Pariwisata
Sejarah Dan Budaya Kampung Bena, Flores
Hallo semua apa kabar? Perkenalkan nama saya Berliana Indah Renata, kalian dapat memanggil dengan Berliana. Mahasiswa Usaha
Jasa Pariwisata Universitas Negeri Jakarta yang sekarang sudah berumur 19 tahun
:D. Sebelumnya mungkin kalian sudah mengenal saya dari postingan tahun lalu saat
saya berbagi cerita tentang pengalaman selama memandu wisata (Guiding). Nah izinkan
saya sekarang untuk menceritakan kembali salah satu kekayaan budaya Indonesia.
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan segala anugerah dan rahmatNya kepada kita semoga kita selalu
dalam perlindunganNya serta selalu dalam keadaan bersyukur. Tanpa pertolonganNya mungkin tulisan ini tidak terselesaikan dengan
baik karena telah melewati beberapa hambatan. Postingan ini saya buat untuk
menambah wawasan tentang salah satu wilayah
kampung tradisional yang ada di negeri kita sendiri,
yaitu saya akan membahas tentang Pariwisata Dan Budaya di Kampung Bena, Flores.
Walaupun postingan ini masih memiliki banyak kekurangan maka saya dengan senang
hati menerima saran dan kritik dari para pembaca yang meluangkan sedikit
waktunya untuk membaca postingan ini. Terima kasih.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa budaya merupakan suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni, bahasa. Sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetik. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu telah dipelajari.
Pulau Flores sendiri merupakan bagian dari
provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi delapan kabupaten dari
barat ke timur sebagai berikut: Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo,
Manggarai dengan ibukota Ruteng, Manggarai Timur dengan ibukota Borong, Ngada
dengan ibukota Bajawa, Nagekeo dengan ibukota Mbay, Ende dengan ibukota Ende,
Sikka dengan ibukota Maumere,Flores Timur dengan ibukota Larantuka dan
kabupaten lembata dengan ibukota lewoleba.
Flores dari bahasa Portugis yang berarti
"bunga" berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores
termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas
wilayah sekitar 14.300 km². Penduduk di Flores, pada tahun 2007, mencapai 1,6
juta jiwa. Puncak tertinggi adalah Gunung Ranakah (2350 m) yang merupakan
gunung tertinggi kedua di Nusa Tenggara Timur, sesudah Gunung Mutis, 2427 m di
Timor Barat. Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor
merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi
kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Flores, dengan luas, jumlah penduduk
dan sumber daya baik alam maupun manusia yang dinilai cukup memadai, kini
tengah mempersiapkan diri menjadi sebuah provinsi pemekaran di NTT.
Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa
gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan
Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah
barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil tersebut, terdapat pulau
Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil
tersebut, terdapat kepulauan Alor. Di sebelah tenggara terdapat pulau Timor. Di
sebelah barat daya terdapat pulau Sumba, di sebelah selatan terdapat laut Sawu,
sebelah utara, di seberang Laut Flores terdapat Sulawesi. Suku bangsa Flores
adalah percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan
pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis
sangat terasa dalam kebudayaan Flores, baik melalui genetik, agama, dan budaya.
Di Flores sendiri terkenal dengan banyaknya flora
dan fauna yang unik berasal dari daerah itu Flores memiliki satu dari sekian
satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus komodoensis atau
lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau
Komodo dan Pulau Rinca, keduanya berada di Kabupaten Manggarai Barat, Flores
Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Flores juga
memiliki satu Taman Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama
Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna
air danaunya.
Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman
Nasional Kelimutu itu tumbuh dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies
tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu pada awal tahun 2007, pihak pengelola Taman
Nasional Kelimutu melai mengadakan identifikasi terhadap kekayaan hayati TN
Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi Kebun Raya Kelimutu. Jadi,
nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam Kelimutu, selain
dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati keanekaragaman
hayati dalam Kebun Raya Kelimutu.
