Sunday, January 3, 2016

TUGAS 3 - Pariwisata Sejarah dan Budaya Indonesia

Sejarah dan Budaya di Nanggroe Aceh Darusalam

                Selamat pagi dunia. Selamat pagi untuk semua insan pariwisata. Kita bertemu lagi pada kesempatan kali ini dengan tema pembahasan yang berbeda. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas suatu kota yang terletak di ujung pulau sumatera. Suatu kota yang sangat kuat ajaran islamnya yaitu Aceh. Kalau dahulu namanya adalah Nanggroe Aceh Darussalam, sekarang sudah berubah hanya menjadi Aceh saja. Hanya sekedar untuk informasi.

                Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kenalkan nama saya Fajar Ramadhan. Seorang mahasiswa yang sedang menjalani kuliah di satu-satunya universitas di Jakarta yaitu Universitas Negeri Jakarta. Dengan program studi Usaha Jasa Pariwisata. Dengan tingkatan D3 .dan bercita-cita untuk menjadi Tour Guide di salah satu Travel agent  karena kebetulan hobi saya adalah meng-eksplore daerah-daerah yang menurut saya unik dan belum banyak ter-ekspos maka itulah alasan saya memilih jurusan Pariwisata.

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajahBelanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangatkonservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan          kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.


Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).


Masuknya Islam di Aceh

                Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.

Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.

Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan.

Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah.

Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh. Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
·         Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
·         Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.
·         Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
·         Keterangan Islam di Aceh, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.



Masuknya Islam ke Aceh ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. Dan jalur yang digunakan adalah:
·         Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
·         Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
·         Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
·         Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
·         Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia di pahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawa melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara melalui tiga teori, yaitu:
·         Teori gujarat, memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14.
·         Teori persia, lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat indonesia pada saat itu dengan budaya Persia.
·         Teori arab berpandangan bahwa pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat itu.
Dalam studinya yang tebal Kolonel G.E Gerini, meyakini bahwa islam sudah masuk ke Aceh dalam abad I Hijriah. Dalam hubungan ini juga Gerini memastikan tentang sudah beradanya orang-orang Arab dan Parsi di bagian pantai utara Sumatera, sejak awal Islam.
Dalam studinya yang kemudian diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Profesor Syed Naguid Al-Attas mengatakan bahwa “ catatan yang paling tua mengenai kemungkinan sudah bermukimnya orang Muslim di kepulauan Indonesia adalah bersumber laporan Tiongkok tentang pemukiman Arab di Sumatera Utara pada tahun 55 Hijriah atau 674 Masehi.



Profesor Pakistan, Sayid Qadarullah Fatimi, yang pernah menjadi gurubesar tamu di Singapura, dan membuat riset tentang masuknya Islam ke Nusantara menyimpulkan:
·         Bahwa telah terjadi kontak permulaan tahun 674 M
·         Islam masuk di kota-kota pantai sejak tahun 878 M
·         Islam memperoleh kekuasaan politik dan awal berkembangnya Islam secara besar-besaran, sejak tahun 1204 Masehi.

Perkembangan Islam di Aceh

Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
·         Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
·         Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.
Faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia, antara lain:
·         Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
·         Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
·         Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
·         Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
·         Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
·         Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
·         Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
·         Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
·         Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
·         Mengajarkan penghafalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.




·         Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
·         Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.

PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH SAAT INI

                Di Aceh saat ini, syariat islam sangatlah dijunjung tinggi dan di pegang teguh oleh masyarakatnya. Hampir semua hal didasarkan oleh syariat islam. Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
·         Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
·         Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
·         Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
·         Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.



Lembaga yang terkait penerapan syariat islam :
a.       Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c.       Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenag member tahu dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
 Membahas tentang hukuman di Nanggroe Aceh Darussalam. Ada salah satu hukum yang masih dijalankan disana yaitu hukum cambuk. Namun ada sebuah permintaan dari pihak Asia Pasifik amnesty International kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan penerapan hukum cambuk di Naggroe Aceh Darussalam sebagaimana disampaikan oleh Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi. Sebelumnya, Mendagri mengatakan, sikap Amnesty International itu hanya sebuah pendapat saja. Gamawan juga meminta agar Amnesty International bisa memahami bahwa Aceh punya kekhususan, yang berbeda dengan daerah-daerah lain di tanah air.
Selain itu, Dewan Da’wah juga melihat ada agenda jangka panjang yang diinginkan oleh lembaga-lembaga international berkaitan dengan upaya penggagalan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sehingga ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari desakan pihak Amnesty International;
Pertama, salah satu point dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia dijamin untuk bebas beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, yang ini juga dijamin oleh UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia), dalam baik dalam dimensi privat dan publik merupakan pengejawantahan dari kebebasan beragama. Oleh karena itu tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk di Aceh dicabut oleh Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi, menjadi tidak beralasan.



