Bertualang Mengenal Budaya Suku Mentawai
Sumatera Barat
Achmed Habibullah Edinbur
4423143983
PRODI D3 USAHA JASA PARIWISATA
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
2015
PENGANTAR
Belajar
Filosofi Hidup Dari Kebudayaan Dan Kearifan Lokal Setempat
Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia yang sangat kaya dengan beraneka ragam suku
dan budaya dan itupula yang mendukung banyaknya kegiatan wisata budaya demi
mengenal dan memahami dasar apa yang menjadikan kebudayaan tersebut ada dan
masih dijaga sampai sekarang. Wisata budaya ini merupakan kegiatan yang
mencakup kekhasan dan keunikan suatu budaya, bisa berupa kesenian, upacara
adat, dll. Dan bisa mencakup 7 unsur budaya yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
Koentjoroningrat.
Tulisan ini merupakan
gabungan dari berbagai sumber yang dapat dipercaya yang menjelaskan secara
fokus mengenai sebagian dari unsur kebudayaan yang berkaitan dengan salah satu
suku unik di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang masih memegang teguh adat
istiadatnya yaitu suku Mentawai , dan dibuktikan dengan penampilan dan sifat
yang masih menganggap dedaunan dan hutan mempunyai roh yang harus dijaga dan
dihormati karena sudah menghidupinya.
Banyak filosofi hidup dan kearifan
lokal yang bisa kita pelajari dari kebudayaan suku Mentawai ini yang harus kita
teladani sebagai makhluk sosial yang mulai tergerus kebudayaan luar yang
mengajarkan kita untuk hidup masing-masing dan tidak memperdulikan struktur
persaudaraan yang sudah dibuat oleh leluhur bangsa.
Semoga tulisan
ini bisa bermanfaat dan memperkenalkan
secara fokus garis besar unsur kebudayaan yang ada di Suku Mentawai dan menjadi
acuan kita untuk observasi langsung mengunjungi saudara kita dikepulauan
Mentawai.
Selamat
membaca.
Jakarta, 31 Desember 2015
Mengenal
Mentawai
ASPEK GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI
Berdasarkan
UU No. 49 Tahun 2009, terbentuk Kabupaten Kepulauan Mentawai yang berasal dari
sebagian wilayah Kabupaten Padang Pariaman yang terdiri atas 4 (empat) pulau
besar yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Kabupaten Kepulauan
Mentawai merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang
berupa daerah kepulauan, sehingga memiliki karakteristik daerah yang berbeda
dengan kota dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Terdiri dari gugusan
pulau-pulau besar dan kecil yang berjumlah 99 pulau yang dikelilingi oleh
Lautan Hindia (Samudra Hindia). Jarak antara Kabupaten Kepulauan Mentawai
dengan ibukota provinsi, Kota Padang adalah sekitar 62 mil laut (nautical
mile). Transportasi laut dan udara menjadi transportasi utama ke Kabupaten ini.
Dalam
kacamata historio-antropos, penduduk asli Kabupaten Kepulauan Mentawai pada
dasarnya adalah tipe masyarakat berburu dan meramu, dan tipe masyarakat
berkebun (holtikultura). Pekerjaan ini dilakukan oleh orang Mentawai yang
tinggal di pedalaman, jauh dari pantai. Untuk mereka yang bermukim di sekitar
pantai, pekerjaan mereka adalah menangkap ikan, kerang atau kepiting, di
sungai-sungai, rawa maupun di laut (dangkal). Namun demikian,secara historis
tidak ada data yang mengungkapkan orang Mentawai bekerja sebagai nelayan dengan
perahu melaut ke laut lepas untuk menangkap ikan. Berdasarkan tipe-tipe mata
pencaharian ini, untuk mempertahankan hidup, orang Mentawai mengembangkan suatu
pola kebudayaan yang berorientasi kepada pemanfaatan sumber daya yang tersedia
di alam sekitar tempat mereka bermukim sebagai modal dasar kehidupan, seperti
untuk ekonomi, teknologi, pangan, perumahan, dan sosial. Secara substansial,
orang Mentawai lebih memiliki orientasi nilai kehidupan yang selaras dengan
alam, dan tidak menguras alam untuk kepentingan hidup mereka. Kearifan lokal
mereka adalah menjaga keseimbangan alam untuk kelangsungan hidup yang
berkelanjutan, dari generasi ke generasi.
Secara
antropologis, orang Mentawai seolah terhindar dari perkembangan dan pengaruh
kebudayaan megalitihik (batu besar) serta bercocok tanam padi, sebagaimana
halnya yang telah dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sejak
puluhan abad silam (masa prehistori). Orang Mentawai, dalam sejarah sosialnya,
tidak mengenal kepandaian mengembangkan pola menetap yang permanen dan
mengembangkan seni mengolah tanah membuat tembikar ataupun perangkat kehidupan
lainnya, kecuali alat-alat untuk berburu. Kondisi kehidupan budaya yang asli
ini mengalami perubahan semenjak Kolonial Belanda masuk ke Pagai sejak
permulaan abad ke-17 dan agama Kristen mulai menyebar di Pagai Utara pada
sekitar tahun 1901. Pada tahun 1904 di Siberut didirikan pos militer Belanda.
