Sunday, January 3, 2016

TUGAS 2 SOLUSI UNJ UNTUK PARIWISATA INDONESIA

Pariwisata Indonesia: masalah dan solusi

                Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomi penting di Indonesia. Pada tahun 2009, pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal penerimaan devisa setelah komoditi minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Berdasarkan data tahun 2014, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sebesar 9,4 juta lebih atau tumbuh sebesar 7.05% dibandingkan tahun sebelumnya.
                Kekayaan alam dan budaya merupakan komponen penting dalam pariwisata di Indonesia. Alam Indonesia memiliki kombinasi iklim tropis, 17.508 pulau yang 6.000 di antaranya tidak dihuni, serta garis pantai terpanjang ketiga di dunia setelah Kanada dan Uni Eropa. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar dan berpenduduk terbanyak di dunia. Pantai-pantai di Bali, tempat menyelam di Bunaken, Gunung Rinjani di Lombok, dan berbagai taman nasional di Sumatera merupakan contoh tujuan wisata alam di Indonesia. Tempat-tempat wisata itu didukung dengan warisan budaya yang kaya yang mencerminkan sejarah dan keberagaman etnis Indonesia yang dinamis dengan 719 bahasa daerah yang dituturkan di seluruh kepulauan tersebut. Candi Prambanan dan Borobudur, Toraja, Yogyakarta, Minangkabau, dan Bali merupakan contoh tujuan wisata budaya di Indonesia. Hingga 2010, terdapat 7 lokasi di Indonesia yang telah ditetapkan oleh UNESCO yang masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Sementara itu, empat wakil lain juga ditetapkan UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia yaitu wayang, keris, batik dan angklung.
                Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, sebelas provinsi yang paling sering dikunjungi oleh para turis adalah Bali sekitar lebih dari 3,7 juta disusul, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Banten dan Sumatera Barat. Sekitar 59% turis berkunjung ke Indonesia untuk tujuan liburan, sementara 38% untuk tujuan bisnis. Singapura dan Malaysia adalah dua negara dengan catatan jumlah wisatawan terbanyak yang datang ke Indonesia dari wilayah ASEAN.[10] Sementara dari kawasan Asia (tidak termasuk ASEAN) wisatawan RRC berada di urutan pertama disusul Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan India.[10] Jumlah pendatang terbanyak dari kawasan Eropa berasal dari negara Britania Raya disusul oleh Belanda, Jerman dan Perancis.
                Berbagai organisasi internasional antara lain PBB, Bank Dunia dan World Tourism Organization (WTO), telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan social dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi bagian dari hak azazi manusia, sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “w here once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right. Hal ini terjadi tidak hanya di negara maju tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang termasuk pula Indonesia.
                Dalam hubungan ini, berbagai negara termasuk Indonesia pun turut menikmati dampak dari peningkatan pariwisata dunia terutama pada periode 1990 – 1996. Badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi masyarakat pariwisata Indonesia untuk melakukan re-positioning sekaligus re-vitalization kegiatan pariwisata Indonesia. Disamping itu berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Nasional pariwisata mendapatkan penugasan baru untuk turut mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan memulihkan citra Indonesia di dunia internasional. Penugasan ini makin rumit terutama setelah dihadapkan pada tantangan baru akibat terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat.
                Menghadapi tantangan dan peluang ini, telah dilakukan pula perubahan peran Pemerintah dibidang kebudayaan dan pariwisata yang pada masa lalu berperan sebagai pelaksana pembangunan, saat ini lebih difokuskan hanya kepada tugas-tugas pemerintahan terutama sebagai fasilitator agar kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh swasta dapat berkembang lebih pesat. Peran fasilitator disini dapat diartikan sebagai menciptakan iklim yang nyaman agar para pelaku kegiatan kebudayaan dan pariwisata dapat berkembang secara efisien dan efektif. Selain itu sub sektor pariwisata pun diharapkan dapat menggerakan ekonomi rakyat, karena dianggap sektor yang paling siap dari segi fasilitas, sarana dan prasarana dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Harapan ini dikembangkan dalam suatu strategi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pariwisata yang berbasis kerakyatan atau community-based tourism development .
