Monday, January 4, 2016

Tugas 3 - Wisata Sejarah dan Budaya

DESA ADAT BADUY

Assalamualaikum! Namaste! Ohmswastiyastu! Slalom! Salam sejahtera bagi kita semua dan salam damai untuk seluruh umat manusia yang ada di dunia. Pertama-tama izinkan saya memperkenalkan diri saya terlebih dahulu sebelum saya mulai menceritakan pengalaman saya sekaligus membahas tentang sebuah desa adat yang pernah saya datangi, nama saya Garin Girindra Dwi Saputra, kalian bisa memanggil saya garin, gar, rin, atau gege dan saya lahir 19 tahun lalu tepatnya pada tanggal 9 Mei di DKI Jakarta tepatnya di Jakarta Pusat, saya merupakan seorang mahasiswa semester 3 di sebuah kampus yang luar biasa yaitu Universitas Negeri Jakarta, di Universitas Negeri Jakarta saya mengambil jurusan pariwisata karena saya sangat suka berjalan-jalan dan ingin lebih mendalami tentang Pariwisata di Indonesia. Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang pengalaman saya dalam mengunjungi sebuah desa adat yang saat ini sudah mulai menjadi sebuah destinasi wisata budaya yang cukup menarik yaitu desa adat Baduy. Mengapa saya katakan cukup menarik? Karena di desa adat Baduy ini kalian akan benar-benar merasakan kehidupan yang benar-benar menyatu dengan alam, tanpa ada gadget ataupun teknologi-teknologi canggih lainnya yang sedang tren saat ini. Baiklah saya akan menceritakan seperti apa desa adat Baduy itu, Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar. Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar. Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua. Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas. Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.

Ada dua cara atau akses untuk menuju ke desa adat Baduy, yaitu dengan menggunakan kereta api lalu dengan menggunakan Bus Umum, namun biasanya sebelum berangkat kita harus menghubungi pihak dari desa adat Baduy atau bisa dibilang Tour Guide lokal untuk memandu dan menemani kita selama perjalanan, pada saat saya pergi ke sana saya terlebih dahulu menghubungi Kang Arji yang merupakan salah satu orang kepercayaan dari kampus saya yang bertugas untuk menemani dan memandu saya dan teman-teman untuk menuju ke desa adat Baduy, Kang Arji merupakan seorang laki-laki yang berasal dari desa adat Baduy tepatnya di kawasan Baduy luar. Saya akan menjelaskan bagaimana untuk menuju ke desa adat Baduy, pertama-tama saya akan menjelaskan akses dengan menggunakan kereta api, untuk perjalanan kereta api saya akan memulai perjalanan dari stasiun tanah abang, seperti pada saat saya menuju kesana untuk melakukan observasi. Dari stasiun tanah abang, kita bisa langsung membeli tiket kereta api jurusan Tanah Abang menuju ke Rangkas Bitung dengan kereta “Rangkas Jaya”, kereta api Rangkas Jaya ini dijadwalkan berangkat hanya satu kali dalam satu hari yaitu hanya pada pukul 8 pagi dengan biaya 15 ribu rupiah saja, namun ada opsi kereta lain yaitu kereta api Kalimaya yang dijadwalkan berangkat dua kali dalam sehari yaitu pada pukul setengah sepuluh pagi dan pada pukul setengah lima sore, namun untuk kereta api Kalimaya biaya yang di keluarkan sedikit lebih mahal yaitu sekitar 35 ribu rupiah. Setelah membeli tiket kereta, kita akan langsung berangkat menuju ke stasiun Rangkas Bitung, setelah sampai di stasiun Rangkas Bitung kita akan melanjutkan perjalanan menuju terminal Ciboleger yang merupakan salah satu pintu masuk untuk menuju ke desa adat Baduy dengan menggunakan minibus elf yang ada di dekat stasiun Rangkas Bitung, minibus elf ini dapat menampung sekitar kurang lebih 15 orang, biaya untuk menuju ke terminal Ciboleger dengan menggunakan minibus elf ini adalah sekitar 30 ribu per orang, namun jika kita mencarter minibus elf tersebut, maka kita akan mendapatkan harga yang lebih murah lagi. Setelah sampai di terminal Ciboleger, kita biasanya akan dijemput oleh tour guide lokal, pada saat saya pergi kesana saya dijemput oleh Kang Arji. Setelah bertemu dengan Kang Arji kita akan langsung dipandu untuk menuju ke desa Kanekes yang merupakan desa pertama yang masuk wilayah Baduy luar, di desa Kanekes kita di wajibkan untuk mengisi buku tamu, pada saat saya pergi kesana saya sempat melakukan diskusi dengan Jaro dari desa Kanekes, Jaro merupakan istilah orang-orang desa adat Baduy untuk seorang perangkat desa atau di kota biasa disebut Lurah dan Jaro merupakan jabatan tertinggi kedua yang berada dibawah perintah Puun yang merupakan jabatan tertinggi di desa adat Baduy. Setelah selesai mengisi buku tamu, kita langsung menuju ke desa Marengo yaitu tempat saya dan teman-teman menginap selama 3 hari 2 malam, desa Marengo ini juga merupakan tempat tinggal dari Kang Arji. Di desa Marengo ini saya dan teman-teman beristirahat untuk hari pertama dan akan melanjutkan perjalanan menuju ke kawasan Baduy dalam keesokan paginya, kawasan Baduy dalam yang akan saya tuju adalah desa Cibeo yang merupakan desa terluar dari tiga desa yang termasuk kawasan Baduy dalam, setelah desa Cibeo jika kita menelusuri lebih dalam lagi kita akan sampai ke desa Cikartawarna yang merupakan desa kedua yang termasuk dalam kawasan Baduy dalam, kemudian desa terakhir atau desa yang terdalam yang termasuk kawasan Baduy dalam adalah desa Cikeusik. Untuk mencapai desa Cibeo yang merupakan desa pertama atau desa terluar yang termasuk kawasan Baduy dalam kita akan berjalan dari desa Marengo dan akan memakan waktu selama kurang lebih 3-4 jam, namun untuk kembali ke desa Marengo kita bisa melewati jalan pintas yang akan ditunjukkan oleh Kang Arji selaku orang yang berwenang dan menjadi pemandu kita selama perjalanan, untuk perjalanan pulang melewati jalan pintas akan memakan waktu sekitar kurang lebih 2-3 jam. Di desa Cibeo kita akan melihat-lihat bagaimana aktivitas orang-orang Baduy dalam, dan jika beruntung kita akan dipersilahkan untuk melakukan diskusi dengan Jaro dari desa 
Cibeo.

