Friday, January 8, 2016

T3_Ribka Hotma Gabe _Mempariwisatakan Ragam Budaya Sulawesi Tenggara



Kaya dengan ragam budaya, alam, sejarah, dan nilai-nilai luhur, Indonesia berpotensi berperan sebagai objek destinasi wisata internasional. Salah satunya Suku Bajo, suku pelaut yang kaya akan budaya dan kemasyarakat dan unik di lautan, maupun suku-suku dan budaya lain di Sulawesi Tenggara.

Sulawesi
Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam bahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia.

Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribukotakan Kendari. Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa

KEBUDAYAAN DI SULAWESI TENGGARA
1.1.  Suku Bajo

Beberapa suku Bajo mendiami wilayah Sulawesi Tenggara. Saat ini penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sekitar 1,8 juta orang. Selain suku Bugis dan para pendatang dari Bali and Jawa yang datang sejak beberapa tahun yang lalu, ada 5 suku bangsa yang hidup di sebagian wilayah ini: Suku Tolaki, Suku Moronene, Suku Buton, Suku Muna (biasa disebut 'Wuna') dan Suku Bajo.

Dalam berbagai catatan peneliti diketahui, Orang Bajo telah menempati hampir semua pesisir pantai di Indonesia sejak ratusan tahun silam. Bahkan menurut Prof.DR.Edward L. Poelinggomang, Orang Bajo sejak berabad lalu sudah ditemukan di pesisir pantai pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan. Akan tetapi dalam sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap komunitas Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Indonesia, diketahui mereka umumnya memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa Bajo yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam keluarga sehari-hari. Bahasa yang digunakan pun saling dipahami antarkomunitas Bajo yang ada di pesisir pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan pesisir Papua.  Bahkan terdapat ada kesamaan dengan bahasa Tagalog, Filipina.
Walaupun suku Bajo tersebar dengan cakupan yang sangat luas, dikatakan orang Bajo tetap memikirkan suatu moment dimana mereka dapat berkumpul. Pertemuan itu diadakan dalam suatu acara bernama Festival Suku Bajo dalam rangka menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pengenalan beragam seni dan budaya etnik di Nusantara. Pertemuan ini pertama kali diakan tahun 2009. Suku Bajo tidak memiliki wilayah teritorial etnik seperti etnik lainnya di Indonesia. Namun sejak ratusan tahun lalu etnik Bajo ini dapat menjadikan setiap wilayah pesisir di Nusantara sebagai tanah air mereka, dapat menyesuaikan diri dengan adat budaya masyarakat dimana mereka berada. Dan, di seluruh Indonesia mereka dapat diterima untuk hidup berdampingan dengan etnik lainnya, saling kerjasama sebagai warga Negara Indonesia dengan tetap memelihara tradisi, adat dan budaya Suku Bajo.

Kemasyarakatan Desa Bangko, salah satu pemukiman Suku Bajo di Sulawesi Tenggara
Sebuah permukiman Suku Bajo yang masih tradisional terdapat di Desa Bangko, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Desa ini berada di sebelah barat Pulau Muna, yang secara administratif wilayahnya mencakup daratan dan lautan. Permukiman di Desa Bangko dibangun diatas laut, yang berjarak kurang lebih 600 meter dari mainland (pulau Muna), sehingga nampak seolah-olah sebagai permukiman terapung. Diantara banyaknya permukiman Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, Desa Bangko merupakan salah satu desa Suku Bajo yang masih tetap mempertahankan tradisi bermukim diatas laut hingga saat ini, sementara permukiman Suku Bajo lainnya pada umumnya telah tinggal menetap di tepi pantai atau sudah membangun rumah diatas daratan.
Desa Bangko merupakan tempat dimana kita bisa menyaksikan kehidupan masyarakat adat yang hidup secara tradisional. Sajian pemandangan alam disekitar kawasan Desa Bangko yang indah, juga menambah alasan untuk memasukkan Desa Bangko sebagai salah satu destinasi wisata menarik yang perlu anda kunjungi.

