Wisata Desa Budaya Suku Dayak di Pampang
Samarinda
Jalan-jalan ke
Kalimantan Timur tentulah kita tak lupa singgah ke ibu kota provinsi tersebut
tak lain dan tak bukan yaitu Kota Samarinda. Salah satu kota terbesar di Kalimantan, seluruh
wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten
Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut
dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota
Samarinda, yang menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur.
Kota ini memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk
805.688 jiwa pada tahun 2013. Samarinda dulunya adalah salah satu
wilayah Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura. Di wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun
berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda
merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan
dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus
dan sungai Karang Asam.
Pada
tahun 1668, rombongan
orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan
Gowa ke Kesultanan
Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka
tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan
Gowa kalah akibat diserang
oleh pasukan Belanda.
Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik
oleh Sultan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan
tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah
yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan
perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja
Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua
rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah
ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar
(berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang
gunung-gunung (Gunung Selili). Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan
Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini
dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di
berbagai daerah pantai wilayahkerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu,
Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi
masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal
mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama
ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk,
baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Dengan
rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan
yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau
tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar
muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau
"rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru
tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau
nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas
dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.
Secara
yuridis Kota Samarinda terbentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 1959. Patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda adalah
catatan sejarah ketika orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada
permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668.
Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda
Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1
berbunyi, "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban
1078 Hijriyah". Penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan
hari jadi kota Samarinda ke-320 pada tanggal 21
Januari 1988. Hari yang
diyakini sebagai awal kedatangan orang-orang suku Bugis
Wajo yang kemudian mendirikan pemukiman di muara Karang Mumus.
Mengunjungi
pulau Kalimantan pasti mengingatkan kita dengan warga suku dayak. Namun saat
sekarang jarang sekali kita dapat mengunjungi atau sekedar melihat bagaimanakah
suku dayak sebenarnya. Bukan tidak ada namun banyak warga suku dayak yang sudah
meninggalkan tradisi asli suku dayak tersebut. Jika kalian mengetahui sedikit
ciri khas dari suku dayak ialah bertelinga panjang. Telinga tersebut panjang
akibat menggunakan beban anting yang terbilang berat, semakin panjang dan berat
maka semakin tinggi derajat dari warga suku dayak tersebut. di Kalimantan Timur
tepatnya di Desa Pampang terdapat desa wisata warga suku dayak. Desa Pampang merupakan sebuah desa budaya yang terletak di Sungai Siring,
Kota Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan objek wisata andalan dari kota
Samarinda. Sejarah dari desa Pampang ini bermula dari Sekitar tahun 1960-an,
Pada waktu itu Suku Dayak Apokayan dan Kenyah berdomisil di wilayah Kutai Barat
dan Malinau, yang kemudian hijrah karena tidak mau bergabung atau tidak ingin
ikut ke dalam wilayah Malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau
ekonomi yang menjanjikan. Rasa
nasionalisme mereka ini lah yang kemudian membuat mereka memilih tinggal dan
tetap bergabung dengan negara Indonesia.
Kemudian Mereka
menempuh perjalanan panjang dan berpindah-pindah selama bertahun-tahun, hanya
dengan berjalan menggunakan kedua kaki. Untuk bertahan hidup, mereka singgah di
tempat-tempat yang di lewatinya dan kemudian berladang. Kehidupan mereka terus
saja berpindah-pindah untuk berladang. Sehingga akhirnya mereka sampai di
kawasan Pampang. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk hidup di Desa Pampang dan
melakukan berbagai kegiatan masyarakat, seperti bergotong-royong, merayakan
natal, dan panen raya bersama-sama.
Desa Pampang
kemudian diresmikan sebagai desa budaya pada bulan Juni tahun 1991 oleh Gubernur Kalimantan Timur HM Ardans. Karena Pemerintah merasa sangat antusias dengan desa
budaya ini yang memiliki kegiatan positif dan bisa menjadi aset wisata unggulan
baik di tingkat wisata lokal bahkan sampai menuju ke mancanegara.
