Yuk Wisata ke Taman berbau Megalitikum
Pendahuluan
Minahasa secara etimologi berasal dari kata
Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau
menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik
Minahasa yang terdiri dari Tontemboan ,
Tombulu, Tonsea, Tolour )tonado, Tonsawang, Panosakan, Pasan, dan Bantik..
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan.
"Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar
mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang
menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado,
dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa"
dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan
Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan
para "Tonaas" di Watu
Pinawetengan (Batu
Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda
pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal
8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok
sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa
tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli".
Adapun
suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya
kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung,
dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku
Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu
(meliputi Kota Tomohon,
sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku
Ponosakan (meliputi Belang),
dan Pasan (meliputi Ratahan).
Satu-satunya
anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang
mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara
dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata
dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti
kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.
Pembahasan
Waruga
Sawangan mungkin asing di telinga kita, destinasi wisata budaya ini terletak di
daerah minahasa. Di Sulawesi Utara, tepatnya di
Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa, ada sebuah pekuburan
yang dinamakan Taman Waruga. Mungkin kalian belum begitu tahu
tentang Apa itu Waruga Sawarna, saya akan membahas tentang Waruga sawarna. Waruga
adalah kuburan orang minahasa kuno yang berupa batu yang berongga segi empat
dan mempunyai tinggi sekitar 1 meter, di pemakaman ini jasad diletakkan dalam
posisi duduk dengan cangkup batuyang menutupi jasad tersebut. Warga minahasa
biasanya menggunakan batu kubur untuk satu keluarga, jadi dalam satu kuburan
bisa berisikan 12 jasad, yang bisa dilihat dari jumlah garis yang ditorehkan
pada cangkup Waruga.
Pada mulanya Suku Minahasa jika
mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun
woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan
menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti
wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke
dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah.
Baru sekitar abad IX Suku Minahasa
mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi
menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan
kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa
nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai
ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.
Menurut informasi Waruga Sawangan ini semula tersebar di
kebun maupun rumah-rumah penduduk desa, namun kemudian dikumpulkan pada satu
lokasi di tempat yang sekarang ini. Walaupun pada tahun 1977/1978
kompleks waruga ini mengalami pemugaran oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala
Ujung Pandang bersama dengan Bidang Muskala Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara. Setelah pemugaran itu maka
waruga di Situs Sawangan ini menjadi teratur rapi dan memiliki jalan setapak di
dalam kompleks waruga serta diberi pagar keliling dari kawat berduri.
Luas lahan yang berisi konsentrasi waruga berukuran 60 x 137
meter, dengan luas zona penyangga 10 x 137 meter. Jadi luas situs secara
keseluruhan adalah 274 x 70 meter termasuk lahan kosong di belakang kompleks
waruga dan jalan masuk ke kompleks waruga. Di luar zona inti dan zona penyangga
ada lahan seluas 40 x 40 meter yang berisi rumah adat minahasa sebagai museum,
aula, tempat parkir, 4 wc dan taman. Situs ini berada di belakang
perumahan dan lahan penduduk.
Menurut catatan, di seluruh daerah Minahasa bagian utara,
termasuk Kodya Manado, hanya terdapat sekitar 2.000 buah waruga yang tersebar
di beberapa tempat seperti: Sawangan 142 buah, Airmadidi Bawah 155 buah, Kema
14 buah, Kaima 9 buah, Tanggari 14 buah, Woloan 19 buah, Tondano 40 buah dan
lain sebagainya. Pada awal abad ke-20, tradisi mengubur mayat dalam
waruga ini berhenti karena muncul wabah penyakit (kolera dan tifus) yang diduga
bersumber dari mayat yang membusuk dalam waruga. Di daerah Sawangan, atas
instruksi Hukum Tua (kepala desa), waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa
dikumpulkan dan diletakkan di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa
tidak terjangkit wabah penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi.
Waruga-waruga yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik
perhatian orang luar, terutama para peneliti, sejak C.T.
Sebelum memasuki kompleks waruga terlebih dahulu harus
dilalui kompleks pekuburan umum. Pekuburan umum ini sebenarnya juga merupakan
pekuburan yang cukup tua, dibuktikan dengan adanya kubur-kubur yang berasal
dari tahun seribu delapan ratusan. Namun oleh masyarakat desa ini pekuburan
tersebut masih digunakan sampai sekarang. Yang menarik pekuburan ini tidak
hanya menjadi kuburan umat Kristiani, tetapi juga menjadi kuburan umat lain
selain Kristiani.
