DESA ADAT BADUY
Assalamualaikum!
Namaste! Ohmswastiyastu! Slalom! Salam sejahtera bagi kita semua dan salam
damai untuk seluruh umat manusia yang ada di dunia. Pertama-tama izinkan saya
memperkenalkan diri saya terlebih dahulu sebelum saya mulai menceritakan
pengalaman saya sekaligus membahas tentang sebuah desa adat yang pernah saya
datangi, nama saya Garin Girindra Dwi Saputra, kalian bisa memanggil saya garin,
gar, rin, atau gege dan saya lahir 19 tahun lalu tepatnya pada tanggal 9 Mei di
DKI Jakarta tepatnya di Jakarta Pusat, saya merupakan seorang mahasiswa
semester 3 di sebuah kampus yang luar biasa yaitu Universitas Negeri Jakarta,
di Universitas Negeri Jakarta saya mengambil jurusan pariwisata karena saya
sangat suka berjalan-jalan dan ingin lebih mendalami tentang Pariwisata di
Indonesia. Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang pengalaman saya
dalam mengunjungi sebuah desa adat yang saat ini sudah mulai menjadi sebuah
destinasi wisata budaya yang cukup menarik yaitu desa adat Baduy. Mengapa saya
katakan cukup menarik? Karena di desa adat Baduy ini kalian akan benar-benar
merasakan kehidupan yang benar-benar menyatu dengan alam, tanpa ada gadget
ataupun teknologi-teknologi canggih lainnya yang sedang tren saat ini. Baiklah saya
akan menceritakan seperti apa desa adat Baduy itu, Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah
suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi
mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku
yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto,
khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan
Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini
adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika
Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik,
sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar. Masyarakat Baduy Luar
sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang
elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang
aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga
menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan
mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar. Perbedaan
lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju
dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang
mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.
Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar.
Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat
melakukan aktivitas. Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti
Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau
Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini sering
berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada
versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang
terletak di bagian utara Desa Kanekes.
Ada dua cara atau akses untuk menuju ke
desa adat Baduy, yaitu dengan menggunakan kereta api lalu dengan menggunakan
Bus Umum, namun biasanya sebelum berangkat kita harus menghubungi pihak dari
desa adat Baduy atau bisa dibilang Tour Guide lokal untuk memandu dan menemani
kita selama perjalanan, pada saat saya pergi ke sana saya terlebih dahulu
menghubungi Kang Arji yang merupakan salah satu orang kepercayaan dari kampus
saya yang bertugas untuk menemani dan memandu saya dan teman-teman untuk menuju
ke desa adat Baduy, Kang Arji merupakan seorang laki-laki yang berasal dari
desa adat Baduy tepatnya di kawasan Baduy luar. Saya akan menjelaskan bagaimana
untuk menuju ke desa adat Baduy, pertama-tama saya akan menjelaskan akses
dengan menggunakan kereta api, untuk perjalanan kereta api saya akan memulai
perjalanan dari stasiun tanah abang, seperti pada saat saya menuju kesana untuk
melakukan observasi. Dari stasiun tanah abang, kita bisa langsung membeli tiket
kereta api jurusan Tanah Abang menuju ke Rangkas Bitung dengan kereta “Rangkas
Jaya”, kereta api Rangkas Jaya ini dijadwalkan berangkat hanya satu kali dalam
satu hari yaitu hanya pada pukul 8 pagi dengan biaya 15 ribu rupiah saja, namun
ada opsi kereta lain yaitu kereta api Kalimaya yang dijadwalkan berangkat dua