Dewasa
ini masyarakat Mentawai sudah semakin maju dan berkembang dalam konteks
pembangunan daerah dan nasional. Gambaran orang Mentawai yang hidup dalam tata
cara kesederhanaan sudah mulai memudar, karena mereka sudah banyak terlibat
dalam kehidupan modern berdampingan dengan masyarakat lain yang datang ke
Mentawai. Kampung yang terdiri dari sejumlah rumah panggung yang besar (uma) yang
disekelilingnya berdiri sejumlah rumah kecil (lalep), sudah hampir sulit di
temukan di daerah ini. Di Pulau Pagai Utara dan Selatan, kehidupan pinggir
pantai sudah tidak ada ubahnya gambaran kehidupan masyarakat kebanyakan di
Indonesia. Desa-desa (laggai) atau dewasa ini dikenal dengan sebutan kampung,
telah berkembang baik sebagaimana halnya perkembangan suatu desa. Di pulau
Sipora, khususnya di ibukota Tuapeijat, kehidupan masyarakat telah maju dengan
pola sosial dan ekonomi yang mengarah kepada gaya hidup kota kecil. Sarana
pelabuhan, jalan, pasar, pekantoran adalah sebagian eksistensi fisik yang
memberikan gambaran kemajuan tersebut di Mentawai secara umum.
Letak Geografis dan Batas Administrasi
Wilayah
Kabupaten
Kepulauan Mentawai mempunyai luas sebesar 6.011,35 km2 dan panjang garis pantai
1.402,66 km yang terletak diantara 10-30 LS dan 980-1000 BT. Posisi dan letak
geografis, menunjukkan bahwa Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan sebuah
daerah kepulauan yang letaknya terpisah dari kota dan kabupaten lain di
provinsi Sumatera Barat, yang terletak di pulau Sumatera. Kabupaten Kepulauan
Mentawai mempunyai batas-batas sebagai berikut:
·
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Siberut
·
Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
·
Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Mentawai
·
Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Secara
umum Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar yang letaknya
terbentang dari utara ke selatan, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau
Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan, yang terdiri atas 10 kecamatan.
Kecamatan
yang paling luas adalah kecamatan Siberut Barat dengan ibukota kecamatan adalah
Betaet, dan kecamatan yang paling kecil adalah kecamatan Sipora Selatan dengan
ibukota Sioban.
Ibukota
Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah Tuapeijat yang terletak di Kecamatan Sipora
Utara. Untuk mencapai ibukota Propinsi Sumatera Barat, Kota Padang, umumnya
ditempuh dengan transportasi laut. Transportasi darat masih terbatas di
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Transportasi udara juga ada tetapi aksesnya masih
terbatas. Transportasi Udara hanya untuk penerbangan dari Rokot ke Kota Padang,
sementara untuk akses ke tempat lain belum tersedia.
Wisata Budaya
Kawasan wisata budaya ditetapkan
di Madobag, Ugai, Butui, Matotonan, Lita, Sagulube', Taileleu. Pada kawasan
tersebut wisatawan akan menikmati suasana keseharian kehidupan masyarakat suku
Mentawai asli yang hidup dalam budaya tradisionalnya 'sabulungan'. Sejumlah
peneliti menulis kebudayaan Mentawai memiliki kesejajaran dengan colere yang
berasal dari kata latin berarti ; merawat, memelihara, menjaga, mengolah,
terutama mengolah tanah, berladang atau bertani. Beberapa literatur ilmuawan
asing Reimar Schefold dalam bukunya ; Mainan Roh menulis kebudayaan Mentawai
mengenal keberadaan tiga roh, Tai Ka Bagat Koat (roh yang berada di laut), Tai
ka Leleu (roh yang ada di hutan dan pegunungan) dan Tai Ka Manua (roh yang
berada dilangit).
Sabulungan
sebutan kebudayaan Mentawai asli diidentifikasi sejumlah ilmuwan sebagai salah
satu kebudayaan tertua di Indonesia. Sa artinya se atau sekumpulan. Sedangkan
Bulung adalah daun. Pemahamannya adalah sekumpulan daun yang memiliki kekuatan
gaib (magis) yang dikenal sebutan kere atau ketsat. Daun – daun yang memiliki
kere/ketsat dimasukkan dalam katsila (bulatan) dibuat dari selingkaran pucuk
rumbia atau enau, dan katsila dipercayai memiliki tiga roh- roh ; Tai Kabagat
Koat, Tai Ka Leleu dan Tai Ka Manua.
Dalam
ragam budaya Sabulungan arsitektur Mentawai termasuk kedalam turunan dari
arsitektur Indonesia purba yang ada pada masa neolitikum. Arsitektur Mentawai
menggunakan bahan dasar alam yang ada dilingkungan sekitar mereka. Material
ornamen umumnya terbuat dari kulit kayu atau papan sebagai dinding dengan atap
rumbia, sebagai bahan yang banyak tersedia di Kepulauan Mentawai.
Wisata
kesenian selaras dengan keseharian masyarakat Mentawai. Kehidupan masyarakat
Mentawai selain diwarnai ritualisme penghormatan terhadap alam, juga dinominasi
beberapa jenis kesenian lainnya seperti tari-tarian yang mereka sebut turu' dan
nyanyi-nyanyian yang dikenal dengan urai. Ragam kesenian dan ritual itu juga
sering dibawa dan dipertunjukkan dalam mengisi berbagai acara diberbagai lokasi
objek wisata lainnya.
Kebudayaan
masyarakat Mentawai yang masih dipertahankan dan dilestarikan di daearah
pedalaman, yang direncanakan sebagai Desa Budaya memiliki budaya etnik, seperti
budaya tradisional dan cara hidup suku asli Mentawai menjadi daya tarik wisata
yang menarik bagi para wisatawan. Salah satunya adalah Uma merupakan rumah
besar tempat tinggal masyarakat mentawai secara bereklompok dan juga pusat
kebudayaan adat masyarakat Mentawai. Selain itu keunikan turuk laggai yang
merupakan tarian khas Mentawai yang menyimpan nilai luhur yang penting dalam
kehidupan masyarakt mentawai, seperti turuk laggai mayana (elang) dan bilou
(monyet) yang menggambarkan perdamaian antar suku dan lain-lain.