Pada waktu pemugaran di dalam waruga banyak ditemukan
benda-benda sebagai isinya, yaitu berupa piring-piring keramik, manik,
tulang-tulang manusia dan benda-benda logam serta gelang-gelang perunggu. Luas
lahan yang berisi konsentrasi waruga berukuran 60 x 137 meter, dengan luas zona
penyangga 10 x 137 meter. Jadi luas situs secara keseluruhan adalah 274 x 70
meter termasuk lahan kosong di belakang kompleks waruga dan jalan masuk ke
kompleks waruga.
Di luar zona inti dan zona penyangga ada lahan seluas 40 x 40
meter yang berisi rumah adat minahasa sebagai museum, aula, tempat parkir, 4 wc
dan taman. Situs ini berada di belakang perumahan dan lahan pendudukBertling
menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam
majalah Nederlansche Indis Oud en Niew (NION), No. XVI, tahun 1931.
Saat
kita memasuki wilayah Waruga Sawangan kita akan memasuki lorong yang di sisi
kanan kirinya terdapat relief yang menjelaskan tentang bagaimana Waruga ini
dibuat sampai dengan cara memasukkan jasad ke dalam Waruga.
Relief pertama yang
akan kita lihat adalah bagaimana warga membuat waruga, relief waruga tersebut
menggambarkan seorang warga yang sedang membut waruga, waruga itu sendiri dibuat
dari dua batu besar yang utuh dengan cara menatah, dimana bagian bawah dari
waruga berbentuuh persegi empat dengan fungsi ruang untuk menyimpan mayat
dibagian tengahnya dan pada bagian atas berbentuk lancip seperti atap rumah
kebanyakan.
Dan
relief ke dua yang akan kita jumpai adalah bagaimana warga minahasa kuno
membawa dari tempat pembuatan sampai ketempat dimana waruga itu akan
dipergunakan, dahulu warga minahasa/ nenek moyang membawa dengan cara dipikul
seperti yang ada pada gambar relief, waruga tersebut berukuran 1 meter dan
dibawa dengan cara di gendong atau di pikul.
Relief
ketiga yang akan kita jumpai pada lorong adalah relief yang menggambarkan
kompleks Waruga Sawangan tempo dahulu, yang memperlihatkan dimana jasad jasad
para nenek moyang/ warga minahasa di kubur/disimpan.
Di
relief keempat kita akan di perlihatkan bagaimana cara sebelum jasad warga
minahasa kuno di kuburkan, sebelum jasad dimasukkan ke dalam waruga terlebih
dahulu benda benda milik si jasad tersebut seperti parang, gelang, manik-manik,
piring, sendok mangkuk uang benggor , parang dan sebagainya.
Lalu
relief kelima adalah relief yang menggambarkan bagaimana jasad tersebut
dimasukkan ke dalam Waruga dengan cara diletakkan pada keadaan/ posisi duduk
dengan tumit kaki menempel di bokong dan bagian kepala merunduk atau mencium
lutut. Maksud warga menguburkan si jasad ini dengan posisi duduk dan bagian
wajah mencium lutut ini mengembalikan seperti saat berada di dalam kandungan. Dan
wajah jasad dihadapkan ke bagian utara dimana konon menurut kepercayaan warga
minahasa kuno surge berada atau tempat nenek moyang mereka berasal.
Relief
selanjutnya yang dapat kita lihat di gambar atas ialah menunjukkan jasad posisi
jasad dalam batu waruga. Kata waruga konon berasal dari kata wale yang berarti
rumah dan maruga yang erarti badang yang menjadi hancur.
Relief
ke tujuh yang bisa kita lihat pada gambar disamping
adalah bagaimana dahulu digambarkan seorang ibu yang sedang mengandung, posisi
laki-laki dan perempuan sama di dalam kandungan akan tetapi menurut orang
minahasa kuno yang membedakan terletak pada jari jemari laki-laki dan
perempuan, dimana posisi tangan jasad perempuan dibuat mengepal sedangkan
posisi tangan laki laki dibuat mengunci. Perempuan (kanan), laki-laki (kiri).