kali dalam sehari yaitu pada pukul setengah sepuluh pagi dan pada pukul
setengah lima sore, namun untuk kereta api Kalimaya biaya yang di keluarkan
sedikit lebih mahal yaitu sekitar 35 ribu rupiah. Setelah membeli tiket kereta,
kita akan langsung berangkat menuju ke stasiun Rangkas Bitung, setelah sampai
di stasiun Rangkas Bitung kita akan melanjutkan perjalanan menuju terminal
Ciboleger yang merupakan salah satu pintu masuk untuk menuju ke desa adat Baduy
dengan menggunakan minibus elf yang ada di dekat stasiun Rangkas Bitung,
minibus elf ini dapat menampung sekitar kurang lebih 15 orang, biaya untuk
menuju ke terminal Ciboleger dengan menggunakan minibus elf ini adalah sekitar
30 ribu per orang, namun jika kita mencarter minibus elf tersebut, maka kita
akan mendapatkan harga yang lebih murah lagi. Setelah sampai di terminal
Ciboleger, kita biasanya akan dijemput oleh tour guide lokal, pada saat saya
pergi kesana saya dijemput oleh Kang Arji. Setelah bertemu dengan Kang Arji
kita akan langsung dipandu untuk menuju ke desa Kanekes yang merupakan desa
pertama yang masuk wilayah Baduy luar, di desa Kanekes kita di wajibkan untuk
mengisi buku tamu, pada saat saya pergi kesana saya sempat melakukan diskusi
dengan Jaro dari desa Kanekes, Jaro merupakan istilah orang-orang desa
adat Baduy untuk seorang perangkat desa atau di kota biasa disebut Lurah dan Jaro merupakan jabatan tertinggi kedua
yang berada dibawah perintah Puun
yang merupakan jabatan tertinggi di desa adat Baduy. Setelah selesai mengisi
buku tamu, kita langsung menuju ke desa Marengo yaitu tempat saya dan teman-teman
menginap selama 3 hari 2 malam, desa Marengo ini juga merupakan tempat tinggal dari
Kang Arji. Di desa Marengo ini saya dan teman-teman beristirahat untuk hari
pertama dan akan melanjutkan perjalanan menuju ke kawasan Baduy dalam keesokan
paginya, kawasan Baduy dalam yang akan saya tuju adalah desa Cibeo yang merupakan
desa terluar dari tiga desa yang termasuk kawasan Baduy dalam, setelah desa
Cibeo jika kita menelusuri lebih dalam lagi kita akan sampai ke desa
Cikartawarna yang merupakan desa kedua yang termasuk dalam kawasan Baduy dalam,
kemudian desa terakhir atau desa yang terdalam yang termasuk kawasan Baduy
dalam adalah desa Cikeusik. Untuk mencapai desa Cibeo yang merupakan desa
pertama atau desa terluar yang termasuk kawasan Baduy dalam kita akan berjalan
dari desa Marengo dan akan memakan waktu selama kurang lebih 3-4 jam, namun
untuk kembali ke desa Marengo kita bisa melewati jalan pintas yang akan
ditunjukkan oleh Kang Arji selaku orang yang berwenang dan menjadi pemandu kita
selama perjalanan, untuk perjalanan pulang melewati jalan pintas akan memakan
waktu sekitar kurang lebih 2-3 jam. Di desa Cibeo kita akan melihat-lihat
bagaimana aktivitas orang-orang Baduy dalam, dan jika beruntung kita akan
dipersilahkan untuk melakukan diskusi dengan Jaro dari desa
Cibeo.
Tata tertib dan kebiasaan orang Baduy
Di desa adat baduy, terdapat banyak tata
tertib yang harus kita patuhi ketika kita berkunjung kesana, beberapa
diantaranya adalah ketika kita akan memasuki kawasan Baduy dalam, kita
diwajibkan untuk mematikan atau menonaktifkan handphone kita dan juga segala
macam gadget yang berhubungan dengan teknologi-teknologi apapun karena semua
hal itu dilarang oleh adat istiadat orang Baduy dalam, kemudian kita tidak
diperbolehkan untuk mandi menggunakan sabun, shampo, pasta gigi, dan segala
macam peralatan mandi yang bisa dibilang modern, jadi kita mandi hanya dengan
membilas tubuh kita saja. Kemudian kita dilarang keras untuk berbicara atau
mengeluarkan kata-kata yang kasar, karena hal tersebut sangat lah kurang sopan
dan sepertinya dimanapun kita berada harusnya kita dilarang untuk berkata-kata
atau mengeluarkan kata-kata kasar. Kita juga dilarang untuk membawa dan
memainkan alat musik apapun yang bisa
dimainkan dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat sekitar Baduy entah di Baduy
dalam maupun di Baduy luar. Itu adalah beberapa peraturan dari sekian banyak
peraturan-peraturan yang ada di desa adat Baduy, baik Baduy dalam maupun Baduy
luar.