No.
|
Wisata Seni Budaya
|
Keterangan
|
1
|
Turu' Pok - pok
|
Tari bertepuk
|
2
|
Turu' Muabak
|
Tari bersampan
|
3
|
Turu' Manyang
|
Tari Elang
|
4
|
Turu'Goukgouk
|
Tari Ayam
|
5
|
Turu' Bilou
|
Tari Monyet
|
6
|
Turu'Mukerei
|
Tari Pengobatan
|
7
|
Turu' Lago - lago
|
Tari Kupu - kupu
|
8
|
Turu' Mumone
|
Tari ke ladang
|
9
|
Turu' Pik - Pik
|
Tari burung pipit
|
Beberapa
jenis wisata budaya di Kepulauan Mentawai
Aktraksi
pembuatan tato, juga merupakan wisata budaya yang dapat dinikmati di desa
pedalaman, seperti Desa Matotonan dan Desa Madobak (Kecamatan Siberut Selatan),
Desa Taileleu di Kec. Siberut Barat Daya. Jenis/seni tato masyarakat Mentawai
merupakan salah satu jenis tato tertua di dunia.
No.
|
Wisata Seni Budaya
|
Keterangan
|
1
|
Tari – tarian
|
Merupakan kesenian yang bersifat ritual dan hiburan untuk punen/pesta
|
2
|
Ritual
|
Diselenggarakan saat tertentu dalam bentuk pemanggilan roh – roh seperti
untuk pengobatan, punen dan sebagainnya
|
3
|
Tato
|
Diberikan sebagai identitas tingkat jabatan, asal daerah dan kesukuan
|
4
|
Memahat gigi
|
Dilakukan saat seorang pria atau wanita beranjak dewasa
|
5
|
Berburu
|
Kegiatan mencari makan berupa satwa liar di hutan dengan menggunakan alat
berburu berupa panah
|
Atraksi
kebudayaan yang masih ada di Kepulauan Mentawai
Filosofi Suku Mentawai
Di
Mentawai terdapat tiga macam rumah, yaitu:
- Uma
Rumah besar yang menjadi rumah induk tempat penginapan bersama serta tempat menyimpan warisan pusaka. Juga menjadi tempat suci untuk persembahan, penyimpanan tengkorak binatang buruan. Setiap kampung mempunyai Uma sendiri. Kepala Uma disebut Rimata, perlambang pemimpin kehormatan, orang yang lebih arif mengenai hal-hal yang penting buat Uma, seseorang yang berbakat pemimpin.
Uma adalah rumah besar yang berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Di uma terdapat 3 pembagian ruangan yaitu:
a.Parurukat/depan (untuk berkumpul dan
menerima tamu)
b.Tengah uma (untuk beristirahat dan
tempat perapian besar)
c.Kabag Capo/belakang (tempat para istri tidur dan ada perapian untuk bay
lauk lauk/istri sikerei)
- Lalep
Tempat tinggal suami istri yang pernikahannya sudah dianggap sah secara adat. Biasanya lalep terletak di dalam Uma. - Rusuk
Suatu pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para janda dan mereka yang diusir dari kampung.
Makanan
Makanan
pokok orang Mentawai yang tinggal di pulau Pagai adalah keladi, sedangkan di Siberut
sagu dan pisang. Di siberut sagu yang dimasak dengan cara diselimuti dengan
daun sagu lalu dibakar disebut kapurut, seperti halnya nasi, kapurut
merupakan kebutuhan utama bagi warga siberut, 1 hari saja tidak memakan
kapurut semangat untuk beraktivitas seperti hilang. Umumnya orang Mentawai
doyan memakan daging monyet, rusa, babi dan ayam. Pemotongan babi biasanya
dilakukan pada waktu pesta (punen) besar, sebagai tanda pertalian hubungan
manusia dengan alam roh. Sikerei/pemimpin adat, makan memakai wadah khusus
yang hanya diperbolehkan untuk sikerei, dan berburu merupakan kegiatan
pendukung utama untuk menunjang makanan, tengkorak hewan yang sudah di buru
biasanya dipajang di ruang tengah uma agar roh roh buruan senantiasa merestui
perburuan selanjutnya memburu temannya dan juga sebagai pembawa
keberuntungan, di bagian depan uma tengkorak hewan peliharaan yang sudah
disantap dipesta adat dipajang supaya hewan peliharaan yang masih ada terus
berkembang biak dengan baik.
Pakaian
Tatabusana masyarakat
asli Mentawai mencerminkan azas azas egaliter, dalam tatanan masyarakat tidak
ada strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebih
ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah
upacara khusus tentang penghormatan arwah (punen).
Selain itu busana juga mengungkapkan ciri-ciri kedekatan penyandangnya
dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan lebat berikut keaneka ragaman
floranya. Hal ini antara lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang
dikenakan.
Salah satu kelengkapan busana suku Mentawai, yang khususnya dipakai
kaum pria adalah cawat, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk
dan sebut kabit. Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari dedaunan
pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk menutupi
aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang Mentawai
dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-benar menutup
tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari
untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daun daunan.
Kalung manik-manik yang sangat impresif yaitu ngaleu menghiasi leher
dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat dari gelas berwarna merah,
kuning, putih dan hitam atau hijau biasa disebut nalau yang menurut
keterangan orang tua mentawai berasal dari peninggalan belanda yang pernah
berkunjung ke mentawai . Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan
gelang-gelang manik-manik. Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada
bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini
dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal lengan disebut lekkeu.
Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai ini dikenakan pada upacara
punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang.
Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan perdukunan. Ritus
ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei yang sebenarnya
adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi berbagai
dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari.
Busana kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi:
·
sobok, sejenis kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit.
·
rakgok, ikat pinggang dari lilitan kain polos, biasanya merah.
·
pakalo, botol kecil tempat ramuan obat-obatan.
·
lei-lei , rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan.
·
cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada.
·
ogok, sejenis subang pada kedua telinga.
Asal-Usul
Suku Mentawai mirip dengan Suku
Sakai di Malaysia. Sekalipun ada perbedaan, tetapi dalam banyak hal ada
persamaannya. Seperti adat istiadat dan cara hidup hampir serupa. Seperti
contoh, dua suku ini memakan sagu dan tidak mengenal beras, sama-sama memakan
monyet. Perbedaannya terletak pada cara berburu. Suku Mentawai menggunakan
panah beracun sedangkan Suku Sakai menggunakan sumpitan untuk melepaskan
damak beracun.
Rokokpun mereka kenal. Suku Mentawai menyulut tembakau, sedangkan Suku Sakai mengunyah seperti menyugi. Menyirih saja yang tidak ada di Mentawai.
Menurut Orang Mentawai sendiri,
mereka berasal dari Nias. Keyakinan ini dilandasi oleh dongeng yang
menceritakan bahwa pada zaman dahulu kala seorang Nias bernama Ama Tawe pergi
memancing ke laut. Sedang terapung-apung di tengah laut, turunlah badai
dahsyat yang menyeret Ama Tawe terdampar ke Pulau Mentawai di tepi pantai
barat Pulau Siberut. Ama Tawe naik ke darat dan ia melihat tanah yang amat
subur. Pohon keladi dan sagu tumbuh sendiri tanpa ada orang yang menanam dan
merawatnya. Ama Tawe kembali ke Nias untuk mengambil anak dan istrinya. Dia
bermaksud pindah dari Nias dan akan menetap di Mentawai. Keberangkatannya ke
tempat baru itu diikuti oleh banyak penduduk Nias lainnya yang ingin merantau
ke Mentawai. Akhirnya, merekalah yang mendiami daerah itu.
Kepercayaan
& Adat Istiadat
Orang Mentawai termasuk penganut
aninisme, yang percaya kepada roh-roh. Segala sesuatu (benda) yang ada
berjiwa. Tujuan dari kultus tersebut adalah agar diberi kesehatan dan umur
panjang.
Timbulnya penyakit dianggap karena kekosongan jiwa. Kepergian jiwa untuk sementara, membawa akibat orang sakit. Untuk menyembuhkan penyakit itu diperlukan Kerei (dukun). Kematian berarti jiwa pergi menghilang untuk selama-lamanya. Adat
Mentaati
Arat berarti merelakan diri dibimbing oleh tradisi yang menjadi ukuran prima
dalam setiap moralitas. Arat dijadikan landasan pokok dan norma dalam
penentuan segalanya, manusia, binatang, fenomena alam dan rentetan waktu.
Arat bagi
masyarakat Mentawai adalah keselarasan dengan dunia, pemersatu dengan Uma dan
jaminan hidup yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman.
Agama / Kepercayaan
Berbicara
mengenai budaya Mentawai, tidak bisa terlepas dari Arat Sabulungan. Arat
Sabulungan merupakan sistem yang mengatur masyarakat Mentawai yang mencakup
pengetahuan, nilai, dan aturan hidup yang dipegang kuat dan diwariskan
turun-temurun.
Contohnya, tidak boleh menebang pohon sembarangan
tanpa izin panguasa hutan (taikaleleu), perintah untuk menjaga keseimbangan
dan keharmonisan alam, melakukan persembahan kapada roh nenek moyang, dan
sebagainya.
Arat
Sabulungan berasal dari kata sa (se) atau ‘sekumpulan’, dan bulung yang
artinya ‘daun’. Jadi, Arat Sabalungan adalah sekumpulan daun yang dirangkai
dalam lingkaran terbuat dari pucuk enau atau rumbia yang diyakini memiliki
tenaga gaib (kere).
Arat Sabalungan dipakai sebagai media pemujaan Tai
Kabagat Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka
Manua (roh awang-awang).
Disamping itu, Arat Sabulungan selalu digunakan pada
saat upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan.
Macam-macam sabulungan:
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai
jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi,
dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang
menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.
Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya. Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh). Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya. Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati. Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun. Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa. Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan. Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas. Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera. Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia. Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.
Sejak Perang Dunia II, sudah terdapat banyak
perubahan, terutama sekali di bagian selatan. Perubahan yang terjadi mencakup
kepercayaan dan struktur sosial. Dilain pihak, hubungan dengan suku tetangga,
peraturan-peraturan pemerintah lewat surat keputusan dan penyebaran agama,
telah mengubah kebudayaan dan kepercayaan Mentawai.
Walaupun sekarang masyarakat Mentawai sudah memeluk
agama, namun pada hakekatnya kepercayaan Arat Sabulungan belum
terkikis habis di lubuk hati orang Mentawai. Salah satu contohnya adalah
kepercayaan terhadap obat si kerei, lebih ampuh dan manjur
ketimbang obat-obatan modern dan puskesmas.
Oleh sebab itu, corak keagamaan di Mentawai disebut
Bikultural, bersama-sama dengan resmi, hidup dengan agama asli yang
digolongkan ke dalam aliran kebatinan.