Relief
ke delapan atau relief terakhir adalah gambaran atap dari waruga yang berbentuk
lancip segitiga, ukiran waruga memiliki arti tertentu, misalnya saja yang
tertera pada gambar adalah seorang pria menunjukkan bahwa si jasad yang ada di
dalam waruga adalah seorang pemimpin. Ukiran merupakan gambaran status sosial
si jasad tersebut siapa dia dan dari mana dia berasal. Dan jumlah garis yang
berada di atas ukiran orang menunjukkan jumlah mayat yang berada di dalam
waruga, konon kabarnya satu waruga bisa diisi oleh 12 jasad yang berasal dari
satu keluarga.
Gambar
disamping menggambarkan atap dari waruga ada beberapa patung dari jasad
tersebut itu menggambarkan ada beberapa jasad di dalam waruga tersebut. Ada juga
waruga yang berbentuk kecil seperti yang Nampak pada gambar waruga tersebut
digunakan sebagai kubur batu anak-anak.
Ada
yang mengatakan bahwa hiasan hiasan yang berada di atap waruga tersebut adalah
gambaran situasai saat orang tersebut yang ada di dalam waruga mati. Misalnya
ada yang meninggal pada saat sedang melahirkan digambarkanlah patung tersebut
menyerupai orang yang sedang melahirkan. Namun ada juga yang beranggapan bahwa
hiasan hiasan tersebut merupakan profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya,
ada hiasan orang yg sedang bermusyawarah maka dahulu orang tersebut berprofesi
sebagai seorang Dotu Tangkudu (hakim), namun jika patung tersebut ada gambar
binatang maka di pastikan jasad yang ada di dalam waruga tersebut adalah
seorang pemburu.
Jumlah orang yang dikubur dalam waruga ditandai dengan ukiran
berupa garis di samping penutup Waruga. Sementara cungkup atau penutup yang
polos kemungkinan merupakan Waruga yang tua dimana saat itu belum ada kebiasaan
mengukir atau memahat penutup Waruga.
Selain tempat pemakaman Kompleks Taman Waruga Sawangan
terbagi menjadi aman Waruga dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: tempat
pemakaman, museum, dan bangunan tambahan. Di dalam museum itu terdapat
beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung,
keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain
sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari waruga yang telah dibongkar
dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan diletakkan di
dalam waruga biasanya disertai dengan barang-barang perhiasan miliknya.
Pada bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah
museum yang bentuknya berupa rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu
terdapat beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang,
kalung, keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan
lain sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari waruga yang telah
dibongkar dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan
ditaruh di dalam waruga biasanya disertai dengan berang-barang perhiasan miliknya.
Selain itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal yang pernah datang ke kompleks waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran Bernard.
Selain itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal yang pernah datang ke kompleks waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran Bernard.
Di sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang
berbentuk rumah “modern”. Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding
dan di dalamnya terdapat sebuah kereta yang tampak seperti kereta pengangkut
jenazah.
Pada lahan penduduk terdapat berbagai tanaman pohon dengan
jenis tanaman yang berupa pohon mangga, durian, manggis, langsat, cengkih dan
lain-lain. Penduduk desa ini cukup padat, karena hampir semua lahan di sekitar
kompleks waruga ini masih ada yang kosong yang dapat dipakai untuk zona
penyangga dan pengembangan. Ditinjau dari jumlah yang cukup banyak dan
bentuk-bentuk maupun hiasan waruga yang indah, diperkirakan jumlah penduduk di
lokasi ini pada masa yang lalu juga memang cukup banyak dan juga memiliki
ekonomi yang cukup baik.
Kemungkinan Desa Sawangan pada masa lalu merupakan desa yang
cukup besar dan ramai, dengan masyarakat yang berpenghasilan cukup tinggi.
Kehidupan masyarakat cukup makmur dengan lingkungan alam yang mendukung.
Waruga-waruga pada situs ini terbuat dari bahan batuan tufa,
sehingga cukup kuat dan tahan lama. Bahan untuk membuat waruga sudah tersedia
atau disediakan oleh alam, yang banyak terdapat di daerah Minahasa Utara.
Waruga di dalam situs itu berjumlah 144. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan
bahwa “waruga” berasal dari dua kata, yaitu “waru” yang berarti “rumah” dan
“ruga” yang berarti “badan”.
Jadi, waruga dapat diartikan sebagai “rumah tempat badan yang
akan kembali ke surga”. Konon, makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan
dibentuk seperti rumah khas orang Minahasa ini adalah salah satu warisan
tradisi zaman megalitikum yang terus dipertahankan hingga kira-kira pertengahan
abad ke-19. Hal ini dapat dibuktikan dari pahatan angka tahun pada
beberapa waruga seperti: 1769, 1839, 1850 dan lain sebagainya.
