Sunday, January 3, 2016

Tugas 3_Bunga Riezki_Wisata Budaya di Indonesia

Wisata Desa Budaya Suku Dayak di Pampang Samarinda

Jalan-jalan ke Kalimantan Timur tentulah kita tak lupa singgah ke ibu kota provinsi tersebut tak lain dan tak bukan yaitu Kota Samarinda. Salah satu kota terbesar di Kalimantan, seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang menjadi "gerbang" menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 805.688 jiwa pada tahun 2013. Samarinda dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Di wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili). Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayahkerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.
Secara yuridis Kota Samarinda terbentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1959. Patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda adalah catatan sejarah ketika orang-orang Bugis Wajo ini bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668. Telah ditetapkan pada peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1 tahun 1988 tanggal 21 Januari 1988, pasal 1 berbunyi, "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 Hijriyah". Penetapan ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke-320 pada tanggal 21 Januari 1988. Hari yang diyakini sebagai awal kedatangan orang-orang suku Bugis Wajo yang kemudian mendirikan pemukiman di muara Karang Mumus.
Mengunjungi pulau Kalimantan pasti mengingatkan kita dengan warga suku dayak. Namun saat sekarang jarang sekali kita dapat mengunjungi atau sekedar melihat bagaimanakah suku dayak sebenarnya. Bukan tidak ada namun banyak warga suku dayak yang sudah meninggalkan tradisi asli suku dayak tersebut. Jika kalian mengetahui sedikit ciri khas dari suku dayak ialah bertelinga panjang. Telinga tersebut panjang akibat menggunakan beban anting yang terbilang berat, semakin panjang dan berat maka semakin tinggi derajat dari warga suku dayak tersebut. di Kalimantan Timur tepatnya di Desa Pampang terdapat desa wisata warga suku dayak. Desa Pampang merupakan sebuah desa budaya yang terletak di Sungai Siring, Kota Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan objek wisata andalan dari kota Samarinda. Sejarah dari desa Pampang ini bermula dari Sekitar tahun 1960-an, Pada waktu itu Suku Dayak Apokayan dan Kenyah berdomisil di wilayah Kutai Barat dan Malinau, yang kemudian hijrah karena tidak mau bergabung atau tidak ingin ikut ke dalam wilayah Malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang menjanjikan. Rasa nasionalisme mereka ini lah yang kemudian membuat mereka memilih tinggal dan tetap bergabung dengan negara Indonesia.

Kemudian Mereka menempuh perjalanan panjang dan berpindah-pindah selama bertahun-tahun, hanya dengan berjalan menggunakan kedua kaki. Untuk bertahan hidup, mereka singgah di tempat-tempat yang di lewatinya dan kemudian berladang. Kehidupan mereka terus saja berpindah-pindah untuk berladang. Sehingga akhirnya mereka sampai di kawasan Pampang. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk hidup di Desa Pampang dan melakukan berbagai kegiatan masyarakat, seperti bergotong-royong, merayakan natal, dan panen raya bersama-sama.

