Sunday, January 3, 2016

T3_Mohammad Shun Farid_Desa Ciptagelar

Wisata Budaya Di Desa Ciptagelar

SEJARAH DESA CIPTAGELAR
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat kebiasaan nenek moyang'.   Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan "hijrah wangsit" ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan.   Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. Masyarakat atau warga Kampung Ciptagelar sebenarnya tidak terbatas di kampung tesebut saja tetapi bermukim secara tersebar di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Namun demikian sebagai tempat rujukannya, "pusat pemerintahannya" adalah Kampung Gede, yang dihuni oleh Sesepuh Girang (pemimpin adat), Baris Kolot (para pembantu Sesepuh Girang) dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang ingin tinggal sekampung dengan pemimpin adatnya. Kampung Gede adalah sebuah kampung adat karena eksistensinya masih dilingkupi oleh tradisi atau aturan adat warisan leluhur.   Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.



Pemerintahan Adat Ciptagelar
Abah anom berperan sebagai kepala adat yang memiliki peranan dan pengaruh penting. Secara struktural, Kasepuhan adat dipimpin oleh Kolot Girang yang didampingi oleh Sesepuh Induk. Di tingkat daerah juga terdapat fungsi-fungsi struktural untuk menjalankan roda dan tata kelola adat. Sesepuh Induk kerap menjadi duta dan mediator untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat ke luar dan ke dalam, misalnya mempertemukan Kolot Lembur dengan Abah Anom.
Jika terjadi permasalahan adat atau persoalan warga, misalnya telah terjadi sengketa tanah, hal itu biasanya terlebih dahulu ditangani Kolot Lembur di daerah. Jika masih belum selesai, masalah tersebut kemudian dibawa ke sesepuh induk. Sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan. Jika juga tidak bisa, Abah Anom akan menjadi pengadilnya. Meskipun urutannya seperti itu, Selama ini cukup jarang ada konflik karena masyarakatnya memegang teguh aturan adat mereka. Dalam pembangunan fasilitas umum, warga Kasepuhan Ciptagelar juga melakukannya dengan bergotong royong.
Perangkat adat lain yang menopang jalannya kehidupan masyarakat Ciptagelar adalah mabeurang(dukun bayi), bengkong (dukun sunat), dukun tani, dukun jiwa, paninggaran (menjaga lahan pertanian), juru doa, juru pantun,  juru sawer dan beberapa perangkat lainnya untuk menjalankan fungsi keamanan. Selain itu ada juga pengawal atau ajudan yang menemani kolot lebur jika bepergian dinas. Juga ada seorang pujangga keraton yang bertugas memainkan kecapi buhun sembari berpantun.
Mata Pencaharian
Bertani dan berladang merupakan dua bidang pokok masyarakat adat Ciptagelar dalam memenuhi kehidupan mereka. Bidang lainnya adalah beternak dan berkebun. Bila sawah dalam masa Boyor(cukup banyak airnya), biasanya sembari dipakai untuk memelihara ikan, dan apabila musim kerik lahan pertanian akan ditanami jenis tanaman yang memiliki waktu panen pendek. Pekerjaan lain yang dianggap sebagai selingan, adalah membuat aneka kerajinan anyaman, membuat gula, dll.
Selesai masa panen, setiap keluarga biasanya akan menyisihkan dua ikat padi untuk diserahkan ke pada sesepuh girang sebagai tatali panen, padi itu biasanya akan disimpan di lumbung komunal yang juga dapat berfungsi sebagai cadangan jika datang musim paceklik,. Selain itu, Padi di lumbung komunal juga dalam dipinjam oleh masyarakatnya. Salah satu Lumbung padi atau Leuit komunal di Ciptagelar adalah leuit Si Jimat, leuit ini tempat penyimpanan indung pare (Bibit Padi)
Terdapat istilah maro yaitu sistem bagi dua antara pemilik dan penggarap yang berlaku dalam  pertanian dan juga peternakan. Selain itu juga ada istilah bawon saat panen tiba bagi mereka yang membantu panen. Misalnya jika seseorang membantu memanen padi sebanyak lima ikat, maka akan mendapat satu ikat. Hal yang sama juga berlaku ketika menumbuk padi menjadi beras.
