Kaya dengan ragam budaya, alam, sejarah, dan nilai-nilai luhur, Indonesia berpotensi berperan sebagai objek destinasi wisata internasional. Salah satunya Suku Bajo, suku pelaut yang kaya akan budaya dan kemasyarakat dan unik di lautan, maupun suku-suku dan budaya lain di Sulawesi Tenggara.
Sulawesi
Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam bahasa
Inggris: Celebes)
adalah sebuah pulau
dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di
sebelah barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur. Dengan luas wilayah
sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia.
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara
adalah sebuah provinsi di Indonesia
yang beribukotakan Kendari. Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah
Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa
KEBUDAYAAN DI SULAWESI TENGGARA
1.1. Suku Bajo
Beberapa suku Bajo mendiami wilayah Sulawesi
Tenggara. Saat ini penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sekitar 1,8 juta
orang. Selain suku Bugis dan para pendatang dari Bali and
Jawa yang datang sejak beberapa tahun yang lalu, ada 5 suku bangsa yang hidup
di sebagian wilayah ini: Suku Tolaki, Suku Moronene, Suku Buton, Suku Muna (biasa disebut 'Wuna') dan Suku Bajo.
Dalam berbagai catatan peneliti
diketahui, Orang Bajo telah menempati hampir semua pesisir pantai di Indonesia
sejak ratusan tahun silam. Bahkan menurut Prof.DR.Edward L. Poelinggomang,
Orang Bajo sejak berabad lalu sudah ditemukan di pesisir pantai pulau-pulau
yang ada di Laut Cina Selatan. Akan tetapi dalam sejumlah penelitian yang
dilakukan terhadap komunitas Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Indonesia,
diketahui mereka umumnya memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa Bajo yang
digunakan sebagai bahasa percakapan dalam keluarga sehari-hari. Bahasa yang
digunakan pun saling dipahami antarkomunitas Bajo yang ada di pesisir pulau
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan pesisir
Papua. Bahkan terdapat ada kesamaan
dengan bahasa Tagalog, Filipina.
Walaupun
suku Bajo tersebar dengan cakupan yang sangat luas, dikatakan orang Bajo tetap
memikirkan suatu moment dimana mereka
dapat berkumpul. Pertemuan itu diadakan dalam suatu acara bernama Festival Suku
Bajo dalam rangka menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pengenalan
beragam seni dan budaya etnik di Nusantara. Pertemuan ini pertama kali diakan
tahun 2009. Suku Bajo tidak memiliki wilayah teritorial etnik seperti etnik
lainnya di Indonesia. Namun sejak ratusan tahun lalu etnik Bajo ini dapat
menjadikan setiap wilayah pesisir di Nusantara sebagai tanah air mereka, dapat
menyesuaikan diri dengan adat budaya masyarakat dimana mereka berada. Dan, di
seluruh Indonesia mereka dapat diterima untuk hidup berdampingan dengan etnik
lainnya, saling kerjasama sebagai warga Negara Indonesia dengan tetap
memelihara tradisi, adat dan budaya Suku Bajo.
Kemasyarakatan Desa Bangko, salah
satu pemukiman Suku Bajo di Sulawesi Tenggara
Sebuah permukiman Suku Bajo yang masih
tradisional terdapat di Desa Bangko, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara. Desa ini berada di sebelah barat Pulau Muna, yang secara
administratif wilayahnya mencakup daratan dan lautan. Permukiman di Desa Bangko
dibangun diatas laut, yang berjarak kurang lebih 600 meter dari mainland
(pulau Muna), sehingga nampak seolah-olah sebagai permukiman terapung. Diantara
banyaknya permukiman Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, Desa Bangko merupakan
salah satu desa Suku Bajo yang masih tetap mempertahankan tradisi bermukim
diatas laut hingga saat ini, sementara permukiman Suku Bajo lainnya pada
umumnya telah tinggal menetap di tepi pantai atau sudah membangun rumah diatas
daratan.
Desa Bangko merupakan tempat dimana
kita bisa menyaksikan kehidupan masyarakat adat yang hidup secara tradisional.
Sajian pemandangan alam disekitar kawasan Desa Bangko yang indah, juga menambah
alasan untuk memasukkan Desa Bangko sebagai salah satu destinasi wisata menarik
yang perlu anda kunjungi.
Permukiman Desa Bangko
SEJARAH
Nama Desa Bangko diambil dari nama
sebuah pulau di dekat permukiman ini dibangun, yaitu Pulau Bangko. Bangko dalam
bahasa Bajo sendiri berarti Bakau (Mangrove). Penamaan Pulau tersebut sebagai
Pulau Bangko sebab pulau tersebut ditutupi oleh vegetasi mangrove (R.mucronata)
dengan presentase 95%. Namun saat ini masyarakat daratan maupun Suku Bajo
lainnya telah terbiasa menyebut Desa Bangko ini dengan sebutan Pulau Bangko.