 
Permukiman Desa Bangko




SEJARAH
Nama Desa Bangko diambil dari nama sebuah pulau di dekat permukiman ini dibangun, yaitu Pulau Bangko. Bangko dalam bahasa Bajo sendiri berarti Bakau (Mangrove). Penamaan Pulau tersebut sebagai Pulau Bangko sebab pulau tersebut ditutupi oleh vegetasi mangrove (R.mucronata) dengan presentase 95%. Namun saat ini masyarakat daratan maupun Suku Bajo lainnya telah terbiasa menyebut Desa Bangko ini dengan sebutan Pulau Bangko.
Menurut tokoh masyarakat di Desa Bangko (Haji Baharuddin, 2010) bahwa sejarah Suku Bajo yang ada di Desa Bangko berasal dari Gowa di Propinsi Sulawesi Selatan, yang pada saat itu berlayar dan melakukan perkawinan lintas suku di daerah Tiworo, Kabupaten Muna. Suku Bajo di Desa Bangko disebutkan mulai datang sejak abad ke 16 dan berkembang secara turun temurun hingga saat ini. Tokoh masyarakat Desa Bangko juga mengatakan bahwa Suku Bajo sudah ratusan tahun berada di sekitar Pulau Bangko dan merupakan pusat kampung laut tertua di Kabupaten Muna, Dimana kampung-kampung Bajo lain yang berada di kawasan Pulau Muna seperti Desa Tapi-Tapi dan Komba-Komba, semua dulu berasal dari Desa Bangko.
Jumlah penduduk Desa Bangko pada tahun 2010 adalah kurang lebih 1183 jiwa dan terdiri dari 243 KK. Desa Bangko dihuni oleh Suku Bajo, yang telah mengalami pernikahan antar suku dengan Suku Muna dan Suku Bugis, tetapi masih tetap mempertahankan tatanan tradisional Suku Bajo sebagai suku yang dominan. Mata pencaharian utama penduduk Desa Bangko adalah sebagai nelayan dan sebagian kecil lainnya bekerja diluar sektor perikanan yaitu sebagai buruh, pedagang dan tukang kayu, namun sesekali mereka juga melaut untuk mencari ikan. Selain mencari ikan di laut, mereka juga membudidayakan hasil laut yang ada seperti rumput laut, udang dan teripang yang memiliki harga jual yang tinggi.



 

Aktivitas masyarakat di Desa Bangko

 
AKSESBILITAS 

Untuk menuju ke Desa Bangko, pertama-tama pengunjung harus bertolak dari Kota Raha (ibu kota Kabupaten Muna), menuju Desa Pajala di Kecamatan Maginti. Perjalanan akan menempuh jarak kurang lebih sekitar 70 kilometer, dengan perkiraan waktu tempuh selama 2,5 jam – 3 jam. Lama waktu tempuh ini dipengaruhi oleh kondisi beberapa ruas jalan yang masih dalam kondisi rusak.  




Garis ungu menggambarkan akses dari Kota Raha menuju Desa Pajala melalui jalur darat. Sementara garis kuning menggambarkan akses dari Desa Pajala menuju Desa Bangko dengan perahu motor.
Perjalanan ke Desa Pajala perlu menggunakan kendaraan pribadi atau sewa (rental), sebab belum ada kendaraan umum yang melayani rute ini. Biaya rental mobil sangat bervariasi, tergantung dari jenis mobil dan lama penyewaan. Perkiraan biaya rental untuk mobil avanza perhari adalah Rp 250.000 hingga Rp 350.000, yang bisa berubah tergantung kesepakatan antara penyewa dengan pemilik mobil.
Setelah sampai ke Desa Pajala, maka perjalanan kembali dilanjutkan dengan  menggunakan moda transportasi laut seperti speed boat, perahu motor, dan ketinting, dengan jarak tempuh 7 km dan lama tempuh kurang lebih 20 menit dari pelabuhan Desa Pajala. Lama tempuh ini tentu tergantung dari kecepatan mesin perahu motor, keadaan arus laut dan arah angin. Biaya sewa perahu yang dibebankan untuk mengunjungi Desa Bangko tidak menentu, yang juga tergantung oleh jenis perahu yang digunakan atau banyaknya jumlah penumpang. Untuk berpergian sendiri, penduduk di Desa Pajala biasanya memberikan tarif Rp 50.000 rupiah per sekali jalan, atau Rp 100.000 untuk antar jemput dengan perahu mesin yang memiliki kapasitas penumpang 8-10 orang. Sedangkan jika jumlah penumpang lebih banyak atau hingga mencapai 10 orang, harga yang diberikan bisa jauh lebih murah yaitu hingga Rp 250.000 untuk antar jemput (pergi dan kembali). Harga tersebut juga dapat ditekan tergantung dari komunikasi (nego) antara pengunjung dengan pemilik perahu tersebut.