Kedua, salah satu alasan yang dikemukakan oleh Sam Zarifi bahwa cambukan bisa mengakibatkan cedera jangka panjang atau permanen,”, seperti terlalu mengada-ngada dan yang bersangkutan tidak memperoeh informai yang utuh bagaimana mekanisme dan proses pelaksanaan hukum cambuk di Aceh. Kalau pun hukuman tersebut menimbulkan rasa sakit dan malu, itu merupakan bagian dari efek jera yang ingin dicapai dari suatu proses penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan.
Ketiga, konsekwensi ketika sudah memilih Islam sebagai agama, maka suka tidak suka aturan hukum-hukum agama tersebut harus diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dan ini sangat selaras dengan kebebasan beragama. Baru melanggar HAM kalau kepada pemeluk agama selain Islam dipaksakan untuk menggunakan hukum Islam., dan tidak aturan yang akan jalan kalau tidak diawali dengan ketegasan dan sanksi..
Keempat, kepada pihak pemerintah baik di Aceh maupun di Pusat agar dapat memberikan jawaban dan klarifikasi yang profesional dan proposional terhadap desakan Amnesty International. Karena usulan mereka sepertinya sudah terlalu jauh ‘mencampuri” urusan keyakinan agama seseorang dan kekuasaan sebuah bangsa.
                Walaupun ada desakan dari pihak International untuk menhentikan praktik hukuman cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam, tetap saja hal itu dijalankan karena hal ini menyangkut ajaran agama yang masyarakat Aceh percaya. Berikut ketentuan dalam hukum cambung antara lain :
·         Terhukum dalam kondisi sehat.
·         Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
·         Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
·         Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
·         Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
·         Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
·         Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
Kritik terhadap penerapan syariat islam di Aceh
Penerapan syariat islam hamper jalan 10 tahun. Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP digantikan dengan hukum Allah yang terangkum dalam Al-Qur’an dan Hadish dan di tuangkan dinas syariat islam ke dalam qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak terus saja mengalir. Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan ide baru untuk perbaikan system penerapan syariat islam ke depan.



Ada suatu pendapat dari Teuku Rieza Yuanda tentang penerapan syariat islam di Aceh, Menurutnya  penerapan syariat islam cenderung di praktekan dengan cara-cara kekerasan oleh masyarakat dan cenderung pihak pelaksana syariat islam sendiri tidak berdaya mencegah aksi kekerasan masyarakat tersebut. Hal yang sering muncul kepermukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, khamar yang direspon masyarakat melalui sweeping di kafe dan jalan dengan penekana pada busana wanita. apakah korupsi dan manipulasi keuangan Negara dibenarkan dalam islam? Sebagian besar masyarakat Aceh membenci pelanggar syariat islam padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajian sebagai seorang muslim.
Bahasa di Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki beberapa bahasa daerah :
1.Bahasa Aceh pemakainya 70 %
2.Bahasa Gayo
3.Bahasa Alas
4.Bahasa Tamiang
5.Bahasa Aneuk Jamee
6.Bahasa Kluet
7.Bahasa Singkil
8.Bahasa Haloban
9.Bahasa Simeulue


Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD (Daud, 1997:10, Daud and Durie, 1999:1). Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Kota Madya Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Madya Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka.


Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.


Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di Kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lawe Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.


Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah Kabupaten Aceh Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed ( yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.


Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah Susoh, Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan, menurut Wildan (2002:2), bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway 16 (Desa Peunaga Rayek, Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Ranto Kleng), serta di Kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari assimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh.


Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah Kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.



Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Singkil. Saya katakana sebagian, karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di Kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistics, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarkat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.


Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku (Wildan, 2002:2). Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.


Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Acehyang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, Asyik & Daud, dkk (2000:1) menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2000:2) misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di Kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kecataman Simeulue Barat dan Kecamatan Salang.




