Pariwisata Indonesia: masalah dan solusi
Pariwisata
di Indonesia merupakan sektor ekonomi penting di Indonesia. Pada tahun 2009,
pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal penerimaan devisa setelah komoditi
minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Berdasarkan data tahun 2014,
jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sebesar 9,4 juta lebih
atau tumbuh sebesar 7.05% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kekayaan
alam dan budaya merupakan komponen penting dalam pariwisata di Indonesia. Alam
Indonesia memiliki kombinasi iklim tropis, 17.508 pulau yang 6.000 di antaranya
tidak dihuni, serta garis pantai terpanjang ketiga di dunia setelah Kanada dan
Uni Eropa. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar dan berpenduduk
terbanyak di dunia. Pantai-pantai di Bali, tempat menyelam di Bunaken, Gunung
Rinjani di Lombok, dan berbagai taman nasional di Sumatera merupakan contoh
tujuan wisata alam di Indonesia. Tempat-tempat wisata itu didukung dengan
warisan budaya yang kaya yang mencerminkan sejarah dan keberagaman etnis
Indonesia yang dinamis dengan 719 bahasa daerah yang dituturkan di seluruh
kepulauan tersebut. Candi Prambanan dan Borobudur, Toraja, Yogyakarta,
Minangkabau, dan Bali merupakan contoh tujuan wisata budaya di Indonesia.
Hingga 2010, terdapat 7 lokasi di Indonesia yang telah ditetapkan oleh UNESCO
yang masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Sementara itu, empat wakil lain
juga ditetapkan UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan
Manusia yaitu wayang, keris, batik dan angklung.
Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik, sebelas provinsi yang paling sering dikunjungi
oleh para turis adalah Bali sekitar lebih dari 3,7 juta disusul, DKI Jakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Lampung,
Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Banten dan Sumatera Barat. Sekitar 59%
turis berkunjung ke Indonesia untuk tujuan liburan, sementara 38% untuk tujuan
bisnis. Singapura dan Malaysia adalah dua negara dengan catatan jumlah
wisatawan terbanyak yang datang ke Indonesia dari wilayah ASEAN.[10] Sementara
dari kawasan Asia (tidak termasuk ASEAN) wisatawan RRC berada di urutan pertama
disusul Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan India.[10] Jumlah pendatang terbanyak
dari kawasan Eropa berasal dari negara Britania Raya disusul oleh Belanda,
Jerman dan Perancis.
Berbagai
organisasi internasional antara lain PBB, Bank Dunia dan World Tourism
Organization (WTO), telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan social dan
ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir
orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi bagian
dari hak azazi manusia, sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya
Global Paradox yakni bahwa “w here once travel was considered a privilege of
the moneyed elite, now it is considered a basic human right. Hal ini terjadi
tidak hanya di negara maju tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang
termasuk pula Indonesia.
Dalam
hubungan ini, berbagai negara termasuk Indonesia pun turut menikmati dampak dari
peningkatan pariwisata dunia terutama pada periode 1990 – 1996. Badai krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997, merupakan pengalaman
yang sangat berharga bagi masyarakat pariwisata Indonesia untuk melakukan
re-positioning sekaligus re-vitalization kegiatan pariwisata Indonesia.
Disamping itu berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Perencanaan Nasional pariwisata mendapatkan penugasan baru untuk turut
mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan memulihkan citra Indonesia di dunia
internasional. Penugasan ini makin rumit terutama setelah dihadapkan pada
tantangan baru akibat terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Menghadapi
tantangan dan peluang ini, telah dilakukan pula perubahan peran Pemerintah dibidang
kebudayaan dan pariwisata yang pada masa lalu berperan sebagai pelaksana
pembangunan, saat ini lebih difokuskan hanya kepada tugas-tugas pemerintahan
terutama sebagai fasilitator agar kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh
swasta dapat berkembang lebih pesat. Peran fasilitator disini dapat diartikan
sebagai menciptakan iklim yang nyaman agar para pelaku kegiatan kebudayaan dan
pariwisata dapat berkembang secara efisien dan efektif. Selain itu sub sektor
pariwisata pun diharapkan dapat menggerakan ekonomi rakyat, karena dianggap
sektor yang paling siap dari segi fasilitas, sarana dan prasarana dibandingkan
dengan sektor usaha lainnya. Harapan ini dikembangkan dalam suatu strategi
pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pariwisata yang berbasis
kerakyatan atau community-based tourism development .