Desa Pampang kemudian diresmikan sebagai desa budaya pada bulan Juni tahun 1991 oleh Gubernur Kalimantan Timur HM Ardans. Karena Pemerintah merasa sangat antusias dengan desa budaya ini yang memiliki kegiatan positif dan bisa menjadi aset wisata unggulan baik di tingkat wisata lokal bahkan sampai menuju ke mancanegara.
Setiap tahunnya, di desa Pampang digelar acara untuk memperingati hari ulang tahun,
yang disebut dengan nama Pelas Tahun. Satu lagi ritual yang hingga kini masih tetap dilestarikan adalah upacara Junan. Upacara Junan merupakan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun, namun hingga sekarang masih tetap dilaksanakan. Junan adalah ritual yang mengambil gula dari batang tebu dengan cara diperas menggunakan kayu ulin. Melewati desa ini, pemerintah berharap desa ini bisa terus untuk memelihara dan melestarikan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Dayak. Orang Dayak adalah penduduk  asli pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid serta ras Australoid. Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi.
Secara harafiah, kata “Dayak” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama kolektif bagi banyak kelompok suku di Pulau Kalimantan atau Borneo. Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990). Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an.
Adat istiadat suku dayak Kalimantan seperti Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi suku Dayak sangatlah sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya ( sandung ), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut diletakkan pada tempatnya. Dunia Supranatural bagi Suku Dayak Pulau  Kalimantan memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Asal para pembaca tahu saja karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (kanibal) . Tetapi walaupun begitu suku Dayak bukanlah seperti itu, sebenarnya suku Dayak cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena.
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya. Contohnya, Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan. Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa pangkalima Dayak itu.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang pangkalima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber Tariu (memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti pangkalimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu. Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti. Mangkok merah sebenarnya mangkok biasa saja terbuat dari tanah liat. Hanya di dalamnya tersimpan barang-barang yang penuh makna dan magis. Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak pulau kalimantan itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang”).
Bagi masyarakat di Desa Budaya Pampang, keberadaan wisatawan untuk datang dan melihat tradisi telinga panjang memberikan sebuah peluang berupa kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif sebagai pendukung kegiatan pariwisata di desa budaya tersebut. Keterlibatan masyarakat Suku Dayak Kenyah dalam mempertahankan tradisi telinga panjang berkaitan dengan fungsi menjaga nilai budaya bangsa yaitu dengan bergabung dalam LPADKT (Laskar Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur) untuk ikut melestarikan budaya bangsa Indonesia yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka dahulu. Tradisi memanjangkan telinga atau telinga panjang di dalam masyarakat Suku Dayak Kenyah semula merupakan cara untuk membedakan kaum mereka dengan monyet, karena pada saat itu mereka tinggal dan melakukan kegiatan bertani di dalam hutan sebelum akhirnya menetap di sebuah desa bernama Desa Pampang hingga saat ini. Kini, tradisi memanjangkan telinga bagi Suku Dayak Kenyah sebagai identitas untuk menjunjukkan usia mereka. Tradisi ini melekat menjadi tradisi masyarakat itu sendiri dan menjadi atraksi wisata yang ditawarkan bagi wisatawan apabila berkunjung ke Desa Budaya Pampang. Hal ini terjadi jika masyarakat dan pengelola mengemas atraksi telinga panjang menggunakan konsep yang benar dan mengelola dengan sungguh-sungguh. Tetapi, karena adanya kegiatan pariwisata di desa budaya tersebut tradisi yang hampir punah ini dapat kembali hidup dan juga memberi kesadaran bagi masyarakat Suku Dayak Kenyah untuk lebih menghargai kembali nilai-nilai tradisi leluhurnya 
