Sunday, January 3, 2016

T3_Anisa Dyah Ayu Kartika Sari_Pulau Nias

Pariwisata Budaya di Pulau Nias

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak Pulau, gugusan pulaunya terbentang di sepanjang khatulistiwa. Salah satu diantaranya adalah Pulau Nias. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas pariwisata budaya dan sejarah yang terdapat di pulau ini. Salah satu budayanya yang terkenal adalah Hombo Batu atau tradisi lompat batu yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dari banyaknya warisan budaya yang kita punya. Ingin tahu lebih banyak tentang Pulau Nias, yuk mari kita baca bersama artikel dibawah ini.
Peta Pulau Nias
Nias (bahasa Nias Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia. Lebih tepatnya terletak kurang lebih 85 mil laut dari Sibolga, daerah Provinsi Sumatera Utara. Pulau ini memiliki luas wilayah 5.625 km² dengan 700.000 jiwa penduduk. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
Pulau Nias dihuni oleh mayoritas dari suku Nias yang masih memiliki budaya megalitik. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu Ada beberapa pendapat mengenai asal usul leluhur masyarakat suku Nias, salah satunya yang bersumber dari hoho (tradisi lisan yang berbentuk syair dan dinyanyikan). Hoho yang ada dan berkembang di Pulau Nias menceritakan bahwa manusia pertama yang tinggal di Pulau Nias adalah sowanua atau juga disebut ono mbela.
Ono mbela adalah keturunan dari penguasa langit yang turun ke bumi dengan menggunakan liana lagara, jenis tumbuhan yang merambat di pohon. Konon, sebagian dari mereka ada yang bisa mencapai tanah dan sebagian lagi tersangkut di atas pohon. Yang memilih tinggal di pohon disebut sebagai sowanua/ono mbela (manusia pohon). Para Ono mbela ini dikenal memiliki rambut dan kulit yang berwarna putih, memiliki paras cantik, dan bermata biru.
Menurut hoho, mereka yang jatuh ke tanah kemudian menyelamatkan diri dan tinggal di gua-gua. Mereka kemudian tidak lagi disebut dengan ono mbela, tetapi dipanggil nadaoya yang berarti manusia yang tinggal di gua. Secara fisik pun mereka berbeda, nadaoya dikenal memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dan memiliki kulit yang sedikit gelap.
Versi ini diperkuat oleh data-data arkeologis prasejarah berdasar pada temuan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya di Gua Togi Ndrawa yang berada di Desa Lolowanu Niko‘otano, Kecamatan Gunung Sitoli diketemukan alat-alat tulang dan alat batu.
Versi lain mengenai asal muasal kehidupan di Nias adalah bahwa orang nias berasal dari Sigaru Tora’a (pohon hayat/kehidupan) yang terletak di Teteholi ana’a. Sama halnya seperti versi pertama, mitologi orang Nias ini terdapat pula dalam hoho yang mencertiakan bahwa alam semesta dan segala isinya berasal dari beberapa warna udara yang di aduk Lowalangi.
Lowalangi pada awalnya menciptakan Sigaru Tora’a yang buahnya dierami seekor laba-laba emas. Dari buah itu kemudian lahir sepasang dewa; Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a (laki-laki) dan Burutiroangi Burutiraoana’a (perempuan).
Asal usul masyarakat Nias, dalam tradisi masayarakatnya juga sering dikatikan dengan cerita Raja Sirao yang memiliki tiga istri yang masing-masing menurunkan tiga putra dan memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Untuk menyelesaikan kisruh ini, Raja Sirao kabarnya mengadakan sayembara bagi putra-putranya itu untuk mencabut toho (tombak) yang dipancangkan di lapangan Istana. Siapa yang sanggup mencabutnya dialah yang berhak menjadi raja.
Dari semua putranya, justru yang paling bungsu, Luo Mewona, yang dapat mencabutnya. Saudara-saudaranya yang kalah dalam sayembara kemudian diasingkan dari Teteholi ana’a ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari sembilan putra Sirao yang diasingkan ke Bumi (Pulau Nias) hanya lima orang yang sampai di pulau Nias dan akhirnya menjadi leluhur orang Nias. Lainnya mengalami “sedikit masalah” ketika sampai ke bumi. Ada yang jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi naga penopang bumi bernama Da’o Zanaya Tano Sisagoro. Ada yang jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai yang disebut hadroli. Ada yang tersangkut pohon dan menjelma menjadi hantu hutan yang sering disebut Bela. Dari tradisi lisan tersebut kemudian diselimuti menjadi kearifan-kearifan lokal yang berupa larangan dan anjuran yang berlaku di kalangan orang Nias.
