Sejarah dan
Budaya di Nanggroe Aceh Darusalam
Selamat
pagi dunia. Selamat pagi untuk semua insan pariwisata. Kita bertemu lagi pada
kesempatan kali ini dengan tema pembahasan yang berbeda. Pada kesempatan kali
ini kita akan membahas suatu kota yang terletak di ujung pulau sumatera. Suatu
kota yang sangat kuat ajaran islamnya yaitu Aceh. Kalau dahulu namanya adalah
Nanggroe Aceh Darussalam, sekarang sudah berubah hanya menjadi Aceh saja. Hanya
sekedar untuk informasi.
Sebelumnya
saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kenalkan nama saya Fajar
Ramadhan. Seorang mahasiswa yang sedang menjalani kuliah di satu-satunya
universitas di Jakarta yaitu Universitas Negeri Jakarta. Dengan program studi
Usaha Jasa Pariwisata. Dengan tingkatan D3 .dan bercita-cita untuk menjadi Tour
Guide di salah satu Travel agent karena
kebetulan hobi saya adalah meng-eksplore daerah-daerah yang menurut saya unik
dan belum banyak ter-ekspos maka itulah alasan saya memilih jurusan Pariwisata.
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Aceh
dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan
memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Pada awal abad ke-17, Kesultanan
Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di
kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh
kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk
bekas penjajahBelanda dan
pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh
adalah wilayah yang sangatkonservatif (menjunjung tinggi nilai
agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia
dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan
kebanyakan provinsi lain di
Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
Aceh
memiliki sumber daya alam yang melimpah,
termasuk minyak bumi dan gas alam.
Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di
dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang
terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya.
Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah
daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004.
Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi
ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana
tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian
damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Masuknya Islam di Aceh
Masih
terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama
sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa
kekhalifahan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah kerasulan
Muhammad SAW.
Terkait Islam yang datang ke
Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut
Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam
yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan
Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.
Sebagian lagi, ada yang
berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak
tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku
Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya
adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan
wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah
secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian
baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara
terang-terangan.
Tetapi sedikitnya persoalan
demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di
Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah.
Hampir semua ahli sejarah
menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah
Aceh. Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang
berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
·
Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
·
Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam
adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.
·
Dalam proses pengislaman selanjutnya,
orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran
Islam dilakukan secara damai.
·
Keterangan Islam di Aceh, ikut mencerdaskan
rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa
Indonesia.
Masuknya Islam ke Aceh ada yang mengatakan dari India, dari
Persia, atau dari Arab. Dan jalur yang digunakan adalah:
·
Perdagangan, yang mempergunakan sarana
pelayaran.
·
Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang
berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai
sufi pengembara.
·
Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang
muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya
inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
·
Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu
berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
·
Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk
penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri
mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar
terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini
banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam
perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena
mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India,
juga dari Negeri sendiri.
Analisis dan pemikiran tentang
bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia di pahami melalui sejumlah teori.
Aji Setiawa melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara melalui tiga teori,
yaitu:
·
Teori gujarat, memandang bahwa asal muasal
datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India
pada abad 13-14.
·
Teori persia, lebih menitikberatkan pada
realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat indonesia pada saat itu dengan
budaya Persia.
·
Teori arab berpandangan bahwa pedagang Arab yang
mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus
melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat itu.
Dalam studinya yang tebal Kolonel G.E Gerini, meyakini bahwa
islam sudah masuk ke Aceh dalam abad I Hijriah. Dalam hubungan ini juga Gerini
memastikan tentang sudah beradanya orang-orang Arab dan Parsi di bagian pantai
utara Sumatera, sejak awal Islam.
