Tugas
5 Observasi Suku Baduy
Ciri Khas Baduy Yang Selalu Melekat
Assalamualaikum,
wr. Wb.
Sebelum saya memulai, saya ingin
memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama lengkap saya M. Nur Sidiq, saya biasa
dipanggil sidiq. Saya lahir di Jakarta, 30 Agustus 1996 saya merupakan anak
pertama dari kedua bersaudara. Saya dan adik saya terlampaui jauh sekali
umurnya, karena adik saya baru berumur 2tahun. Adik saya bernama Muhammad
Alrazi Azwan, entah kenapa nama kami berdua berbau arab. Sedangkan kami berdua
tidak mempunyai keturunan arab atau timur tengah.
Sebelumnya saya akan bercerita
tentang pengalaman saya mengunjungi Suku Baduy. Mungkin bagi sebagian orang
sudah mengetahui Suku Baduy, tetapi belum pernah melihatnya secara langsung. Dan
bagi sebagian orang pula sudah melihatnya secara langsung, Suku Baduy berada di
Wilayah Lebak, Banten. Untuk menuju ke Suku Baduy, apabila kita menggunakan
transportasi kereta api kita turun di Stasiun Rangkas Bitung, bila kita
rombongan dan sudah mengkonfirmasi terlebih dahulu ke orang Baduy maka kita
akan disediakan elf. Transportasi menuju terminal terdekat dengan Suku Baduy,
perjalanan dari Stasiun Rangkas Bitung menuju Terminal Ciboleger ± 2jam setelah
sampai di Terminal Ciboleger kita masih harus melanjutkan perjalanan menuju
Kepala Adat untuk melapor terlebih dahulu. Setelah itu kita harus melanjutkan
lagi perjalanan menuju Baduy Luar ± 1jam dengan rute perjalanan menanjak.
Kesenian atau ciri khas tidak
terlepeas dari daerah itu sendiri, seperti halnya Yogyakarta memiliki ciri khas
itu dengan motif batiknya. Sama seperti Baduy, daerah ini mempunyai ciri
khasnya tersendiri yaitu dengan hasil kain tenunnya. Bahkan bukan hanya itu
saja, di desa ini kita bisa melihat langsung alat tenun yang digunakan oleh
masyarakat Baduy dan juga melihat secara langsung bagaimana caranya menenun. Meskipun tidak begitu dikenal seperti
kain songket Palembang atau batik Pesisiran. Tenun Baduy ini memiliki kekhasan
tersendiri baik dari segi bahan maupun ragam hias yang mendasari pembuatannya.
Tenun Baduy juga dipercaya mengandung fungsi dan makna-makna simbolis yang
berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan orang Baduy. Bagi mereka, tenun selain berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan sandang, juga memiliki fungsi sebagai identitas, khusunya
terhadap nilai-nilai adat yang juga melambangkan eksistensi mereka. Perbedaan
antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari warna dan tenunan yang
mereka buat serta kenakan.
Baduy merupakan sebutan yang melakat pada orang-orang yang
tinggal di sekitar kaki Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dengan ciri-ciri yang khas dan
‘unik’ dibanding dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka, demikian juga
dengan orang-orang daerah Banten lainnya. Keunikan mereka terlihat jelas dalam
cara berpakaian, keseragaman bentuk rumah, penggunaan bahasa, kepercayaan dan
adat istiadat. Disamping itu, mereka juga sering menyebut diri sebagai urang (orang) Kanekes, urang Raweyan, urang Tangtu, urangGirang, urang
Panamping, beberapa lagi menyebutnya dengan nama asal kampung mereka
tinggal(urang Cibeo, urang Gajeboh, urang Kaduketang.
Keunggulan cita rasa dari pembuatan kain
yang dimiliki orang Baduy berkembang dalam berbagai wujud, sifat, bentuk,
kegunaan, ragam hias, serta menjadi jati diri dan ciri khas masyarakat adat
tersebut. Bahan kain untuk memenuhi kebutuhan sandang telah dibuat sendiri dari
potensi alam yang ada dan dibuat dengan menggunakan alat tenun yang mereka buat
sendiri. Betapapun sederhananya bentuk, bahan, pola hias, dan teknik
pembuatannya, tenun Baduy merupakan benda budaya yang bukan hanya didasari oleh
fungsi saja tetapi juga merupakan perwujudan dari nilai-nilai tradisi, adat
istiadat, sejarah, dan kekayaan alam yang merupakan cerminan dari budaya
mereka.