Tentang kepercayaan orang Nias, terdapat dua pendapat. Pertama ialah berhubungan dengan konsep kematian suku Nias yang percaya bahwa tak ada kehidupan lain setelah kematian. Tetapi versi ini bertentangan dengan banyaknya adu (patung) yang dipercaya sebagai tempat singgahnya leluhur orang Nias yang telah meninggal. Orang Nias dalam versi ini hanya mengenang menghormati leluhur terutama atas jasa-jasa mereka.
Versi lain mengatakan bahwa masyarakat suku Nias menyembah dan memuja dewa Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut tidak berwujud dan memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain itu, masyarakat suku Nias juga menyembah arwah leluhur yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud seperti patung, batu, atau pepohonan.
Versi lainnya yaitu berdasarkan penelitian arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999. Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu.
Dari segi kekerabatan, masyarakat suku Nias menggunakan sistem marga yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga ini berfungsi sebagai tanda yang menunjukan garis keturunan dan muasal seseorang.
Mata pencaharian orang Nias pada masa lalu sangat bergantung pada alamnya. Mereka melakukan sistem ladang berpindah. Lahan-lahan pertanian itu dibuka dan kemudian digarap dengan ditanami berbagai jenis tanaman yang berguna. Setelah hasil kebun itu dipanen dan tanah dinilai sudah tidak lagi produktif, mereka kemudian mencari atau membuka lahan baru hingga lahan yang ditinggalkan akan menjadi subur kembali dengan sendirinya.
Selain itu, masyarakat suku Nias pada masa lalu juga berburu. Berburu berkaitan dengan kepercayaan bahwa pemilik segala yang terdapat di hutan adalah Bela. Maka dalam melaksanakan perburuan selalu didasarkan pada pemberian persembahan kepada Bela. Kegiatan berburu ini dilakukan secara perorangan maupun berkelompok. Dalam kegiatan kelompok ini sudah diatur dalam adat mengenai sistem pembagian pekerjaan, bagi hasil, dan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar ketika sedang berburu. Masyarakat suku Nias juga beternak, mereka terutama memelihara babi. Karena babi sangat penting dalam hal kebutuhan upacara adat dan kebutuhan persembahan dalam ritual keagamaan suku Nias. Kini, orang-orang Nias telah banyak melakukan jenis-jenis pekerjaan lainnya, tetapi bertani, berladang, dan beternak masih merupakan kegiatan utama yang mereka kerjakan.
Tradisi Hombo Batu
Keunikan suku Nias terletak pada Tradisi Megalitik, arsitektur rumah dan hombo batu atau lompat batu. Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain. 
Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain. 
Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya.
Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan. 
Uniknya, konon meski sudah latihan keras tidak semua pemuda akhirnya berhasil melewati undukan batu bersusun itu, bahkan tak jarang dari mereka ada yang sampai patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi tak jarang pula ada pemuda yang hanya berlati sekali dua tapi langsung mampu melewati batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh.
Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia harus memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Para pemuda yang mampu melompat batu kemudian akan menjadi ksatria dikampungnya, karena ketika terjadi peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri mengingat setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar dan benteng desa. Maka dari itu ketika tradisi berburu kepala orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan sang pemburu kepala manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon tali’anu supaya tidak terperangkap di daerah musuh.Itu juga sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk dan tidak cepat melarikan diri.
Dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah yang kemudian akan pulang ke kampungnya dengan segala kehormatan dan dielu-elukan sebagai pahlawan.
Selain tradisi Fahombo atau Hombo Batu atau Lompat Batu terdapat pula Tari Fataele atau Tari Perang yang merupakan seni tari khas Nias Selatan. Tari Fataele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya bersamaan dengan tradisi Hombo Batu. Di Nias Selatan tradisi Hombo Batu selalu dipertunjukkan bersamaan dengan Tari Fataele.
Tari Fataele (Perang)