Pilihan moda transportasi laut dari Desa Pajala menuju Desa Bangko


Selanjutnya, untuk masuk Ke Desa Bangko, para pendatang dapat berlabuh di pintu utama yang terdapat di sisi utara permukiman Desa Bangko. Pelabuhan tersebut terletak tepat di depan rumah tokoh masyarakat Suku Bajo Desa Bangko, Haji Baharuddin. Sedangkan bagi para penduduk setempat atau para kerabat penduduk Desa Bangko biasanya melabuhkan perahu mereka langsung di bawah rumah yang akan dituju.




Pelabuhan Desa Pajala


 



Jenis perahu motor yang bisa digunakan


Salah satu pintu masuk Desa Bangko
 


Karena desa ini dibangun diatas laut, setiap rumahnya hanya dihubungkan oleh jembatan kayu titian. Jembatan kayu ini memiliki luas hingga 1,5 meter, yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Jembatan titian ini tidak dilengkapi oleh pagar, namun cukup aman untuk dilewati. Sementara untuk untuk masuk ke rumah atau halaman rumah penduduk, beberapa diantaranya hanya menyediakan sebatang papan kayu sepanjang 2 meter hingga lebih sebagai jembatan, yang cukup kuat untuk dipijaki, namun butuh keberanian untuk mampu melewatinya. Pada malam hari, sepanjang jalan ini tidak dilengkapi oleh lampu penerangan. Lampu penerangan hanya dipasang di persimpangan jalan, dan pencahayaan juga mengandalkan cahaya lampu dari rumah-rumah di sekitarnya. Tidak ada kendaraan yang digunakan dalam perumahan ini, baik itu motor maupun sepeda. Mobilitas masyarakat dan pengunjung hanya dengan berjalan kaki. Sementara itu untuk mengakses pulau-pulau berpasir putih di sekitar Desa Bangko membutuhkan perahu bermotor yang dapat disewa dari masyarakat Desa Bangko sendiri, atau perahu bermotor dari Desa Pajala, dengan harga yang cukup murah, yaitu kurang lebih hanya Rp 150 ribu/hari untuk jumlah penumpang hingga 10 orang (Rp.15.000 per orang).

Suasana dalam perkampungan Desa Bangko
 




DAYA TARIK

Anak-Anak bermain di sore hari
 

 
Semua rumah penduduk di Desa Bangko merupakan rumah tradisional non-permanen, dengan dinding rumah terbuat dari kayu atau daun rumbia dan atap rumah terbuat dari bahan seng atau daun rumbia. Lantai rumah penduduk Suku Bajo seluruhnya terbuat dari bahan papan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh untuk dipijak. Kayu papan rumah akan diganti jika kondisinya sudah tidak layak lagi untuk digunakan dan membahayakan bagi penghuni rumah. Penduduk Suku Bajo Desa Bangko mendirikan permukiman di atas papan-papan kayu yang ditopang oleh ribuan tiang yang menancap ke dalam dasar laut. Tiang penopang yang tersebut berada pada ketinggian 4 meter (tinggi tiang penopang dari dasar laut hingga ke lantai rumah). Ketinggian air laut pada saat air laut pasang adalah kurang lebih 3,5 meter, sedangkan pada saat air surut ketinggian air laut dibawah permukiman penduduk Desa Bangko beragam. Ketinggian tiang rumah penduduk didasarkan pada kesepakatan bersama, dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat, budaya, serta keamanan dan kenyamanan. Jika rumah dibangun dengan ketinggian yang lebih rendah dari 4 meter dirasa sebagai ketinggian yang tidak aman dari air laut, jika terjadi air laut pasang atau terjadi cuaca ekstrim, yang memungkinkan air laut bisa mencapai lantai rumah mereka. Sedangkan jika dibangun lebih tinggi dari 4 meter, maka pada saat air surut penduduk merasa kesulitan untuk beraktifitas, terasa sangat tinggi dan tidak nyaman.