                 Bagi saya, daya saing Indonesia sebagai destinasi pariwisata (tourism destination) sangatlah rendah. Sehingga, untuk bisa bersaing mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman, international tourist), kita harus menjual murah semua destinasi pariwisata yang kita miliki seperti Bali, Lombok, Batam, Jogja dan potensi pariwisata nasional lainnya. Dulu, penilaian daya saing pariwisata Indonesia sudah pada ambang SOS alias emergency (gawat darurat) pernah digulirkan oleh Rhenald Kasali di sebuah harian nasional pada akhir tahun 2004. Argumen tersebut didasarkan data ranking dan skor yang dihimpun World Travel & Tourism Council dan World Bank.
                Bagaimana tidak. Pariwisata Indonesia dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Jogja dan Lombok selama lebih dari empat dasa warsa belakangan ini belum pernah sama sekali direncanakan, dikelola, dipasarkan dan dikontrol secara konseptual, terstruktur, sistematis, profesional dan proporsional. Akibatnya, dalam mengembangkan pariwisata, kita hanya mengandalkan keberuntungan dengan model pengelolaan yang seadanya. Bali dan Indonesia BELUM pernah mencapai angka kunjungan dan perolehan devisa yang sepadan dengan potensi yang dimilikinya. Jika ada pihak yang berargumen bahwa masyarakat kita sudah merasa jenuh dengan kehadiran pariwisata, maka hal ini sama halnya dengan istilah “layu sebelum berkembang”.
                Banyak pihak menilai bahwa strategi pembangunan pariwisata kita selama ini hanya mengejar pertumbuhan kedatangan wisatawan tanpa diimbangi upaya peningkatan kualitas (mass tourism). Menurut saya, dengan melihat kenyataan yang ada, sesungguhnya kita BELUM PERNAH menerapkan strategi semacam itu. Mungkin saja kita memiliki strategi pengelolaan pariwisata, tetapi strategi tersebut tidak pernah disusun secara terstruktur dan sistematis berdasarkan database dan research atau audit yang akurat. Dan pada kenyataannya, kita tidak pernah menerapkan model strategi apapun dengan benar.
                Kok bisa? Mari kita buktikan. Kalau toh benar kita menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan wisatawan berarti kita berhasil meraup kunjungan wisatawan Internasional hingga lebih dari 15 juta per tahun sebagaimana pesaing kita Malaysia dan thailand yang menerapkan strategi serupa, dapat menerima kunjungan turis Internasional masing-masing 16 dan 17 juta per tahun. Kenyataannya, rekor Indonesia sampai saat ini hanya berkutat pada angka 7.5 juta dan Bali cuma 2 juta per tahun. Di tahun 2012 ini, pemerintah, lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hanya menargetkan 8 juta wisatawan. Sungguh, suatu angka yang masih jauh dibawah ideal.
                Bukti lain bahwa pemerintah kita tidak memiliki perencanaan pariwisata nasional yang baik adalah fakta tentang RAJA AMPAT. Baik pemerintah daerah maupun pusat kecolongan dan tidak tahu menahu bahwa kita punya potensi pariwisata yang luar biasa di wilayah Papua tersebut. Setelah tv Australia dan Perancis gencar memberitakan dan membuat suatu program tayangan adventure ke Raja Ampat, barulah kita ngeh dan tergopoh-gopoh membuat perencanaan lalu membuang-buang anggaran negara untuk alasan promosi yang belum tentu efektif. Saya yakin, kalau model pengelolaan pariwisata kita tetap seperti ini, maka selamanya, dimanapun potensi pariwisata kita temukan, maka potensi itu akan cepat rusak karena pembangunan yang tidak terkendali dan eksploitasi justru demi pariwisata yang tidak terencana itu sendiri.
                Mari kita berbicara di tingkat Bali. Dengan kondisi alam, budaya, produk wisata dan infrastruktur yang dimiliki Pulau Dewata seperti saat ini, maka selayaknya Bali, jika memang benar menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan, haruslah memperoleh minimal 5 juta wisman (wisatawan mancanegara) per tahun. Faktanya? Rekor Bali baru sampai 2 juta wisman per tahun. Apa yang terjadi saat ini ialah; Paceklik Turis Mancanegara. Bila ada orang berargumen kita perlu membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, maka hal demikian adalah argumen yang emosional, cenderung sangat tidak rasional, dan merupakan kekeliruan besar. Hal ini pastilah membawa dampak signifikan terhadap sendi-sendi perekonomian Bali secara luas. Dalam kondisi seperti ini, maka hanya dengan meningkatkan kedatangan wisatwan Internasional mencapai 20 juta per tahun, maka masyarakat kita baru dapat menikmati manfaat ekonomi pariwisata yang senyatanya. Investasi pariwisata akan makin meningkat seiring dengan tingginya permintaan dibukanya industri serta fasilitas pokok dan penunjang pariwisata. Jumlah peluang kerja di bidang pariwisata akan makin meningkat, jasa transportasi akan bergerak lebih signifikan, hotel-hotel tidak akan gulung tikar (karena occupancy bisa mencapai setidaknya rata-rata 75% sepanjnag tahun), PAD (pendapatan asli daerah) meningkat, bahkan petani bawang merah di kaki gunung Batur, Kintamani, Bali sekalipun akan menerima manfaatnya.
                