 Gerakan Tari Fataele sangat dinamis, hentakan kaki yang diiringi oleh musik dan gerakan mengayunkan tombak dan pedang menggambarkan semangat dari para pejuang dalam mempertahankan kampung mereka dari serangan musuh. Tidak hanya itu, suara yang dikeluarkan oleh para penari juga merupakan ekspresi ketangkasan dan kepahlawanan para ksatria.
Dalam prosesi tarian ini dipimpin oleh seorang komando layaknya perang yang dipimpin oleh seorang panglima. Pemimpin tarian ini kemudian mengkomandokan penari yang lain untuk membentuk formasi yang terdiri dari empat jajar. Posisi komando berada di depan menghadap ke arah penari.
Pemimpin dalam Tari Fataele
Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mundur sambil dihentakkan ke tanah dan meneriakan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung para ksatrian akan dengan mudahnya untuk melumpuhkan mereka.
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
Semua tradisi adat yang ada masih di jalankan oleh sebagian besar masyarakat di daerah Teluk Dalam. Teluk Dalam adalah Ibukota Kabupaten Nias Selatan dan juga nama untuk sebuah kecamatan di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Teluk Dalam terletak diujung selatan Pulau Nias dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Amandraya dan Kecamatan Lahusa.
Kata Teluk Dalam diambil dari nama Teluk dibagian selatan Pulau Nias yang kemudian juga menjadi nama Kota, nama Kecamatan dan sekaligus menjadi Ibukota Kabupaten Nias Selatan. Dalam bahasa Nias Selatan, kota Teluk Dalam juga sering disebut sebagai Luahaziwara-wara yang artinya adalah tempat pertemuan seluruh penduduk Kecamatan Teluk Dalam setiap hari pekan dulunya.
Nenek moyang penduduk Teluk Dalam dipercaya datang dari Gomo dibagian tengah pulau Nias. Sejak dahulu dikenal ada 4 Ori/negeri yang merupakan kesatuan kecil dari beberapa kampung atau banua. Ori ini dapat dibedakan dari kedekatan wilayah, asal usul keturunan, persamaan marga, kesamaan lafal atau logat bahasa dan pembentukan kampung baru dari kampung asal. Nama-nama ori tersebut adalah :
1.       Ori Maenamolo, 19 desa
2.       Ori Ono Lalu, 4 desa
3.       Ori Mazino, 7 desa
4.       Ori Toene asi, 8 desa
Di Kecamatan Teluk Dalam terdapat marga-marga yang khas dan tidak ada di kecamatan lain di pulau Nias seperti : Bago, Fau/Wau, Dakhi, Sarumaha, Hondro, Duha, Zamili, Harita, Gaho, Ziraluo, Bazikho, Nehe, Manao, Zagoto, Waoma, Sihura, Maduwu, Zagoto, Nakhe, Bali, Haria, Bohalima, Harimao, Lature, Moho, Loi, Luahambowo, Gowasa, Gaurifa, Gohae, Gumano, Ganumba, Zalogo, Bawaulu, Saota, Gari, Ge'e, Hawa dan lain lain.
Teluk Dalam mempunyai beberapa tempat yang menjadi obyek wisata, di antaranya pantai Sorake, pantai Lagundri dan Desa Bawömataluo yang mempunyai banyak rumah-rumah adat tradisional Nias berusia ratusan tahun.
Peninggalan budaya masa lalu masih tetap dipertahankan di Kecamatan Teluk dalam. Hal ini dibuktikkan dengan masih banyaknya rumah-rumah tradisional di setiap desa. Omo Sebua (rumah raja) masih terdapat di beberapa desa seperti : Bawomatalou, Hilinawalo Fau, Onohondro dan Hilinawalo Mazino.Di desa-desa lain tidak ada lagi rumah raja karena terjadi kebakaran yang menghanguskan semua rumah.
Desa Bawomataluo
Salah satunya adalah Desa Bawomataluo yang merupakan salah satu desa di kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Desa ini berada pada ketinggian di atas 324 m dari permukaan laut.  Sebelumnya desa ini masuk Kecamatan Telukdalam. Namun, setelah Kecamatan Telukdalam mengalami pemekaran wilayah, beberapa desanya masuk ke dalam hasil pemekaran kecamatan Teluk Dalam, yakni kecamatan Fanayama.
Bawomataluo, sebuah desa adat yang sudah berusia ratusan tahun dan saat ini telah menjadi salah satu warisan budaya dunia yang telah diusulkan oleh UNESCO sejak tahun 2009 dan pada bulan Desember 2012 lalu, dianugerahi sebagai salah satu Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.
Desa Bawomataluo yang secara harafiah berarti Bukit Matahari ini dan diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan dengan deretan rumah adat tradisional (Omo Hada) khas Nias Selatan dengan jumlah 137 Omo Hada yang masih utuh dengan sebuah OMO SEBUA (Rumah Adat Besar/ Rumah Raja di tengah-tengahnya). Perkampungan yang berada di atas bukit di kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan ini terletak pada ketinggian 270 meter di atas permukaan laut ini, saat ini dihuni oleh 1310 Kepala Keluarga (KK).
Omo Sebua (Rumah Adat Besar)