Dalam studinya yang kemudian
diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Profesor Syed Naguid
Al-Attas mengatakan bahwa “ catatan yang paling tua mengenai kemungkinan sudah
bermukimnya orang Muslim di kepulauan Indonesia adalah bersumber laporan
Tiongkok tentang pemukiman Arab di Sumatera Utara pada tahun 55 Hijriah atau
674 Masehi.
Profesor Pakistan, Sayid
Qadarullah Fatimi, yang pernah menjadi gurubesar tamu di Singapura, dan membuat
riset tentang masuknya Islam ke Nusantara menyimpulkan:
·
Bahwa telah terjadi kontak permulaan tahun 674 M
·
Islam masuk di kota-kota pantai sejak tahun 878
M
·
Islam memperoleh kekuasaan politik dan awal berkembangnya
Islam secara besar-besaran, sejak tahun 1204 Masehi.
Perkembangan Islam di Aceh
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam
mudah berkembang di Aceh, yaitu:
·
Letaknya sangat strategis dalam hubungannya
dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
·
Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya
di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak
antara Palembang dan Aceh cukup jauh.
Faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di
seluruh Indonesia, antara lain:
·
Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan
aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan
untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
·
Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
·
Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara
berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
·
Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
·
Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang
mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa
perdagangan terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
·
Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
·
Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk
pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di
pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan
ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan
diplomatik.
·
Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa
dan tangguh dalam peperangan.
·
Memperkenalkan tulisan. Agama Islam
memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar
belum mengenal tulisan.
·
Mengajarkan penghafalan Al-Qur’an. Hapalan
menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah,
seperti sholat.
·
Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang
konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam
pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah
disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
·
Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan
keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat
tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama
dan mayoritas negeri ini.
PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH SAAT INI
Di Aceh
saat ini, syariat islam sangatlah dijunjung tinggi dan di pegang teguh oleh
masyarakatnya. Hampir semua hal didasarkan oleh syariat islam. Penerapan
syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan
syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan
islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena
Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat
hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami,
dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat
islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001.
Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek
ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah
akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih
dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk
melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar,
2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa
tujuan , di antaranya yaitu:
·
Alas an agama: pelaksanaan syariat islam
merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna,
lebih dekat dengan ALLAH.
·
Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman
dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
·
Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata
aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
·
Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa
nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk
tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih
mudah terbentuk dan lebih solid.
Lembaga yang terkait penerapan syariat islam :
a. Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb
2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya
adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b. Majelis permusyawaratan
ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu
wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru
di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini
bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran
dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada
pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c. Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenag member tahu
dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada
yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta
perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
Membahas tentang hukuman di Nanggroe Aceh
Darussalam. Ada salah satu hukum yang masih dijalankan disana yaitu hukum
cambuk. Namun ada sebuah permintaan dari pihak Asia Pasifik amnesty
International kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan penerapan hukum
cambuk di Naggroe Aceh Darussalam sebagaimana disampaikan oleh Direktur Asia
Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi. Sebelumnya, Mendagri mengatakan,
sikap Amnesty International itu hanya sebuah pendapat saja. Gamawan juga
meminta agar Amnesty International bisa memahami bahwa Aceh punya kekhususan,
yang berbeda dengan daerah-daerah lain di tanah air.
Selain itu, Dewan Da’wah juga
melihat ada agenda jangka panjang yang diinginkan oleh lembaga-lembaga
international berkaitan dengan upaya penggagalan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh, sehingga ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari desakan pihak Amnesty
International;
Pertama, salah satu point dari
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia dijamin untuk bebas
beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, yang ini juga dijamin oleh UUD
1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (secara legal formal telah diamanahkan oleh
Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia), dalam baik dalam dimensi
privat dan publik merupakan pengejawantahan dari kebebasan beragama. Oleh
karena itu tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk
di Aceh dicabut oleh Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi,
menjadi tidak beralasan.
Kedua, salah satu alasan yang
dikemukakan oleh Sam Zarifi bahwa cambukan bisa mengakibatkan cedera jangka
panjang atau permanen,”, seperti terlalu mengada-ngada dan yang bersangkutan
tidak memperoeh informai yang utuh bagaimana mekanisme dan proses pelaksanaan
hukum cambuk di Aceh. Kalau pun hukuman tersebut menimbulkan rasa sakit dan
malu, itu merupakan bagian dari efek jera yang ingin dicapai dari suatu proses
penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan.