Di Mataloko, Kabupaten Ngada terdapat sumber panas
bumi yang saat ini sedang dikembangkan menjadi sumber listrik. Di Soa, sebelah
timur kota Bajawa, ibu kota kabupaten Ngada terdapat tempat pemandian air panas
alami. Banyak turis asing yang datang ke sana. Di Riung, utara kabupaten Ngada,
terdapat taman laut 17 Pulau yang seindah Taman laut Bunaken di Manado. Yang
unik dari taman laut ini adalah terdapat sebuah pulau yang bernama pulau
Kelelawar yang menjadi tempat tinggal ribuan kelelawar.
Kampung Bena adalah salah satu perkampungan
megalitikum
yang terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di Desa Tiwuriwu,
Kecamatan
Aimere, sekitar 19 km dari
selatan Bajawa. Kabupaten
Ngada sendiri adalah sebuah kabupaten
di bagian tengah pulau Flores, provinsi
Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Ibu kota
kabupatennya
adalah Bajawa.
Luas wilayah 3.037,9 km² dengan jumlah penduduk ± 250.000 jiwa. Kabupaten Ngada
memiliki tiga suku besar, yaitu Suku Nagekeo, Suku Bajawa dan Suku Riung.
Masing-masing suku ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih
dipertahankan sampai saat ini, seperti rumah adat, bahasa yang berbeda satu
sama lainnya, tarian, pakaian adat dan lain-lain.
Perkampungan Desa Tradisional Kampung Bena, Flores |
Kampung Bena ini terletak di
puncak bukit
dengan pemandangan gunung Inerie.
Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung
sebagai tempat para dewa.
Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, yaitu dewa yang bersinggasana di gunung ini yang
melindungi kampung mereka. Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah
rumah yang saling mengelilingi. Badan kampong ini tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya
dari utara saja. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak
sekaligus tepi tebing terjal.
Kampung Bena ini juga sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten
Ngada. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan
dari Jerman
dan Italia.
Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan
yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga
bentuknya mirip pondok
kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan
beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh.
Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi
sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.
Kampung tradisional bernama Bena ini harus menjadi salah satu tujuan
wajib saat kalian mengunjungi Pulau Flores. Di sini waktu seakan terhenti dimana kehidupan dari masa
zaman batu masih dapat kalian nikmati dan resapi bersama keramahan penduduknya
yang mengesankan dengan senyum di mulut dan gigi yang berwarna merah karena
mengkonsumsi sirih pinang. Bukankah sangat menarik untuk menikmati kemewahan
dan kemegahan salah satu warisan budaya nusantara yang mengagumkan di kampung Bena?
Berada dan berporoskan pada Gunung Inerie (2245 mdpl) yang masih
dalam status aktif. Gunung ini nampak hijau kekuningan karena sebagian besar
berupa lahan gundul, walau masih menyisakan hutan di bagian puncaknya. Gunung
ini akan tampak seperti segitiga sempurna dengan sisi yang rapi jika kita
melihatnya dari lokasi tertentu (persis seperti lukisan anak TK yang biasa
menggambar gunung berbentuk segitiga dengan penggaris). Gunung Inerie terakhir meletus pada tahun 1970. Gunung berapi ini menjadi
penting bagi masyarakat Bena, karena mereka meyakini bahwa Zeta yaitu dewa pelindung
mereka tinggal di gunung tersebut. Tetapi ada beberapa info bahwa gunung
ini memiliki hutan lebat di sebelah baratnya saja. Sementara itu, di lereng
bagian selatannya berupa perkebunan. Bagi warga Bena Gunung Inerie dianggap
sebagai hak mama (Ibu) dan Gunung Surulaki dianggap sebagai hak bapa (Ayah).
