“WAE REBO YANG LEBIH DULU MENDUNIA
KETIMBANG MENGINDONESIA”
Indonesia merupakan negeri yang
kaya akan pariwisatanya, mulai dari wisata alam yang berada di darat maupun
dilautan, wisata budaya, wisata sejarah hingga wisata kulinernya. Pada
kesempatan kali ini saya akan menceritakan sedikit tentang kekayaan wisata budaya
yang ada di Indonesia. Sebelumnya perkenalkan terlebih dahulu, nama saya Nesya
Fadhilllah yang biasa dipanggil Nesya. Saya adalah seorang mahasiswi jurusan
usaha jasa pariwisata yang ada di salah satu Universitas di Jakarta. Saya sudah
mulai mengenal lebih dalam tentang pariwisata pada umur 15 tahun, ketika saya
masuk di sekolah kejuruan. Namun pada saat itu saya mengambil jurusan
perhotelannya, oleh sebab itu ketika memasuki perkuliahan saya ingin memperluas
wawasan saya di bidang pariwisata yang pada akhirnya saya memilih jurusan Usaha
Jasa Pariwisata. Selama saya berkuliah di jurusan tersebut, kini saya sudah
mulai menyadari betapa luas peluang dan betapa indahnya negeri yang saya
tinggali saat ini. Saya pun sadar, jika bukan dari generasi kami siapa lagi
yang akan memulai untuk terus mengembangkan keindahan yang ada di negara Indonesia
ini. Namun, akhir-akhir ini saya mulai kecewa dengan wisatawan-wisatawan lokal
dari negara kita sendiri. Dapat kalian lihat kejadian rusaknya suatu objek
wisata yang disebabkan oleh para pengunjungnya yang tidak sadar akan dampak
negatif dari perbuatannya. Mungkin bukan hanya saya yang merasa kecewa dan
sedih melihatnya, namun para masyarakat lain yang sadar akan kekayaan negerinya
sendiri pun merasakan hal yang sama. Oleh sebab itu, mari kita terus menjaga,
melestarikan dan turut mensupport kemajuan sektor pariwisata di Indonesia.
Tanamkanlah jiwa untuk mencintai negerimu sendiri!
Gambar 1.1 Pulau Komodo |
Salah satu destinasi pariwisata di
Indonesia yang begitu indah adalah dari Indonesia timur, indonesia timur masih
begitu kental akan budayanya. Saat ini juga Pariwisata di Indonesia bagian
Timur mulai digencarkan lagi, karena untuk pemerataan sumber daya manusia dan
penghasilan nya. Alamnya pun untuk di Indonesia timur masih sangat terjaga sehingga
menarik banyak pengunjung untuk datang kesana. Pada kesempatan kali ini, saya
akan membahas lebih kepada wisata budaya yang ada di Flores. Flores berada di
provinsi Nusa Tenggara Timur, nama Flores berasal dari bahasa Portugis yang
berarti “Bunga”. Flores merupakan daerah kepulauan, destinasi wisata yang
terkenal di Flores adalah Pulau Komodo. Seperti namanya, pulau komodo
menyajikan keindahan alamnya beserta fauna khasnya yaitu Komodo. Masih sedikit
orang yang tahu bahwa Flores memiliki nama asli yaitu Nusa Nipa yang berarti
Pulau ular. Luas pulau Flores sekitar 14.300 km2 dengan menyimpan begitu banyak
rahasia. Flores dihuni oleh berbagai macam etnis, mulai dari Melayu, Melanesia
dan Portugis. Namun, karena pernah menjadi jajahan bangsa Portugis, maka
kebudayaan yang masih kental disana adalah kebudayaan Portugis, mulai dari
genetik, agama dan budaya.