Melihat 5 persoalan yang di hadapi oleh industri pariwisata Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Hambatan Rendahnya promosi berbagai destinasi wisata dan pengelolaan yang tidak optimal diluar Bali.
2. Masih berlaku nya trend mass tourism.
3. Sampai saat ini sebagian besar perbankan di Indonesia belum memahami potensi industri kreatif karena konsep perbankan yang mengikuti permintaan pasar.
4.  Industri kreatif belum sepenuhnya terlindungi secara hukum.
5. Pemberitaan media yang berlebihan soal negeri barbar dan suka pada kekerasan.

Maka setiap hambatan perlu dicarikan solusinya, antara lain:
1. Perlu aturan yang mewajibkan setiap Pemda mengelola, mengembangkan destinasi wisata dan ekonomi kreatif di daerah masing-masing, misalnya minimal kelancaran akses menuju tempat wisata serta pengelolaan kebersihan yang diawasi.  Promosi destinasi dan pengawasan bisa melalui Blog dan atau Sosial media (twitter/facebook). Sangat perlu ada Lomba promosi wisata tiap daerah agar ada persaingan, dan penghargaan tingkat nasional.
2. Ubah trend dari mass tourism menjadi responsible tourism. Trend wisatawan cukup senang berkunjung beramai-ramai ke suatu tempat hanya untuk sekedar berfoto, menjadi berkulit gelap akibat mandi matahari,  harus diubah. Libatkan turis dengan melihat (dan mempelajari) museum, galeri seni, membatik, kerajinan tangan dsb, mereka kemudian mengubah tujuannya untuk mencoba memahami budaya setempat, kemudian menjadi suatu kebanggaan bagi para wisatawan itu sendiri. Workshop dan kolaborasi seni menjadi bagian penting dari proses ini sehingga komunitas pun akan tetap hidup walaupun wisatawan meninggalkan tujuan wisatanya.
3. Perbankan perlu mendampingi dan memberikan edukasi terus-menerus kepada para pelaku usaha agar konsep ekonomi kreatif dipahami dengan lebih baik berikut aspek hukumnya. Sehingga mereka mampu membaca pasar, dan perbankan tidak ragu-ragu lagi memberikan pembiayaan kepada pelaku industri kreatif di Indonesia.
4. Perlu disadari bahwa industri kreatif sarat akan eksploitasi ide dan kekayaan intelektual. Oleh karena itu, perlindungan hak atas kekayaan intelektual akan menjadi persoalan penting ketika industri tersebut kian besar dan meluas. Pemerintah perlu mengantisipasi hal-hal yang mungkin timbul dari sengketa hak atas kekayaan intelektual. Perbankan perlu mengingatkan para pelaku usaha juga perlu sejak awal agar mengantisipasi kemungkinan sengketa terkait dengan hal tersebut. Jangan sampai tersandung oleh hal-hal serius yang semula dianggap sepele sehingga mengganggu kelancaran usaha.
5. Peran media perlu menumbuhkan keramahtamaan bangsa ini.  Pariwisata hanya berkembang di negeri yang indah dan damai. Harus ada ketegasan sanksi terhadap berita kekerasan secara terus-menerus.