Perubahan warga Minahasa
Karena waruga di
Kolongan Tomohon itu ber-angka tahun sekitar memasuki tahun 1900 nampak jelas
bahwa cara-cara tradisional membuat waruga telah berubah dari generasi
sebelumnya . waruga lama tidak mengukirkan nama, tanggal,bulan dan tahun si
yang meninggal, tapi hanya ukiran motif hias seperti gambar manusia,
tanaman,binatang, dan simbol-simbol lainnya. Hingga apabila pihak keluarga dari
generasi lalu melupakan waruga itu, maka generasi sekarang tidak lagi
mengetahui dotu siapa pemilik atau yang di makamkan kedalam waruga tersebut,
hingga banyak sekali waruga Minahasa tidak di ketahui lagi milik keluarga siapa
, apalagi waruga yang berasal dari ratusan tahun lampau.
waruga di kolongan Tomohon dekat rumah sakit "Gunung Maria" tidak lagi diberi ukiran hiasan motif manusia, binatang atau tumbuhan, tetapi mengukirkan keterangan orang yang dimakamkan kedalam waruga tersebut antara lain , Th.T.MANGUNDAP meninggal 5-7-1899, ELI AROR meninggal 8-5-1899, KATARINA ANES meninggal oktober 1895, M.A.MANGUNDAP meninggal 22-7-1900, N.PALAR ( Rusak tidak terbaca),J.SAKUL meninggal 24-4-1900, A.RAPAR.meninggal th.1901, A.POLII mati 24-5-1905 , E.WALUJAN mati 21-6-1906, KSALAKI mati. 11-2-1907 , E.AROR. mati 28-4-1907, dan waruga terbesar dengan batu segi tiga penutup berukuran panjang 1.25 Cm adalah kubur batu dari DANIJEL WALALANGI umur 73 tahun mati 24-11-1908.
waruga di kolongan Tomohon dekat rumah sakit "Gunung Maria" tidak lagi diberi ukiran hiasan motif manusia, binatang atau tumbuhan, tetapi mengukirkan keterangan orang yang dimakamkan kedalam waruga tersebut antara lain , Th.T.MANGUNDAP meninggal 5-7-1899, ELI AROR meninggal 8-5-1899, KATARINA ANES meninggal oktober 1895, M.A.MANGUNDAP meninggal 22-7-1900, N.PALAR ( Rusak tidak terbaca),J.SAKUL meninggal 24-4-1900, A.RAPAR.meninggal th.1901, A.POLII mati 24-5-1905 , E.WALUJAN mati 21-6-1906, KSALAKI mati. 11-2-1907 , E.AROR. mati 28-4-1907, dan waruga terbesar dengan batu segi tiga penutup berukuran panjang 1.25 Cm adalah kubur batu dari DANIJEL WALALANGI umur 73 tahun mati 24-11-1908.
Kalau kita lihat nama-nama pemilik waruga itu sudah punya
nama kristen dan barangkali proses kristenisasi yang menyebabkan orang Minahasa
meninggalkan kebiasaan memakamkan jenazah kedalam waruga .Kita lihat masuknya
agama kristen di Minahasa sudah dari abad 16 ketika bangsa barat Portugis dan
Spanyol membawa agama Katolik ke Minahasa. Tapi agama kristen Protestan masuk
Minahasa melalui misi Zending Belanda baru mulai tahun 1831 mengirimkan
pendeta-pendeta bangsa Jerman seperti J.F.Riwedel beroperasi di Tondano,
J.G.Schwarz beroperasi di Langouwan dan Tonsea, N.Ph.Wilken di Tomohon. Kuranga
Tomohon mulai ada sekolah tahun 1852 dan kemudian thn.1866 di dirikan sekolah
penulong injil ( guru agama merangkap guru sekolah).
Dan tahun 1868 setelah 37 tahun proses protestanisasi maka
misi Katolik kemudian mulai bergiat lagi, ditahun itu juga terbitlah koran
" Cahaya Siang" yang di cetak di Tanah wangko. Menunjukkan bahwa
orang Minahasa mulai tahun 1868 sudah memasuki masyarakat moderen sudah menulis
di koran dan sudah membaca koran berarti sebahagian besar orang Minahasa tidak
lagi buta huruf.
