Tugas -5 Observasi Suku Baduy
“Pemulasaran Jenazah dan Mendoakan Arwah di Baduy”
Assalamualaikum
wr.wb dalam kesempatan kali ini izinkan saya Nurdiana Safitri dari Usaha Jasa
Pariwisata 2014 untuk sedikit bercerita mengenai pengalaman yang saya alami
saat mengungjungi dan belajar mengenai kebiasaan dan aktivitas suku Baduy atau
yang biasa disebut “urang kanekes”. Saya
akan membawa pembaca untuk sedikit lebih mengenal mengenai masyarakat Baduy dan
seperti apa kah kebiasaan dan ciri mereka
Orang
kanekes atau masyarakat Baduy memiliki
dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem adat yang mengikuti
adat istiadat dari nenek moyang. Orang
Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan Orang Sunda. Penampilan fisik dan
bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satu nya
perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Masyarakat Kanekes sangat menutup
diri dari pengaruh dunia luar dan sangat ketat menjaga tata cara hidup yang
tradisional. Mereka memiliki peraturan yang tak tertulis yang masih di pegang teguh
sampai saat ini.Orang Kanekes terbagi atas 3 kelompok yaitu :
·
Tangtu
·
Penamping
·
Dangka
·
Tangtu (
Baduy Dalam)
Kelompok yang dikenal sebagai Kanekes
Dalam (Baduy Dalam), yang sangat ketat dalam mematuhi dan mengikuti adat, yaitu
warga yang tinggal di 3 Desa : Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri dari
orang kanekes dalam ini yaitu pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua
serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu
orang asing (bule). Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti orang Kanekes Luar,
warga kanekes dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka. Dapat
dilihat dari beberapa peraturan yang dianut. Berikut, contoh beberapa peraturan
yang dianut oleh suku Baduy Dalam antara lain :
1.
Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan sebagai sarana transportasi
2.
Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
3.
Pintu rumah
harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat)
4.
Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
·
Panamping
(Baduy Luar)
Kelompok masyarakat luar atau yang
disebut panamping (Baduy Luar) yang
tinggal di berbagai desa yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes dalam
seperti : Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu dan lain sebagainya.
Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang yang
telah keluar dari adat dan keluar dari wilayah Kanekes dalam. Ada beberapa hal
yang menyebabkan dikeluarkan nya warga Kanekes dalam ke Kanakes Luar yaitu :
1.
Mereka telah
melanggar adat masyarakat Kanekes dalam
2.
Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
3.
Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat Orang Kanekes
Luar :
·
Mereka telah
mengenal teknologi ,seperti barang elektronik
·
Proses
pembangunan rumah penduduk telah menggunakan alat bantu seperti : gergaji,
palu, paku, dll, yang sebelumnya telah dilarang oleh adat Kanekes Dalam
·
Menggunakan
pakaian adat warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki) yang menandakan mereka
tidak suci atau sudah menikah. Kadang memakai pakaian modern seoerti kaos
oblong dan celana
·
Menggunakan
peralatan rumah tangga seperti kasur, bantal, piring, dan gelas kaca juga
plastik
·
Mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes dalam
·
Sebagian dari
mereka sudah terpengaruh dan berpindah agama menjadi muslim
·
Dangka
Apabila Kanekes Luar dan Kanekes dalam tinggal di
wilayah kanekes, maka “Kanekes Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan
saat ini yang tersisa ada desa Padawaras ( Cibengkung ) dan Sirahdayeuh (
Cihandam ). Desa Dangka tersebut berfungsi sebagai semcam “buffer zone” atas
pengaruh dari luar.
Pertama kali sampai di desa ciboleger suasana yang
terlihat adalah beberapa rumah penduduk yang berdempetan seperti pada umumnya. Berbagai
cinderamata telah terpampang disepanjang jalan menuju desa baduy luar.
Perjalanan yang ditempuh cukup memakan waktu dan tenaga,ketika mencoba
menelusuri lebih dalam terlihat hutan dan dataran yang menanjak menuju baduy
luar. Saya sejenak berpikir bagaimana bisa warga nya melewati kesehariaan nya
yang sebagian tenaga nya telah terpakai untuk menempuh perjalanan saya merasa
salut dan bangga melihat masyarakat yang memiliki semangat tinggi untuk bekerja
sehari-hari harus melewati jalan yang memiliki medan yang cukup sulit. Apalagi,
apabila dilewati lansia atau warga di bawah umur. Namun,perjalanan yang lelah
cukup terbayar melihat pemandangan yang asri dan kaya nya alam yang kita miliki,serta
kental nya ragam budaya dan keeratan masyarakat yang masih memegang teguh
warisan leluhur yang tetap dijaga,dipelihara,dipertahankan dan tidak boleh di
injak oleh sembarang orang pun terbayarkan sesampainya disana. Keterbukaan dan keramah tamahan mereka
membuat saya merasa nyaman untuk tinggal, walaupun hanya sementara di sana.