Tenun Baduy Sebagai Identitas
Kreativitas
mereka dalam membuat kain tenun terbentuk melalui suatu perjalanan panjang.
Selama kurun waktu yang lama, melalui pelbagai kegiatan tradisi dan budaya yang
mendasarinya, masyarakat adat Baduy menciptakan pelbagai teknik pembuatan kain
tenun dan ragam hiasnya. Apabila dilihat dari latar belakang kehidupan orang
Baduy, seni tenun Baduy telah bersatu dengan kegiatan tradisi dan keseharian
mereka. Menenun mempunyai nilai estetika, kegiatan menenun juga memiliki makna
ketaatan untuk para wanita Baduy.
Seperti yang diungkapkan Kayam
(1981:60), bahwa dalam batasan geografis khususnya di Asia Tenggara, kesenian
telah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakatnya. Dengan demikian,
kesenian mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas. Pertama,
memiliki jangkauan yang terbatas pada kebudayaan yang menunjangnya. Kedua,
merupakan pencerminan dari satu budaya yang berkembang. Ketiga,
merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang tidak terbagi-bagi dalam
pengkotakan spesialisasi. Keempat, merupakan kreativitas individu,
tetapi tercipta secara bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang
menunjangnya.
Keterampilan membuat seni tenun pada
orang Baduy bisa dikatakan tidak terlepas dari latar belakang yang dipengaruhi
pelbagai unsur sejarah. Diperkirakan keahlian membuat tenun telah dimiliki oleh
masyarakat Nusantara yang hidup pada abad ke-8 sampai abad ke-2 Sebelum
Masehi. Kapas merupakan salah satu bahan utama dalam membuat kain tenun. Kapas
itu mereka proses menjadi benang dengan pemintalan sederhana, kemudian ditenun
dengan alat dari kayu yang mereka buat sendiri. Pengetahuan tentang kapas
sebagai bahan benang diduga telah dimiliki oleh Orang Kanekes sejak lama. Pada
masa Kerajaan Pajajaran, Masyarakat Baduy setiap tahun sudah biasa memberikan
persembahan 10 pikul kapas kepada kerajaan dan tradisi pembuatan kain dari
bahan kapas dinyatakan sudah ada sejak masa tersebut (Iskandar, 2005:236). Ada
yang beranggapan bahwa busana orang Baduy saat ini merupakan busana yang
digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Kain tenun
sebagai fungsi utamanya untuk dijadikan pakaian, merupakan satu dari kebutuhan
hidup bagi orang
Baduy di samping makanan dan
rumah untuk tempat tinggal. Tenun Baduy tampak sederhana jika dibanding dengan
tenunan dari daerah lain. Namun, reka hias dan kerajinan tangan tenun orang
Baduy ini merupakan karya
cipta yang tinggi. Selain karena merupakan gabungan dari ungkapan estetis dan
alam, reka hias itu juga mewakili sikap hidup mereka yang menyimpan ribuan tabu
dalam alam kosmosloginya. Di setiap kegiatan ritual, daur hidup keluarga, dan
berhubungan dengan alam kepercayaan, sepotong kain tenun hampir selalu menjadi
bagian yang mempunyai peran.
Keragaman dan keunikan kain tenun Baduy
merupakan cerminan dari filosofi hidup mereka. Serta merupakan kreasi dari
bentuk-bentuk simbolis yang tertuang dalam adat hingga keseharian mereka. Dalam
kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan ini, oleh Kartiwa (2007:9) dikatakan
bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu bentuk ekspresi pengakuan terhadap
keberadaan, keagungan, dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta kehidupan semua
makhluk di dunia.
Kain tenun dalam Masyarakat adat Baduy,
tidak hanya berfungsi sekedar penutup tubuh yang melindungi pemakainya dari
kondisi cuaca atau iklim. Bukan pula sekedar benda fisik yang dapat digunakan
untuk menggendong bayi, atau fungsi-fungsi fisik lainnya. Kain tenun juga
memiliki arti lain daripada sekedar kebutuhan fungsional. Bentuk dan corak
keindahan dalam selembar kain, tidak semata-mata bertalian dengan pemenuhan
keindahan saja. Melainkan terkait secara menyeluruh dengan kebudayaan dan ciri
khas pemangkunya.