Masyarakat desa adat Baduy mayoritas memiliki
matapencaharian sebagai petani dan berkebun. Cara bertani masyarakat desa adat
Baduy berbeda dengan cara bertani pada umumnya, bila biasanya para petani
menanam padi di sawah yang berlumpur dengan cara menggarapnya lalu menanam
padinya dengan teknik Tandur atau
tanam mundur, Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak
menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat
selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian
alam dan masyarakat desa adat Baduy yang menanam
padi nya dengan cara langsung menanam gabahnya di tanah dengan cara
menyebarnya. Teknik bertani atau menanam padi ini tidak memerlukan pengairan
yang begitu banyak karena hanya mengandalkan air hujan sebagai pengairan. Proses
kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang
terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan
tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek
moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk
warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga
harmoni dunia. Di masyarakat desa
adat Baduy, mereka mengenal kepercayaan yaitu tentang adanya 4 Adam, yang
pertama adalah Adam Tunggal yang
dipercaya mereka sebagai asal usul atau sebagai nenek moyang mereka, kemudian
yang kedua adalah Adam Hawa yang
merupakan Nabi Adam a.s yang merupakan manusia pertama yang ada di Bumi
berdasarkan kepercayaan agama Islam, kemudian yang ketiga adalah Adam Sapel, dan yang keempat dan yang
terakhir adalah Adam Wiwitan.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para
ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa
bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok,
serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya
pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum
berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan
bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang
cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai
digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian
penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap
bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola
kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal
bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada
tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk
asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar
(Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa
mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan
Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh
raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah
ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan
(wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun
diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala
adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang
putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina
Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di
akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka
berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam
keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy
sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy
tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin
gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi
bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara
antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa
manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya
monyet dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali
kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan
masyarakat adat Baduy
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa
perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin: “Lojor
heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.” (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong,
pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara
harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak
mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana,
tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam
dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah
juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga
rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun
jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan
Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang
merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang
mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat
batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi
masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang
kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen. Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Rumah adat
masyarakat desa adat Baduy
Rumah-rumah
di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah
tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.
Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing
berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun
untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur,
dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan
tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan
lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat
ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan
dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari
dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di sini dibangun
hanya pada dua arah saja.
Kesenian suku Baduy
Layaknya
suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal
budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya
dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos
yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu
ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku
perempuan.
Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.
Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.
Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.
Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.
Struktur
pemerintahan masyarakat desa adat Baduy
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem
adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem
tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi
perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang
disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang ada di tiga kampung
tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari
bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun
tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan
oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka,
jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada
pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.
Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur
yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang
apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas.
Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro
pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes
dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik,
dan kokolot lembur atau tetua kampung.
Interaksi
dengan masyarakat luar desa adat Baduy
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat
istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat
yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang
secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak
lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual
hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka
juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan
remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka
menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan
ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan
adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak
menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap
terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba
masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga
senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus
berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri
dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy
sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut
biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Sepertinya cukup sekian saja penjelasan dari saya tentang masyarakat
desa adat Baduy, semoga apa yang telah saya jelaskan dan paparkan disini dapat
berguna bagi anda semua, dan bila anda berniat untuk mengunjungi desa adat
Baduy ini saya berharap anda bisa tetap menjaga kelestarian dan kemurnian alam
desa adat Baduy dan juga kelestarian adat istiadat dari suku Baduy. Saya rasa
cukup sekian yang bisa saya sampaikan dan berikan untuk kalian semua diluar
sana yang memiliki minat untuk mendalami kebudayaan-kebudayaan di Indonesia
ini, mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati kalian
sebagai pembaca, dan apabila ada salah-salah kata yang mungkin fatal juga mohon
dimaafkan karena saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari segala
kesalahan karena kesempurnaan di dunia ini hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Sampai
jumpa lagi di lain tulisan, salam!
Garin Girindra Dwi Saputra
4423143943
UJP A 2014
Universitas Negeri Jakarta
No comments:
Post a Comment