Peraturan adat Ciptagelar melarang untuk menjual padi dan atau beras beserta hasil olahannya. Hal ini merupakan bentuk penghormatan mereka terhadap padi yang merupakan kebiasaan dari masyarakat Sunda Lama. Kekinian, masyarakat telah diizinkan untuk menjual padi apabila mengalami cadangan berlebih. Menjual padi  dan beras juga dilakukan terutama untuk membiayai pembangunan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan, contohnya pembangunan saluran air,  jalan, jembatan, dan lain sebagainya,
Masyarakat ada Ciptagelar juga mempunyai aturan yang mereka tetapkan terhadap wilayah-wilayah hutan yang berada di wilayah mereka; Hutan Tua atau Leuweung Kolot yang merupakan hutan dengan kerapatan tinggi dan banyaknya satwa, adalah hutan yang tidak boleh dieksploitasi. Leuweung Titipan, Hutan Titipan atau Kramat merupakan wilayah hutan yang harus dijaga dan tidak boleh digunakan tanpa mendapat izin sesepuh girang, pun memungkinkan dijelajahi untuk mencari hasil hutan.Leuweung Sampalan atau hutan bukaan adalah wilayah hutan yang boleh dimanfaatkan untuk keperluan menggarap ladang, perkebunan, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar, dll.
Leuit sebagai Tabungan Kemandirian
Bagi masyarakat Sunda, leuit atau lumbung padi bukan lah sesuatu yang asing. Meski sekarang hanya terdapat di beberapa wilayah saja, di masa lalu leuit memiliki peran vital bagi orang sunda; sebagai tempat aman untuk menyimpan gabah atau beras hasil panen baik komunal maupun individu. Saat musim paceklik tiba, simpanan gabah itu menjadi tabungan yang berharga.
“Leuit, lumbung padi Sunda di Sirnarasa, Sukabumi”. Foto oleh Wibowo Djatmiko
Leuit masyarakat adat Ciptagelar bentuknya menyerupai rumah dengan ukuran yang bervariasi. Satuleuit kurang lebih menampung 500 – 1.000 ikat pare gede jenis padi yang biasa mereka tanamdengan satu ikatnya bisa mencapai 5 kg. Keberadaan leuit sangat vital bagi ketahanan pangan penduduknya. Ketika seorang bayi lahir, sebagai “hadiah”  bayi itu akan dibangunkan leuit. Begitu juga saat seseorang akan menikah, ia akan dinilai dari “kepandaian” dalam memperhatikan leuit-nya.
Padi yang ditanam oleh masyarakat adat Ciptagelar adah jenis pare gede yang biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, dalam satu kali musim panen, hasilnya telah dapat mencukupi kehidupan mereka kurang lebih selama dua tahun. Pola tanam yang yang dilakukan dalam menanam padi dengan sistem pola tanam serentak sehingga panennya kerap juga serentak.
Masyarakat adat Ciptagelar berusaha agar terus hidup mandiri, tanpa ketergantungan kepada pihak lain. Dalam keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul, bahkan jarang terdengar gagal panen, hama menyerang, dan atau kabar tentang kekurangan pangan, apalagi hingga kelaparan. Leuit mereka bahkan tidak pernah kosong sepanjang tahunnya.
Religi.
Sistem Pengetahuan, dan Tabu Warga Kasepuhan Ciptagelar memeluk agama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaan kegiatan keagamaannya masih didominasi kepercayaan terhadap adat dan tradisi nenek moyangnya (tatali paranti karuhun). Konsep atau pandangan hidupnya lebih menitikberatkan pada adat dan tradisinya ketimbang merujuk pada sumber utama agamanya (Al-Quran). Dalam hal ini, perenungan atas alam semesta telah membawa mereka pada kesimpulan alam semesta merupakan sistem yang teratur dan seimbang.
Keteraturan dan keseimbangan alam semesta merupakan sesuatu yang mutlak. Adanya malapateka atau bencana menurut pandangan warga kasepuhan adalah sebagai akibat keseimbangan dan keteraturan alam semesta terganggu. Oleh karena itulah tugas utama manusia adalah memelihara dan menjaga keseimbangan hubungan berbagai unsur yang ada di alam semesta ini.