Sementara itu dalam kaitan dengan seni tenun,
warna putih yang digunakan pada bahan kain tenun Baduy tidak diwarnai atau
tetap menggunakan warna asli kapas yang putih. Dalam kepercayaan orang Baduy
warna putih bermakna terang, bersih, atau sebagai Hyang yang tidak memiliki wujud. Hal ini berkaitan
dengan makna kesucian, terletak pada tingkat atas dari sistem nilai kepercayaan
yang mereka anut. Sedangkan Warna hitam pada pakaian Baduy Luar, menurut
penelaahan Jatisunda (2008), mengandung makna gelap atau malam. Gelap atau
hitam dalam konteks budaya Baduy akan menjadi pelindung di balik yang putih
atau terang.
Seni tenun
baduy dalam lingkup kehidupan masyarakat adat Baduy menjadi kebutuhan yang
sangat penting dalam kehidupan mereka. Kain telah terjalin erat ke dalam
lingkaran budaya hidup masyarakatnya. Sejak lahir, menjalani hidup di dunia
hingga meninggal dunia ‘dibungkus’ dengan kain tenun.
Tenun sangat dekat dengan kehidupan,
khususnya dalam lingkungan keluarga. Aktivitas menenun sepintas memang tampak
sebagai kegiatan sambilan yang seolah-olah hanya merupakan aktivitas pengisi
waktu luang bagi kaum perempuan Baduy. Namun, apabila ditelusuri secara
mendetail dan mendalam, ternyata aktivitas menenun mengandung sejumlah nilai.
Menenun mempunyai nilai kedisiplinan. Kepada setiap anak perempuan yang lahir
di Baduy, sejak kecil, mereka sudah ditanamkan kedisiplinan yang tinggi dengan
cara mempelajari aturan adat dan nilai-nilai Masyarakat Adat Baduy. Salah
satunya berhubungan dengan aktivitas menenun.
Kegiatan
menenun pada masyarakat Kanekes pun dipercaya merupakan wujud dari ketaatan
yang dilakukan oleh perempuan Baduy terhadap aturan adat yang mereka junjung.
Orang Baduy yang selalu merasakan kondisi ketercukupan, dan karenanya tidak
lagi merasa perlu atau gelisah mencari sesuatu hal lain dari luar. Konsep
bermukim dalam ketercukupan inilah yang terus-menerus dibina oleh tradisi Baduy
dari generasi ke generasi, hingga saat ini. Kegiatan menenun merupakan penjabaran
dari konsep tersebut. Kegiatan memenun terus mereka galakan sebagai bagian dari
upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian yang dapat mereka upayakan secara
mandiri.
Tidak dikembangkannya sistem pemikiran
ataupun teknik yang lebih canggih, bukan karena rendahnya mutu sumber daya
manusianya, tetapi lebih dapat dimengerti dari nilai kesahajaan dan
kesederhanaan mereka. Sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan bijak mereka: sare
tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang. Artinya, tidur sekedar pelepas
kantuk, makan sekedar pelepas lapar, berpakaian untuk menuntupi badan.
Kekhususan Seni Tenun Baduy
Kekhasan tenun Baduy adalah bahannya yang agak
kasar dan warnanya cenderung dominan. Bintik-bintik kapas dari proses
pemintalan tradisional telah menghasilkan tekstur yang khas tenun Baduy dengan
alat pemintal tradisional yaitu gedogan/raraga. Kain
tenun yang awalnya dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sandang, dibuat
sederhana dengan menggunakan motif geometris.
Wanita Tangtu (Baduy
Dalam) hanya menenun dua warna tenunan yaitu hitam/biru tua (nila) dan putih
polos. Sedangkan jenis dan motif yang dihasilkan para perajin tenun Baduy dari
masa ke masa relatif tidak mengalami perubahan begitu banyak. Wanita suku Baduy
dalam pembu
atan kain tenun, biasanya berfokus pada dua jenis kain tenun, antara lain:
- Sarung/samping, sarung atau samping Baduy sangat sederhana,
terutama pada tenunan kain samping aros dan sarung poleng
hideung yang berwarna biru tua atau hitam yang dihiasi motif
kotak-kotak tipis berwarna hitam atau hanya bermotif polos, samping pada
umumnya berwarna dasar hitam dipadu dengan garis-garis kecil warna biru
terang. Samping dapat dijahit dibuat menjadi sarung atau kulot (semacam
rok pada wanita).