Sunset dari permukiman Desa Bangko
 




Wisatawan ikut mengajar kelas bahasa inggris di sekolah dasar 

Aktifitas masyarakat Desa Bangko sangat unik dan menarik. Dari cara mendirikan rumah, cara bersosialisasi, aktivitas sehari-hari dan cara pemanfaatan ruang yang terbatas di atas laut menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung, terutama bagi yang menaruh ketertarikan pada kebudayaan.  Sementara daya tarik lainnya adalah pantai berpasir putih di beberapa pulau yang berjarak kurang lebih 3 hingga 5 kilometer dari permukiman penduduk Desa Bangko. Beberapa pantai yang dapat dikunjungi adalah:
1.       Bungintaburi, merupakan pulau pasir putih yang unik.  Pulau ini hanya terdiri dari gundukan pasir putih, dan diatasnya berdiri beberapa rumah panggung Suku Bajo, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman apapun. Selain pasirnya yang indah, keunikan dari pulau ini adalah gundukan pasir tersebut akan berpindah tempat tergantung dari musim saat itu. Misalnya pada musim angin barat, gundukan pasir akan berpindah ke arah timur, dan musim angin timur gundukan pasir akan berpindah kembali ke arah barat.
2.       Pulau Gala Kecil, adalah pulau yang tidak berpenghuni, dengan kisaran luas 1 km2.  Pulau ini memiliki pasir putih, dan bebatuan alam yang indah, sehingga memiliki nilai untuk dikembangkan sebagai objek wisata.
3.       Pulau Maginti, merupakan salah satu pulau besar yang dihuni oleh masyarakat Suku Bajo dan Muna.  Namun permukiman ini berdiri di atas daratan, bukan di atas laut seperti yang ada di Desa Bangko. Rumah di Pulau Maginti merupakan rumah adat dengan arsitektur tradisional yang khas Muna. Selain daya tarik budaya, pulau ini juga menyajikan keindahan daya tarik alam berupa pasir putih, dan terumbu karang.  Meskipun terumbu karang yang ada di kawasan pulau ini tidak begitu luas, namun cukup menambah keragaman daya tarik alam di sekitar kawasan Desa Bangko.
4.       Ekosistem Mangrove di Pulau Bangko dan pesisir barat daratan Pulau Muna.

Rumah Suku Bajo di Bungintaburi
 


Salah satu sudut pantai di Pulau Gala Kecil
 

Selain dengan menikmati keindahan alam dan budaya masyarakat Desa Bangko, aktivitas yang dapat dilakukan selama kunjungan wisata ke kawasan Desa Bangko juga dapat diselingi dengan beberapa aktivitas seperti mengikuti kegiatan masyarakat misalnya menangkap ikan di laut, mencari kepiting di hutan bakau, atau mengikuti warga menelusuri sungai untuk mengambil air bersih. 

[Perlu diketahui bahwa untuk keperluan air bersih sehari-hari, masyarakat mengambilnya air bersih di sungai yang berjarak 2 hingga 3 kilometer dari permukiman, atau menampung air hujan dalam sebuah wadah. Air bersih di Desa Bangko juga dikomersilkan oleh beberapa orang, dalam artian bahwa ada beberapa orang warga yang menjual air bersih di Desa sehingga masyarakat tidak perlu lagi jauh-jauh ke sungai. Meskipun cara tersebut cukup membantu, namun penduduk setempat menginginkan aksesbilitas yang lebih baik terhadap air bersih]

Sementara itu untuk hal kuliner, karena permukiman berada di atas laut, dan masyarakatnya mayoritas adalah nelayan, maka makanan yang dapat dikonsumsi oleh pengunjung di Desa Bangko tentu saja adalah seafood, seperti kepiting, ikan, lobster, kerang, cumi-cumi, dan sebagainya. Masyarakat mengolah masakan tersebut dengan racikan bumbu yang sederhana. Beberapanya olahan makanannya bahkan tidak dimasak, namun hanya dicuci dengan air panas, dibumbui dengan garam dan cabai, lalu diberi perasan jeruk nipis. Makanan ini sekilas mirip dengan Sashimi dari Jepang. 

Beberapa makanan yang biasa disajikan oleh masyarakat juga merupakan kombinasi masakan daerah Muna, seperti: lapa-lapa, kagule, kapinda, kambewe, dan lain sebaginya.  


AKOMODASI 

Hingga saat ini belum ada penginapan komersil yang ada di permukiman Suku Bajo di Desa Bangko. Para pengunjung yang datang dan ingin menginap di permukiman ini bisa tinggal di rumah penduduk setempat, dengan fasilitas yang sederhana, seperti tempat tidur kasur atau tikar, bantal/guling, dan kamar mandi/toilet. Menikmati malam di Desa ini sangat menenangkan. Pengunjung akan sesekali dapat merasakan bagaimana tiang rumah yang ditumpangi bergoyang karena hempasan ombak. Tapi semuanya akan aman dan baik-baik saja. 

Kamar mandi/toilet di permukiman Desa Bangko ini juga sangat sederhana. Untuk mandi, tersedia drum yang berisi air yang diambil dari sungai terdekat, atau dari air hujan. Karena susahnya memperoleh air bersih, selama berada di permukiman ini pengunjung diharapkan untuk menghemat penggunaan air bersih seminimal mungkin. 