Warga Kasepuhan Ciptagelar mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang ingin sukses hidupnya atau bahagia, is harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau rasa manunggal, yakni menyatukan alam makro kosmos dengan mikro kosmos. Sebuah ungkapan yang sering dijadikan pedoman untuk mencapai rasa yang dimaksud adalah tilu sapamilu, dua sakarupa, hiji eta keneh (tiga sejenis, dua serupa, satu itu-itu juga). Ungkapan tersebut merupakan suatu pernyataan yang menggambarkan bahwa manusia di dunia ini mempunyai bermacam-macam keinginan, sikap, dan sifat yang pada hakekatnya sama yaitu mahiuk yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya dalam upaya mencapai ketertiban dan keselarasan hidup manusia, warga Kasepuhan Ciptagelar harus menyelaraskan ucapan, tingkah laku dan tekad (ucap lampah ka/awan tekad). Bagi warga Kasepuhan Ciptagelar, pedoman hidup berupa tatali paranti karuhun - harus dilaksanakan karena setiap pelanggaran terhadapnya akan mengakibatkan bencana (kabendon), balk bagi dirinya maupun masyarakat. Dengan cara itu, maka warga kasepuhan berharap dapat terhindar dari berbagai malapetaka.
Kepercayaan terhadap tatali paranti karuhun terekspresikan dalam berbagai simbol berupa tabu (pantangan) dan lambang-lambang tertentu yang mengandung makna simbolik. Sebagai contoh adalah tabu untuk menjual beras, tabu mengeluarkan padi pada hari lahir (wedal), tabu untuk bersiul di sekitar kampung, dan tabu untuk mengolah sawah pada hari Jum\\\'at dan Minggu. Adapun lambang-lambang yang mempunyai makna simbolik antara lain : sawen, rawun, pungpuhunan, dan tukuh lembur. Bagi warga Kasepuhan Ciptagelar, tabu dan simbol-simbol tersebut merupakan alat yang menjaga lingkungan keluarga dan komunitas mereka selamat dari gangguan orang maupun roh-roh jahat.
Kepercayaan warga Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah penghormatan kepada Dewi Sri yang dipercayai sebagai "Dewi Padi". Misalnya pandangan terhadap Dewi Sri yang mereka sebut Nyi Pohaci Sang-hyang Sri Ratna Inten Purnama Alam Sajati; Dewi Sri hanya bersemayan pada padi sekali dalam setahun, sehingga menyebabkan penanaman padi harus dilakukan sekali dalam setahun.
Menurut mereka, berbagai pelanggaran terhadap padi dan tats cara dalam pemeliharaannya, akan menimbulkan ketidakberhasilan panen (tidak sesuai dengan yang diharapkan). Oleh karena itu mudah dimengerti apabila setiap siklus pertanian tidak lepas dari berbagai upacara, misalnya: upacara sasarap, ngabersihan, ngaseuk, tebar, mipit, ngadiukeun, nganyaran, ponggokan, dan seven taun. Demikian pula dalam segi teknologi pertanian pun lebih banyak menggunakan alat-alat tradisional seperti : etem (ani-ani), lesung, dan rengkong (alat pemikul yang berfungsi untuk membawa pocongan padi dari lantayan ke leuit).
Leuit bagi warga Kasepuhan Ciptagelar tidak hanya berarti gudang tempat penyimpanan padi melainkan berkaitan dengan kepercayaan mereka yakni simbol dari penghormatan mereka pada Dewi Sri (dewi penguasa dan pemelihara padi). Kepercayaan tersebut telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka, sehingga berdasarkan kepercayaan mereka apabila padi tidak disimpan di leuit maka mereka bisa kabendon (celaka).
Manifestasi dari kepercayaan tersebut di atas adalah adanya kebiasa¬an, aturan atau pantangan/tabu yang berkaitan dengan leuit, misalnya : tabu menjual beras dan menggiling padi dengan heuleur (mesin perontok padi). Masyarakat diperbolehkan menjual padi dengan syarat padi yang dijual adalah padi hasil panen tahun lalu yang telah dirasulkeun secara adat oleh sesepuh girang. Dalam hal ini warga kasepuhan hanya menjual kelebihan padi hasil panen tahun lalu.

