di Jawa, Jalan malioboro ditata sebagai sumbu imaginer utara-selatan yang berkorelasi dengan Keraton ke Gunung merapi di bagian utara dan laut Selatan sebagai simbol supranatural. Di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu terganggu oleh Belanda yang membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan Malioboro. Selain membangun benteng belanda juga membangun Dutch Club (1822), the Dutch Governor’s Residence (1830), Java Bank dan kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta. Perkembangan pesat terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdaganagan antara orang belanda dengan orang cina. Dan juga disebabkan adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat cina dan kemudian dikenal sebagagai Distrik Cina.
Perkembangan pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti pembangunan stasiun utama (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan Malioboro memiliki peranan penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang Indonesia berjuang untuk membela kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi Utara-Selatan sepanjang jalan.Sekarang ini merupakan jalan pusat kawasan wisatawan terbesar di Yogyakarta, dengan sejarah arsitektur kolonial Belanda yang dicampur dengan kawasan komersial Cina dan kontemporer. Trotoar di kedua sisi jalan penuh sesak dengan warung-warung kecil yang menjual berbagai macam barang dagangan. Di malam hari beberapa restoran terbuka, disebut lesehan, beroperasi sepanjang jalan. Jalan itu selama bertahun-tahun menjadi jalan dua arah, tetapi pada 1980-an telah menjadi salah satu arah saja, dari jalur kereta api ke selatan sampai Pasar Beringharjo. Hotel jaman Belanda terbesar dan tertua jaman itu, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan di sisi Timur, berdekatan dengan jalur kereta api. Juga terdapat rumah kompleks bekas era Belanda, Perdana Menteri, kepatihan yang kini telah menjadi kantor pemerintah provinsi.Malioboro juga menjadi sejarah perkembangan seni sastra Indonesia. Dalam Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku tersebut, buku yang berisi 110 penyair yang pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad. Pada tahun 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya Jogjakarta. Jalan Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para “seniman jalanan” dengan pusatnya gedung Senisono. Namun daya hidup seni jalanan ini akhirnya terhenti pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.
Karena banyaknya objek wisata yang menarik di Yogyakarta maka penginapan di kota ini pun membludak, namun saya mempunyai satu rekomendasi tempat menginap yang nyaman namun tetap murah meriah dan letaknya di pusat kota, Tetap irit meski menginap di hotel. Whiz Hotel Yogyakarta cocok bagi kamu yang ingin berlibur dengan bujet murah tapi tetap mendapatkan fasilitas lengkap ala hotel. Dengan tarif  minimum sekitar Rp350.000 per malam, anda sudah bisa menikmati kamar hotel dengan desain minimalis modern di kawasan pusat kota. Whiz Hotel Yogyakarta terletak di pusat kota Jogja, tepatnya di kawasan Malioboro. Kamu bisa dengan mudah menikmati suasana khas Malioboro, seperti Malioboro Mall yang hanya berjarak 100 meter, atau kamu juga bisa mampir ke Pasar Beringharjo atau Museum Benteng Vredeburg yang berjarak 600 meter. Jangan lupa beli oleh-oleh di pusat jajanan Bakpia Pathuk yang hanya berjarak 700 meter.
Fasilitas yang dimiliki oleh Whiz Hotel Yogyakarta memiliki 100 kamar. Setiap kamarnya dialasi oleh lantai kayu dan beberapa kamar memiliki jendela kedap suara. Kamu juga bisa menikmati berbagai fasilitas di Whiz Hotel Yogyakarta, seperti WiFi gratis, TV kabel, lift, hingga kamar mandi dengan shower. Area parkir yang luas pun semakin memudahkan kamu yang membawa kendaraan pribadi.

 KERATON YOGYAKARTA    JALAN MALIOBORO
   













·         http://www.sonobudoyo.com/id

Sabilah Ulfa Harnum
4423143947
sabilah.ulfa@gmail.com
·          

1 comment:

  1. Recomended banget nih,kalo bisa di tambah lagi referensi lainnya di yogyakarta :)

    ReplyDelete