Menurut tokoh masyarakat di Desa
Bangko (Haji Baharuddin, 2010) bahwa sejarah Suku Bajo yang ada di Desa Bangko
berasal dari Gowa di Propinsi Sulawesi Selatan, yang pada saat itu berlayar dan
melakukan perkawinan lintas suku di daerah Tiworo, Kabupaten Muna. Suku Bajo di
Desa Bangko disebutkan mulai datang sejak abad ke 16 dan berkembang secara
turun temurun hingga saat ini. Tokoh masyarakat Desa Bangko juga mengatakan
bahwa Suku Bajo sudah ratusan tahun berada di sekitar Pulau Bangko dan
merupakan pusat kampung laut tertua di Kabupaten Muna, Dimana kampung-kampung
Bajo lain yang berada di kawasan Pulau Muna seperti Desa Tapi-Tapi dan
Komba-Komba, semua dulu berasal dari Desa Bangko.
Jumlah penduduk Desa Bangko pada tahun
2010 adalah kurang lebih 1183 jiwa dan terdiri dari 243 KK. Desa Bangko dihuni
oleh Suku Bajo, yang telah mengalami pernikahan antar suku dengan Suku Muna dan
Suku Bugis, tetapi masih tetap mempertahankan tatanan tradisional Suku Bajo
sebagai suku yang dominan. Mata pencaharian utama penduduk Desa Bangko adalah
sebagai nelayan dan sebagian kecil lainnya bekerja diluar sektor perikanan
yaitu sebagai buruh, pedagang dan tukang kayu, namun sesekali mereka juga
melaut untuk mencari ikan. Selain mencari ikan di laut, mereka juga
membudidayakan hasil laut yang ada seperti rumput laut, udang dan teripang yang
memiliki harga jual yang tinggi.
Aktivitas masyarakat di Desa Bangko
AKSESBILITAS
Untuk menuju ke Desa Bangko,
pertama-tama pengunjung harus bertolak dari Kota Raha (ibu kota Kabupaten
Muna), menuju Desa Pajala di Kecamatan Maginti. Perjalanan akan menempuh jarak
kurang lebih sekitar 70 kilometer, dengan perkiraan waktu tempuh selama 2,5 jam
– 3 jam. Lama waktu tempuh ini dipengaruhi oleh kondisi beberapa ruas jalan
yang masih dalam kondisi rusak.
Garis ungu menggambarkan akses dari
Kota Raha menuju Desa Pajala melalui jalur darat. Sementara garis kuning
menggambarkan akses dari Desa Pajala menuju Desa Bangko dengan perahu motor.
Perjalanan ke Desa Pajala perlu
menggunakan kendaraan pribadi atau sewa (rental), sebab belum ada kendaraan
umum yang melayani rute ini. Biaya rental mobil sangat bervariasi, tergantung
dari jenis mobil dan lama penyewaan. Perkiraan biaya rental untuk mobil avanza
perhari adalah Rp 250.000 hingga Rp 350.000, yang bisa berubah tergantung
kesepakatan antara penyewa dengan pemilik mobil.
Setelah sampai ke Desa Pajala, maka
perjalanan kembali dilanjutkan dengan menggunakan moda transportasi laut
seperti speed boat, perahu motor, dan ketinting, dengan jarak tempuh 7
km dan lama tempuh kurang lebih 20 menit dari pelabuhan Desa Pajala. Lama
tempuh ini tentu tergantung dari kecepatan mesin perahu motor, keadaan arus laut
dan arah angin. Biaya sewa perahu yang dibebankan untuk mengunjungi Desa Bangko
tidak menentu, yang juga tergantung oleh jenis perahu yang digunakan atau
banyaknya jumlah penumpang. Untuk berpergian sendiri, penduduk di Desa Pajala
biasanya memberikan tarif Rp 50.000 rupiah per sekali jalan, atau Rp 100.000
untuk antar jemput dengan perahu mesin yang memiliki kapasitas penumpang 8-10
orang. Sedangkan jika jumlah penumpang lebih banyak atau hingga mencapai 10
orang, harga yang diberikan bisa jauh lebih murah yaitu hingga Rp 250.000 untuk
antar jemput (pergi dan kembali). Harga tersebut juga dapat ditekan tergantung
dari komunikasi (nego) antara pengunjung dengan pemilik perahu tersebut.