Sistem Kemasyarakatan
Kesatuan terkecil dalam sebuah masyarakat adalah keluarga. Sebuah keluarga di Kasepuhan Ciptagelar terdiri atas bapak, ibu dan anak. Namun demikan ada juga yang tinggal beberapa anggota keluarga lain (saudara). Mereka semua hidup dan makan dalam satu atap atau dikenal dengan istilah sadapur, dan segenap anggota keluarga yang hidup dalam satu rumah (satu atap) serta makan dari satu dapur itu disebut sabondoroyot. Meskipun wewenang dalam menentukan kebijakan rumah tangga ada pada suami-isteri sebagai kepala rumah tangga, \\\'intervensi\\\' orang yang paling tua atau orang yang dituakan yang tinggal dalam rumah tangga itu, relatif menentukan.
Dalam hal perkawinan, terdapat kecenderungan melakukan perkawinan dengan sesama warga Kasepuhan Ciptagelar (endogami kelompok sosial). Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, orang tua dari kedua mempelai akan meminta restu terlebih dahulu kepada sesepuh girang. Setelah upacara perkawinan, mereka biasanya tinggal pada kerabat isteri (uxorilokal/matrilocal) atau tinggal di rumah baru (neolokaO.
Sistem kekerabatan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah bilateral/parental, dengan pengertian bahwa hubungan sanak-saudara ditentukan melalui garis keturunan pihak ayah dan pihak ibu. Pola untuk menentukan garis keturunan yang tidak membedakan garis ayah maupun garis ibu ini sama dengan yang dianut masyarakat Sunda pada umumnya di Jawa Barat. Hal tersebut dapat dipahami mengingat warga Kasepuhan Ciptagelar termasuk suku Sunda.
Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari, komunitas Kasepuhan Ciptagelar diorganisasikan oleh suatu elite kepemimpinan lokal yang berpusat pada kekuasaan seorang pemimpin adat yang disebut sesepuh girang. Sesepuh girang adalah seseorang yang diangkat secara adat untuk memimpin komunitas Kasepuhan dan biasanya merupakan anak dari sesepuh girang sebelumnya yang menurut kepercayaan mereka, penunjukkan sesepuh girang ini merupakan perintah dari karuhun. Jabatan sesepuh girang ini merupakan jabatan yang bersifat turun-temurun dan s9lalu diwariskan kepada anak laki-laki (tidak harus yang pertama/sulung).
Sesepuh girang dibantu oleh beberapa orang yang dalam struktur organisasi Kasepuhan Ciptagelar disebut dengan basis kolot. Basis Kolot adalah beberapa orang yang dijadikan pembimbing, penasihat serta yang memberikan pertimbangan kepada sesepuh girang berkaitan dengan kepentingan kelompok sosial Kasepuhan Ciptagelar. Masing-masing bans kolot ini mempunyai tanggung jawab sesuai bidangnya masing-masing, yaitu Girang Serat, Sesepuh Kampung, Pamakayan (Dukun Tani), Bengkong, Juru Pantun, Indung Beurang, Dalang, Tukang Tinggar, Penghulu, Tukang Bas (kayu/bangunan), Panganteur, Tukang Bebersih, dan Kemit. Dalam melancarkan urusan di bumi ageung terdapat beberapa orang yang membantu, yaitu sebagai : Candoli, Palawari, Pangejeg, dan Tukang Potong.