Beberapa rumah yang biasa digunakan untuk menginap oleh pengunjung antara lain adalah rumah Kepala Desa Bangko bapak Hayal Panu, dan rumah Tokoh Adat Desa Bangko bapak Alm Haji Baharuddin. Sementara biaya untuk penginapan dikisarkan antara Rp 60.000 hingga Rp 150.000 permalam, atau bisa saja gratis tergantung dari kesepakatan yang telah dibicarakan sebelumnya.


LISTRIK  

Listrik di Desa ini dihasilkan oleh pembangkit listrik dari generator/genset, yang menggunakan bahan bakar bensin. Namun tidak semua rumah di Desa ini memiliki pembangkit listrik tersebut, dan tidak semua rumah teraliri oleh listrik. Genset di Desa Bangko hanya dimiliki oleh beberapa orang tertentu dan umumnya hanya beroperasi saat hari mulai beranjak gelap, yaitu pada sekitar pukul 18.00 hingga pukul 22.00 malam atau saat seluruh aktivitas penghuni rumah telah berakhir. Sementara pada siang hari, masyarakat menyalakan listrik hanya untuk kebutuhan yang sangat penting, atau jika sedang menyelenggarakan hajatan adat, pernikahan, dan kebutuhan penting lainnya.


TELEKOMUNIKASI 

Desa Bangko hanya mampu dijangkau oleh layanan Telkomsel, namun dengan kualitas jaringan yang sangat rendah. Seringkali signal hanya bisa diperoleh dari daerah ujung jembatan/jalan titian di sebelah utara permukiman. Namun masyarakat di Desa Bangko ini cukup kreatif dengan membuat teknologi sederhana untuk mendapatkan signal yang kuat, yaitu dengan membuat tiang antenna penangkap signal. Beberapa rumah memiliki tiang antena penangkap signal yang tinggi, yang salah satu bagian ujung kabel antena tersebut ditempelkan atau diikatkan dengan karet ke bagian belakang telepon seluler, sehingga signal yang dihasilkan akan sangat kuat.  

Beragam daya tarik yang dimiliki oleh kawasan permukiman adat Suku Bajo di Desa Bangko menunjukkan bahwa desa ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah objek wisata. Dalam prosesnya masyarakat setempat perlu dilibatkan secara aktif, baik sejak proses perencanaan hingga saat kegiatan wisata tersebut telah berlangsung. Dengan aplikasi konsep community based tourism, masyarakat diharapkan menjadi pelaku utama dan diberdayakan secara mandiri melalui sektor pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konsep ini memungkinkan masyarakat mengelola sendiri segala aktivitas dan penyediaan fasilitas pariwisata, sehingga keuntungan ekonomi yang diperoleh dapat dinikmati oleh masyarakat. Model pengentasan kemiskinan melalui pariwisata (pro poor tourism) juga memungkinkan masyarakat memperoleh keuntungan bersih dalam ekonomi dan pembangunan infrastruktur, tanpa merubah kebudayaan dan kearifan lokal, serta tidak mengganggu akses masyarakat pada ruang-ruang tertentu, dalam hal ini tidak ada privatisasi pada ruang publik untuk kepentingan pribadi. Pengembangan pariwisata di desa ini diharapkan dapat meningkatkan upaya konservasi budaya dan lingkungan, karena dengan menjaga budaya dan lingkungan tersebut berarti masyarakat menjaga eksistensi daya tarik wisatanya. Sasaran yang dapat tercapai dalam pengembangan pariwisata di Desa Bangko adalah masyarakat setempat tidak lagi semata-mata hanya menggantungkan hidup dari sektor perikanan, namun juga dapat berpartisipasi dalam penyediaan transportasi, usaha penginapan, makan dan minum, dan segala usaha lain yang mendukung kegiatan pariwisata, agar taraf hidup masyarakat dapat meningkat, sehingga masyarakat setempat dapat mengakses ke segala kebutuhan hidup yang lebih layak. 

YANG HARUS DIPERHATIKAN 
Selama mengunjungi Desa Bangko, pengunjung diminta untuk bersikap sopan, tidak membuat keributan, atau hal-hal lain yang mengganggu kenyamanan masyarakat lokal. Pengunjung diharapkan tidak membuat sentakan di lantai rumah, sebab getaran sentakan tersebut dapat dirasakan oleh seisi rumah. 