Kampung Bena di Bajawa adalah salah satu dari desa tradisional
Flores yang masih tersisa karena meninggalkan jejak-jejak budaya megalitikum yang mengagumkan. Desa
ini lokasinya hanya 19 km dari kota Bajawa di Pulau Flores. Kota Bajawa yang
terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Kota
ini sudah banyak
dikunjungi wisatawan apalagi cuacanya cukup dingin, sejuk, dan berbukit-bukit,
mirip seperti di Kaliurang, Yogyakarta. Mayoritas
penduduk kampung Bena adalah penganut agama katolik karena terdapat Gua Maria diujung
deretan pemukiman daerah tersebut, akan tetapi mereka tetap menjalakan kepercayaan leluhur termasuk adat dan
tradisinya. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, memiliki mata pencaharian
sebagai peladang dengan kebun-kebun yang menghijau tumbuh di sisi-sisi ngarai yang
mengelilingi kampung . Tetapi untuk kaum wanita masih ditambah juga dengan kegiatan bertenun, itulah nilai-nilai tradisi dan gaya
hidup tradisional menjadi yang menjadi daya tarik kampung ini. Selama turun
temurun mereka mewariskan adat dan tradisi nenek moyang termasuk mewariskan
keahlian menenun bagi tiap wanita yang tinggal di sana. Pemandangan wanita
menenun di teras rumah panggung di kampung Bena adalah pemandangan lazim yang
kita temui. Mereka menenun menggunakan teknik tradisional dan menjual hasil
tenunannya dangan menggantungkannya di muka rumah. Harganya yang ditawarkan
sangat wajar jika kita menilik proses pengerjaannya yang masih handmade dan
memakan waktu lama.
Wanita Kampung Bena yang sedang bertenun |
Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena.
Setiap suku (klen) memiliki rumah keluarga inti, ”Sao Meze”. Nenek moyang
perempuan disebut ”sao saka pu’u”, dengan miniatur tusuk rambut di atas atap
rumah dan dengan
kelapa muda berukuran kecil. Rumah inti nenek moyang laki-laki disebut ”sao
saka lobo”, dengan tampilan patung pria berbalut ijuk, di mana tangan sambil
memegang parang dan tombak. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan
baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Oh iya dan perlu diketahui kampung
Bena ini sama sekali belum tersentuh oleh kemajuan teknologi.
Kehidupan di Kampung Bena dipertahankan bersama budaya zaman batu
yang tidak banyak berubah sejak 1.200 tahun yang lalu. Di sini ada 9 suku yang
menghuni 45 unit rumah, yaitu: suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru
Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Pembeda
antara satu suku dengan suku lainnya adalah adanya tingkatan sebanyak 9 buah. Setiap satu
suku berada dalam satu tingkat ketinggian. Rumah suku Bena sendiri
berada di tengah-tengah. Karena suku Bena dianggap suku yang paling tua dan pendiri
kampung itu maka
karena itu pula dinamai dengan Bena.
Saat ini Kampung Bena dihuni 326 jiwa dalam 120
keluarga. Akan tetapi, ikatan adat dari kampung ini lebih luas lagi karena ada
ribuan jiwa lainnya yang merupakan keturunan warga Bena bermukim di luar
kampung adat.Warga kampung Bena menganut sistem kekerabatan dengan mengikuti
garis keturunan pihak ibu atau matriakat. Lelaki kampung Bena yang menikah
dengan wanita suku lain maka akan menjadi bagian dari klan istrinya. Khusus
untuk wanita di Bena mereka wajib untuk memiliki keahlian menenun dengan
bermotifkan kuda dan gajah sebagai ciri khasnya.
Untuk petualang dan
pendaki berdatangan ke Gunung Inerie saat musim kemarau (antara Juni hingga
Agustus). Dari atas puncaknya terlihat pemandangan indah dari segala arah
termasuk kota Bajawa di sebelah barat laut. Di bagian selatan terlihat birunya
Laut Sawu yang menempel rapat di kaki gunung ini.Tahun 1882 dan 1970 Gunung
Inerie pernah meletus dan kini meninggalkan jejak keindahan dan kemegahannya
dengan bumbu tanah subur di sekilingnya. Coba bayangkan bagaimana ukuran batang bambu yang
tergolong sangat besar tumbuh di sekitarnya gunung ini.
Di sini dapat kalian puaskan untuk mengamati berhamparan bebatuan megalith tertata untuk
upacara adat dengan formasi yang memukau.Temukan kemewahan dan kemegahan budaya
dari zaman batu dipertontonkan.Warga Bena sejak dahulu menganggap bahwa gunung,
batu, dan hewan-hewan harus dihormati sebagai bagian dari kehidupan.