Saya sadar andai diperkotaan masyarakat tidak berpikir induvidualisme dan
mengedepankan gotong royong, tentu kita dapat memperkuat tali kesaudaraan
sesama makhluk hidup yang saling membutuhkan. Masyarakat kanekes pun terlihat
kuat dan bugar walaupun sudah lanjut usia mereka masih aktif dan semangat
bekerja tanpa beban yang sangat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di
perkotaan. Sejenak saya berpikir untuk menghabiskan masa tua saya tinggal di
pedesaan pasti akan terasa nyaman dan damai ^_^
Masyarakat baduy memiliki
banyak sekali budaya dan kebiasaan yang unik dan jarang sekali masih di
terapkan di desa-desa di pelosok Indonesia. Beruntung saya dalam kesempatan
minggu lalu masih diberikan kesehatan untuk terjun langsung dan belajar
mengenai salah satu warisan budaya yang sangat kental yang hingga saat ini
masih di pegang teguh oleh warga baduy baik Baduy dalam maupun Baduy luar. Kepatuhan
terhadap nenek moyang bukan saja menjadi panutan bagi mereka namun juga telah
mendarah daging, Saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu tour Guide
kita Mang Aja yang sedikit bercerita
ia pernah berjalan kaki dari Baduy Dalam hingga Jakarta tanpa berkendara,namun
ketika ia sampai di Monas ia menaiki lift dan selepas perjalanan dari jakarta,
ia sakit malaria 2 minggu yang diperkirakan karena mang Aja menaiki lift yang
merupakan alat teknologi buatan manusia,Seperti mitos namun percaya tidak
percaya melawan tata adat malah datang sebuah bala. Namun dalam kesempatan kali
ini saya di berikan tugas oleh Bapak
Shobirin NurRasyid sebagai dosen pembimbing Pembanduan dan Wisata Budaya untuk menjelaskan mengenai “Pemulasaran jenazah dan mendoakan arwah di
Baduy”.
Pemulasaran Jenazah adalah merawat atau mengurus jenazah yang telah mati
untuk segera siap di antarkan ke tempat peristirahatan terakhir atau segera di
kuburkan. Secara garis besar sama dengan masyarakat pada umumnya,yang membuat
berbeda adalah cara penguburan mayat nya. Pemakaman umum pada masyarakat
Kanekes selalu berada di sebelah selatan dari perkampungan. Pemakaman Mereka
memiliki salah satu istilah “kaparupuhun” yang artinya (kehilangan) untuk
peristiwa kematian dan “ngahiyang” (mendiang). Jika terjadi kematian,
masyarakat kanekes tidak seperti kita yang biasanya di ikuti dengan tangisan
hiruk pikuk dari anggota keluarga maupun kerabat terdekat yang ditinggalkan karena
sedang berduka. Melainkan Suasana tenang
dan tertib mengiringi kepergian jenazah ke tempat pemakaman. Pengurusan Jenazah
orang Kanekes dilakukan oleh orang khusus yang jabatannya penghulu atau orang
yang di anggap dapat atau mampu membersihkan jenazah dari dosa-dosa yang
melekat pada tubuhnya.
Pertama-tama jenazah itu dimandikan dengan air bersih, kemudian di bungkus
dengan kain kafan, selanjutnya siap untuk dikuburkan. Keberangkatan Jenazah ke kuburan, di pimpin
oleh jaro tangtu (pemimpin Baduy dalam) dan ceurik panglayuan (tangisan
jenazah) yang dilakukan salah seorang anggota keluarga jenazah. Jenazah orang
Kanekes akan di kuburkan dari barat ke timur dengan kepala di sebelah barat.
Posisi penguburannya berbaring dengan wajah menghadap ke selatan, yaitu ke arah
Sasaka Pada Ageung. Seperti contoh saat kita umat muslim mengubur jenazah
mengahadap ke kiblat, mereka juga memiliki tata cara sendiri. Dari hasil wawancara saya ke warga setempat
mereka tidak memiliki proses 7 hari-40 hari an seperti yang biasa kita lakukan
dalam mendoakan arwah yang telah pergi. Yang lebih unik lagi yaitu disana kita
tidak akan menemukan tempat pemakaman umum, karena cara mengubur atau menata
kuburan berbeda dengan masyarakat pada biasanya. Masyarakat Kanekes membuat
kuburan dengan rata layaknya tanah datar dan tidak ada ciri khusus, apabila
ingin berziarah, mereka cukup mendoakannya dirumah saja. Kira-kira seperti
itulah informasi yang dapat saya ambil mengenai
“Pemulasaran jenazah dan mendoakan arwah di Baduy”. Yang dapat kita
teladani adalah betapa kaya nya budaya kita yang harus kita jaga yang masih
sangat melekat seperti di Baduy yang semoga dalam kesempatan selanjutnya saya
masih dapat merasakan indahnya alam di Baduy dan demi keberlangsungan anak cucu
di masa depan.
Nurdiana Safitri
4423143987
UJP/B
dianasftr25@gmail.com
path; Nurdiana safitri
twitter: @dianasafitrii
ig: sftrdiana
No comments:
Post a Comment