Lakokaina (Mengkeramatkan Kawasan Alami)
Masyarakat Mentawai di Muntei mempercayai bahwa
kawasan tertentu seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa
dan sebagainya dijaga oleh mahluk halus yang disebut lakokaina.
Mereka yakin lakokaina ini sangat berperan dalam
mendatangkan, sekaligus menahan rezeki, karena itu harus dibujuk dan dihibur
lewat punen atau lia. Untuk itulah punen pasibuluake’ diselenggarakan. Tapi,
tak seorang Mentawaipun berani menyebut nama lakokaina, mereka
takut kualat, artinya nenek moyang atau sateteumai (nenek moyang
kami).
Punen
Pasibuluakek diadakan di uma sibakkatpolag (pemilik
ladang) dan dipimpin oleh sikebukkat uma serta dihadiri oleh
semua anggota uma, dari yang paling tua sampai yang masih bayi. Para sinuruk (kerabat)
dan tetangga dekat juga diundang untuk makan bersama. Ayam dan babi
disembelih dan dimakan ramai-ramai. Otcai(bagian) dibagi sama
rata. Tak ada yang tak mendapatkannya, bahkan jiwa semua benda di tempat
tersebut juga dikasi, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu. Terutama
sekali tentu buat teteu di puncak-puncak pohon. Mereka harus dibaik-baiki
benar-benar, kalau tidak dia bisa marah dan mengubrak-abrik ladang yang akan
dibuka, atau membuat semua tanaman mati tanpa sebab, atau yang lebih sadis,
membiarkan tanaman tumbuh subur sehingga menimbulkan harapan di hati
peladangnya, lalu membuat semua tanaman tersebut tak berbuah.
Mengkeramatkan kawasan alami seperti, sungai, gunung, perbukitan, hutan,
laut, rawa dan sebagainya secara tidak langsung masyarakat mentawai telah
menjaga kawassan tersebut karena ada batasan-batasan tertentu untuk mengelola
dan menjamahnya. Kearifan ini harus tetap dijaga dan dilestarikan karena
dapat menjaga keberlangsungan kelestarian alam.
Pengadilan Masyarakat
Untuk menemukan pelaku kejahatan di Mentawai dikenal dengan tiga macam
cara:
Bekeu
malekbuk
Kalau terjadi pencurian kecil, dipakaia bunga ibiscus untuk mencari siapa pencuri tersebut. Orang-orang yang dicurigai disuruh duduk berkeliling menghadapi sebuah wadah yang berisi air. Di dalamnya diapungkan bunga ibiscus dengan tangkainya yang pendek. Bunga didorong berputar mengitari orang-orang yang duduk berkeliling. Kemudian didorong sekali lagi sambil menyuruh bunga untuk mencari siapa yang bersalah. Bila sudah tiga kali bunga berhenti pada orang yang sama, maka orang itulah yang dianggap sebagai pencurinya. Semua orang akan arif, dan diam-diam bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan tempat tersebut dengan aman dan tertib. Semua orang tidak boleh memberi komentar apapun karena dipandang tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara. Orang yang tertuduh kalau benar-benar pencurinya akan berusaha mengembalikan barang curian tersebut dengan diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui orang lain. Tetapi kalau bunga itu tidak berhenti pada orang yang sama, hal semacam itu disebut dengan Taiteukenia, artinya bunga enggan disuruh atau tidak mau menujukkan pencurinya. Upacara menggunakan bunga ibiscus jarang menemui kepastian, apalagi bagi pelaku tentu tidak mau ikut karena takut belangnya akan ketahuan.
Tippu sasa
Upacara pemotongan rotan (tippu sasa) maksudnya untuk mencari seorang yang dituduh melakukan perbuatan jahat. Seorang yang dituduh boleh membuktikan bahwa dia tidak pernah melakukan hal tersebut. Atau, pemotongan sasa juga dapat dilakukan untuk menguatkan suatu sumpah. Upacara tippu sasa lebih serius dibandingkan upacara menghanyutkan bunga, karena upacara ini memastikan kehidupan atau kematian. Oleh sebab itu sebelum upacara dilangsungkan, dilakukan pembicaraan dan pemikiran yang mendalam. Dalam upacara akan dipilih seorang wasit yang bisa mendamaikan.
Tulou
paboko
Tulou paboko artinya denda karena fitnah, dan merupakan upacara anti magi terhadap tippu sasa.
Oleh karena itu, dalam masyarakat Mentawai menjatuhkan tuduhan terhadap
seseorang harus dilakukan secara hati-hati, karena kalau tidak disertai
dengan bukti-bukti yang kuat atau malahan tuduhan palsu, maka akan berbalik
kepadanya dimana penuduh akhirnya akan membayar denda kepada tertuduh (tulou
paboko). Hal ini merupakan pengembalian nama baik tertuduh yang dituduh
melakukan kejahatan yang tidak dia kerjakan.
Makna Titi
Titi adalah sebutan suku Mentawai terhadap lukisan atau rajah
pada tubuh mereka. Sementara umumnya orang menyebutnya tato. Selain mempunyai
nilai estetika yang tinggi, titi juga sarat akan kandungan makna dan
filosofi.