Pilihan
moda transportasi laut dari Desa Pajala menuju Desa Bangko
Selanjutnya, untuk masuk Ke Desa
Bangko, para pendatang dapat berlabuh di pintu utama yang terdapat di sisi
utara permukiman Desa Bangko. Pelabuhan tersebut terletak tepat di depan rumah
tokoh masyarakat Suku Bajo Desa Bangko, Haji Baharuddin. Sedangkan bagi para
penduduk setempat atau para kerabat penduduk Desa Bangko biasanya melabuhkan
perahu mereka langsung di bawah rumah yang akan dituju.
Pelabuhan Desa Pajala
Jenis
perahu motor yang bisa digunakan
Salah satu pintu masuk Desa Bangko
Karena desa ini dibangun diatas laut,
setiap rumahnya hanya dihubungkan oleh jembatan kayu titian. Jembatan kayu ini
memiliki luas hingga 1,5 meter, yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi.
Jembatan titian ini tidak dilengkapi oleh pagar, namun cukup aman untuk dilewati.
Sementara untuk untuk masuk ke rumah atau halaman rumah penduduk, beberapa
diantaranya hanya menyediakan sebatang papan kayu sepanjang 2 meter hingga
lebih sebagai jembatan, yang cukup kuat untuk dipijaki, namun butuh keberanian
untuk mampu melewatinya. Pada malam hari, sepanjang jalan ini tidak dilengkapi
oleh lampu penerangan. Lampu penerangan hanya dipasang di persimpangan jalan,
dan pencahayaan juga mengandalkan cahaya lampu dari rumah-rumah di sekitarnya.
Tidak ada kendaraan yang digunakan dalam perumahan ini, baik itu motor maupun
sepeda. Mobilitas masyarakat dan pengunjung hanya dengan berjalan kaki. Sementara itu untuk mengakses
pulau-pulau berpasir putih di sekitar Desa Bangko membutuhkan perahu bermotor
yang dapat disewa dari masyarakat Desa Bangko sendiri, atau perahu bermotor
dari Desa Pajala, dengan harga yang cukup murah, yaitu kurang lebih hanya Rp
150 ribu/hari untuk jumlah penumpang hingga 10 orang (Rp.15.000 per orang).
Suasana dalam perkampungan Desa Bangko
DAYA TARIK
Anak-Anak bermain di sore hari
Semua rumah penduduk di Desa Bangko
merupakan rumah tradisional non-permanen, dengan dinding rumah terbuat dari
kayu atau daun rumbia dan atap rumah terbuat dari bahan seng atau daun rumbia.
Lantai rumah penduduk Suku Bajo seluruhnya terbuat dari bahan papan kayu yang
disusun sedemikian rupa sehingga kokoh untuk dipijak. Kayu papan rumah akan
diganti jika kondisinya sudah tidak layak lagi untuk digunakan dan membahayakan
bagi penghuni rumah. Penduduk Suku Bajo Desa Bangko mendirikan permukiman di
atas papan-papan kayu yang ditopang oleh ribuan tiang yang menancap ke dalam
dasar laut. Tiang penopang yang tersebut berada pada ketinggian 4 meter (tinggi
tiang penopang dari dasar laut hingga ke lantai rumah). Ketinggian air laut
pada saat air laut pasang adalah kurang lebih 3,5 meter, sedangkan pada saat
air surut ketinggian air laut dibawah permukiman penduduk Desa Bangko beragam.
Ketinggian tiang rumah penduduk didasarkan pada kesepakatan bersama, dengan
mempertimbangkan nilai-nilai adat, budaya, serta keamanan dan kenyamanan. Jika
rumah dibangun dengan ketinggian yang lebih rendah dari 4 meter dirasa sebagai
ketinggian yang tidak aman dari air laut, jika terjadi air laut pasang atau
terjadi cuaca ekstrim, yang memungkinkan air laut bisa mencapai lantai rumah
mereka. Sedangkan jika dibangun lebih tinggi dari 4 meter, maka pada saat air
surut penduduk merasa kesulitan untuk beraktifitas, terasa sangat tinggi dan
tidak nyaman.
Sunset dari permukiman Desa Bangko
Wisatawan
ikut mengajar kelas bahasa inggris di sekolah dasar
Aktifitas masyarakat Desa Bangko
sangat unik dan menarik. Dari cara mendirikan rumah, cara bersosialisasi,
aktivitas sehari-hari dan cara pemanfaatan ruang yang terbatas di atas laut
menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung, terutama bagi yang menaruh
ketertarikan pada kebudayaan. Sementara daya tarik lainnya adalah pantai
berpasir putih di beberapa pulau yang berjarak kurang lebih 3 hingga 5
kilometer dari permukiman penduduk Desa Bangko. Beberapa pantai yang dapat
dikunjungi adalah:
1.
Bungintaburi, merupakan pulau pasir putih yang unik.
Pulau ini hanya terdiri dari gundukan pasir putih, dan diatasnya berdiri
beberapa rumah panggung Suku Bajo, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman apapun.