Bagi saya, daya saing Indonesia sebagai
destinasi pariwisata (tourism destination) sangatlah rendah. Sehingga, untuk
bisa bersaing mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman, international
tourist), kita harus menjual murah semua destinasi pariwisata yang kita miliki
seperti Bali, Lombok, Batam, Jogja dan potensi pariwisata nasional lainnya. Dulu,
penilaian daya saing pariwisata Indonesia sudah pada ambang SOS alias emergency
(gawat darurat) pernah digulirkan oleh Rhenald Kasali di sebuah harian nasional
pada akhir tahun 2004. Argumen tersebut didasarkan data ranking dan skor yang
dihimpun World Travel & Tourism Council dan World Bank.
Bagaimana
tidak. Pariwisata Indonesia dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Jogja
dan Lombok selama lebih dari empat dasa warsa belakangan ini belum pernah sama
sekali direncanakan, dikelola, dipasarkan dan dikontrol secara konseptual,
terstruktur, sistematis, profesional dan proporsional. Akibatnya, dalam
mengembangkan pariwisata, kita hanya mengandalkan keberuntungan dengan model
pengelolaan yang seadanya. Bali dan Indonesia BELUM pernah mencapai angka
kunjungan dan perolehan devisa yang sepadan dengan potensi yang dimilikinya.
Jika ada pihak yang berargumen bahwa masyarakat kita sudah merasa jenuh dengan
kehadiran pariwisata, maka hal ini sama halnya dengan istilah “layu sebelum
berkembang”.
Banyak pihak menilai bahwa
strategi pembangunan pariwisata kita selama ini hanya mengejar pertumbuhan
kedatangan wisatawan tanpa diimbangi upaya peningkatan kualitas (mass tourism).
Menurut saya, dengan melihat kenyataan yang ada, sesungguhnya kita BELUM PERNAH
menerapkan strategi semacam itu. Mungkin saja kita memiliki strategi
pengelolaan pariwisata, tetapi strategi tersebut tidak pernah disusun secara
terstruktur dan sistematis berdasarkan database dan research atau audit yang
akurat. Dan pada kenyataannya, kita tidak pernah menerapkan model strategi
apapun dengan benar.
Kok
bisa? Mari kita buktikan. Kalau toh benar kita menerapkan strategi pertumbuhan
kunjungan wisatawan berarti kita berhasil meraup kunjungan wisatawan
Internasional hingga lebih dari 15 juta per tahun sebagaimana pesaing kita
Malaysia dan thailand yang menerapkan strategi serupa, dapat menerima kunjungan
turis Internasional masing-masing 16 dan 17 juta per tahun. Kenyataannya, rekor
Indonesia sampai saat ini hanya berkutat pada angka 7.5 juta dan Bali cuma 2
juta per tahun. Di tahun 2012 ini, pemerintah, lewat Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif hanya menargetkan 8 juta wisatawan. Sungguh, suatu angka yang
masih jauh dibawah ideal.
Bukti
lain bahwa pemerintah kita tidak memiliki perencanaan pariwisata nasional yang
baik adalah fakta tentang RAJA AMPAT. Baik pemerintah daerah maupun pusat
kecolongan dan tidak tahu menahu bahwa kita punya potensi pariwisata yang luar
biasa di wilayah Papua tersebut. Setelah tv Australia dan Perancis gencar
memberitakan dan membuat suatu program tayangan adventure ke Raja Ampat,
barulah kita ngeh dan tergopoh-gopoh membuat perencanaan lalu membuang-buang
anggaran negara untuk alasan promosi yang belum tentu efektif. Saya yakin,
kalau model pengelolaan pariwisata kita tetap seperti ini, maka selamanya,
dimanapun potensi pariwisata kita temukan, maka potensi itu akan cepat rusak
karena pembangunan yang tidak terkendali dan eksploitasi justru demi pariwisata
yang tidak terencana itu sendiri.
Mari
kita berbicara di tingkat Bali. Dengan kondisi alam, budaya, produk wisata dan
infrastruktur yang dimiliki Pulau Dewata seperti saat ini, maka selayaknya
Bali, jika memang benar menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan, haruslah
memperoleh minimal 5 juta wisman (wisatawan mancanegara) per tahun. Faktanya?