Upacara-upacara Adat

1) Upacara Iingkaran hidup
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih melakukan berbagai upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup. Upacara-upacara yang dimaksud adalah upacara yang berkaitan dengan kelahiran seperti: upacara selamatan pemberian nama dan upacara mengubur bali (ari-ari atau tembuni); upacara masa kanak-kanak bagi anak laki-laki biasa dilakukan upacara khitanan dan upacara helaran; upacara yang berkaitan dengan perkawinan seperti lamaran, akad nikah, dan lain-lain; dan upacara yang berkaitan dengan kematian.

2) Upacara pertanian
Desa adat ini kaya sekali dengan ritual atau upacara - upacara adat. upacara - upacara adat antara lain
1. Ritual Ngaseuk : Ritual yang diselenggarakansebelum menanam padi, pada ritual ini di mulai dengan Ziara kemakam leluhur dan memohon izn pada Yang Maha Kuasa.
2. Ritual Sapeng  : Ritual yang dilakukan satu minggu setelah penanaman perdana padi, untuk memohon restu agar padi dapat tumbuh dengan baik.
3. Ritual Nyiram : Dilakukan pada saat padi akan keluar bunga supaya terhindar dari hama.
4. Ritual Sawean dilakukan setelah padi berbunga, dan memberikan pengobatan dengan tujuan agar padi selamat dan terisi.
5. Ritual Mipit Pare : dilakukan saat akan memotong padi disawah dengan memohon kepada sang penciptaagar diberi hasil panen yang banyak dan memohon izin kepada kepada leluhur untuk memotong padi.
6. Ritual Ngabukti : Upacara saat padi pertamakali ditumbuk dan dimasak.
7. Ritual Ponggokan : Satu minggu sebelum Serentaun yaitu baris kolot membahas besarnya pajak /jiwa.
8. Ritual SerenTaun : Puncak dari segala Acara kegiatan Kasepuhan yang dilakukan hanya di Kampung Gede sebagai pusat pemerintahan setiap tahun

Kesenian
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal berbagai macam kesenian dan beberapa di antaranya berhubungan erat dengan uparaca adat karena sering dipentaskan pada upacara-upacara adat yang biasa dilaksanakan, seperti pada upacara ngaseuk, mipit, nganyaran, dan upacara sepanjang lingkaran hidup (khitanan dan pernikahan). Jenis jenis kesenian tersebut antara lain genjring, pencak silat, pantun, calung, wayang golek, dog¬dog lojor, topeng, jipeng, dan angklung.
Istilah genjring diambil dari nama alatnya (waditra), yaitu semacam alat dengan membran terbuat dari kulit, sedangkan memainkannya dengan cara dipukul menggunakan telapak tangan (ditepak). Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal kesenian ini sebagai kesenian tradisional yang bernafaskan ke-Islaman. Genjring ini biasanya dimainkan oleh dua belas prang pemain.
Pantun adalah cerita dalam bentuk puisi Sunda lama yang diceritakan atau dinyanyikan dalam bentuk prolog atau dialog. Seni pantun dimainkan seorang diri oleh Ki Juru Pantun. Dia membawakan atau menembangkan lakon sambil memetik kecapi. Lakon yang dibawakan adalah Munding Jalingan dan Perenggong Jaya.
Pada jenis kesenian dog-dog lojor, pemainnya berjumlah 6 orang; 2 orang sebagai penabuh dog-dog dan 4 orang penabuh angklung. Jika dimainkan oleh 12 orang; 4 orang penabuh dog-dog dan 8 orang penabuh angklung. Para pemain dog-dog lojor ini akan berkeliling kampung sambil melantunkan musiknya.
 Rumah