                Masyarakat kreatif dalam dunia pariwisata harus berbasis budaya lokal. Strategi apapun membutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur yang memadai. Sehingga muncul keyakinan bahwa pengembangan wisata dan sektor kembali menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga bagi negeri ini. Berdasarkan pengamatan saya, serta studi pengelolaan pariwisata dengan berbagai Tourism Board di negara lain, saya menyimpulkan problem pariwisata Indonesia (dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Lombok, Jogja, dsb.) pada umumnya terfokus pda tiga hal mendasar, yakni; stakeholders consolidatioin, product development dan destination marketing & maketing communications.  Problem pertama, inkonsolidasi stakeholders merupakan akibat dari apa yang disebut oleh pakar hukum pariwisata asal Bali Ida Bagus Wyasa Putra sebagai kesalahan pendefinisian pariwisata. Pendefinisian dan pengertian pariwisata menurutnya kurang jelas, jika bukan keliru sama sekali. Pariwisata tidak secara tegas didefinisikan sebagai suatu bentuk PERDAGANGAN JASA (trade in services) yang melibatkan hampir segenap sektor industri dan pembangunan. Bagi sebagian kalangan, pariwisata masih dimengerti hanya sebatas kegiatan bisnis akomodasi dan perjalanan semata, dan bagi sebagian kalangan lainnya didefinisikan hanya sebatas kegiatan budaya (agent of cultural process/change). Pemahaman seperti ini tentulah sangat PARSIAL dan BERBAHAYA.
                Kesalahan pemahaman ini meluas hingga ke semua level pemerintahan dan masyarakat. Bahwa siapa, menghasilkan apa dan seberapa banyak, hampir sangat jarang digunakan untuk memperhitungkan signifikansi pariwisata di negeri ini. Bahwa pariwisata menghasilkan devisa terbesar setelah sektor migas belum dapat dipahami oleh pejabat elit di pemerintahan pusat sekalipun. Inilah yang menyebabkan banyak pihak tidak bisa memahami the significance of tourism for economic and society welfare. Jika sudah begini, apa akibatnya? Tentu, yang muncul adalah perlakuan yang salah. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa dan fenomena lintas sektoral, pariwisata memiliki karakteristik tersendiri, lingkungan bisnis tersendiri, dan memerlukan perlakuan-perlakuan yang bersifat khusus pula, baik terhadap komunitas pendukungnya (tourism business community), komponen-komponen lingkungan bisnis-nya (tourism business environment), maupun sektor apa saja yang terkait dengannya. Masalah konsolidasi ialah problem kunci pariwisata negeri ini. Kita tidak akan pernah melangkah menyelesaikan problem kedua dan ketiga jika masalah konsolidasi lintas sektoral ini tidak pernah terselesaikan. Kita akan terus terpuruk dengan cara kerja yang tidak terintegrasi, tidak terstruktur, tidak satu visi dan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.
                Stakeholders pariwisata yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni private, public dan consumers/community sector sampai saat ini belum mampu bekerja untuk sebuah agenda pariwisata yang sama. Yang terjadi di Bali (dan juga di Indonesia) selama ini baru keterpaduan di private sector. Itupun sebatas industri inti pariwisata seperti akomodasi, usaha perjalanan wisata dan transportasi, obyek dan atraksi wisata. Belum pernah sekalipun terjadi integrasi kerja lintas sektor di lingkungan swasta, misalnya kerjasama