Flores memiliki beragam attractions
yang sangat menarik, budaya dan keramahannya sudah cukup memberikan kesan yang
sangat dalam untuk para pengunjungnya. Jika anda penasaran untuk mengetahui
lebih dalam kebudayaan masyarakat Flores, anda dapat menerobos pepohonan dan
bukit yang curam untuk melihat langsung kehidupan desa adat dari zaman batu di
Flores. Desa tradisional di Flores, masih bertahan dari pergeseran zaman yang
dapat merusak nilai-nilai yang diberikan oleh nenek moyangnya. Di Flores
pembinaan kearifan lokal dilakukan mulai dari rumah adat, cara menenun,
melayani makanan hingga sistem adat kekeluargaan yang masih sangat di junjung
tinggi. Semuanya menjadi satu dasar kesamaan tempat tinggal atau kampung. Contohnya
seperti salah satu kampung yang biasa dikenal dengan orang-orang dengan Kampung
diatas awan, ya Wae Rebo.
Pulau Flores di
Nusa Tenggara Timur terkenal dengan keindahan alamnya. Bukan hanya pantai
berwarna pink, danau tiga warna, atau pulau-pulau cantik di gugusan kepulauan
Taman Nasional Komodo, tapi juga kebudayaan asli yang tersembunyi dibalik
lebatnya hutan di pegunungan Manggarai. Pulau Flores
merupakan salah satu pulau besar di Provinsi NTT yang terdiri dari berbagai
macam budaya, diantaranya: Budaya Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada dan
Manggarai. Masing-masing kebudayaan, akan saya jabarkan sebagai berikut :
1. Manggarai, Waerebo
Gambar 1.2 Suasana Waerebo |
Wae rebo adalah desa Manggaraian
tua, yang memiliki keesotikan alam yang sangat indah dengan pemandangan gunung,
desa ini menarik para pengunjung untuk melihat otentiknya perumahan di
Manggarai. Secara letak geografis desa ini terletak di ketinggian 1.200 meter
di atas permukaan laut (mdpl). Desa Wae Rebo memiliki keunikan pada rumah
adatnya, yaitu Mbaru Niang. Mbaru Niang merupakan rumah adat asal Flores yang kini
sudah mulai langka karena hanya ada di kampung adat. Mbaru niang berbentuk
kerucut dan memiliki 5 lantai dengan tinggi sekitar 8-10 meter dan diameter
sekitar 10-15 meter. Mbaru niang ini sudah mendapatkan penghargaan tertinggi
kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia Pasific pada tahun 2012 dan
juga menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk arsitektur
pada tahun 2013. Salah satu kearifan lokal di Wae rebo adalah menjaga
kelestariam Mbaru Niang. Di Wae rebo hanya boleh ada tujuh buah Mbaru Niang,
tidak kurang dan tidak lebih. Mbaru niang ini biasanya dihuni mulai dari enam
hingga delapan keluarga. Sisa masyarakat yang tidak tertampung di Wae rebo harus pindah ke
kampung Kombo, yaitu sebuah kampung yang letaknya kira-kira lima kilometer dari
Wae rebo.
Mbaru niang berbentuk kerucut dengan atap yang
hampir menyentuh tanah. Atap rumah adat ini menggunakan daun lontar. Mbaru
niang hampir mirip dengan rumah adat Honai di Papua. Secara keseluruhan bentuk
kerucutnya ditutup dengan ijuk. Sedangkan 5 tingkat rumah ini terbuat dari kayu
worok dan bambu yang dibangun tanpa paku. Untuk menyambung keseluruhan
materialnya menggunakan tali rotan. Setiap lantai rumah Mbaru Niang ini
memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu :
a. Tingkat
pertama : disebut Lutur digunakan
sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga
b. Tingkat
kedua : loteng yang disebut Lobo digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang
keseharian
c. Tingkat
ketiga :Lentar digunakan untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan,
seperti jagung, padi dan kacang-kacangan.
d. Tingkat
keempat : Lempa rae digunakan untuk tempat stok pangan apabila terjadi
kekeringan
e. Tingkat
kelima : Hekang kode digunakan untuk tempat sesajian persembahan untuk para
leluhur.