Rekor Bali baru sampai 2 juta wisman per tahun. Apa yang terjadi saat ini
ialah; Paceklik Turis Mancanegara. Bila ada orang berargumen kita perlu
membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, maka hal demikian adalah argumen
yang emosional, cenderung sangat tidak rasional, dan merupakan kekeliruan
besar. Hal ini pastilah membawa dampak signifikan terhadap sendi-sendi
perekonomian Bali secara luas. Dalam kondisi seperti ini, maka hanya dengan
meningkatkan kedatangan wisatwan Internasional mencapai 20 juta per tahun, maka
masyarakat kita baru dapat menikmati manfaat ekonomi pariwisata yang
senyatanya. Investasi pariwisata akan makin meningkat seiring dengan tingginya
permintaan dibukanya industri serta fasilitas pokok dan penunjang pariwisata.
Jumlah peluang kerja di bidang pariwisata akan makin meningkat, jasa
transportasi akan bergerak lebih signifikan, hotel-hotel tidak akan gulung
tikar (karena occupancy bisa mencapai setidaknya rata-rata 75% sepanjnag
tahun), PAD (pendapatan asli daerah) meningkat, bahkan petani bawang merah di
kaki gunung Batur, Kintamani, Bali sekalipun akan menerima manfaatnya.
Melihat
5 persoalan yang di hadapi oleh industri pariwisata Indonesia, adalah sebagai
berikut:
1. Hambatan Rendahnya promosi berbagai destinasi wisata dan
pengelolaan yang tidak optimal diluar Bali.
2. Masih berlaku nya trend mass tourism.
3. Sampai saat ini sebagian besar perbankan di Indonesia
belum memahami potensi industri kreatif karena konsep perbankan yang mengikuti
permintaan pasar.
4. Industri kreatif
belum sepenuhnya terlindungi secara hukum.
5. Pemberitaan media yang berlebihan soal negeri barbar dan
suka pada kekerasan.
Maka setiap hambatan perlu dicarikan solusinya, antara lain:
1. Perlu aturan yang mewajibkan setiap Pemda mengelola,
mengembangkan destinasi wisata dan ekonomi kreatif di daerah masing-masing,
misalnya minimal kelancaran akses menuju tempat wisata serta pengelolaan
kebersihan yang diawasi. Promosi
destinasi dan pengawasan bisa melalui Blog dan atau Sosial media
(twitter/facebook). Sangat perlu ada Lomba promosi wisata tiap daerah agar ada
persaingan, dan penghargaan tingkat nasional.
2. Ubah trend dari mass tourism menjadi responsible tourism.
Trend wisatawan cukup senang berkunjung beramai-ramai ke suatu tempat hanya
untuk sekedar berfoto, menjadi berkulit gelap akibat mandi matahari, harus diubah. Libatkan turis dengan melihat
(dan mempelajari) museum, galeri seni, membatik, kerajinan tangan dsb, mereka
kemudian mengubah tujuannya untuk mencoba memahami budaya setempat, kemudian
menjadi suatu kebanggaan bagi para wisatawan itu sendiri. Workshop dan
kolaborasi seni menjadi bagian penting dari proses ini sehingga komunitas pun
akan tetap hidup walaupun wisatawan meninggalkan tujuan wisatanya.
3. Perbankan perlu mendampingi dan memberikan edukasi
terus-menerus kepada para pelaku usaha agar konsep ekonomi kreatif dipahami
dengan lebih baik berikut aspek hukumnya. Sehingga mereka mampu membaca pasar,
dan perbankan tidak ragu-ragu lagi memberikan pembiayaan kepada pelaku industri
kreatif di Indonesia.
4. Perlu disadari bahwa industri kreatif sarat akan
eksploitasi ide dan kekayaan intelektual. Oleh karena itu, perlindungan hak
atas kekayaan intelektual akan menjadi persoalan penting ketika industri
tersebut kian besar dan meluas. Pemerintah perlu mengantisipasi hal-hal yang
mungkin timbul dari sengketa hak atas kekayaan intelektual. Perbankan perlu mengingatkan
para pelaku usaha juga perlu sejak awal agar mengantisipasi kemungkinan
sengketa terkait dengan hal tersebut. Jangan sampai tersandung oleh hal-hal
serius yang semula dianggap sepele sehingga mengganggu kelancaran usaha.