Memasuki kawasan Bawomataluo, Anda akan melewati 77 anak tangga (awalnya 80 anak tangga, namun berkurang akibat longsor) dengan latar belakang bentangan desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake dan teluk Lagundri di kejauhan. Merupakan sebuah kebanggan dan kepuasan tersendiri ketika berhasil menjejakkan kaki di pucak anak tangga terakhir di gerbang desa Bawomataluo ini. Tak jauh dari anak tangga terakhir gerbang Bawomataluo, setelah melawati deretan rumah adat tradisional di kiri kanan jalan masuk yang terbuat dari susunan lempengan bebatuan yang sekaligus berfungsi sebagai pekarangan penduduk kita akan melihat sebuah batu setinggi 2,15 meter yang menjadi tempat untuk lompat batu (Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias) dan rumah adat dengan atap tinggi menjulang yang disebut Omo Sebua (Rumah Raja) di sebelah kiri dan Omo Bale (Balai Desa) di sebelah kanan.
Sebuah keunikan tersendiri melihat Omo Sebua yang merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa diantaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar yang konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan dan ditarik dengan kereta peluncur. Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat, Omo Sebua ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama empat tahun itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makan para pekerja. Dan puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat Omo Hada pengetua adat ini selesai dibangun. Uniknya, seluruh taring babi selama empat tahun tadi itu, tidak disia-siakan, melainkan dijadikan dekorasi di dalam Omo Hada.
Omo Hada (Rumah Tradisional Nias)
Di depan Omo Hada ini, terdapat meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Batu yang menjulang tinggi adalah batu Faulu (batu tanda menjadi raja) yang sebelah kanan adalah batu Loawo yang sebelah kiri batu Saonigeho, sementara batu datar adalah batu untuk mengenang kebesaran dan jasa kedua orang raja ini. di atas batu-batu itu hanya si ulu atau balo ji'ila yang bisa duduk disitu bila ada pertemuan. Sementara Batu di depan balai desa (Omo Bale) merupakan tempat duduk masyarakat jelata bila ada orahua / pengambilan keputusan. Bebatuan besar yang digunakan di depan rumah adat ini bukanlah berasal dari Bawomataluo melainkan diambil dari daerah yang jauh dengan diangkut oleh ratusan tenaga manusia. Menggunakan Tenaga Manusia Bawomataluo merupakan salah satu bukti sejarah akan kejayaan leluhur masyarakat Nias di masa lampau dan merupakan "Monumen Hidup Kebudayaan Nias yang Tersisa" yang wajib dijaga dan dilestarikan.
Salah satu upaya untuk memperkenalkan Bawomataluo ke khalayak umum dilakukan melalui Bawomataluo Expo yang setiap tahunnya digelar, dimana pada tahun 2013 ini telah dilaksanakan pada tanggal 6-16 Juni yang lalu yang diisi dengan berbagai atraksi budaya seperti lompat batu, tari perang (tari fataele) yang fenomal serta suguhan makanan khas Nias.
Untuk mencapai Kota Teluk Dalam dapat ditempuh dengan perjalanan laut dari Sibolga selama 10-12 jam. Dengan perjalanan udara dari Medan selama 1 jam dengan Pesawat udara ke Binaka, kabupaten Nias dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 3 jam. Kemudian untuk menuju ke desa Bawomataluo menempuh perjalanan menyusuri tepi pantai ke arah Selatan disambut dengan lambaian nyiur di kiri kanan jalan, dan kemudian Anda dapat menemukan desa Bawomataluo. Jarak kota Teluk Dalam dengan Desa Bawamataluo hanya 12 KM. Jalur ini dilayani oleh angkutan umum dengan tarif sekitar Rp. 5.000,- per orang atau dengan ojek (RBT) dengan tarif rata-rata Rp. 20.000,- per orang.
Untuk akomodasi belum ada penginapan di Desa Bawomataluo. Namun tidak jauh dari desa terdapat puluhan penginapan berupa lodge atau losmen dan cottage atau pondok yang dikelola oleh penduduk setempat di daerah Sorake dan Lagundri.
Dan untuk souvenir Anda dapat membelinya di Desa Bawamataluo, biasanya warga desanya ada yang menjual souvenir khas P.Nias berupa replika batu yang dipakai dalam tradisi Hombo Batu, atau kalung, gelang, dan lain sebagainya.
Museum Pusaka Nias
Selain wisata budaya yang dapat Anda saksikan di Desa Bawomataluo terdapat pula wisata sejarah seperti Museum Pusaka Nias yang merupakan salah satu wadah untuk melestarikan nilai-nilai budaya Nias. Museum Pusaka Nias dikelola oleh Persaudaraan Kapusin Provinsi Sibolga. Anda dapat dengan mudah menelusuri kehidupan masa lampau, kebiasaan dan tujuan hidup masyarakat Nias ‘Ono Niha’. Museum Pusaka Nias ini dibagi menjadi beberapa ruangan yang disebut Paviliun, diantaranya adalah :
·         PAVILIUN I
Menyajikan berbagai artefak sebagai bukti material yang menggambarkan keagungan seorang Ono Niha pada masa lalu mulai dari kehidupannya secara pribadi, dalam keluarga, dalam masyarakat hingga ke sisi religius yang berkaitan dengan dunia dan kepercayaannya. Artefak-artefak tersebut berkaitan juga dengan dimensi kehidupan yang agung (Molakhomi) dan terhomat (mosumange) dan tegas/keras (mosofu).
·         PAVILIUN II
Menghadirkan bukti-bukti material yang dipakai dalam pesta yang berkaitan dengan kejelasan dan peneguhan status. Mulai dari berbagai bentuk perhiasan dan barang-barang berharga lainnya, peralatan dapur, dan peralatan jamuan yang terbuat dari kayu, batu, dan keramik. Dilanjutkan dengan rumah adat dengan berbagai ukiran dan monumen di sekitarnya sebagai simbol tingginya status. Berbagai takaran, pakaian, dan tempat duduk yang sekaligus sebagai usungan pada saat prosesi pesta adat, hingga berbagai bentuk peti jenazah sebagai akhir dari kehidupan di dunia serta artefak yang digunakan pada perayaan dan ritus religi kuno.
·         PAVILIUN III
Hidup keseharian orang Nias tidak saja diisi dengan hal-hal yang istimewa. Layaknya masyarakat suku bangsa lain di berbagai belahan dunia, Ono Niha juga menjalani hidup sehari-hari dengan berbagai kegiatan rutin. Menelusuri hidup keseharian Ono Niha dapat dilihat dalam ruangan ini, mulai dari tempat hunian, peralatan, dan teknologi rumah tangga, kesenian, pertanian, pertukangan, perburuan kepala manusia, perburuan hewan untuk makanan dan sebagainya.
·         PAVILIUN IV
Peristiwa  penting dalam kehidupan orang Nias diabadikan dengan batu. Batu itu seolah hidup dan bertutur pada generasi sekarang tentang masa lalu leluhurnya. Mengapa batu?
Me kara lo tebulo-bulo (Karena batu tak pernah berubah)
Me kara lo maoso-maoso (Karena batu tak pernah bergerak)
Kara toroi ba nahia (Batu tetap tinggal pada tempatnya)
Kara sahono boto (Batu yang indah dan selamanya kekal)
·         PAVILIUN V
Kegiatan pameran temporer, ceramah, audio visual, diskusi untuk pendidikan pusaka bagi pengunjung, dan lain-lain.