Komponen permukiman yang penting dan berfungsi sebagai tempat tinggal warga adalah rumah. Rumah-rumah warga Kasepuhan Ciptagelar menunjukkan adanya kesamaan dengan pola arsitektur Sunda pada umumnya. Adapun bahan-bahan yang digunakan cenderung menggunakan material yang terdapat di sekitar pemukiman, seperti dinding bilik (anyaman bambu), rangka kayu dan atap dari ijuk, rumbia atau tepus.
Jenis rumah mereka adalah rumah panggung dengan kolong setinggi kurang lebih 60 sentimeter. Kolong tersebut umumnya ditutup dengan papan. Adapun bentuk rumahnya rata-rata persegi panjang dengan suhunan panjang (ditambah teritis di bagian depan dan belakang) serta suhunan jure yaitu bentuk atap perisai yang memanjang.
Material atap yang banyak dipakai adalah daun tepus, rumbia, atau ijuk. Menggunakan atap genting merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar karena bahan pembuat genting adalah tanah. Seorang informan menuturkan, "Kalau belum mati mengapa harus beratapkan tanah." Pada saat dilakukan pendataan, terdapat juga warga yang mengganti material atapnya dengan seng karena alasan faktor ekonomis; harga seng lebih murah dibandingkan harga daun tepus. Lagi pula, seng lebih tahan lama dibandingkan dengan rumbia yang harus diganti setiap 4 tahun.
Bentuk dasar yang menjadi pola mayoritas pada rumah masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, terbagi atas tiga ruangan, yaitu tepas atau ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Tepas adalah ruang tempat menerima tamu dan dianggap sebagai daerah laki-laki walaupun kadang¬kadang wanita juga diperbolehkan masuk.
Ruang tengah terdiri atas tengah imah dan pangkeng. Tengah imah merupakan daerah netral sehingga terbuka untuk semua jenis kelamin anggota keluarga dan biasanya digunakan untuk berkumpul semua anggota keluarga. Pangkeng (ruang tidur) merupakan kategorisasi dari daerah wanita. Meskipun suami dapat masuk ke dalam ruang ini, ruang tidut lebih menggambarkan ciri kewanitaan. Ruang tidur biasanya terletak di sebelah kanan bagian rumah (merupakan hasil pembagian dengan ruang tengah).
Ruang belakang yang terdiri atas padaangan/goah dan dapur, dikategorikan sebagai daerah wanita. Goah adalah ruang khusus untuk wanita karena beras identik dengan sifat kewanitaan (dewi padi). Laki-laki dilarang masuk sama sekali ke daerah ini. Daerah dapur juga merupakan daerah wanita. Laki-laki boleh masuk ke dapur, tetapi mereka tidak biasa bercakap-cakap (berusaha untuk tidak mengobrol) di dapur, kecuali sesama anggota keluarga atau kerabat dekat.
Pintu masuk rumah terbagi dua, yaitu pintu depan dan pintu belakang yang terletak di samping rumah. Mengenai letak pintu ini terdapat kepercayaan bahwa apabila rumah mempergunakan dua pintu atau lebih, maka pantang untuk membuat pintu belakang sejajar dengan pintu depan karena rejeki yang masuk dari pintu yang satu akan langsung keluar lagi melalui pintu yang lain (bablas). Oleh karena itu, pintu belakang diletakkan di samping rumah menjadi pintu samping.
Menurut pandangan kosmologis, rumah dipandang sebagai dunia dan alam semesta. Dalam kepercayaan masyarakat Sunda umumnya, terdapat pandangan bahwa dunia ini terbagi menjadi dunia bawah (buana rangrang), dunia tengah (buana panca tengah), dan dunia atas (buana alit). Dunia tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan dirinya pada pusat alam semesta tersebut. Oleh karena itu, rumah sebagai tempat tinggal manusia harus terletak di tengah antara dunia atas (langit) dan dunia bawah (bumi) dan tidak terletak di dunia atas atau bawah.
Bagian-bagian rumah dapat dibagi menjadi bagian kepala yang menyimbolkan dunia atas, bagian badan mewakili dunia tengah dan bagian kaki yang menyimbolkan dunia bawah. Oleh karena rumah tidak boleh terletak di dunia bawah atau dunia atas, maka tiang rumahpun tidak boleh diletakkan di atas tanah. Rumah harus diberi alas yang berfungsi memisahkan lantai rumah dengan tanah, dengan demikian terdapat kolong di bawah lantai rumah. Di Kasepuhan Ciptagelar, kolong tersebut pada umumnya ditutupi dengan papan. Kolong memisahkan bagian tengah tempat manusia beraktivitas sehari-hari dengan dunia bawah (tanah) sedangkan atap menyimbolkan dunia atas. Oleh karena itu, memakai genteng yang terbuat dad tanah merupakan hal yang tabu karena tanah merupakan wujud dari dunia bawah (tempat untuk orang mati).