Waruga waruga itu
menunjukkan bahwa orang Minahasa di Tomohon thn.1895-1908 walaupun sudah
mengenyam pendidikan dan dapat membaca menulis, sudah memakai nama Kristen
berarti sudah beberapa generasi masuk kristen, tapi masih di makamkan kedalam
batu waruga . Dari keadaan batu kubur waruga mereka yang berantakan , batu segi
empatnya dilobangi untuk diambil benda "bekal kubur", dan batu
penutup segi tiga terguling jatuh. Menunjukkan bahwa pada pemakaman di Batu Waruga
thn.1895-1908 itu, masih melakukan upacara adat lama dengan memasukkan
"bekal kubur" barang-barang berharga seperti piring porselein antik,
perhiasan emas, kalung,gelang,anting,medalion, yang dalam bahasa Minahasa
(Tombulu) ; " Ringkitan" - " Kokulu" ( gelang emas ),
" Pinepel"- " Tinataokok" - " Kamagi " (
kalung-kalung emas), " ginontalon" ( medalion emas).
Penutup
Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman keluarga
yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua orang
Minahasa Utara memiliki waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial
yang cukup tinggi saja yang memilikinya. Itu pun jumlahnya tidak terlalu
banyak.
Di Situs Sawangan juga ada juru perliharanya yang bertugas
menjaga kebersihan dan keamanan waruga. Namun, karena banyaknya jumlah waruga
di situs ini maka seorang juru pelihara tampaknya tidak memadai untuk menjaga
kebersihan dan keamanan situs dan benda cagar budaya itu. Apabila tidak
diperlihara dengan baik, dikhawatirkan waruga-waruga itu terancam akan
mengalami kerusakan oleh tangan-tangan jahil dan pengaruh alam yang lebih parah
lagi.
Oleh sebab itu, waruga-waruga itu harus terus dilestarikan
dengan direhab secara berkala, dipelihara atau dibersihkan secara rutin, agar
tetap menjadi daya tarik bagi masyarakat wisatawan maupun pemerintah dan
pihak-pihak yang berkaitan. Selain itu, apabila benda ini dilestarikan sesuai dengan
kaidah-kaidah arkeologi, niscaya akan menjadikan objek benda cagar budaya ini
menjad atraksi wisata yang cukup menarik.
Kondisi waruga saat ini sudah tertata dan dalam keadaan
terkumpul atau terkonsentrasi di dalam suatu kompleks. Yang perlu dilakukan
terhadap kompleks waruga ini adalah agar bentuk pagar dan jalan-jalan setapak
di dalam kompleks, supaya dibuat lebih alamiah dan sesuai dengan suasana
megalitik yaitu dengan dilapisi batu-batu alam.
Selain di sawangan, Taman Waruga bisa di temukan di Air
madidi di Bawah dan Rap-rap. Taman waruga, desa sawangan. Siapapun yang ingin
menikmati wisata yang berbau meglitikum yuk kunjungi Sulawesi Utara, luangkan
waktu untuk mengunjungi kompleks Taman Waruga, sawangangan para leluhur yang
berasal dari minahasa.
Gimana? Sudah tertarik untuk mengunjungi Taman Waruga yang
ada di Sulawesi utara? Gak lengkap rasanya kalau sudah mengunjungi Taman Waruga
tanpa wisata kuliner…… saya akan member tahu berbagai makanan khas dari Sulawesi
utara. Nah di bawah ini adalah daftar makanan khas Sulawesi utara.
1. Tinutuan (Bubur Manado). Tinutuan atau
dikenal juga dengan sebutan Bubur Manado merupakan makanan khas Sulawesi Utara
yang paling terkenal. Di hampir semua tempat anda bisa menemukan kuliner yang
satu ini. Bahkan di pusat-pusat keramaian terdapat lokasi yang dikhususkan
untuk menjual tinutuan. Pasalnya, tinutuan telah menjadi bagian dari tradisi
masak-memasak di daerah nyiur melambai. Apa bila anda sedang mengunjungi
berbagai tempat wisata di Manado dan ingin menikmati lezatnya bubur Manado,
maka anda dapat berkunjung ke jalan Wakeke yang merupakan pusat penjualan
tinutuan.
2. Klapatart. Kue yang juga sering ditulis Klappertaart ini
merupakan makanan khas Sulawesi Utara. Klapatart yang dipengaruhi bahasa Belanda
ini merupakan modifikasi dan perpaduan cita rasa barat dan bahan tradisional di
Bumi Nyiur Melambai yakni kelapa. Kuel klapatart ini menjadi suguhan
wajib di setiap perayaan-perayaan besar di Sulut. Saat ini Klapatart juga
menjadi ole-ole khas dari Manado bahkan tidak jarang wisatawan domestik dan
mancanegara menjadikan kue ini sebagai hadiah.