1. Asal-usul
Asal-usul titi tentu saja bermula dari leluhur suku Mentawai. Titi Mentawai konon merupakan titi tertua di dunia. Titi mulai dikenal di kalangan suku Mentawai sejak orang Mentawai datang di kepulauan Mentawai, sekitar tahun 1500-500 SM. Bahkan menurut Ady Rosa dalam bukunya Fungsi dan Makna Tato Mentawai (2000), bahwa titi di pulau Siberut sudah jauh ada sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1300 SM. Sebagai sebuah tradisi adat, titi dipraktekkan berdasar kepercayaan adat Arat Sabulungan. Istilah ini berasal dari kata sa (se) yang berarti sekumpulan dan bulung yang berarti daun. Secara umum, Arat Sabulungan diartikan dengan sekumpulan daun yang dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk daun enau atau rumbia. Daun ini diyakini memiliki tenaga gaib. Daun inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan terhadap penguasa-penguasa alam gaib dalam kosmologi suku Mentawai. Manurut Adi Rosa (2000), orang Mentawai sudah menato tubuhnya sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM. Titi mulai dicacahkan pada tubuh anak Mentawai ketika mereka berumur tujuh tahun. Tubuh mereka akan semakin banyak titi seiring pertambahan umurnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perilaku lelaki dewasa yang penuh dengan aktivitas sakral dan adat. Seperti contohnya ketika mereka pulang dari membunuh musuh, sebagai rasa bangga atas keberhasilan tersebut, maka tubuh mereka akan di titi (Kruyt, 1979). Pada setiap pulau, titi Mentawai digambar dalam beragam motif. Perbedaan ini hanya disebabkan oleh kebiasaan saja. Namun, secara umum titi mentawai bermotif pohon sagu. Hal ini didasarkan pada sebuah mitos bahwa konon dahulu terdapat seorang pria yang menjelmakan dirinya sendiri menjadi pohon Sagu. Pria inilah yang menjadi pelindung suku Mentawai dari kejahatan orang luar. Maka untuk menghormatinya, titi digambar mirip pohon sagu. Selain itu, penggambaran pohon sagu juga didasarkan pada konsep kosmologis suku Mentawai, bahwa Sagu dianggap sebagai pohon kehidupan, karena sagu merupakan makanan pokok orang mentawai, sumber pangan yang tak pernah habis. Pohon sagu memiliki daun yang kecil dan lebat, maka tidak heran jika titi memenuhi seluruh orang Mentawai dari kepala hingga jari kaki. Motif titi yang lain berupa burung enggang, bulan, matahari dan ular naga. Titi dicacah dengan syarat dan melalui upacara punen pati’ti (upacara pentatoan). Pada upacara ini, seluruh anggota keluarga dan kerabatnya, ditabukan untuk melakukan aktifitas pekerjaan sehari-hari. 2. Bahan dan Alat (batiti) Pembuatan titi Mentawai masih tergolong tradisional. Begitu juga dengan alat dan bahan yang digunakan. Semua bahan dan alat yang digunakan merupakan sesuatu yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar (hutan) masyarakat Mentawai. Bahan yang digunakan untuk meniti adalah berupa:
Adapun alat yang digunakan membuat titi, yaitu:
3. Bentuk dan Motif
Menurut Rosa (2000), ada sekitar 160 macam motif titi yang ada di pulau Siberut. Masing-masing motif berbeda satu sama lain. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai puluhan tato di sekujur tubuhnya. Dari semua motif yang ada, motif pohon sagu paling banyak dipakai. Beberapa motif titi Mentawai antara lain:
Satu hal yang perlu diperhatikan pada titi adalah, bahwa motif-motif titi
tidak diciptakan secara tunggal atau terpisah dan berdiri sendiri, melainkan
secara menyeluruh dibuat lengkap untuk seluruh bagian tubuh, yaitu dada,
punggung, sisi rusuk, perut, lengan tangan, pinggul, pantat, paha, betis,
kaki, leher dan wajah.
Keseluruhan motif dan design terdiri dari garis-garis geometrikal sederhana yang melintang di berbagai bagian tubuh yang berakhir dengan garis-garis kurva yang elegan pada kedua belah pipi wajah. Elemen utama dari design keseluruhan adalah garis sentral yang mengarah dari dagu turun menuju ke bagian atas area rambut kemaluan. Garis ini kadang terputus dan mengarah menuju pundak dan bahu yang bercabang ke bagian tubuh bagian atas lainnya dengan design yang sangat unik pada bentuk anatomi tubuh, seperti yang jelas terlihat pada elemen-elemen garis di bagian dada yang menyimbolkan bunga pohon Sagu. Elemen-elemen garis pada kaki merepresentasikan batang utama pohon sagu. Garis-garis terputus yang panjang pada lengan turun ke bawah menuju pergelangan tangan mereprestasikan cabang-cabang pohon. Adapun pada tangan dan pergelangan kaki menyimbolkan kulit pohon Sagu. Simbol-simbol yang merepresentasikan burung dan binatang-binatang yang hidup di Pulau Mentawai pada bagian kaki juga terdapat pada titi beberapa laki-laki selain elemen-elemen garis dan kurva. Titi Mentawai tidak ada motif tengkorak sebagai simbol kepala orang yang dibunuh. Mencacah titi tengkorak di badan dianggap mengejek musuh dan akan menyebabkan peperangan yang tak berkesudahan. Suku Mentawai mematuhi larangan agar jangan membangkitkan dendam dan sakit hati. Bahkan justru sebaliknya, seorang Mentawai