Setiap tahunnya, di desa Pampang digelar acara untuk memperingati hari ulang tahun,
yang disebut dengan nama Pelas Tahun. Satu lagi ritual yang hingga kini masih tetap dilestarikan adalah upacara Junan. Upacara Junan merupakan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun, namun hingga sekarang masih tetap dilaksanakan. Junan adalah ritual yang mengambil gula dari batang tebu dengan cara diperas menggunakan kayu ulin. Melewati desa ini, pemerintah berharap desa ini bisa terus untuk memelihara dan melestarikan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Dayak. Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid serta ras Australoid. Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi.
Setiap tahunnya, di desa Pampang digelar acara untuk memperingati hari ulang tahun,
yang disebut dengan nama Pelas Tahun. Satu lagi ritual yang hingga kini masih tetap dilestarikan adalah upacara Junan. Upacara Junan merupakan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun, namun hingga sekarang masih tetap dilaksanakan. Junan adalah ritual yang mengambil gula dari batang tebu dengan cara diperas menggunakan kayu ulin. Melewati desa ini, pemerintah berharap desa ini bisa terus untuk memelihara dan melestarikan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Dayak. Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid serta ras Australoid. Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi.
Secara harafiah, kata “Dayak” berarti orang
yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak berarti
orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama
kolektif bagi banyak kelompok suku di Pulau Kalimantan atau Borneo. Dalam suku
“Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan
segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai
unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990). Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan terdiri dari kelompok-kelompok suku
besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an.
Adat istiadat suku dayak Kalimantan seperti
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang
dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung
yang sudah di buat. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang
dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi suku
Dayak sangatlah sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya ( sandung
), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain.
sampai akhirnya tulang-tulang tersebut diletakkan pada tempatnya. Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak Pulau
Kalimantan memang sudah
sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Asal para pembaca tahu
saja karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai
pemakan manusia (kanibal) . Tetapi walaupun begitu suku Dayak bukanlah seperti
itu, sebenarnya suku Dayak cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena.
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak
jenisnya. Contohnya, Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak
untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan
dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di
cari pasti akan ditemukan. Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika
orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang
berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat
sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa pangkalima
Dayak itu.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan.
Sebelum diedarkan sang pangkalima harus membuat acara adat untuk mengetahui
kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para
leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber
Tariu (memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang
) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
pangkalimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila
mendengar tariu. Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi
manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan
dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan
manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat.
Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin
banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti. Mangkok merah sebenarnya mangkok biasa saja
terbuat dari tanah liat. Hanya di dalamnya tersimpan barang-barang yang penuh
makna dan magis. Menurut cerita turun-temurun
mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi
lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi
lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi
dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut
ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang
tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak pulau kalimantan itu
diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” (
Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar
yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau
Kalangkang”).
Bagi
masyarakat di Desa Budaya Pampang, keberadaan wisatawan untuk datang dan
melihat tradisi telinga panjang memberikan sebuah peluang berupa kesempatan
untuk berpartisipasi secara aktif sebagai pendukung kegiatan pariwisata di desa
budaya tersebut. Keterlibatan masyarakat Suku Dayak Kenyah dalam mempertahankan
tradisi telinga panjang berkaitan dengan fungsi menjaga nilai budaya bangsa
yaitu dengan bergabung dalam LPADKT (Laskar Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur)
untuk ikut melestarikan budaya bangsa Indonesia yang sudah diwariskan oleh
nenek moyang mereka dahulu. Tradisi memanjangkan telinga atau telinga panjang
di dalam masyarakat Suku Dayak Kenyah semula merupakan cara untuk membedakan
kaum mereka dengan monyet, karena pada saat itu mereka tinggal dan melakukan
kegiatan bertani di dalam hutan sebelum akhirnya menetap di sebuah desa bernama
Desa Pampang hingga saat ini. Kini, tradisi memanjangkan telinga bagi Suku
Dayak Kenyah sebagai identitas untuk menjunjukkan usia mereka. Tradisi ini
melekat menjadi tradisi masyarakat itu sendiri dan menjadi atraksi wisata yang
ditawarkan bagi wisatawan apabila berkunjung ke Desa Budaya Pampang. Hal ini
terjadi jika masyarakat dan pengelola mengemas atraksi telinga panjang
menggunakan konsep yang benar dan mengelola dengan sungguh-sungguh. Tetapi,
karena adanya kegiatan pariwisata di desa budaya tersebut tradisi yang hampir
punah ini dapat kembali hidup dan juga memberi kesadaran bagi masyarakat Suku
Dayak Kenyah untuk lebih menghargai kembali nilai-nilai tradisi leluhurnya
Tradisi
telinga panjang ini merupakan sebuah peninggalan budaya dari hasil kreativitas
nenek moyang Suku Dayak Kenyah yang masih terjaga hingga sekarang. Dengan
hadirnya wisatawan untuk menikmati tradisi ini akan mendorong masyarakat Suku
Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang dan pengelola untuk membangkitkan rasa
ingin mempertahankan tradisi telinga panjang ditengah jaman modern. Tradisi
memanjangkan telinga mempunyai fungsi sebagai ajang untuk memperkenalkan kepada
masyarakat luas bahwa Indonesia memiliki salah satu tradisi suku yang menarik
serta sebagai ajang mendorong rasa untuk melestarikannya. Keterlibatan
masyarakat yang bertelinga panjang dalam kegiatan pariwisata di Desa Budaya
Pampang berkaitan dengan unsur ekonomis. Hal ini dapat dibuktikan, mereka
mendapatkan tambahan penghasilan dari wisatawan yang ingin foto bersama
penduduk yang bertelinga panjang. Tentu saja hal ini patut dihargai, karena
mereka tetap mempertahankan tradisi yang mereka miliki ditengah perkembangan
jaman yang semakin maju dan diantara masyarakat lain yang menganggap bentuk
telinga mereka aneh. Jika tidak ada orang-orang seperti masyarakat Suku Dayak
Kenyah di Desa Budaya Pampang, pariwisata di Kota Samarinda akan semakin tidak
terlihat, karena Suku Dayak terutama Suku Dayak Kenyah merupakan suku yang
identik dari Kalimantan Timur.
Kawasan desa pampang yang menjadi tempat wisata
unggulan kota Samarinda, Kalimantan Timur ini adalah sebuah area berupa rumah
lamin dengan ukuran besar dengan halamannya yang luas. Bila di perhatikan
bangunan ini sebenarnya mirip dengan balai pertemuan. Di dalam pengunjung dapat
menikmati tarian adat, berfoto dengan orang-orang dayak dengan baju adat
istiadatnya, atau membeli cindera mata berupa pernak-pernik khas Kalimantan
seperti kalung gigi beruang, gelang akar bahar, tas anyaman dan aneka souvenir
unik lainnya.
Rumah lamin di desa budaya Pampang merupakan
rumah adat masyarakat dayak yang unik karena memiliki beberapa item yang sangt
khas yaitu:
1.
Tangga. Tangga untuk naik ke dalam rumah terbuat dari kayu pohon. Bentuk tangga
ini tidak berbeda antara rumah para bangsawan dan rakyat biasa.
2. Patung Blontang. Disekeliling Rumah Lamin banyak ditemui
patung-patung Blontang yang menggambarkan dewa-dewa sebagai penjaga
rumah atau kampung.
3. Kepala Naga Pada Ujung Atap Rumah. Ujung pada atap rumah
biasa diberi hiasan kepala naga sebagai simbol keagungan, budi
luhur, dan kepahlawanan.
4. Rumah Panggung dengan dinding berupa papan kayu dimana dari info yang
diterima, dulu kala, bagian bawah rumah biasa digunakan untuk ternak.
Saat
memasuki rumah lamin, kita akan bertemu dengan kepala pengelola rumah lamin dan
mengharuskan setiap rombongan pengunjung mengisi buku tamu, cukup satu
orang saja yang menuliskan buku tamu tersebut dengan mencantumkan jumlah
rombongan yang ada. Biaya yang dikenakan untuk memasuki rumah lamin ini adalah
sebesar Rp 25.000 / rombongan. Acara kesenian di
lamin adat desa pampang hanya berlangsung pada hari minggu yaitu jam 2 siang
hingga jam 3 siang.