Bersedia untuk mematuhi larangan atau pantangan berkaitan dengan hal-hal yang tidak boleh dilakukan, atau tempat-tempat yang tidak boleh didatangi.
·        Jika ingin mandi di laut, disarankan untuk di kawasan pantai dan tidak mandi di sekitar permukiman, mengingat sistem sanitasi di Desa ini masih buruk.
·         Disarankan untuk membawa air mineral dari daratan, sebab di akses terhadap air minum di Desa Bangko masih sulit.
·    Tidak membuang sampah sembarangan, atau meninggalkan sampah di Desa Bangko.
·         Menghemat penggunaan air bersih.
                                                 


1.1. Suku Tolaki
Penduduk Sulawesi Tenggara umumnya beragama Islam. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih terlihat sisa-sisa dari kepercayaan mereka yang terdahulu yang taat hubungannya dengan animisme dan dinamisme. Karena itu di kalangan masyarakat terdapat berbagai upacara keagamaan yang dilaksanakan. Misalnya upacara Monahu Khau yakni upacara setelah potong padi. Di kalangan suku Tolaki yang beragama Kristen upacara ini mewujudkan dalam bentuk kebaktian pengucapan Syukur tahunan yang dilaksanakan di gereja. Sedangkan di daerah-daerah tertentu upacara Manahu Udhan, dilakukan sangat meriah terutama di desa Benua kecamatan Lambuya. Upacara ini dilaksanakan di lapangan terbuka, selama tiga malam berturut dan dipimpin seorang dukun yang disebut Mbusehe. Saat dilaksanakan biasanya pada bulan September, semalam sebelum sampai dengan sesudah bulan purnama. Sebagai alat penerangannya adalah sinar bulan tersebut dan tidak boleh menggunakan lampu.
Kemudian para peserta yang biasanya terdiri dari rakyat petani pada umumnya, menari bergandengan tangan mengelilingi nilavaka yakni bangunan darurat tempat menaruh gendang dan alat musik lainnya. Malam ketiga atau penutupan, pagi-pagi hari diadakan upacara korban atau musehe yang dilakukan oleh dukun.

Selain upacara yang berhubungan dengan pertanian, maka dalam kehidupan individu atau siklus kehidupan juga dilakukan berbagai upacara mulai dari saat seorang wanita hamil, melahirkan, kemudian dewasa, melaksanakan perkawinan kemudian kematian. Upacara yang berhubungan dengan lingkaran kehidupan ini antara lain Meosambaki yaitu selamatan bagi anak pertama yang berusia 7 hari, Mekui atau Mosere Curu yakni pemotongan rambut pada waktu bayi berumur 7 tahun, biasanya satu sampai empat malam anak ini dikurung, dan pada upacara ini anak tersebut disunat atau Manggilo. Kemudian upacara Mee Eni bila anak berusia 15 tahun hingga masa peralihan dari kanak-kanak hingga dewasa.Dalam upacara ini diadakan perataan gigi dengan benda keras, biasanya batu atau kikir.
Dalam upacara perkawinan yang lazim, selalu didahului dengan peminangan. Namun ada juga yang melakukan kawin lari, tanpa peminangan kepada pihak sang gadis. Karenanya cara perkawinan di daerah Sulawesi Tenggara dibedakan kedalam 4 macam, yaitu Mesasapu, bentuk perkawinan dengan peminangan, perkawinan lari bersama disebut Ropolasu atau humbuni, bila kawin lari dengan paksa oleh pihak laki-laki disebut pinola suako atau popalaisaka. Dalam perkawinan bawa lari atau lari bersama ini pihak laki-laki dikenakan sangsi berupa pembayaran yang tinggi kepada orang tua si gadis. Bentuk perkawinan keempat adalah moruntandole atau uncura yakni bila lamaran ditolak atau si gadis sudah dipertunangkan dengan pamuda lain, maka pihak orang tua laki-laki mendesak untuk melaksanakan perkawinan antara anaknya dengan sigadis saat itu juga. Dalam mengurus mayat suku-suku bangsa di Sulawesi Tenggara bila seorang raja cara-cara bangsawan meninggal, sebagai pertanda dipukul gong secara berkepanjangan disebut Batubangewea. Di saat nafas terakhir disembelihkan seekor kerbau yang disebut Katu Mbenao.
Kemudian kepada semua kerabat diberi tahu dengan mendatanginya, oleh orang yang diberi tugas dengan membawa perangkat adat berupa lingkaran rotan dililit tiga dan diikat secarik kain putih. Dengan cara ini, yang didatangi sudah mengerti bahwa itu merupakan berita kematian.
Setelah mayat disimpan semalam lalu dimasukkan ke dalam tempat semacam peti mati yang disebut soronga, dibuat dari sebatang pohon. Setelah itu mayat dalam soronga di bawa ke gua batu atau disimpan dalam rumah-rumah yang khusus dibuatkan untuk itu, biasanya di tengah hutan.