Makanan Khas
1.      Bandros Mang ATA
Mungkin setiap kali kita berkunjung atau berlibur ke kota-kota yang ada di Jawa Barat, Bandros adalah bukan suatu hal yang asing lagi ketika mendengarnya. Makanan yang satu ini memang enak sekali untuk dinikmati. Nah, di Sukabumi sendiri terdapat suatu Bandros yang sangat terkenal dan sudah meleganda, hampir setiap pecinta kuliner di Sukabumi tau akan hal ini. Namanya adalah “Bandros ATA”.


Bandros ATA mulai berjualan sekitar pukul 8 malam sampai jam 6 pagi. Letaknya berada di Jl. Gudang No. 04 kota Sukabumi. Walaupun Bandros ATA ini masih buka walaupun sudah larut malam, namun tempat ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Biasanya para pengunjung yang datang ke Bandros Mang ATA ini menghabiskan waktunya di sini sambil mengobrol bersama teman-temannya, dan memang tempatnya pun enak dipakai untuk nongkrong.
Selain itu, yang membuat terkenal Bandros ATA ini adalah karena memiliki ciri khas tersendiri yang tidak bisa kita dapatkan di Bandros yang lain. Teksur bagian atas bandros yang lembut serta bagian bawahnya yang garing dan kering membuatnya semakin diminati.
Harga Bandros ATA sendiri te,bilang cukup murah, bisa dinikmati mulai harga Rp. 5.000,-. Sebagai pendamping bandros, di sini pun disajikan sebuah teh hangat. Tidak seperti teh hangat pada umumnya, teh yang dijual di sini menggunakan daun teh asli, memiliki warna yang tidak terlalu kental serta agak kehijauan, serta dibuat tidak terlalu manis. Tentunya, teh dan bandros merupakan gabungan yang sangat maknyus.

2.      Mochi Sukabumi

Banyak mochi yang beredar, namun harus kita akui, bahwa mochi dari Sukabumi lah yang paling terkenal diantara mochi-mochi lainnya. Di Sukabumi sendiri banyak penjual mochi bertebaran di mana-mana. Namun dari sekian banyak penjual mochi yang ada, mochi merek Lampion lah yang paling terkenal. Selain karena merek ini adalah pioner pembuat mochi, harus diakui juga mochi ini memang paling enak rasanya dan memiliki tekstur halus dan kenyal. Walaupun harganya terbilang lebih malah dari pesaingnya, namun itu tidak mengurungkan niat para pecinta kuliner untuk membeli mochi di mochi lampion ini.
Mochi lampion sendiri terletak di Jl. Bhayangkata Gg. Kaswari II No. 19 kota Sukabumi. Uniknya mochi lampion ini tidak membuka cabang dan hanya bisa diperoleh dengan mendatangi langsung tempatnya. Saking terkenalnya mochi lampion ini, banyak artis dan media nasional yang sudah datang dan berkunjung ke tempat ini.