Selain pasirnya yang indah, keunikan dari pulau ini adalah gundukan pasir
tersebut akan berpindah tempat tergantung dari musim saat itu. Misalnya pada
musim angin barat, gundukan pasir akan berpindah ke arah timur, dan musim angin
timur gundukan pasir akan berpindah kembali ke arah barat.
2.
Pulau Gala Kecil, adalah pulau yang tidak berpenghuni, dengan
kisaran luas 1 km2. Pulau ini memiliki pasir putih, dan
bebatuan alam yang indah, sehingga memiliki nilai untuk dikembangkan sebagai
objek wisata.
3.
Pulau Maginti, merupakan salah satu pulau besar yang dihuni
oleh masyarakat Suku Bajo dan Muna. Namun permukiman ini berdiri di atas
daratan, bukan di atas laut seperti yang ada di Desa Bangko. Rumah di Pulau
Maginti merupakan rumah adat dengan arsitektur tradisional yang khas Muna.
Selain daya tarik budaya, pulau ini juga menyajikan keindahan daya tarik alam
berupa pasir putih, dan terumbu karang. Meskipun terumbu karang yang ada
di kawasan pulau ini tidak begitu luas, namun cukup menambah keragaman daya
tarik alam di sekitar kawasan Desa Bangko.
4.
Ekosistem
Mangrove di Pulau Bangko
dan pesisir barat daratan Pulau Muna.
Rumah Suku Bajo di Bungintaburi
Salah
satu sudut pantai di Pulau Gala Kecil
Selain dengan menikmati keindahan alam
dan budaya masyarakat Desa Bangko, aktivitas yang dapat dilakukan selama
kunjungan wisata ke kawasan Desa Bangko juga dapat diselingi dengan beberapa
aktivitas seperti mengikuti kegiatan masyarakat misalnya menangkap ikan di
laut, mencari kepiting di hutan bakau, atau mengikuti warga menelusuri sungai
untuk mengambil air bersih.
[Perlu diketahui bahwa untuk keperluan
air bersih sehari-hari, masyarakat mengambilnya air bersih di sungai yang
berjarak 2 hingga 3 kilometer dari permukiman, atau menampung air hujan dalam
sebuah wadah. Air bersih di Desa Bangko juga dikomersilkan oleh beberapa orang,
dalam artian bahwa ada beberapa orang warga yang menjual air bersih di Desa
sehingga masyarakat tidak perlu lagi jauh-jauh ke sungai. Meskipun cara
tersebut cukup membantu, namun penduduk setempat menginginkan aksesbilitas yang
lebih baik terhadap air bersih]
Sementara itu untuk hal kuliner,
karena permukiman berada di atas laut, dan masyarakatnya mayoritas adalah
nelayan, maka makanan yang dapat dikonsumsi oleh pengunjung di Desa Bangko
tentu saja adalah seafood, seperti kepiting, ikan, lobster, kerang, cumi-cumi,
dan sebagainya. Masyarakat mengolah masakan tersebut dengan racikan bumbu yang
sederhana. Beberapanya olahan makanannya bahkan tidak dimasak, namun hanya
dicuci dengan air panas, dibumbui dengan garam dan cabai, lalu diberi perasan
jeruk nipis. Makanan ini sekilas mirip dengan Sashimi dari Jepang.
Beberapa makanan yang biasa disajikan
oleh masyarakat juga merupakan kombinasi masakan daerah Muna, seperti:
lapa-lapa, kagule, kapinda, kambewe, dan lain sebaginya.
AKOMODASI
Hingga saat ini belum ada penginapan
komersil yang ada di permukiman Suku Bajo di Desa Bangko. Para pengunjung yang
datang dan ingin menginap di permukiman ini bisa tinggal di rumah penduduk
setempat, dengan fasilitas yang sederhana, seperti tempat tidur kasur atau
tikar, bantal/guling, dan kamar mandi/toilet. Menikmati malam di Desa ini
sangat menenangkan. Pengunjung akan sesekali dapat merasakan bagaimana tiang
rumah yang ditumpangi bergoyang karena hempasan ombak. Tapi semuanya akan aman
dan baik-baik saja.
Kamar mandi/toilet di permukiman Desa
Bangko ini juga sangat sederhana. Untuk mandi, tersedia drum yang berisi air
yang diambil dari sungai terdekat, atau dari air hujan. Karena susahnya
memperoleh air bersih, selama berada di permukiman ini pengunjung diharapkan
untuk menghemat penggunaan air bersih seminimal mungkin.
Beberapa rumah yang biasa digunakan
untuk menginap oleh pengunjung antara lain adalah rumah Kepala Desa Bangko
bapak Hayal Panu, dan rumah Tokoh Adat Desa Bangko bapak Alm Haji Baharuddin.