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. Mendiami daerah yang berada di sekitar kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selaten, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal, hidup dari hasil ladang dan persawahan yang di buat secara gotong-royong keluarga.

Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunani Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut.

Karena masyarakat tolaki hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi. Selain itu ada pula makanan pokok yang berasal dari pohon sagu (tawaro) dan dikelola dengan cara memotong batang pohon sagu yang kemudian diiris isi dari batangnya setelah itu dilakukan Lumanda atau meratakan hasil irisan tersebut didalam tempat penampungan sehingga hasil dari proses semua itu akan menjadi sagu (tawaro)/Sinonggi (siap saji). Rumah mereka yang umumnya berbentuk rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka. Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki atap yang tinggi.

Perbedaan kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta masayarakat biasa, masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi. Tiap kelas sosial biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara berbagai macam budaya dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada akhirnya memegang kepemilikan atas lahan.

Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga Si gadis pada saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang jelata. Poligami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dilakukan.

Tari Lulo atau Tari Pergaulan Suku Tolaki
Ada tiga pendapat orang-orang mengenai Tari Lulo, yaitu : Menurut M. Oktrisman Balagi Kepala Bidang Pesona Seni Budaya Badan Pariwisata dan Kebudayaan Sultra, tarian lulo menggambarkan kebersamaan masyarakat Tolaki dalam keberagaman dengan meninggalkan sekat yang membedakan kaya dan miskin serta status sosial lainnya. Menurut Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena upaya masyarakat dan pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo dikembangkan dengan adaptasi konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan lulo yaitu Lulo biasa, lulo pata-pata, Moleba (lompat-lompat), Pinetabe (penghormatan), dan lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan dikreasi gerakannya agar tetap lebih up to date sesuai dengan perkembangan waktu. Menurut Trisman, yang terpenting dari proses menjaga dan melestarikan tarian tradisional lulo adalah harapan bahwa tarian lulo merupakan mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu bersatu, bergotong royong dan saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga mepokoaso”.

Pemahaman Tentang Tari Lulo
Dahulu kala, ketika Tari Lulo menjadi sarana untuk mencari jodoh, terdapat tata atur yang sangat ketat. Ketika akan masuk ke dalam arena tarian misalnya, para penari harus masuk dari depan dan tidak diperbolehkan masuk dari belakang. Selain itu, ketika akan mengajak calon pasangan untuk menari, terutama pasangan pria yang mencari pasangan wanita, hendaknya mencari wanita yang sedang berpasangan dengan wanita. Jadi, seorang pria tidak diperbolehkan mengajak seorang wanita yang sudah berpasangan dengan pria lain. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kesalah pahaman ketika tarian berlangsung. Ada juga aturan lain yang cukup menarik untuk diketahui, seperti ketika terjadi penolakan dari calon  pasangan. Apabila seorang pria yang mencari pasangan ditolak oleh si wanita, maka pria tersebut dikenai denda adat, yaitu seekor kerbau ditambah dua lembar sarung (toloa). Akan tetapi, denda ini tidak berlaku sebaliknya kepada pihak wanita. Seiring perjalanan waktu, tata atur yang berlaku dalam tarian ini sudah mulai ditinggalkan. (Mardiati, 2012)

Cara menari Lulo
Tari Lulo memiliki gerakan yang sederhana dan teratur, sehingga memberikan kemudahan  bagi siapa saja untuk melakukannya. Tari Lulo dilakukan dengan saling bergenggaman tangan, melangkahkan kaki dua kali ke kiri, dua kali ke kanan, ke depan dan belakang sambil menghentakkan kaki mengikuti irama musik memberikan nilai seni tersendiri bagi mereka  yang melakukannya. Di samping itu ada yang perlu diperhatikan dalam tarian lulo ini seperti  posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Ini dilakukan supaya gerakan tari bisa berjalan secara harmonis, dan bagian atas tubuh wanita tidak tersentuh oleh pasangannya ketika menari. Selain itu merupakan wujud simbolisasi dari kedudukan, peran, etika kaum pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, tarian ini dilakukan dengan gerakan yang teratur dan berputar dalam satu lingkaran. (Mardia, 2000)