Saat kalian menjejakkan kaki di beranda depan Kampung Bena maka tersaji
pemandangan rumah adat beratap serat ijuk berjejeran nampak berumpak-umpak.
Badan kampung memanjang dari utara ke selatan dengan pintu masuk kampung hanya
dari utara.Di ujung lainnya di bagian selatan adalah puncaknya sekaligus tepian
tebing terjal.
Kampung Bena memiliki panjang 375 meter dan lebar 80 meter. Setidaknya ada
lebih dari 45 rumah yang mengelilingi perkampungan ini ditemani keaslian budaya
megalit. Disini dapat terlihat 9 tingkat ketinggian tanah di kampung ini
sekaligus membedakan 9 suku yang mendiaminya dan setiap satu suku berada
dalam satu tingkat ketinggian tertentu.
Arsitektur
bangunannya masih sangat sederhana yang hanya memiliki satu pintu gerbang untuk masuk
dan keluar, Menurut catatan Pemerintah Kabupaten
Ngada, Kampung Bena diperkirakan telah ada sejak 1.200 tahun yang
lalu. Hingga kini pola kehidupan serta budaya masyarakatnya tidak banyak
berubah. Dimana masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan
oleh nenek moyang mereka. Bangunan arsitektur Bena tidak hanya merupakan hunian
semata, namun memiliki fungsi dan makna mendalam yang mengandung kearifan lokal
dan masih relevan diterapkan masyarakat pada masa kini dalam pengelolaan
lingkungan binaan yang ramah lingkungan.
Rumah keluarga inti laki-laki dinamakan sakalobo, berupa patung pria
di atas rumah yang memegang parang dan lembing.Sementara itu, rumah keluarga
inti perempuan disebut sakapu’u. Anda juga akan melihat banyak tanduk kerbau,
rahang dan taring babi dipajang menggantung berderet di depan rumah sebagai
lambang status sosial orang Bena. Tanduk, rahang, dan taring babi tersebut
berasal dari hewan-hewan yang dikorbankan oleh masing-masing suku saat upacara
adat.
Ngadhu berdiri di depan setiap rumah adat dimana bangunan ini
menjadi simbol nenek moyang laki-laki. Ngadhu adalah rumah berpayung dengan
satu tiang kayu yang diukir, akar kayu tersebut harus dibuat bercabang dua dan
ditanam dengan darah babi atau ayam.Ngadhu yang beratap serat ijuk ini memiliki
tiang tunggal dari jenis kayu khusus yang keras karena berfungsi juga sebagai
tiang gantungan hewan kurban ketika upacara adat.
Seperti juga ngadhu yang berdiri di halaman depan rumah adat Flores,
bagha adalah simbol nenek moyang perempuan. Bhaga berupa miniatur rumah adat
yang dipersiapkan untuk menerima laki-laki yang menikahi wanita di kampung
ini.Setiap rumah adat ditandai dengan ukiran (weti) dan di atapnya terdapat
senjata yang berguna untuk melindungi penghuninya dari roh-roh jahat.Miniatur
bhaga juga memiliki makna sebagai motivasi hidup bagi anak-anak mereka dan
sebagai pengingat bahwa kemanapun mereka pergi maka harus tetap diingat bahwa
kampung ini adalah tempat asal mereka. Karena ada 9 suku di Kampung Bena
maka terdapat sembilan pasang ngadu dan bagha.
Di tepi paling atas tepat di ujung tertinggi Kampung Bena orang
tidak akan mengira ada sebuah tempat yang menyajikan panorama mengagumkan. Dari
atas bukit ini jurang mengaga menjembatani rentetan gunung dan Laut Sawu di
sebelah kanannya.Pastikan Anda berfoto dengan latar yang luar biasa tersebut.
Mengunyah pinang dan sirih muda dipadu kapur barus adalah kebiasaan
sehari-hari yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Mengunyah ramuan ini akan
memberi rasa segar dengan bonus jejak warna merah di gigi. Memamah sirih pinang
tidak mengenal waktu, kegiatan tersebut dapat dilakukan pagi, siang, sore
bahkan malam hari. Percampuran antara daun sirih, pinang, kapur, gambir dan
sedikit tembakau menghasilkan residunya berupa ludah yang berwarna merah dan
sisa-sisa serat dari buah pinang. Rasanya tidaklah manis tetapi pengalaman
mencicipinya bisa jadi menorehkan pengalaman termanis saat Anda berkunjung ke
Kampung Bena.