3. Saut. Saut merupakan sayuran yang
berasal dari batang pisang muda (batang paling dalam setelah pelepahnya
dikeluarkan) dan diiris kecil-kecil kemudian dibumbui. Saut sering menjadi
makanan khas setiap kali pesta pernikanan di gelar di Minahasa.
4. Nasi jaha. Nasi jaha adalah merupakan
salah satu makanan khas Sulawesi Utara yang berbahan dasar beras ketan dan
santan, yang dibakar setelah sebelumnya diisi kedalam batang bambu berlapis
daun pisang kemudian dibakar. Nasi jaha merupakan ole-ole wajib selain
dodol setiap perayaan pengucapan syukur.
5. Tinoransak. Tinoransak merupakan makanan
tradisional dengan bahan utama berupa daging babi. Cara pembuatannya yaitu
daging babi, darah babi dan sayuran pendukung kemudian dimasukkan kedalam bambu
kemudian dibakar seperti proses pembuatan nasi jaha.
6. Kawok (tikus). Kawok atau tikus merupakan makanan
yang cukup di gemari masyarakat Sulawesi Utara. Namun tidak semua tikus dapat
diolah menjadi masakan yang memanjakan lidah. Tikus yang diolah menjadi masakah
adalah tikus yang ditangkap dari hutan apa terlebih yang mempunyai ekor
berwarna putih. Sebelum dimasak, tikus terlebih dahulu dibersihkan dengan cara
dibakar dan dikeluarkan sebagian isi perutnya kemudian barulah diolah. Oleh
wisatawan lokal maupun mancanegara, makanan khas Sulawesi Utara ini
dikategorikan sebagai salah satu kuliner ekstrim
7. Paniki (kelelawar). Paniki merupakan salah satu
makanan khas Sulawesi Utara. Sebelum diolah menjadi masakan, biasanya kelelawar
terlebih dahulu dibakar untuk menghilangkan bulu-bulu halusnya, kemudian
dimasak dengan bumbu santan. Menyantap paniki merupakan sebuah kenikmatan yang
berbeda apa terlebih saat menyantap sayapnya.
8. RW (daging ajing). RW seolah-olah telah menjadi
makanan wajib setiap kali pesta pernikahan dibuat di Sulawesi Utara terlebih di
tanah Minahasa. Jenis makanan ini bahan dasarnya adalah anjing yang dimasak
dengan cara khas Manado yakni dimasak bersama – sama dengan rica. Hal ini
dilakuakan agar supaya ciri khasnya yang pedas akan terasa dan lebih nikmat dan
enak untuk disantap.
9. Mujiar Bakar dan Woku telah menjadi salah satu ikon
kuliner di Manado dan Sulawesi Utara umumnya. Tak lengkap rasanya, jika para
wisatawan belum mencicipi olahan ikan mujair dengan resep bumbu khusus Manado.
Selain Mujair Bakar dan Woku, sebenarnya mujair juga bisa disajikan dalam
bentuk gorengan.
10. Cakalang Fufu dan Woku telah menjadi makanan khas
Sulawesi Utara sejak lama. Ikan Cakalang sejatinya, bisa disajikan dalam
berbagai bentuk hidangan seperti gorengan, woku dan kuah. Namun di Sulawesi
Utara, salah satu ciri khas menu andalan adalah Cakalang Fufu. Cakangan Fufu
yang merupakan olahan yang dibumbui, diasap dan dijepit dengan kerangka bambu,
ini bisa disajikan juga dalam bentuk woku dan gorengan. Kata fufu sendiri
berasal dari bahasa Manado yang artinya asap.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.thearoengbinangproject.com/taman-purbakala-waruga-sawangan-minahasa/
http://uun-halimah.blogspot.co.id/2008/08/taman-waruga-minahasa-sulawesi-utara.html
http://www.seputarsulut.com/waruga-sawangan-lokasi-wisata-sejarah-zaman-megalitik/
https://id.wikipedia.org/wiki/Minahasa
http://www.seputarsulut.com/makanan-khas-sulawesi-utara/
Rieka Ockti Dahliana
Usaha Jasa Pariwisata B 2014
Riekaockti@yahoo.co.id
.
No comments:
Post a Comment