Perkembangan Tari Lulo
Seiring perkembangan waktu, kesenian lulo sendiri ikut mengalami perkembangan. Hadirnya hiburan lain dalam masyarakat modern seperti diskotik, pub, dan konser-konser musik dengan penampilan artis-artis lokal maupun nasional tidak membuat kesenian Lulo ditinggalkan masyarakat. Melainkan lulo semakin saja tumbuh subur dengan iklimnya sendiri  bahkan dengan gaya dan caranya yang khas. Saat ini Tarian Lulo sendiri telah mengalami  proses penyesuaian dalam berbagai bentuk. Lulo yang dulunya hanya dilakukan dengan mengikuti irama alat musik tradisional seperti gong telah berubah dengan menggunakan alat musik elektornik electone atau organ. Di tengah perkembangan peradaban yang terus melaju membentang membentuk simpul modernisasi zaman dengan segala hal yang dibuatnya memukau, lulo ternyata mampu bertahan dan tidak kehilangan pesona. Tidak hanya itu Lulo  pun terus tumbuh dengan geliatnya yang kuat mengikuti lajur ngilu perkembangan massa. Hal ini dijelaskan Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena upaya masyarakat dan  pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo dikembangkan dengan adaptasi konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan lulo yaitu Lulo biasa, lulo pata-pata, Moleba (lompat-lompat), Pinetabe (penghormatan), dan lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan dikreasi gerakannya agar tetap lebih up to date sesuai dengan perkembangan waktu. Menurut Trisman, yang terpenting dari proses menjaga dan melestarikan tarian tradisional lulo adalah harapan bahwa tarian lulo merupakan mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu bersatu, bergotong royong dan saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga mepokoaso”. (Mardiati, 2012)




DAFTAR PUSTAKA


                                                      

Ribka Hotma Gabe (4423143932)
Program Studi Usaha Jasa Pariwisata
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
ribkagabe@rocketmail.com

 



21 comments:

  1. Informasi yang bagus. Mungkin lebih baik kalau yang dibahas satu suku saja agar lebih mendalami pembahasan. Terimakasih infonya, sukses selalu:)

    ReplyDelete
  2. Infonya sangat bagus, trimakasih :D

    ReplyDelete
  3. terimakasih utk informasinya, saya ingin bertanya sebelumnya, terkait masalah kebutuhan masyarakat suku Bajo yakni Sanitasi yg menurut info diatas masih kurang baik, pengetahuan ttg kesehatan sepertinya masih rendah disana. bagaimana dengan aspek pendidikan disana?

    karena salah satu faktor pendukung kemajuan suatu daerah adalah pendidikannya, dan dengan pendidikan juga potensi pariwisata dapat digali lebih dalam lagi. terimakasih.

    salam. MerryClementine, Sosiologi UNJ 2011

    ReplyDelete
  4. utk informasi artikel Suku Tolaki bagus sekali, karena kamu menunjukkan beberapa hal yg menjadi bagian sistem sosial di Suku tsb, sebagai contohnya yakni kelas sosial yg masih berlaku di daerah tersebut.
    terimakasih.

    ReplyDelete
  5. trimakasih infonya saya semakin tahu tentang sulawesi tenggara, semangat terus!

    ReplyDelete
  6. Terimakasih atas infonya ^^ sangat membantu~

    ReplyDelete
  7. Sangat jarang info tentang suku, adat dan istiadat suku di sulawesi ini, infonya sangat membantu wawasan saya sbg org indonesia. Terima kasih :)

    ReplyDelete
  8. Wah info ini menarik sekali, terima kasih gabe

    ReplyDelete
  9. Info yang menarik.. rasanya jadi ingin pergi wisata ke Desa Banko:)

    ReplyDelete
  10. Info yang menarik.. rasanya jadi ingin pergi wisata ke Desa Banko:)

    ReplyDelete
  11. Wah terima kasih atas informasinya. Menambah wawasan sy, sukses selalu ya

    ReplyDelete
  12. Thanks ya infonya. Bermanfaat banget nih!

    ReplyDelete
  13. Informasi yang bagus. Karena kita bisa Mengetahui apa saja pariwisata dan kehidupan yang ada di sulawesi tenggara
    Terima kasih sukses selalu :)

    ReplyDelete
  14. Lengkapppp. Sangat menambah wawasan saya, terimakasiiihh

    ReplyDelete
  15. Lengkapppp. Sangat menambah wawasan saya, terimakasiiihh

    ReplyDelete
  16. Terimakasih infonya, sangat membantu;)..wahh jadi pengen nih jalan" ke sulawesi tenggara

    ReplyDelete
  17. Pulau bangko keren yuahh ...thanks infonyaa ..

    ReplyDelete
  18. Bagus sekali artikelnya semoga sukses

    ReplyDelete