Anisa Dyah Ayu Kartika Sari
Usaha Jasa Pariwisata 2014 Kelas B
anisadyahayu.kartikasari@yahoo.com

Referensi :

Sumber Foto :

7 comments:

  1. saya baru kali ini baca artikel tentang pulau nias,dan baru tahu tentang tradisi hombo batu.:)))))

    ReplyDelete
  2. Thanks ya buat info nya semoga
    Gw juga baru tau itu tentang tradisi hombo batu
    Semoga masyarakat indonesia bisa tau lebih banyak lagi
    Semoga tingkat pariwisata di indonesia semakin meningkat yah

    ReplyDelete
  3. It's very very interest ! Bisa lebih banyak mengetahui tentang destinasi wisata di Nias lebih luas .

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Ternyata masyarakat nias masih melestarikan adat istiadatnya ya. Tempatnya juga recommended banget nih buat yg suka sama kebudayaan. Good info, thanks yaa tulisannya.

    ReplyDelete
  6. Informasinya keren banget, baru tau kalo pulau nias itu ga cuma sekedar objek wisata tp juga ada objek kebudayaannya. Next time bakal nabung buat kesini. Thanks buat informasi nya ������

    ReplyDelete
  7. Satu pulau satu tempat berjuta sejarah dan budaya ya apalagi klo jelasin semua budaya? Weeew lengkap bgt info nya thanks !!! ��☺

    ReplyDelete