yang berhasil membunuh, maka nama pembunuh tersebut dilarang untuk disebut agar tidak menyinggung perasaan keluarga lawan yang dibunuh. Motif titi Mentawai yang sarat makna kosmologi dan keberadaannya yang sudah lama tampaknya menunjukkan bahwa titi tidak hanya sebagai simbol estetika belaka, tetapi juga mengandung nilai spiritual dan kehidupan di dalamnya. Artinya, bahwa tidak mungkin ada satu goresan pada tubuh orang mentawai yang tidak mengandung arti. 4. Pembuat dan Cara Pembuatan Titi Mentawai dibuat oleh orang khusus, disebut Sipatiti. Biasanya adalah seorang dukun yang disebut Sikerei adalah seorang lelaki dan tidak boleh perempuan. Tidak diketemukan alasan kenapa harus laki-laki, namun sepertinya karena laki-laki dominan dalam penguasaan pelaksanaan upacara Mentawai. Selain itu juga karena suku Mentawai menganut sistem patrilineal. Pembuatan titi terlebih dahulu harus melalui proses upacara persembahan atau yang disebut dengan punen. Hal ini merupakan bentuk penghormatan kepada penguasa bulan, dunia, maupun yang ada di bawah bumi (Marsden, 1999). Upacara dipimpin oleh seorang sikerei. Upacara yang dilakukan dengan menyembelih beberapa ekor babi ini harus dibiayai oleh orang yang di titi dan hanya dilakukan pada awal pembuatan titi. Pembuatan titi biasanya diawali dengan membuat motif terlebih dahulu. Setelah itu, titi diukir dengan menusukkan mata jarum hingga menembus kulit. Dahulu, proses ini dilakukan berulang-ulang hingga pewarnaan betul-betul terlihat bagus. Akibat proses ini, tidak heran jika terkadang seorang terkenan demam. Sebelum mengenal jarum, orang Mentawai mengukir titi dengan menggunakan duri dari pohon jeruk. Setelah pola gambar terukir di bagian tubuh, selanjutnya sikerei mengambil paku dan mulai ditusuk-tusukkan ke tubuh mengikuti pola yang sudah ada. Paku biasanya ada dua ukuran, yaitu tujuh dan lima inci. Sambil menusuk-nusukan paku ke kulit, seorang sikerei membaca mantra. Pembuatan titi di Mentawai dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
|
Meruncingkan Gigi
Jika di Bali kamu
mengenal upacara potong Gigi, masyarakat adat Mentawai, Sumatera Barat, juga
punya tradisi yang serupa. Tradisi ini dilakukan sebagai simbol kedewasaan
seorang wanita di suku Mentawai. Selain itu, kerik gigi ini juga dipercaya
menambah kecantikan dari si wanita. Wanita dengan gigi runcing akan lebih
digilai pria-pria di sekitarnya.
Tak hanya menambah
kecantikan, modifikasi tubuh dengan kerik gigi dipercaya bisa membuat jiwa
berdamai dengan tubuh. Masyarakat Mentawai percaya bahwa untuk mendapatkan
kebahagiaan keinginan jiwa harus sejalan dengan bentuk tubuh. Keyakinan ini
diwujudkan laki-laki Suku Mentawai lewat tato tradisional, dan bagi wanitanya
melalui tradisi kerik gigi.
Bagaimana cara
meruncingkan gigi ala Mentawai? Gigi gadis-gadis ini akan dikerik menggunakan
alat dari besi yang sudah diasah sampai runcing. Proses meruncingkan gigi ini
sangat menyakitkan dan tanpa menggunakan anastesi sama sekali. Sehingga perlu
waktu tidak sebentar untuk meruncingkan seluruh gigi yang ada. Dan sakitnya bisa sampai seminggu dan hanya
memakan pisang saja.
PERKAWINAN DI
MENTAWAI
Proses perkawinan di Mentawai, terutama
di Siberut sangat kuat adat istiadat dan terkesan banyak sanksi. Proses pacaran
dan sanksi seseorang pria yang ketahuan mengirim surat kepada kekasihnya
perempuan, maka laki-laki tersebut mendapatkan sanksi denda yang rata-rata
setiap daerah adalah 1 buah parang (untuk peralatan ke ladang) dan atau seekor
ayam, sedangkan ketahuan mendatangi rumah perempuan secara diam-diam (niat
pacaran) baik pacar gadis maupun janda dan memacari istri orang (zinah) maka
akan dapat sanksi denda atau dikenal istilah tulouyang nilainya
bervariasi sesuai dengan tempo dan locus delicty. Selain dikenakan
denda karena mendatangi rumah pacar/ selingkuhan, bila akibat ketahuan
mendatangi rumah perempuan tersebut dalam tempo waktu dekat kehilangan ternak
pihak perempuan, maka si laki-laki juga dikenakan sanksi denda /tulou mengganti
kehilangan ternak tersebut karena dianggap menodai rumah pihak keluarga si
perempuan.
Sedangkan proses pelamaran dan sanksi,
untuk dimulainya pertunangan kepada pihak keluarga perempuan, pria tidak boleh
mendatangi rumah si perempuan akan tetapi pihak orang tualah yang berunding
untuk menetapkan jadwal pelamaran untuk memutuskan pertunangan. Selama proses
pertunangan, pasangan kekasih (laki-laki dan perempuan) tidak boleh dibolehkan
bertemu berduaan baik itu untuk ngobrol maupun mengantar cucian,
rantangan/masakan makanan maupun yang lain-lain kecuali ada salah satu pihak
keluarga. Dan bila ternyata keduanya terbukti oleh warga melakukan pertemuan
berdua walaupun tidak melakukan hubungan di luar kewajaran, maka mendapatkan
sanksi sosial yaitu tidak dinikahkan/ dikawinkan secara agama di gereja /
mesjid akan tetapi dinikahkan secara agama di rumah mempelai. Hal ini dianggap
telah menodai sosial masyarakat dalam lingkungan perkampungan.