Karena keunikan dan keeksotisannya, Desa Budaya Pampang
menjadi tujuan wisata domestik hingga mancanegara. Para pengujung dapat
menyaksikan berbagai acara kegiatan yang sudah menjadi agenda aktivitas
penduduk Desa pampang.Untuk setiap acara biasanya di adakan di dalam bangunan
Adat Lamin yang merupakan rumah adat suku Dayak. Pertunjukan budaya yang di
suguhkan seperti Kancet Punan, Kancet Lasan, Kancet Nyelamai Sakai, Mayam tali,
Enggang Terbang dan masih banyak lagi. untuk melihat
pagelaran tersebut, pengunjung dikenakan biaya Rp 5.000.
Setelah
itu kita dapat mengabadikan momen untuk berfoto-foto dengan orang Dayak. dengan
menggunakan baju adat dayak dikenakan biaya untuk berfoto bersama seorang suku
dayak adalah Rp 25.000 dan biaya untuk menyewa baju adat dayak lengkap adalah
Rp 25.000. Untuk anak-anak warga suku dayak perorang dikenakan biaya Rp 5000
/photo. Setelah berfoto bersama, disekitar samping bangunan rumah lamin
terdapat beberapa toko yang menjual segala aksesoris warga suku dayak. Mulai
dari gelang-gelang, manik-manik, baju hingga aksesoris bulu yang biasa
digunakan pada saat tarian suku dayak. Cinderamata yang ditawarkan
berupa gelang akar bahar, gelang manik-maik dan berbagai gelang batu, tas
anyaman, topi adat, kalung gigi beruang, kalung gigi babi, dan berbagai jenis
cinderamata lainnya yang menarik.
Akses
menuju desa budaya Dayak di Pampang yang berada di jalan poros
samarinda-bontang km 5. Kampung adat dayak pampang berada di sebelah kiri dari
jalan poros samarinda-bontang tersebut. Terbang dari bandara soekarno hatta di
Jakarta ke bandara Sepinggan di Balikpapan. Waktu tempuh yang dibutuhkan dari
balikpapan adalah 4 jam ke kota Samarinda. Tempat
Wisata Desa Budaya Pampang terletak sekitar 20 km dari kota Samarinda. Dari
Samarinda, perjalanan ke desa ini lalui menyusuri jalan di bantaran sungai
mahakam dari loa janan, melewati PLTD Sei Keledang, hingga menyeberangi sungai
mahakam via jembatan mahakam. Dari dalam kota, dapat mengambil jalan p.antasari
hingga simpang empat, lalu mengambil jalan djuanda. Dari jalan djuanda, akan
menemukan simpang empat lampu merah, dan ambil jalur kanan menuju mall
lembuswana. Tidak jauh setelah melewati mall lembuswana, akan menemukan kembali simpang empat dan
silahkan mengambil jalur kiri menuju jalan cendrawasih. Telusuri terus
jalan tersebut sampai menemukan simpang tiga perumahan aalayah, silahkan anda
mengambil jalur kanan dan terus mencapai jalan poros samarinda-bontang. Untuk menuju kesana bisa di lalui dengan transportasi
darat baik menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Untuk angkutan
umum bisa mengambil jurusan Pasar Segiri – Sungai Siring, turun ke Pampang.
Dari kota Samarinda perjalanan dapat di tempuh selama kurang lebih 40 menit.
Jika dari Bontang perjalanan agak lebih lama, sekitar 2 jam melewati jalan raya
Samarinda- Bontang.
Desa
Budaya Pampang, kini sering dikunjungi oleh tamu-tamu VIP yang
datang menuju Kalimantan Timur baik itu turis lokal dan turis dari mancanegara.