Ketiga, konsekwensi ketika sudah
memilih Islam sebagai agama, maka suka tidak suka aturan hukum-hukum agama
tersebut harus diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dan ini sangat selaras
dengan kebebasan beragama. Baru melanggar HAM kalau kepada pemeluk agama selain
Islam dipaksakan untuk menggunakan hukum Islam., dan tidak aturan yang akan
jalan kalau tidak diawali dengan ketegasan dan sanksi..
Keempat, kepada pihak pemerintah
baik di Aceh maupun di Pusat agar dapat memberikan jawaban dan klarifikasi yang
profesional dan proposional terhadap desakan Amnesty International. Karena
usulan mereka sepertinya sudah terlalu jauh ‘mencampuri” urusan keyakinan agama
seseorang dan kekuasaan sebuah bangsa.
Walaupun
ada desakan dari pihak International untuk menhentikan praktik hukuman cambuk
di Nanggroe Aceh Darussalam, tetap saja hal itu dijalankan karena hal ini
menyangkut ajaran agama yang masyarakat Aceh percaya. Berikut ketentuan dalam
hukum cambung antara lain :
·
Terhukum dalam kondisi sehat.
·
Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk
jaksa penuntut umum.
·
Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan
diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
·
Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
·
Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan
paling dekat 10 meter.
·
Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka,
di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
·
Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum
dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
Kritik terhadap penerapan syariat islam di Aceh
Penerapan syariat islam hamper
jalan 10 tahun. Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP
digantikan dengan hukum Allah yang terangkum dalam Al-Qur’an dan Hadish dan di
tuangkan dinas syariat islam ke dalam qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak
terus saja mengalir. Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan
ide baru untuk perbaikan system penerapan syariat islam ke depan.
Ada suatu pendapat dari Teuku
Rieza Yuanda tentang penerapan syariat islam di Aceh, Menurutnya penerapan syariat islam cenderung di
praktekan dengan cara-cara kekerasan oleh masyarakat dan cenderung pihak
pelaksana syariat islam sendiri tidak berdaya mencegah aksi kekerasan
masyarakat tersebut. Hal yang sering muncul kepermukaan adalah kasus mesum,
khalwat, judi, khamar yang direspon masyarakat melalui sweeping di kafe dan
jalan dengan penekana pada busana wanita. apakah korupsi dan manipulasi
keuangan Negara dibenarkan dalam islam? Sebagian besar masyarakat Aceh membenci
pelanggar syariat islam padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang
beribadah untuk melakukan kewajian sebagai seorang muslim.
Bahasa di Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki beberapa bahasa
daerah :
1.Bahasa Aceh pemakainya 70 %
2.Bahasa Gayo
3.Bahasa Alas
4.Bahasa Tamiang
5.Bahasa Aneuk Jamee
6.Bahasa Kluet
7.Bahasa Singkil
8.Bahasa Haloban
9.Bahasa Simeulue
Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh
merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni
sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD (Daud, 1997:10, Daud and Durie,
1999:1). Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat
provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami Kabupaten
Aceh Besar, Kota Madya Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa,
Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Madya
Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam Kabupaten
Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang,
Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah,
Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya
yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah
perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap
mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka.
Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa
Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah
bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat
Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh
Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di
luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu
dari syair-syair kesenian didong.
Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami Kabupaten
Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar
hulu sungai Singkil di Kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli
dari bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini
adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lawe
Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
Bahasa
Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant
atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang
(dulu wilayah Kabupaten Aceh Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed ( yang
merupakan wilayah bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran,
yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa
Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
Bahasa
Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan
bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini merupakan
bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah Susoh, Labuhan Haji,
Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan, menurut
Wildan (2002:2), bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil
masyarakat di Kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway 16
(Desa Peunaga Rayek, Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Ranto Kleng),
serta di Kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa
Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari assimilasi bahasa sekelompok
masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan bahasa daerah
masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh.
Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah
Kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi
tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih
sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet
sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali
masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk
mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti
masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik
dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
Bahasa
Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali
dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu
bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Singkil. Saya katakana sebagian, karena
kita dapati ada sebagian lain masyarakat di Kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa
Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang
menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di
kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu
masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa
Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai
bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain
bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistics, masyarakat Singkil
adalah satu-satunya kelompok masyarkat di provinsi NAD yang paling pluralistik
dalam hal penggunaan bahasa.
Bahasa
Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu
bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil,
khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau
Tuanku (Wildan, 2002:2). Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa
Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa
Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta
pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini
hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Acehyang merupakan bahasa ibu
bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000
orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, Asyik & Daud, dkk
(2000:1) menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan
salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka
menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni
bahasa Simeulue. Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah,
yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan
bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang
jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2000:2) misalnya, mengatakan bahwa di
pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa
ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah
Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di Kecamatan Tepah Selatan, serta
dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kecataman Simeulue
Barat dan Kecamatan Salang.
Budaya Nanggroe Aceh Darussalam
Pengelompokan budaya dalam empat
pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku
(sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa
purba yakni :
·
Kaum Lhee Reutoh (kaum/sukee tiga ratus) yang
berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli. Bila diartikan
menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh
setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang
dengan subur. Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita
suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga
ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan
hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang
dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah
penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.
Mereka yang bersalah akhirnya menerima
keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian
mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin
kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh
dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang
dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi
dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.
·
Kaum Imeuem Peuet (kaum/sukee imam empat) yang
berasal dari India selatan yang beragama Hindu. Dikenal sebagai kaum imeum
peuet disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam
Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang
imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.
Memang jika dilihat lebih telisik, Imum
Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee
Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama
sekali terpisah dari kawom. Imum ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah
dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.
Selain itu juga ada Imum yang menjadi
kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya
tentu ada hubungan dengan agama.
·
Kaum Tok Batee (kaum/sukee yang mencukupi batu)
yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
Menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana
batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini
bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana.
Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan
memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok
batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.
·
Kaum Ja Sandang (kaum/sukee penyandang) yaitu
para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam. ja atau to
yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam
bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria
atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah
lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada
seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang
disebut Teuku Sandang.
Selain ada cerita turun temurun di kawasang
Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah
Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie
untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami
kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok).
Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan
begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.
Sultan pun berterima kasih dan mengundang
orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan
dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada
Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam
dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang
tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai
daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana,
lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi kadi dengan gelar Maliku’l
Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.
MUSIK
Alat Musik Tradisional Aceh
Alat musik tradisional merupakan sejumlah alat yang
digunakan untuk mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat
musik tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara
tertentu dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah
identitas dan kebanggaan ureueng Aceh.
Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya :
1.
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen
tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie,
Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian
pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian
pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang
disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lubang pengatur nada. Selain itu
terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring)
serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune
tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam
upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
2.
Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di
seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang
bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian
tradisional baik pada upacara adat maupun upacara lainnya. Alat ini terbuat
dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan
melubangi kayu nangka yang berbentuk silinder sedemikian rupa sehingga badan
gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkaran nya (kiri-kanan) dipasang
kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ring nya dari rotan dengan ukuran
persis seperti ukuran lingkaran gendang nya. Sebagai alat penguat/pengencang
permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini
menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick)
gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang
dipukul ke kulit.
3.
Rapai
Rapai merupakan sejenis alat
instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari
kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu
diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh.
Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup
dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau
pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit
ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul
pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan,
kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara
memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin
permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Aceh adalah sebuah daerah yang
kaya akan kebudayaan, kesenian dan kebiasaan berdasarkan syariat yang di pegang
teguh oleh masyarakatnya seperti hukum cambuk yang masih dilaksanakan. Tak ada
toleransi bagi pelanggar syariat islam di Aceh. Hukumnya sudah mutlak. Bila
seseorang melanggar hukum yang berlaku disana, bersiaplah saja menerima
hukumannya. Dikarenakan kentalnya syariat islam disana, sampai-sampai tahun
baru pun masyarakat Aceh tidak merayakannya. Sungguh daerah yang harus kita
contoh ketaatannya. Dari segi kebudayaan, masyarakat aceh sangat banyak
memiliki bahasa daerah seperti yang sudah dijelaskan di atas sehingga hal itu
semakin memperkaya kebudayaan daerah Aceh.
Saya kira cukup dari saya untuk
pembahasan salah satu kota sangat istimewa ini. Kota yang memegang tegus ajaran
yang diturunkan oleh Allah melalui Al-Qur’an. Walau kelihatannya praktek dari
penegakan hukum ini sangat kejam dan tak mempertimbangkan hak asasi manusia,
namun hal ini semata-mata dilakukan untuk menegakan hukum yang seharusnya
memang di tegakkan. Semoga informasi yang saya jabarkan di atas akan berguna
bagi pembaca sekalian. Semua kesalahan dalam pengetikan ini dilakukan secara
tidak sengaja. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung
dalam pengerjaan tugas ini. Dengan ini saya ucapkan selamat tiggal kepada para
pembaca, selamat tinggal kepada tugas
yang setia menemani tahun baru saya dan selamat tinggal dunia. Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatu.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
diakses pada 1 januari 2016 pukul 00.30
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh diakses
pada 1 januari 2016 pukul 01.30
http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-masuk-dan-berkembangnya-islam.html diakses
pada 1 januari 2016 pukul 12.00
https://alainoengvoenna.wordpress.com/2011/03/14/sejarah-penerapan-syariat-islam-di-aceh/ diakses pada 1 januari 2016 pukul 12.30
https://aulia87.wordpress.com/2009/07/20/mengenal-keturunan-di-aceh/ diakses
pada 3 januari 2016 pukul 18.00
http://rositadevi04.it.student.pens.ac.id/bahasa.html diakses
pada 3 januari 2016 pukul 19.30
http://aceh-art.blogspot.co.id/2014/11/sejarah-budaya-kesenian-adat-istiadat.html diakses
pada 3 januari 2016 pukul 20.00
Fajar Ramadhan
4423143919
UJP B 2014
Universitas Negeri Jakarta
Postingannya bermanfaat, semoga semakin banyak daerah yang publikasikan, sehingga tau lebih banyak tentang daerah indonesia
ReplyDeletePostingannya bermanfaat, semoga semakin banyak daerah yang publikasikan, sehingga tau lebih banyak tentang daerah indonesia
ReplyDeleteBangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan menghargai sejarah bangsanya. Postingan yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan salah satu sejarah di Indonesia. Teruskan...
ReplyDeleteLuar biasa informasi yang sebelumnya didapatkan setelah membaca artikel ini dapat membantu sekali:)
ReplyDeleteInformasi yang sangat lengkap. Mari kita ajak teman2 kita untuk mengenal budaya Indonesia agar tidak di curi oleh negara lain.
ReplyDeleteAlhamdulillah tugas kuliah kebantu dgn adanya artikel ini, thanksss
ReplyDeletePostingan yang sangat bermanfaat untuk lebih mengenal tentang budaya di Indonesia khususnya Aceh. Lanjutkan~
ReplyDeletemenurut gue sejarah itu terlalu membosankan hehe. Supaya menarik, buat orang-orang seperti gue harus diajak dengan cara yang persuasif dan lebih fun. :)
ReplyDeleteThe history of Aceh has made it to be one of the most religious provinces in Indonesia, rich of language and cultures. If I may give you suggestion, you can also put other points of discussion that are quite unusual or unique about Aceh so it can interest others to read your article.
ReplyDelete