Tradisi telinga panjang ini merupakan sebuah peninggalan budaya dari hasil kreativitas nenek moyang Suku Dayak Kenyah yang masih terjaga hingga sekarang. Dengan hadirnya wisatawan untuk menikmati tradisi ini akan mendorong masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang dan pengelola untuk membangkitkan rasa ingin mempertahankan tradisi telinga panjang ditengah jaman modern. Tradisi memanjangkan telinga mempunyai fungsi sebagai ajang untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia memiliki salah satu tradisi suku yang menarik serta sebagai ajang mendorong rasa untuk melestarikannya. Keterlibatan masyarakat yang bertelinga panjang dalam kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang berkaitan dengan unsur ekonomis. Hal ini dapat dibuktikan, mereka mendapatkan tambahan penghasilan dari wisatawan yang ingin foto bersama penduduk yang bertelinga panjang. Tentu saja hal ini patut dihargai, karena mereka tetap mempertahankan tradisi yang mereka miliki ditengah perkembangan jaman yang semakin maju dan diantara masyarakat lain yang menganggap bentuk telinga mereka aneh. Jika tidak ada orang-orang seperti masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang, pariwisata di Kota Samarinda akan semakin tidak terlihat, karena Suku Dayak terutama Suku Dayak Kenyah merupakan suku yang identik dari Kalimantan Timur.
Kawasan desa pampang yang menjadi tempat wisata unggulan kota Samarinda, Kalimantan Timur ini adalah sebuah area berupa rumah lamin dengan ukuran besar dengan halamannya yang luas. Bila di perhatikan bangunan ini sebenarnya mirip dengan balai pertemuan. Di dalam pengunjung dapat menikmati tarian adat, berfoto dengan orang-orang dayak dengan baju adat istiadatnya, atau membeli cindera mata berupa pernak-pernik khas Kalimantan seperti kalung gigi beruang, gelang akar bahar, tas anyaman dan aneka souvenir unik lainnya.
Sumber: http://galeriwisata-indonesia.blogspot.co.id                  
Rumah lamin di desa budaya Pampang merupakan rumah adat masyarakat dayak yang unik karena memiliki beberapa item yang sangt khas yaitu:
1. Tangga. Tangga untuk naik ke dalam rumah terbuat dari kayu pohon. Bentuk tangga ini    tidak berbeda antara rumah para bangsawan dan rakyat biasa.
2. Patung Blontang. Disekeliling Rumah Lamin banyak ditemui patung-patung Blontang yang  menggambarkan dewa-dewa sebagai penjaga rumah atau kampung.
3. Kepala Naga Pada Ujung Atap Rumah. Ujung pada atap rumah  biasa diberi hiasan kepala  naga sebagai simbol keagungan, budi luhur, dan kepahlawanan.
4. Rumah Panggung dengan dinding berupa papan kayu dimana dari info yang diterima, dulu  kala, bagian bawah rumah biasa digunakan untuk ternak.
Saat memasuki rumah lamin, kita akan bertemu dengan kepala pengelola rumah lamin dan mengharuskan setiap rombongan pengunjung mengisi buku tamu, cukup satu orang saja yang menuliskan buku tamu tersebut dengan mencantumkan jumlah rombongan yang ada. Biaya yang dikenakan untuk memasuki rumah lamin ini adalah sebesar Rp 25.000 / rombongan. Acara kesenian di lamin adat desa pampang hanya berlangsung pada hari minggu yaitu jam 2 siang hingga jam 3 siang.
Karena keunikan dan keeksotisannya, Desa Budaya Pampang menjadi tujuan wisata domestik hingga mancanegara. Para pengujung dapat menyaksikan berbagai acara kegiatan yang sudah menjadi agenda aktivitas penduduk Desa pampang.Untuk setiap acara biasanya di adakan di dalam bangunan Adat Lamin yang merupakan rumah adat suku Dayak. Pertunjukan budaya yang di suguhkan seperti Kancet Punan, Kancet Lasan, Kancet Nyelamai Sakai, Mayam tali, Enggang Terbang dan masih banyak lagi. untuk melihat pagelaran tersebut, pengunjung dikenakan biaya Rp 5.000.