3.      Tutug Oncom

Tutug oncom terdapat di angkringan kota Paris. Walaupun baru dibuka sekitar setahun yang lalu, namun tempat ini ramai dikunjungi setiap malamnya oleh para pengunjung. Banyak yang bilang angkringan di tempat ini makanannya enak-enak, banyak variasinya dan murah-murah. Dan salah satu makanan yang paling favorit di angkringan ini adalah tutug oncom.
Angkringan ini mulai buka dari jam 7 malam dan tutup pada jam 12 malam. Namun jika ingin berkunjung ke sini dan mendapati menu makanan yang masih lengkap, ada baiknya kamu datang sebelum pukul sembilan malam, karena jika lebih dari jam itu biasanya makanan di angkringan ini sudah mulai habis. Selain menjual tutug oncom, di sini juga menjual makanan malam seperti bandrek, sekoteng, pisang pandan, susu murni dan masih banyak yang lainnya.

4.      Geco (Toge Tauco)

Geco adalah singkatan dari Toge Tauco. Makanan ini bisa kamu temukan di Jl. Jendral Sudirman yang berhadapan langsung dengan RS. Assyifa. Makanan ini adalah salah satu tempat makanan favorit untuk dijadikan sarapan pagi. Setiap paginya sering terlihat penjual geco sibuk melayani para pembelinya, mulai dari yang memesan satu bungkus sampai yang belasan bungkus.
Walaupun tempat yang menjual geco ini berada di pinggir jalan, namun tidak mengurungkan niat para pembeli untuk menikmati kelezatannya. Harga geco ini juga terbilang murah, kamu cukup mengeluarkan uang sebesar Rp. 7.000,- untuk menikmati makanan yang satu ini.
Akses ke Ciptagelar
Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi. Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkirnya. Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki. –
Daftar Pustaka

Mohammad Shun Farid Al Fatih – 4423143930
Usaha Jasa Pariwisata B 2014


16 comments:

  1. Kampung adat yg unik dan bagus untuk dikunjungi nih

    ReplyDelete
  2. 👍Kampung adat yang wajib di kunjungi

    ReplyDelete
  3. 👍Kampung adat yang wajib di kunjungi

    ReplyDelete
  4. Ciptagelar, desa yang pantas dikunjugi semoga akses kesana bisa juga lebih baik ya jadi ingin liburan ke sana nanti hihi

    ReplyDelete
  5. Kampungnya menarik untuk dikunjungi :D

    ReplyDelete
  6. Wah baru tahu ada lagi kampung adat selain baduy (y)

    ReplyDelete
  7. Wah,baru tau ada wisata budaya di Ciptagelar.Di tunggu informasi lainyaa (y)

    ReplyDelete
  8. kampungnya bagus kita kesana tidak hanya mendapatkan keindahan alamnya saja tapi kita dapat mempelajari kebudayaan serta sistem pemerintahan adat desa tersebut bisa jadi rekomendasi study tour yangmendidik nih

    ReplyDelete
  9. Kampung yang cukup menarik untuk di kunjungi

    ReplyDelete
  10. Kampung yang menarik dan pantas dikunjungi sepertinya.

    ReplyDelete
  11. Kampungnya bagus! Jenis2 keseniannya jg unik

    ReplyDelete
  12. menarik membahas yang jarang dicari khalayak

    ReplyDelete
  13. Sebelumnya ga pernah tau tentang desa Ciptagelar. Tapi karna artikel ini bisa tau lebih dalam (malah komplit) tentang desa yang sepertinya asing banget di kuping masyarakat indonesia. Makasih infonya!

    ReplyDelete
  14. Budaya di kampung itu unik unik sekali, dan infonya lengkap sekali

    ReplyDelete
  15. Informasi yang bagus, semoga kampung ciptagelar akan semakin terkenal di kemudian hari.

    ReplyDelete
  16. desa yang menarik untuk dikunjungin, semoga aksesnya bisa lebih mudah lagi

    ReplyDelete