Sementara biaya untuk penginapan dikisarkan antara Rp 60.000 hingga Rp 150.000
permalam, atau bisa saja gratis tergantung dari kesepakatan yang telah
dibicarakan sebelumnya.
Listrik di Desa ini dihasilkan oleh
pembangkit listrik dari generator/genset, yang menggunakan bahan bakar bensin.
Namun tidak semua rumah di Desa ini memiliki pembangkit listrik tersebut, dan
tidak semua rumah teraliri oleh listrik. Genset di Desa Bangko hanya dimiliki
oleh beberapa orang tertentu dan umumnya hanya beroperasi saat hari mulai
beranjak gelap, yaitu pada sekitar pukul 18.00 hingga pukul 22.00 malam atau
saat seluruh aktivitas penghuni rumah telah berakhir. Sementara pada siang
hari, masyarakat menyalakan listrik hanya untuk kebutuhan yang sangat penting,
atau jika sedang menyelenggarakan hajatan adat, pernikahan, dan kebutuhan
penting lainnya.
Desa Bangko hanya mampu dijangkau oleh
layanan Telkomsel, namun dengan kualitas jaringan yang sangat rendah.
Seringkali signal hanya bisa diperoleh dari daerah ujung jembatan/jalan titian
di sebelah utara permukiman. Namun masyarakat di Desa Bangko ini cukup kreatif
dengan membuat teknologi sederhana untuk mendapatkan signal yang kuat, yaitu
dengan membuat tiang antenna penangkap signal. Beberapa rumah memiliki tiang
antena penangkap signal yang tinggi, yang salah satu bagian ujung kabel antena
tersebut ditempelkan atau diikatkan dengan karet ke bagian belakang telepon
seluler, sehingga signal yang dihasilkan akan sangat kuat.
Beragam daya tarik yang dimiliki oleh
kawasan permukiman adat Suku Bajo di Desa Bangko menunjukkan bahwa desa ini
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah objek wisata. Dalam
prosesnya masyarakat setempat perlu dilibatkan secara aktif, baik sejak proses
perencanaan hingga saat kegiatan wisata tersebut telah berlangsung. Dengan
aplikasi konsep community based tourism, masyarakat diharapkan
menjadi pelaku utama dan diberdayakan secara mandiri melalui sektor pariwisata,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Konsep ini memungkinkan masyarakat
mengelola sendiri segala aktivitas dan penyediaan fasilitas pariwisata,
sehingga keuntungan ekonomi yang diperoleh dapat dinikmati oleh masyarakat.
Model pengentasan kemiskinan melalui pariwisata (pro poor tourism) juga
memungkinkan masyarakat memperoleh keuntungan bersih dalam ekonomi dan
pembangunan infrastruktur, tanpa merubah kebudayaan dan kearifan lokal, serta
tidak mengganggu akses masyarakat pada ruang-ruang tertentu, dalam hal ini
tidak ada privatisasi pada ruang publik untuk kepentingan pribadi. Pengembangan
pariwisata di desa ini diharapkan dapat meningkatkan upaya konservasi
budaya dan lingkungan, karena dengan menjaga budaya dan lingkungan
tersebut berarti masyarakat menjaga eksistensi daya tarik wisatanya.
Sasaran yang dapat tercapai dalam pengembangan pariwisata di Desa Bangko
adalah masyarakat setempat tidak lagi semata-mata hanya
menggantungkan hidup dari sektor perikanan, namun juga dapat berpartisipasi
dalam penyediaan transportasi, usaha penginapan, makan dan minum, dan segala
usaha lain yang mendukung kegiatan pariwisata, agar taraf hidup masyarakat
dapat meningkat, sehingga masyarakat setempat dapat mengakses ke
segala kebutuhan hidup yang lebih layak.
YANG HARUS DIPERHATIKAN
Selama
mengunjungi Desa Bangko, pengunjung diminta untuk bersikap sopan, tidak membuat
keributan, atau hal-hal lain yang mengganggu kenyamanan masyarakat lokal.
Pengunjung diharapkan tidak membuat sentakan di lantai rumah, sebab getaran
sentakan tersebut dapat dirasakan oleh seisi rumah.
Bersedia untuk
mematuhi larangan atau pantangan berkaitan dengan hal-hal yang tidak boleh
dilakukan, atau tempat-tempat yang tidak boleh didatangi.
· Jika ingin mandi
di laut, disarankan untuk di kawasan pantai dan tidak mandi di sekitar
permukiman, mengingat sistem sanitasi di Desa ini masih buruk.
·
Disarankan untuk
membawa air mineral dari daratan, sebab di akses terhadap air minum di Desa Bangko
masih sulit.