2.
Tenunan bodasan/boeh tenunan
polos putih yang biasanya digunakan sebagai bahan untuk membuat baju, ikat
kepala, atau selendang. Ikat kepala selalu dikenakan kaum laki-laki, baik
anak-anak maupun orang yang lebih tua.
Alat dan Perlengkapan Menenun
a. Caor/dodogong, sebilah papan yang diletakkan
horizontal, sebagai sandaran punggung penenun. Selain itu berfungsi jug untuk
menarik kain tenunan agar terbentang kencang.
b. Taropong, sepotong bambu (tamiang),
tempat memasukkan benang kanteh (pakan).
c. Tali caor, tali yang
mengikatkan bilah caor dengan kain yang ditenun di sebelah
kiri dan kanan penenun.
d. Suri/Sisir, alat berbentuk sisir, untuk membereskan benang
pakan dan benang lusi.
e. Hapit, bilahan papan untuk menggulung kain hasil tenun.
f. Barera, sebilah kayu alat bertenun untuk merapatkan benang
pakan agar kain tenun menjadi rapat
g. Jingjingan, bagian dari gedogan,
tempat menambatkan lusi.
h. Limbuhan, sebilah kayu yang memanjang seperti
mistar berbentuk bulat untuk merenggangkan kedudukan benang tenun
i.
Kekedal, patitihan, totojer, bilahan kayu tempat kaki
penenun bertelekan
j.
Rorogan, sebilah kayu alat penahan berera, terletak sebelah kanan penenun.
k. Totogan, bilahan papan/kayu sebagai alat penahan
ketika proses bertenun.
l.
Cangcangan, bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun
Selain raraga (seperangkat
alat tenun) di atas, terdapat alat atau perlengkapan lainnya yang biasa
digunakan dalam menenun tenun Baduy di antaranya:
Ø
dadampar (bilahan papan yang digunakan untuk tempat duduk penenun),
Ø
Galeger (bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun),
Ø
Kincir (alat untuk memintal benang kanteh),
Ø
golebag (tempat untuk memindahkan benang hasil pintalan)
Ø
pihane (alat untuk membereskan benang kanteh).
Ø
Seungkeur (sebilah papan/bambu untuk menentukan ukuran lebar kain yang
ditenun),
Ø
tudingan/tutuding (sebilah kayu/bambu untuk alat mengait atau mengambil
dan atau membetulkan sesuatu yang letaknya agak jauh dari penenun).
Selain
dipakai untuk sehari – hari oleh masyarakat Baduy, kain tersebut biasanya
mereka jual kepada tourist yang datang ke kampung tersebut dan kisaran harga
untuk kainnya itu adalah 15 – 30 ribu rupiah. Jika kita tahu bagaimana cara
menenunnya, harga itu tidak sebanding dengan lelah dan capek mereka karena mereka
harus duduk selama berjam – jam. Tapi mereka tidak perduli akan hal itu, karena
bagi mereka menenun itu merupakan hal yang dilakukan untuk mengusir kebosanan
mereka. Selain itu mereka senang apabila kain hasil buatan mereka banyak yang
tahu.
Sekian
informasi mengenai alat tenun dan kain khas yang dimiliki masyarakat Baduy. Saya
tahu masih terdapat kesalahan dalam penulisan maupun informasi yang kurang, maka dari itu penulis memerlukan
kritik dan saran yang membangun untuk dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum,
wr. Wb
M.Nur Sidiq
Usaha Jasa Pariwisata "A" 2014
4423143979
sidiqmuhamamd3008@gmail.com
Daftar Pustaka
ohh ternyata kesenian baduy seperti inii
ReplyDeleteBoleh juga tuh kesana untuk mengisi liburan dan menambah pengetahuan
ReplyDeletesudah bagus sih, tapi menurut gue kurang informasi menuju ke tempat suka baduy luar dan dalamnya karena itu yang paling penting, dan photo-photo setiap jarak 1 KM,di sana memiliki trek-treknya sendiri dan kegiatan berbeda dari masyarakatnya dari tempat-tempat berbeda. terima kasih.
ReplyDelete