Setelah dilakukannya akad nikah baik di
gereja / mesjid dan atau di rumah bagi yang mendapatkan sanksi sosial dari
masyarakat akibat ketahuan berduaan / pertemuan berdua, maka beberapa waktu
kemudian sepersukuan (marga) keluarga perempuan melakukan rembuk di dalam
internal persukuannya untuk hitung-hitungan ternak masing-masing untuk persiapan
mempestakan anak perempuan dan suaminya. Lama waktu setelah perkawinan tidak
ditentukan secara pasti akan tetapi menjadi motivasi dan harga diri, lebih
cepat lebih baik agar tidak dianggap pihak keluarga perempuan tidak punya
apa-apa (ternak).
Soal nilainya perawan di Mentawai
terutama di Pulau Siberut, sangat penting dan akan menjadi persoalan adat
secara serius bila nanti ternyata pada saat malam pertama, istri tidak lagi
perawan (kecuali saat mau nikah/kawin keduanya berterus terang dan saling
menerima). Bila keperawanan ternyata sudah tidak ada, atau sudah berzinah
dengan lelaki lain sebelumnya, maka dianggap telah melakukan kebohongan dan
oleh karena itu pihak laki-laki dapat meminta kembali mas kawin (barang yang
dijadikan sebagai alat bayar) dari pihak perempuan, itulah nilai
prinsip-prinsip nilai keperawanan dan system perkawinan berdasarkan adat
istiadat di Mentawai terutama di pulau Siberut
Akses
Kepulau Mentawai
Akses untuk menuju Kepulauan Mentawai masih mengandalkan kapal motor cepat yang sudah terjadwal secara rutin:
Nama Kapal
|
Hari
|
Pelabuhan Keberangkatan
|
Pelabuhan Tujuan
|
Jam Keberangkatan
|
Jam Kedatangan
|
KMP. Ambu-Ambu (PT.ASDP)
|
Kamis
|
Bungus, Padang
|
Tua Peijat, Mentawai
|
20.00
|
06.00
|
Jumat
|
Tua Peijat, Mentawai
|
Bungus Padang
|
20.00
|
06.00
|
|
KMP. Gambolo
(PT. ASDP)
|
Minggu
|
Bungus, Padang
|
Tua Peijat, Mentawai
|
20.00
|
06.00
|
Senin
|
Tua Peijat, Mentawai
|
Bungus Padang
|
20.00
|
06.00
|
|
KMP. Sumber Rezeki
|
Senin
|
Muara, Padang
|
Tua Peijat, Mentawai
|
16.00
|
05.00
|
Selasa
|
Tua Peijat, Mentawai
|
Muara, Padang
|
19.00
|
08.00
|
|
Rabu
|
Muara, Padang
|
Tua Peijat, Mentawai
|
16.00
|
05.00
|
|
Kamis
|
Tua Peijat, Mentawai
|
Muara, Padang
|
19.00
|
08.00
|
|
MV Mentawai Fast
|
Rabu
|
Ø Muara, Padang
Ø Tua Peijat, Mentawai
|
Ø Tua Peijat, Mentawai
Ø Muara, Padang
|
Ø 07.00
Ø 15.00
|
Ø 11.00
Ø 19.00
|
Jumat
|
Ø Muara, Padang
Ø Tua Peijat, Mentawai
|
Ø Tua Peijat, Mentawai
Ø Muara, Padang
|
Ø 07.00
Ø 15.00
|
Ø 11.00
Ø 19.00
|
*
jadwal bisa berubah sewaktu-waktu
Selain itu, ada alternatif
lainnya seperti halnya dengan cara menyewa pesawat kecil seperti Tiger Air atau
SMAC ke Tua Peijat di Pulau Sipora dan setelah mendarat dilanjutkan dengan
menyewa kapal untuk perjalanan sekitar 3-4 jam ke Muara Siberut.
Untuk transportasi lokal tersedia kapal
antar pulau yang bertolak dari Ibukota Kabupaten menuju beberapa Kecamatan.
Selain kapal reguler calon penumpang juga dapat menyewa kapal carteran yang
disediakan oleh perusahaan swasta lainnya. Untuk transportasi darat di Mentawai
khususnya Siberut yang tersedia hanya motor, disewa dengan tarif tergantung
pada jarak tempuh.
PENUTUP
Kebudayaan merupakan suatu karya yang sangat bernilai bagi
kehidupan sehari-hari, dari kebudayaan kita belajar banyak, Indonesia mempunyai
kebudayaan yang sangat kaya dan merupakan perpustakaan hidup bagi generasi yang
mulai tergerus modernisasi. Dari kebudayaan suku mentawai yang memohon dari
alam dan mengambil dari alam secukupnya kita belajar bahwa nilai yang kita jaga
dengan baik akan senantiasa berbalik baik begitu pula sebaliknya.
Masih banyak sekali mungkin filosofi yang terkandung dalam
kehidupan saudara kita dari suku mentawai dan itu hanya mungkin kita sadar jika
kita langsung berbincang maupun datang langsung bertamu ke uma mereka, dengan
begitu kita akan mempunyai pemahan sendiri mengenai arti kehidupan bagi
masyarakat suku mentawai dengan syarat menaati dan mematuhi peraturan adat.
Semoga tulisan diatas ada sedikit manfaat untuk kita semua
untuk menjadi pedoman bagi saudara-saudara yang ingin mempelajari dan
berkunjung ke suku Mentawai.
DAFTAR
PUSTAKA
Wikipedia.com
Indonesia Bagus NET Tv
http://www.puailiggoubat.com/artikel/478/sistem-perkawinan-adat-di-mayoritas-kepulauan-mentawai.html
Foto:
destinasian indonesia
Nama: Achmed Habibullah Edinbur
Prodi: Usaha Jasa Pariwisata UNJ (B) 2014
Sosmed: ig: bobbyedinbur
No comments:
Post a Comment