· Tidak membuang
sampah sembarangan, atau meninggalkan sampah di Desa Bangko.
·
Menghemat
penggunaan air bersih.
1.1. Suku
Tolaki
Penduduk Sulawesi Tenggara
umumnya beragama Islam. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih
terlihat sisa-sisa dari kepercayaan mereka yang terdahulu yang taat hubungannya
dengan animisme dan dinamisme. Karena itu di kalangan masyarakat terdapat
berbagai upacara keagamaan yang dilaksanakan. Misalnya upacara Monahu Khau yakni upacara setelah potong
padi. Di kalangan suku Tolaki yang beragama Kristen upacara ini mewujudkan
dalam bentuk kebaktian pengucapan Syukur tahunan yang dilaksanakan di gereja.
Sedangkan di daerah-daerah tertentu upacara Manahu Udhan, dilakukan sangat
meriah terutama di desa Benua kecamatan Lambuya. Upacara ini dilaksanakan di
lapangan terbuka, selama tiga malam berturut dan dipimpin seorang dukun yang
disebut Mbusehe. Saat dilaksanakan biasanya
pada bulan September, semalam sebelum sampai dengan sesudah bulan purnama.
Sebagai alat penerangannya adalah sinar bulan tersebut dan tidak boleh
menggunakan lampu.
Kemudian para peserta yang
biasanya terdiri dari rakyat petani pada umumnya, menari bergandengan tangan
mengelilingi nilavaka yakni bangunan darurat tempat menaruh gendang dan alat
musik lainnya. Malam ketiga atau penutupan, pagi-pagi hari diadakan upacara korban
atau musehe yang dilakukan oleh dukun.
Selain upacara yang berhubungan dengan pertanian, maka dalam kehidupan individu atau siklus kehidupan juga dilakukan berbagai upacara mulai dari saat seorang wanita hamil, melahirkan, kemudian dewasa, melaksanakan perkawinan kemudian kematian. Upacara yang berhubungan dengan lingkaran kehidupan ini antara lain Meosambaki yaitu selamatan bagi anak pertama yang berusia 7 hari, Mekui atau Mosere Curu yakni pemotongan rambut pada waktu bayi berumur 7 tahun, biasanya satu sampai empat malam anak ini dikurung, dan pada upacara ini anak tersebut disunat atau Manggilo. Kemudian upacara Mee Eni bila anak berusia 15 tahun hingga masa peralihan dari kanak-kanak hingga dewasa.Dalam upacara ini diadakan perataan gigi dengan benda keras, biasanya batu atau kikir.
Dalam upacara perkawinan yang
lazim, selalu didahului dengan peminangan. Namun ada juga yang melakukan kawin
lari, tanpa peminangan kepada pihak sang gadis. Karenanya cara perkawinan di
daerah Sulawesi Tenggara dibedakan kedalam 4 macam, yaitu Mesasapu, bentuk perkawinan dengan peminangan, perkawinan lari
bersama disebut Ropolasu atau humbuni, bila kawin lari dengan paksa
oleh pihak laki-laki disebut pinola suako
atau popalaisaka. Dalam perkawinan bawa lari atau lari bersama ini pihak
laki-laki dikenakan sangsi berupa pembayaran yang tinggi kepada orang tua si
gadis. Bentuk perkawinan keempat adalah moruntandole atau uncura yakni bila
lamaran ditolak atau si gadis sudah dipertunangkan dengan pamuda lain, maka
pihak orang tua laki-laki mendesak untuk melaksanakan perkawinan antara anaknya
dengan sigadis saat itu juga. Dalam mengurus mayat suku-suku bangsa di Sulawesi
Tenggara bila seorang raja cara-cara bangsawan meninggal, sebagai pertanda
dipukul gong secara berkepanjangan disebut Batubangewea. Di saat nafas terakhir
disembelihkan seekor kerbau yang disebut Katu Mbenao.
Kemudian kepada semua kerabat
diberi tahu dengan mendatanginya, oleh orang yang diberi tugas dengan membawa
perangkat adat berupa lingkaran rotan dililit tiga dan diikat secarik kain
putih. Dengan cara ini, yang didatangi sudah mengerti bahwa itu merupakan
berita kematian.
Setelah mayat disimpan semalam lalu dimasukkan ke
dalam tempat semacam peti mati yang disebut soronga, dibuat dari sebatang
pohon. Setelah itu mayat dalam soronga
di bawa ke gua batu atau disimpan dalam rumah-rumah yang khusus dibuatkan untuk
itu, biasanya di tengah hutan.
Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. Mendiami daerah yang berada di sekitar kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selaten, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara. Suku Tolaki
berasal dari kerajaan Konawe. masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan
petani yang handal, hidup dari hasil ladang dan persawahan yang di buat secara
gotong-royong keluarga.
Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari).
Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah
Yunani Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun
sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal
tersebut.
Karena masyarakat tolaki hidup berladang dan bersawah, maka
ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka.
untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini.
Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke
selatan menuju Selat Kendari.Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di
ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka
macam sayuran, tembakau, dan kopi. Selain itu ada pula makanan pokok yang
berasal dari pohon sagu (tawaro) dan
dikelola dengan cara memotong batang pohon sagu yang kemudian diiris isi dari
batangnya setelah itu dilakukan Lumanda atau meratakan hasil irisan tersebut didalam tempat penampungan sehingga
hasil dari proses semua itu akan menjadi sagu (tawaro)/Sinonggi (siap saji). Rumah mereka yang umumnya berbentuk
rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka. Rumah-rumah
tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki atap yang
tinggi.
Perbedaan kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta
masayarakat biasa, masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi.
Tiap kelas sosial biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara
berbagai macam budaya dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak
pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada
akhirnya memegang kepemilikan atas lahan.
Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga
Si gadis pada saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada
tingkatan sosial dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus
melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan
ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan
turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa
hidup bersama. Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang
jelata. Poligami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan,
tetapi sekarang tidak lagi dilakukan.
Tari Lulo atau Tari Pergaulan Suku
Tolaki
Ada tiga pendapat orang-orang mengenai Tari Lulo, yaitu : Menurut
M. Oktrisman Balagi Kepala Bidang Pesona Seni Budaya Badan Pariwisata dan
Kebudayaan Sultra, tarian lulo menggambarkan kebersamaan masyarakat Tolaki
dalam keberagaman dengan meninggalkan sekat yang membedakan kaya dan miskin
serta status sosial lainnya. Menurut Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena
upaya masyarakat dan pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo
dikembangkan dengan adaptasi konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan
lulo yaitu Lulo biasa, lulo pata-pata, Moleba (lompat-lompat), Pinetabe
(penghormatan), dan lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan dikreasi
gerakannya agar tetap lebih up to date sesuai dengan perkembangan waktu.
Menurut Trisman, yang terpenting dari proses menjaga dan melestarikan tarian
tradisional lulo adalah harapan bahwa tarian lulo merupakan mencerminkan bahwa
masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan
persahabatan dan persatuan dalam menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu
bersatu, bergotong royong dan saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga
mepokoaso”.
Pemahaman Tentang Tari Lulo
Dahulu kala, ketika Tari Lulo menjadi sarana untuk mencari jodoh,
terdapat tata atur yang sangat ketat. Ketika akan masuk ke dalam arena tarian
misalnya, para penari harus masuk dari depan dan tidak diperbolehkan masuk dari
belakang. Selain itu, ketika akan mengajak calon pasangan untuk menari, terutama
pasangan pria yang mencari pasangan wanita, hendaknya mencari wanita yang
sedang berpasangan dengan wanita. Jadi, seorang pria tidak diperbolehkan
mengajak seorang wanita yang sudah berpasangan dengan pria lain. Hal ini untuk
mengantisipasi agar tidak terjadi kesalah pahaman ketika tarian berlangsung.
Ada juga aturan lain yang cukup menarik untuk diketahui, seperti ketika terjadi
penolakan dari calon pasangan. Apabila seorang pria yang mencari pasangan
ditolak oleh si wanita, maka pria tersebut dikenai denda adat, yaitu seekor
kerbau ditambah dua lembar sarung (toloa). Akan tetapi, denda ini tidak berlaku
sebaliknya kepada pihak wanita. Seiring perjalanan waktu, tata atur yang
berlaku dalam tarian ini sudah mulai ditinggalkan. (Mardiati, 2012)
Cara menari Lulo
Tari Lulo memiliki gerakan yang sederhana dan teratur, sehingga
memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk melakukannya. Tari Lulo
dilakukan dengan saling bergenggaman tangan, melangkahkan kaki dua kali ke
kiri, dua kali ke kanan, ke depan dan belakang sambil menghentakkan kaki
mengikuti irama musik memberikan nilai seni tersendiri bagi mereka yang