Turis dan para pengunjung yang merasa penasaran ingin melihat langsung eksotisme budaya desa Pampang, adat istiadat dan sosok masyarakat Dayak, yang memang sudah terkenal di dunia. Selain itu, pemerintah juga mendukung agar warga Masyarakat Dayak yang menghuni Desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi-potensi lainnya, contohnya membuat cindera mata seperti manik-manik dan sejenisnya. Desa Budaya Pampang sebagai daerah tujuan wisata, mendapat anggaran untuk semua kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang secara rutin dan sesuai dengan kebutuhan. Dan membantu mempromosikan tarian adat, kesenian dan masyarakat telinga panjang sebagai daya tarik wisata dari Desa Budaya Pampang yang berada di Kota Samarinda, mengingat Kota Samarinda tidak mempunyai banyak daerah tujuan wisata, jadi pemerintah dinas pariwisata dapat memfokuskan pekerjaannya dalam mengembangkan kegiatan pariwisata. Meskipun memiliki sedikit daerah wisata tetapi mutunya harus berkualitas. Bagi penduduk Desa Budaya Pampang, terutama masyarakatnya yang bertelinga panjang agar tetap berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang dengan cara mempertahankan tradisi nenek moyang yang masih terjaga sampai saat ini. Mereka harus berani mempertahankan tradisi telinga panjang ditengah kemajuan jaman tanpa harus menutup mata dari arus modern yang ada. Serta harus bisa membuktikan bahwa mempertahankan nilai adat kesenian dan tradisi telinga panjang ini tidak siasia karena mempunyai daya tarik yang mampu menarik minat wisatawan domsetik untuk datang ke Kota Samarinda ataupun mancanegara untuk datang ke Indonesia.
Turis dan para pengunjung yang merasa penasaran ingin melihat langsung eksotisme budaya desa Pampang, adat istiadat dan sosok masyarakat Dayak, yang memang sudah terkenal di dunia. Selain itu, pemerintah juga mendukung agar warga Masyarakat Dayak yang menghuni Desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi-potensi lainnya, contohnya membuat cindera mata seperti manik-manik dan sejenisnya. Desa Budaya Pampang sebagai daerah tujuan wisata, mendapat anggaran untuk semua kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang secara rutin dan sesuai dengan kebutuhan. Dan membantu mempromosikan tarian adat, kesenian dan masyarakat telinga panjang sebagai daya tarik wisata dari Desa Budaya Pampang yang berada di Kota Samarinda, mengingat Kota Samarinda tidak mempunyai banyak daerah tujuan wisata, jadi pemerintah dinas pariwisata dapat memfokuskan pekerjaannya dalam mengembangkan kegiatan pariwisata. Meskipun memiliki sedikit daerah wisata tetapi mutunya harus berkualitas. Bagi penduduk Desa Budaya Pampang, terutama masyarakatnya yang bertelinga panjang agar tetap berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang dengan cara mempertahankan tradisi nenek moyang yang masih terjaga sampai saat ini. Mereka harus berani mempertahankan tradisi telinga panjang ditengah kemajuan jaman tanpa harus menutup mata dari arus modern yang ada. Serta harus bisa membuktikan bahwa mempertahankan nilai adat kesenian dan tradisi telinga panjang ini tidak siasia karena mempunyai daya tarik yang mampu menarik minat wisatawan domsetik untuk datang ke Kota Samarinda ataupun mancanegara untuk datang ke Indonesia.
Sumber Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Samarinda
diakses pada 29 Desember 2015 pukul 21.45 wib
http://www.ragamtempatwisata.com/2013/03/wisata-desa-budaya-pampang-samarinda.html
diakses pada 29 Desember 2015 pukul 22.05 wib
http://awalinfo.blogspot.co.id/2013/05/mengenal-lebih-dekat-suku-dayak.html
diakses pada 30 Desember 2015 pukul 00.35 wib
http://www.wisatakaltim.com/sejarah/sejarah-suku-dayak/
diakses pada 31 Desember 2015 pukul 02.15 wib
http://www.ragamtempatwisata.com/2013/03/wisata-desa-budaya-pampang-samarinda.html
diakses pada 31 Desember 2015 pukul 02.40 wib
https://jefrihutagalung.wordpress.com/2014/05/31/berkunjung-ke-desa-budaya-dayak-di-pampang-samarinda/
diakses pada 31 desember 2015 pukul 03.10 wib
Nama: Bunga Riezki Pratiwi
Prodi: Usaha Jasa Pariwisata UNJ (B) 2014
Contact Person: 081213485868/ line: bungaazki
No comments:
Post a Comment