antara pengusaha akomodasi dengan airlines, atau perusahaan transportasi/usaha perjalanan dengan telekomunikasi, perbankan, asuransi, terlebih dengan pengelola industri migas. Lebih parah lagi, kebijakan pemerintah justru seringkali cenderung merugikan sektor pariwisata sebagai akibat dari lemahnya konsolidasi visi bersama antara private-public. Misalnya regulasi visa (imigrasi) yang jelas-jelas tidak menguntungkan sektor pariwisata. Juga misalnya, terlalu ketatnya clearance bea cukai bagi warga asing yang ingin membuat film promosi pariwisata di suatu destinasi wisata dalam negeri. Lebih jauh lagi, pada kenyataannya kita mengetahui bahwa sistem pengelolaan sampah, listrik, air, transportasi, telekomunikasi dan infrastruktur publik lainnya kurang mendukung bagi pengembangan pariwiasta yang berkualitas.
                Setelah kita dapat menyelesaikan problem konsolidasi, maka tentunya dengan mudah kita akan dapat memperbaikai produk destinasi dan pemasarannya. Apa sih yang tidak bisa kita lakukan jika kita sudah bersatu? Solusi bagi problem kedua dan ketiga adalah rumusan masterplan yang holistik, sistematik dan integral, yang dijabarkan dalam sebuah tourism strategic plan berkelanjutan dengan rincian program kerja sesuai dengan potensi dan khasanah masing-masing destinasi. Implikasi dari rumusan strategic plan ini memberikan kejelasan apa dan bagaimana kita mengelola suatu destinasi pariwisata dan seberapa besar anggaran pengelolaannya. Kerjasama private-public sector yang terstruktur dengan baik adalah langkah awal menuju pengelolaan pariwisata yang professional & proportional sesuai dnegan prinsip good & clean governance yang telah lama kita dambakan. Nah, dengan langkah seperti ini kita akan menjadi ”lebih tahu diri” dan ”tahu apa yang perlu dilakukan” dalam mengelola pariwisata yang merupakan stimulator bagi perekonomian suatu bangsa.
                Solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah memperbanyak sumber daya manusia yang bagus dan berkualitas untuk membuat pariwisata di Indonesia ini berkembang pesat, menjaga kualitas dan kuantitas destinasi – destinasi yang ada di Indonesia, menjaga kelestarian alam, memperbanyak fasilitas, membuat rumusan masalah untuk mengatasi masalah yang ada dan berusaha untuk menjalankannya, lebih sering mempromosikan destinasi di Indonesia, seperti Bali ke luar negeri. Semoga bermanfaat dan menjadi acuan untuk memperbaiki masalah yang selama ini terjadi.



Afrizal Ditya Putera Pradyka
4423143931 - UJP B 2014
pradykaa@gmail.com



Daftar Pusaka:


5 comments:

  1. Takbir!!! Allah akbar , Subhanallah membaca artikel ini sangat bermandaat dan berdampak positif untuk inovasi holiday

    ReplyDelete
  2. Sangat setuju dgn solusi yg diberikan! Indonesia butuh solusi yang seperti ini agar pariwisata di indonesia semakin maju.

    ReplyDelete
  3. Om swastyastu, salam dari bali gan.
    Semoga pariwisata Indonesia semakin membaik di semua daerah

    om shanti shanti shanti om

    ReplyDelete
  4. Dahsyat!!! artikel ini sangat dahsyat!

    ReplyDelete