T5- Sistem Pemerintahaan Kepuunan dan Kepala Desa Baduy
OBSERVASI BADUY
Sebelumnya
saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu karena pepatah pernah
mengatakan tak kenal maka tak sayang , nama saya Muhammad Arifta saya adalah seorang mahasiswa Universitas
Negeri Jakarta Progam Studi Usaha Jasa Pariwisata. Disini saya akan
menceritakan pengalaman saya tentang observasi baduy yang dilaksanakan kemarin Pada
tanggal 22 – 24 Desember 2015. Pada Observasi Baduy kemarin saya menginap
disalah satu rumah warga di pemukiman Masyarakat Baduy luar. Kami disambut
hangat disana, tetapi yang saya ketahui masih banyak masyarakat Baduy luar yang
tidak mengerti bahasa Indonesia, dikarenakan mayoritas penduduk di baduy luar
maupun baduy dalam ini menggunakan bahasa Sunda kasar. Padahal masyarakat Baduy
luar sudah dikatakan sudah mengenal banyak budaya luar yang masuk ke masyarakat
ini. Berbeda dengan baduy dalam yang sampai sekarang masih kental dengan
kepatuhan dan adat yang berlaku disana. Untuk mencapai Baduy Dalam sendiri kita
harus berjalan kaki sekitar kurang lebihnya sekitar 3 – 4 jam perjalanan dengan
melawati pemukiman warga dan perbukitan yang terdapat disana. Lebih jelasnya
disini saya akan membahas tentang Dua Sistem Pemerintahan yang berada di Baduy
Yaitu Kepuunan dan Kepala Desa yang trerdapat di Baduy.
Hukum
adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan
hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis
dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Baduy adalah salah satu suku
di Banten yang sampai saat ini masih memegang teguh budayanya. Suku Baduy
terletak di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten Selatan
di daerah Pegunungan Kendeng. Banyak cerita konon orang Baduy adalah keturunan
orang papajaran yang berasal dari para senapati dan punggawa setia raja yang
melarikan diri pada abad ke- XII .Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua bagian
yakni Baduy dalam dan Baduy luar. Orang Baduy dalam bertempat tinggal di
Kampung Kajeroan yang terdiri dati tiga kepu’unan yakni Cibeo, Cikeusik dan
Cikartawana. Ketiga kepu’unan tersebut berada di Desa
Tangtu Tilu (pasti tiga).
Sedangkan Baduy luar menempati banyak kampung ada sekitar 60 kampung.
Masyarakat Baduy dalam dan luar mempunyai perbedaaan meskipun tidak banyak
berbeda, mulai dari pakaian dan aturan-aturan yang dianutnya. Baduy merupakan
sebutan populer orang lain terhadap masyarakat Desa Kanekes Banten. Sebutan
Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke daerah Banten utara pada abad ke-16,
sekitar Akan tetapi, orang Baduy dipaparkan oleh Judistira Garna, sebagai
berikut: “Kesetiaan orang Baduy kepada agama yang diwarisi secara turun temurun
dari nenek moyangnya seperti keadaan sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa
Barat serta letak desanya yang tak mudah dicapai orang seolah-olah memperkuat
angggapan bahwa orang Baduy itu bukan orang Sunda”. Blume pernah menulis bahwa
masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni Pajajaran, yang
bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke-17, dan sejalan
pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam .Terlepas dari perdebatan para ahli
sejarah tentang sebuatan Baduy, penelusurannya dapat diteruskan dan ditemukan
di banyak sumber. Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda,
Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara
resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat
pe-muja-an nenek moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di Desa Kanekes
dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari sinilah,
masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda Wiwitan, Sunda
Pertama.Hal itu menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa
ditemukan di dalam diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam
lindung pegunungan Kendeng sebelum ekspedisi Islam datang mengubah kepercayaan
Masyarakat Baduy sendiri.
Masyarakat
Baduy sejak dahuluselalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Kepala Adat. Kepatuhan kepada
ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan
bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan
masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau
menolak aturan yang diterapkan sang Kepala Adat. Dengan menjalani kehidupan
sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, akan tercipta
sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera.
Mengamati kehidupan suku Baduy tampak seperti sebuah kehidupan penuh dengan
keselarasan dan ketenangan. Rumah-rumah yang mempunyai model dan gaya
arsitektur yang sama, mata pencaharian atau kegiatan yang sama, dan berpakaian
sama. Seperti tidak ada yang membedakan mereka, ‘tidak ada kaya miskin’ dalam
kehidupan sosial ekonomi mereka. Saling percaya dan menghormati kepunyaan
masing-masing. Jika mereka mempunyai uang lebih, uang terssebut mereka belikan
beras atau emas.Emas mereka kenakan setiap hari, tanpa ada pandangan banyak
emas banyak uang, emas hanya mereka gunakan sebagai hiasan seorang wanita.
Sedangkan padi atau beras mereka simpan di leuit (gubuk tempat menyimpan padi)
yang terletak di sebelah perkampungan. Tempat yang terpisah dari tempat tinggal
mereka tidak membuat mereka ‘was-was’ atau kawatir jika dicuri orang, karena
memang di sana tidak ada pencuri. Mereka akan malu jika melakukan perbuatan
tercela dan takut melanggar hukum adat yang berlaku karena pada hakekatnya
masyarakat baduy harus taat pada peraturaan adat yang berlaku disana.
Sumber Terkait:
Muhammad Arifta
4423143965
Usaha Jasa Pariwisata
2014 A
Pemanduan Wisata
Budaya
No comments:
Post a Comment