Sumber pencaharian penduduk Wae
rebo bukan hanya dari tambahan wisatawan yang berkunjung. Kopi dan kain cura
juga merupakan salah satu usaha yang menjadi penghasilan utama dari penduduk
Wae Rebo. Kopi wae rebo berjenis arabika, sedangkan kain cura adalah kain tenun
yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu di Wae rebo. Kain cura memiliki motif khas
berwarna cerah. Sedangkan dalam pendidikan, di Wae rebo belum ada sekolah. Jadi
anak-anak kecil di Wae rebo harus bersekolah di kampung Kombo.
Gambar 1.3 Waerebo |
Ritual yang masih dilaksanakan di
Wae rebo adalah ritual Pa’u Wae Lu’u.
Ritual ini dipimpin oleh ketua adat Wae Rebo, dengan tujuan meminta ijin dan
perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung ataupun tinggal
di Wae rebo hingga para tamu meninggalkan kampung tersebut. tidak hanya itu,
ritual ini juga ditujukan untuk para pengunjung yang sudah sampai di temat asal
mereka. Karena bagi masyarakat Wae rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai
saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum ritual tersebut selesai, para
pengunjung tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk
mengambil foto. Selain itu, terdapat beberapa larangan ketika para pengunjung
yang datang ke Wae rebo yaitu harus memakai pakaian sopan, untuk para wanita
tidak boleh menggunakan tank top ataupun hot pants. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah dilarang untuk menunjukkan kemesraan, baik itu dengan lawan
jenis maupun sejenis meskipun sudah berstatus suami istri. Dan para pengunjung
juga diharuskan untuk melepas alas kaki ketika masuk kedalam rumah. Ada
beberapa alternative cara menuju kesana diantaranya, Jika kita dari Jakarta
menggunakan Transportasi udara maka kita harus mengambil penerbangan menuju
Denpasar, setelah itu dari Denpasar lanjut penerbangan menuju Ruteng, Lalu dari
Ruteng bisa melanjutkan lagi perjalanan menuju Dange atau Dintor sebuah desa
terakhir sebelum menuju waerebo. Namun kekurangan jika kita menggunakan
transprtasi udara adalah penerbangan rute Denpasar-Ruteng tidak terjadi setiap
hari. Transportasi selanjutnya yang bias kita gunakan adalah Transportasi
Darat, kita bisa menggunakan Transportasi bus tujuan Bima, kita bisa menemukan
bus jurusan Bima ini di Terminal Rawamangun, setelah sampai di terminal Bima dilanjutkan
lagi menuju pelabuhan sape menggunakan elf. Setelah menempuh waktu kurang lebih
4 jam maka sampailah di pelabuhan sape, untuk tiba di pelabuhan bajo memakan
waktu 6 jam. Saat tiba di pelabuhan Labuan bajo kita bisa melanjutkan
perjalanan menuju wae rebo menggunakan bus atau jasa travel dengan jurusan
Labuan Bajo-Ruteng. Sesampainya di Ruteng kita melanjutkan perjalanan lagi
menuju Dange. Namun transportasi disini sangat minim sekali hanya tersedia
bemo, angkot dan itupun jarang beroperasi setiap hari. Transportasi yang tersedia setiap hari hanya sebuah
mobil bak atau Truk, orang Ruteng menyebutnya ‘oton kayu”. Sebuah transportasi
khas masyarakat sana yang mana belakangnya terbuka dan diisi oleh papan-pan
kayu sebagai tempat duduk nya. Transportasi
ini bias ditemukan di terminal Mena, jarak tempuh dari Ruteng menuju Dange
sekitar 4 jam. Dange merupakan desa terakhir sebelum melanjutkan perjalanan
menuju waerebo, untuk menuju waerebo wisatawan harus melakukan trecking yang
memakan waktu sekitar 4-5 jam tergantung kondisi cuaca dan fisik masing-masing
wisatawan.
2.
Budaya Flores Timur
Gambar 1.4 Suku Lamaholot |
Flotim merupakan
wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan kabupaten Alor di
timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut Flores dan selatan, laut Sawu.
Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena
bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. Konsep rumah adat orang Flotim
selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat
untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan
yang empunya bumi). Pelapisan sosial masyarakat tergantung pada awal mula
kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang
memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba kemudian,
disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari suku
Mehen. Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan
tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku Ketawo. Mata
pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat dalam ungkapan sebagai
berikut: Ola tugu,here happen, lLua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka lewo gewayan, toran murin laran. Artinya: Bekerja di ladang, Mengiris
tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi
hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air,
menerima tamu asing.
3.
Budaya Sikka
Sikka
berbatasan sebelah utara dengan laut Flores, sebelah selatan dengan Laut Sabu,
dan sebelah timur dengan kabupaten Flores Timur, bagian barat dengan kabupaten
Ende. Luas wilayah kabupaten Sikka 1731,9 km2. Ibu kota Sikka ialah Maumere
yang terletak menghadap ke pantai utara, laut Flores. Konon nama Sikka berasal
dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan
bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap
disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman
pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal
menjadi tuan tanah di wilayah ini. Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka.
Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan
bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan
pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa
keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri
pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan
semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal
sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha. Secara umum masyarakat kabupaten
Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2) ata Krowe, (3) ata
Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4) ata Goan,
(5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata Sabu/Rote, (10)
ata Bura. Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender
pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk
membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo
(Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta
memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk
memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender
kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus -
September).
4.
Budaya Ende
Batas-batas
wilayahnya yang membentang dari pantai utara ke selatan itu adalah dibagian
timur dengan kabupaten Sikka, bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan
laut Flores, selatan dengan laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim
daerah ini pada umumnya tropis dengan curah hujan rata-rata 6096 mm/tahun
dengan rata rata jumlah hari hujan terbanyak pada bulan November s/d Januari.
Daerah yang paling terbanyak mendapat hujan adalah wilayah tengah seperti
kawasan gunung Kalimutu, Detusoko, Welamosa yang berkisar antara 1700 mm s/d
4000 mm/tahun. Nama Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh,
Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang
kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke 14 pada waktu
orang-orang maleyu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai
sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende. Ende/Lio
sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun
demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau
Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri
khas kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut
Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam
kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari
pada Ende.
Gambar 1.5 Wilayah Ende |
Pola
pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga
batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas
sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun
sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari
bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang. Lapisan bangsawan masyarakat Lio
disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah disebut Mosalaki puu dan
Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut
Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan
budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.
5.
Budaya Ngada
Ngada
merupakan kabupaten yang terletak diantara kabupaten Ende (di timur) dan
Manggarai (di barat). Bajawa ibu kotanya terletak di atas bukit kira-kira 1000
meter di atas permukaan laut. Masyarakat ini dikenal empat kesatuan adat
(kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda.
Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa.
Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekrabatannya dengan mendukung
semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada
umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih
luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan
nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekrabatan
dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah.
Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan
seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.
Rumah
tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding
atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan
Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka,
Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.
Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa,
dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan
sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan
rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan
pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan
keempat). Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah
disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang
memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Masyarakat
Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa
pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan
bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian
kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.
Mungkin
hanya itu saja yang bisa saya ceritakan mengenai Sejarah dan Budaya Flores,
Nusa Tenggara Timur. Semoga informasi yang saya sampaikan dalam cerita ini
dapat menjadi manfaat untuk para pembaca dan jika ada yang kurang dalam
tulisan, saya mohon maaf.
Sumber
:
Nesya Fadhillah A
4423143911
UJP A 2014
Universitas Negeri Jakarta
salah satu kekayaan alam Indonesia di Indonesia Tengah yang mau saya kunjungi nantinya yaitu Nusa Tenggara Timur, apalagi dengan adanya hewan purbakala yaitu Komodo yang di jaga baik baik disini merupakan suatu aset menarik utk diteliti dan dikunjungi
ReplyDelete