Kemiri (Aleuritis molucana) yang dijemur adalah pemandangan yang
pasti akan Anda temukan di Bena. Warga Kampung Bena mengolah biji kemiri yang
mengandung racun ringan dengan memanaskan tanpa minyak atau air hingga biji
hangat. Pemanasan alami dengan menjemurnya di bawah terik Matahari akan
menguraikan toksin. Bijinya kemiri dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan
rempah-rempah dan minyak yang diekstrak dari bijinya dapat digunakan sebagai
bahan campuran cat.
Nilai yang dapat kita diketahui bahwa masyarakat Bena tidak mengeksploitasi
lingkungannya yaitu lahan pemukiman yang dibiarkan sesuai kontur asli tanah
berbukit. Bentuk kampung Bena menyerupai perahu
karena menurut kepercayaan megalitik perahu dianggap punya kaitan dengan wahana bagi arwah yang menuju ke
tempat tinggalnya. Namun nilai yang tercermin dari perahu ini adalah sifat kerjasama,
gotong royong
dan mengisyaratkan kerja keras yang
dicontohkan dari leluhur
mereka dalam menaklukkan alam mengarungi lautan sampai tiba di Bena. Dan pada
tahun 1995 Kampung Bena telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.
Oh iya ada salah satu kegiatan kampung Bena, yaitu
pesta adat yang dinamakan Reba. Reba dilangsungkan pada akhir Desember atau
awal Januari. Dahulu pesta ini diadakan minimal 1 minggu dengan mengorbankan
hewan ternak sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, kini pesta tersebut tidak boleh
lebih dari 3 hari karena pemerintah membatasi jumlah hewan ternak yang
dikorbankan, dan jangan tinggalkan sampah di tempat ini tetapi bawalah cerita
dan kenangan, lalu apresiasi karya tenunan luar biasa dari warga Bena yang
digantung di depan rumah mereka. Kalian dapat melakukan tawar menawar dalam
jual belinya untuk menemukan harga yang wajar dan sesuai.
Untuk transportasi yang dapat diakses menuju kesana, kalian dapat
menyewa kendaraan untuk berkeliling di Bajawa. Lokasi Kampung Bena sekira hanya
19 km dari kota Bajawa. Pemandangan menuju Kampung Bena diperkaya titik-titik
indah panorama alam. Jangan sungkan untuk meminta supir agar memberitahu
sudut-sudut yang bagus untuk mengabadikan keindahan alamnya dengan kamera
kalian. Dan perlu diketahui beberapa dari Kampung Bena ialah ada kesepakatan
tidak tertulis agar warga kampung Bena tidak mengganggu wisatawan yang
berkunjung ke tempat ini. Akan tetapi, itu jadinya membosankan. Karenanya, kita
harus mampu memberanikan diri menyapa mereka dan nantikan senyum dan keramahan
berbinar dari wajah-wajah yang santun itu.
Nah demikianlah sedikit informasi tentang
pariwisata sejarah dan budaya Kampung Bena di Flores, ternyata Indonesia benar-benar
memiliki kekayaan budaya dan alam yang luar biasa bukan? Selain bersyukur
kepada Tuhan atas segalanya yang ada di Indonesia ini, marilah kita sama-sama
melestarikan dan ikut menjaga kekayaan dari budaya negri sendiri. Dan kiranya
pemerintah daerah maupun lembaga lainnya di Indonesia dapat memperhatikan
dengan baik kampung tradisional maupun kampung adat lainnya selain Kampung
Bena. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan ini, saran dan kritik
apapun sangat bermanfaat sekali. Terima kasih.
Berliana Indah Renata
4423143960
UJP 2014 (B)
berlianaindah1@gmail.com
facebook/path : Berliana Indah Renata
ig/skype : berlianair
Daftar Pustaka
No comments:
Post a Comment