Tata tertib dan kebiasaan orang Baduy

Di desa adat baduy, terdapat banyak tata tertib yang harus kita patuhi ketika kita berkunjung kesana, beberapa diantaranya adalah ketika kita akan memasuki kawasan Baduy dalam, kita diwajibkan untuk mematikan atau menonaktifkan handphone kita dan juga segala macam gadget yang berhubungan dengan teknologi-teknologi apapun karena semua hal itu dilarang oleh adat istiadat orang Baduy dalam, kemudian kita tidak diperbolehkan untuk mandi menggunakan sabun, shampo, pasta gigi, dan segala macam peralatan mandi yang bisa dibilang modern, jadi kita mandi hanya dengan membilas tubuh kita saja. Kemudian kita dilarang keras untuk berbicara atau mengeluarkan kata-kata yang kasar, karena hal tersebut sangat lah kurang sopan dan sepertinya dimanapun kita berada harusnya kita dilarang untuk berkata-kata atau mengeluarkan kata-kata kasar. Kita juga dilarang untuk membawa dan memainkan alat musik apapun yang  bisa dimainkan dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat sekitar Baduy entah di Baduy dalam maupun di Baduy luar. Itu adalah beberapa peraturan dari sekian banyak peraturan-peraturan yang ada di desa adat Baduy, baik Baduy dalam maupun Baduy luar.
Masyarakat desa adat Baduy mayoritas memiliki matapencaharian sebagai petani dan berkebun. Cara bertani masyarakat desa adat Baduy berbeda dengan cara bertani pada umumnya, bila biasanya para petani menanam padi di sawah yang berlumpur dengan cara menggarapnya lalu menanam padinya dengan teknik Tandur atau tanam mundur, Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alam dan masyarakat desa adat Baduy yang menanam padi nya dengan cara langsung menanam gabahnya di tanah dengan cara menyebarnya. Teknik bertani atau menanam padi ini tidak memerlukan pengairan yang begitu banyak karena hanya mengandalkan air hujan sebagai pengairan. Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. 
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Di masyarakat desa adat Baduy, mereka mengenal kepercayaan yaitu tentang adanya 4 Adam, yang pertama adalah Adam Tunggal yang dipercaya mereka sebagai asal usul atau sebagai nenek moyang mereka, kemudian yang kedua adalah Adam Hawa yang merupakan Nabi Adam a.s yang merupakan manusia pertama yang ada di Bumi berdasarkan kepercayaan agama Islam, kemudian yang ketiga adalah Adam Sapel, dan yang keempat dan yang terakhir adalah Adam Wiwitan.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. 

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.

Kepercayaan masyarakat adat Baduy

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. 
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen. Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Rumah adat masyarakat desa adat Baduy

Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya. Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja.

Kesenian suku Baduy

Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.

Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.

Struktur pemerintahan masyarakat desa adat Baduy

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.

Interaksi dengan masyarakat luar desa adat Baduy

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. 
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger. 
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Sepertinya cukup sekian saja penjelasan dari saya tentang masyarakat desa adat Baduy, semoga apa yang telah saya jelaskan dan paparkan disini dapat berguna bagi anda semua, dan bila anda berniat untuk mengunjungi desa adat Baduy ini saya berharap anda bisa tetap menjaga kelestarian dan kemurnian alam desa adat Baduy dan juga kelestarian adat istiadat dari suku Baduy. Saya rasa cukup sekian yang bisa saya sampaikan dan berikan untuk kalian semua diluar sana yang memiliki minat untuk mendalami kebudayaan-kebudayaan di Indonesia ini, mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati kalian sebagai pembaca, dan apabila ada salah-salah kata yang mungkin fatal juga mohon dimaafkan karena saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari segala kesalahan karena kesempurnaan di dunia ini hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Sampai jumpa lagi di lain tulisan, salam!


Garin Girindra Dwi Saputra
4423143943
UJP A 2014

Universitas Negeri Jakarta

No comments:

Post a Comment