Setelah itu kita dapat mengabadikan momen untuk berfoto-foto dengan orang Dayak. dengan menggunakan baju adat dayak dikenakan biaya untuk berfoto bersama seorang suku dayak adalah Rp 25.000 dan biaya untuk menyewa baju adat dayak lengkap adalah Rp 25.000. Untuk anak-anak warga suku dayak perorang dikenakan biaya Rp 5000 /photo. Setelah berfoto bersama, disekitar samping bangunan rumah lamin terdapat beberapa toko yang menjual segala aksesoris warga suku dayak. Mulai dari gelang-gelang, manik-manik, baju  hingga aksesoris bulu yang biasa digunakan pada saat tarian suku dayak. Cinderamata yang ditawarkan berupa gelang akar bahar, gelang manik-maik dan berbagai gelang batu, tas anyaman, topi adat, kalung gigi beruang, kalung gigi babi, dan berbagai jenis cinderamata lainnya yang menarik.
Akses menuju desa budaya Dayak di Pampang yang berada di jalan poros samarinda-bontang km 5. Kampung adat dayak pampang berada di sebelah kiri dari jalan poros samarinda-bontang tersebut. Terbang dari bandara soekarno hatta di Jakarta ke bandara Sepinggan di Balikpapan. Waktu tempuh yang dibutuhkan dari balikpapan adalah 4 jam ke kota Samarinda. Tempat Wisata Desa Budaya Pampang terletak sekitar 20 km dari kota Samarinda. Dari Samarinda, perjalanan ke desa ini lalui menyusuri jalan di bantaran sungai mahakam dari loa janan, melewati PLTD Sei Keledang, hingga menyeberangi sungai mahakam via jembatan mahakam. Dari dalam kota, dapat mengambil jalan p.antasari hingga simpang empat, lalu mengambil jalan djuanda. Dari jalan djuanda, akan menemukan simpang empat lampu merah, dan ambil jalur kanan menuju mall lembuswana. Tidak jauh setelah melewati mall lembuswana,  akan menemukan kembali simpang empat dan silahkan mengambil jalur kiri menuju jalan cendrawasih. Telusuri terus jalan tersebut sampai menemukan simpang tiga perumahan aalayah, silahkan anda mengambil jalur kanan dan terus mencapai jalan poros samarinda-bontang. Untuk menuju kesana bisa di lalui dengan transportasi darat baik menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Untuk angkutan umum bisa mengambil jurusan Pasar Segiri – Sungai Siring, turun ke Pampang. Dari kota Samarinda perjalanan dapat di tempuh selama kurang lebih 40 menit. Jika dari Bontang perjalanan agak lebih lama, sekitar 2 jam melewati jalan raya Samarinda- Bontang.
Desa Budaya Pampang, kini sering dikunjungi oleh tamu-tamu VIP yang datang menuju Kalimantan Timur baik itu turis lokal dan turis dari mancanegara.
Turis dan para pengunjung yang merasa penasaran ingin melihat langsung eksotisme budaya desa Pampang, adat istiadat dan sosok masyarakat Dayak, yang memang sudah terkenal di dunia. Selain itu, pemerintah juga mendukung agar warga Masyarakat Dayak yang menghuni Desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi-potensi lainnya, contohnya membuat cindera mata seperti manik-manik dan sejenisnya.
Desa Budaya Pampang sebagai daerah tujuan wisata, mendapat anggaran untuk semua kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang secara rutin dan sesuai dengan kebutuhan. Dan membantu mempromosikan tarian adat, kesenian dan masyarakat telinga panjang sebagai daya tarik wisata dari Desa Budaya Pampang yang berada di Kota Samarinda, mengingat Kota Samarinda tidak mempunyai banyak daerah tujuan wisata, jadi pemerintah dinas pariwisata dapat memfokuskan pekerjaannya dalam mengembangkan kegiatan pariwisata. Meskipun memiliki sedikit daerah wisata tetapi mutunya harus berkualitas. Bagi penduduk Desa Budaya Pampang, terutama masyarakatnya yang bertelinga panjang agar tetap berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata di Desa Budaya Pampang dengan cara mempertahankan tradisi nenek moyang yang masih terjaga sampai saat ini. Mereka harus berani mempertahankan tradisi telinga panjang ditengah kemajuan jaman tanpa harus menutup mata dari arus modern yang ada. Serta harus bisa membuktikan bahwa mempertahankan nilai adat kesenian dan tradisi telinga panjang ini tidak siasia karena mempunyai daya tarik yang mampu menarik minat wisatawan domsetik untuk datang ke Kota Samarinda ataupun mancanegara untuk datang ke Indonesia. 

Sumber Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Samarinda diakses pada 29 Desember 2015 pukul 21.45 wib
http://www.wisatakaltim.com/sejarah/sejarah-suku-dayak/ diakses pada 31 Desember 2015 pukul 02.15 wib

Nama: Bunga Riezki Pratiwi
Prodi: Usaha Jasa Pariwisata UNJ (B) 2014
Contact Person: 081213485868/ line: bungaazki



No comments:

Post a Comment