Budaya Nanggroe Aceh Darussalam

Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni :
·         Kaum Lhee Reutoh (kaum/sukee tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli. Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.
Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.
·         Kaum Imeuem Peuet (kaum/sukee imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu. Dikenal sebagai kaum imeum peuet disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.
Memang jika dilihat lebih telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama sekali terpisah dari kawom. Imum ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.
Selain itu juga ada Imum yang menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.
·         Kaum Tok Batee (kaum/sukee yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab. Menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.



·         Kaum Ja Sandang (kaum/sukee penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.  ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.
Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.
Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi kadi dengan gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.
MUSIK          
Alat Musik Tradisional Aceh
Alat musik tradisional merupakan sejumlah alat yang digunakan untuk mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat musik tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara tertentu dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah identitas dan kebanggaan ureueng Aceh.

Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya :

1.       Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lubang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.


2.       Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara lainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk silinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkaran nya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ring nya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendang nya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
3.       Rapai
Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Aceh adalah sebuah daerah yang kaya akan kebudayaan, kesenian dan kebiasaan berdasarkan syariat yang di pegang teguh oleh masyarakatnya seperti hukum cambuk yang masih dilaksanakan. Tak ada toleransi bagi pelanggar syariat islam di Aceh. Hukumnya sudah mutlak. Bila seseorang melanggar hukum yang berlaku disana, bersiaplah saja menerima hukumannya. Dikarenakan kentalnya syariat islam disana, sampai-sampai tahun baru pun masyarakat Aceh tidak merayakannya. Sungguh daerah yang harus kita contoh ketaatannya. Dari segi kebudayaan, masyarakat aceh sangat banyak memiliki bahasa daerah seperti yang sudah dijelaskan di atas sehingga hal itu semakin memperkaya kebudayaan daerah Aceh.
Saya kira cukup dari saya untuk pembahasan salah satu kota sangat istimewa ini. Kota yang memegang tegus ajaran yang diturunkan oleh Allah melalui Al-Qur’an. Walau kelihatannya praktek dari penegakan hukum ini sangat kejam dan tak mempertimbangkan hak asasi manusia, namun hal ini semata-mata dilakukan untuk menegakan hukum yang seharusnya memang di tegakkan. Semoga informasi yang saya jabarkan di atas akan berguna bagi pembaca sekalian. Semua kesalahan dalam pengetikan ini dilakukan secara tidak sengaja. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung dalam pengerjaan tugas ini. Dengan ini saya ucapkan selamat tiggal kepada para pembaca,  selamat tinggal kepada tugas yang setia menemani tahun baru saya dan selamat tinggal dunia. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.


DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh diakses pada 1 januari 2016 pukul 00.30
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh diakses pada 1 januari 2016 pukul 01.30
https://aulia87.wordpress.com/2009/07/20/mengenal-keturunan-di-aceh/ diakses pada 3 januari 2016 pukul 18.00           
http://rositadevi04.it.student.pens.ac.id/bahasa.html diakses pada 3 januari 2016 pukul 19.30




Fajar Ramadhan
4423143919
UJP B 2014
Universitas Negeri Jakarta

9 comments:

  1. Postingannya bermanfaat, semoga semakin banyak daerah yang publikasikan, sehingga tau lebih banyak tentang daerah indonesia

    ReplyDelete
  2. Postingannya bermanfaat, semoga semakin banyak daerah yang publikasikan, sehingga tau lebih banyak tentang daerah indonesia

    ReplyDelete
  3. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan menghargai sejarah bangsanya. Postingan yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan salah satu sejarah di Indonesia. Teruskan...

    ReplyDelete
  4. Luar biasa informasi yang sebelumnya didapatkan setelah membaca artikel ini dapat membantu sekali:)

    ReplyDelete
  5. Informasi yang sangat lengkap. Mari kita ajak teman2 kita untuk mengenal budaya Indonesia agar tidak di curi oleh negara lain.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah tugas kuliah kebantu dgn adanya artikel ini, thanksss

    ReplyDelete
  7. Postingan yang sangat bermanfaat untuk lebih mengenal tentang budaya di Indonesia khususnya Aceh. Lanjutkan~

    ReplyDelete
  8. menurut gue sejarah itu terlalu membosankan hehe. Supaya menarik, buat orang-orang seperti gue harus diajak dengan cara yang persuasif dan lebih fun. :)

    ReplyDelete
  9. The history of Aceh has made it to be one of the most religious provinces in Indonesia, rich of language and cultures. If I may give you suggestion, you can also put other points of discussion that are quite unusual or unique about Aceh so it can interest others to read your article.

    ReplyDelete