melakukannya. Di samping itu ada yang perlu diperhatikan dalam tarian lulo ini
seperti posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak
tangan di bawah menopang tangan wanita. Ini dilakukan supaya gerakan tari bisa
berjalan secara harmonis, dan bagian atas tubuh wanita tidak tersentuh oleh
pasangannya ketika menari. Selain itu merupakan wujud simbolisasi dari
kedudukan, peran, etika kaum pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya, tarian ini dilakukan dengan gerakan yang teratur dan berputar dalam
satu lingkaran. (Mardia, 2000)
Perkembangan Tari Lulo
Seiring perkembangan waktu, kesenian lulo sendiri ikut mengalami
perkembangan. Hadirnya hiburan lain dalam masyarakat modern seperti diskotik, pub, dan konser-konser musik dengan penampilan artis-artis lokal
maupun nasional tidak membuat kesenian Lulo ditinggalkan masyarakat. Melainkan
lulo semakin saja tumbuh subur dengan iklimnya sendiri bahkan dengan gaya
dan caranya yang khas. Saat ini Tarian Lulo sendiri telah mengalami
proses penyesuaian dalam berbagai bentuk. Lulo yang dulunya hanya
dilakukan dengan mengikuti irama alat musik tradisional seperti gong telah berubah
dengan menggunakan alat musik elektornik electone atau organ. Di tengah
perkembangan peradaban yang terus melaju membentang membentuk simpul
modernisasi zaman dengan segala hal yang dibuatnya memukau, lulo ternyata mampu
bertahan dan tidak kehilangan pesona. Tidak hanya itu Lulo pun terus
tumbuh dengan geliatnya yang kuat mengikuti lajur ngilu perkembangan massa. Hal
ini dijelaskan Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena upaya masyarakat dan
pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo dikembangkan
dengan adaptasi konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan lulo yaitu Lulo
biasa, lulo pata-pata, Moleba (lompat-lompat), Pinetabe (penghormatan), dan
lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan dikreasi gerakannya agar tetap lebih
up to date sesuai dengan perkembangan waktu. Menurut Trisman, yang terpenting
dari proses menjaga dan melestarikan tarian tradisional lulo adalah harapan
bahwa tarian lulo merupakan mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah
masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam
menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu bersatu, bergotong royong dan
saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga mepokoaso”. (Mardiati,
2012)
DAFTAR
PUSTAKA
Ribka Hotma Gabe (4423143932)
Program Studi Usaha Jasa Pariwisata
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
ribkagabe@rocketmail.com
Informasi yang bagus. Mungkin lebih baik kalau yang dibahas satu suku saja agar lebih mendalami pembahasan. Terimakasih infonya, sukses selalu:)
ReplyDeleteInfonya sangat bagus, trimakasih :D
ReplyDeleteinfonya baguus. terimakasih
ReplyDeleteterimakasih utk informasinya, saya ingin bertanya sebelumnya, terkait masalah kebutuhan masyarakat suku Bajo yakni Sanitasi yg menurut info diatas masih kurang baik, pengetahuan ttg kesehatan sepertinya masih rendah disana. bagaimana dengan aspek pendidikan disana?
ReplyDeletekarena salah satu faktor pendukung kemajuan suatu daerah adalah pendidikannya, dan dengan pendidikan juga potensi pariwisata dapat digali lebih dalam lagi. terimakasih.
salam. MerryClementine, Sosiologi UNJ 2011
utk informasi artikel Suku Tolaki bagus sekali, karena kamu menunjukkan beberapa hal yg menjadi bagian sistem sosial di Suku tsb, sebagai contohnya yakni kelas sosial yg masih berlaku di daerah tersebut.
ReplyDeleteterimakasih.
trimakasih infonya saya semakin tahu tentang sulawesi tenggara, semangat terus!
ReplyDeleteTerimakasih atas infonya ^^ sangat membantu~
ReplyDeleteSangat jarang info tentang suku, adat dan istiadat suku di sulawesi ini, infonya sangat membantu wawasan saya sbg org indonesia. Terima kasih :)
ReplyDeleteWah info ini menarik sekali, terima kasih gabe
ReplyDeleteInfo yang menarik.. rasanya jadi ingin pergi wisata ke Desa Banko:)
ReplyDeleteInfo yang menarik.. rasanya jadi ingin pergi wisata ke Desa Banko:)
ReplyDeleteWah terima kasih atas informasinya. Menambah wawasan sy, sukses selalu ya
ReplyDeleteThanks ya infonya. Bermanfaat banget nih!
ReplyDeleteCukup satu suku saja yg dibahas
ReplyDeleteInformasi yang bagus. Karena kita bisa Mengetahui apa saja pariwisata dan kehidupan yang ada di sulawesi tenggara
ReplyDeleteTerima kasih sukses selalu :)
Lengkapppp. Sangat menambah wawasan saya, terimakasiiihh
ReplyDeleteLengkapppp. Sangat menambah wawasan saya, terimakasiiihh
ReplyDeleteTerimakasih infonya, sangat membantu;)..wahh jadi pengen nih jalan" ke sulawesi tenggara
ReplyDeleteWaw informasinya sangat menarik
ReplyDeletePulau bangko keren yuahh ...thanks infonyaa ..
ReplyDeleteBagus sekali artikelnya semoga sukses
ReplyDelete