5. Peran media perlu menumbuhkan keramahtamaan bangsa
ini. Pariwisata hanya berkembang di
negeri yang indah dan damai. Harus ada ketegasan sanksi terhadap berita
kekerasan secara terus-menerus.
Masyarakat
kreatif dalam dunia pariwisata harus berbasis budaya lokal. Strategi apapun
membutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur yang memadai. Sehingga muncul
keyakinan bahwa pengembangan wisata dan sektor kembali menjadi penyumbang
devisa terbesar ketiga bagi negeri ini. Berdasarkan pengamatan saya, serta
studi pengelolaan pariwisata dengan berbagai Tourism Board di negara lain, saya
menyimpulkan problem pariwisata Indonesia (dan destinasi unggulan lainnya
seperti Bali, Lombok, Jogja, dsb.) pada umumnya terfokus pda tiga hal mendasar,
yakni; stakeholders consolidatioin, product development dan destination
marketing & maketing communications. Problem pertama, inkonsolidasi stakeholders
merupakan akibat dari apa yang disebut oleh pakar hukum pariwisata asal Bali
Ida Bagus Wyasa Putra sebagai kesalahan pendefinisian pariwisata. Pendefinisian
dan pengertian pariwisata menurutnya kurang jelas, jika bukan keliru sama
sekali. Pariwisata tidak secara tegas didefinisikan sebagai suatu bentuk
PERDAGANGAN JASA (trade in services) yang melibatkan hampir segenap sektor
industri dan pembangunan. Bagi sebagian kalangan, pariwisata masih dimengerti
hanya sebatas kegiatan bisnis akomodasi dan perjalanan semata, dan bagi
sebagian kalangan lainnya didefinisikan hanya sebatas kegiatan budaya (agent of
cultural process/change). Pemahaman seperti ini tentulah sangat PARSIAL dan
BERBAHAYA.
Kesalahan
pemahaman ini meluas hingga ke semua level pemerintahan dan masyarakat. Bahwa
siapa, menghasilkan apa dan seberapa banyak, hampir sangat jarang digunakan
untuk memperhitungkan signifikansi pariwisata di negeri ini. Bahwa pariwisata
menghasilkan devisa terbesar setelah sektor migas belum dapat dipahami oleh
pejabat elit di pemerintahan pusat sekalipun. Inilah yang menyebabkan banyak
pihak tidak bisa memahami the significance of tourism for economic and society
welfare. Jika sudah begini, apa akibatnya? Tentu, yang muncul adalah perlakuan
yang salah. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa dan fenomena lintas sektoral,
pariwisata memiliki karakteristik tersendiri, lingkungan bisnis tersendiri, dan
memerlukan perlakuan-perlakuan yang bersifat khusus pula, baik terhadap
komunitas pendukungnya (tourism business community), komponen-komponen
lingkungan bisnis-nya (tourism business environment), maupun sektor apa saja
yang terkait dengannya. Masalah konsolidasi ialah problem kunci pariwisata
negeri ini. Kita tidak akan pernah melangkah menyelesaikan problem kedua dan
ketiga jika masalah konsolidasi lintas sektoral ini tidak pernah terselesaikan.
Kita akan terus terpuruk dengan cara kerja yang tidak terintegrasi, tidak
terstruktur, tidak satu visi dan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang
jelas.
Stakeholders
pariwisata yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni private, public dan
consumers/community sector sampai saat ini belum mampu bekerja untuk sebuah
agenda pariwisata yang sama. Yang terjadi di Bali (dan juga di Indonesia)
selama ini baru keterpaduan di private sector. Itupun sebatas industri inti
pariwisata seperti akomodasi, usaha perjalanan wisata dan transportasi, obyek
dan atraksi wisata. Belum pernah sekalipun terjadi integrasi kerja lintas
sektor di lingkungan swasta, misalnya kerjasama antara pengusaha akomodasi
dengan airlines, atau perusahaan transportasi/usaha perjalanan dengan
telekomunikasi, perbankan, asuransi, terlebih dengan pengelola industri migas. Lebih
parah lagi, kebijakan pemerintah justru seringkali cenderung merugikan sektor
pariwisata sebagai akibat dari lemahnya konsolidasi visi bersama antara
private-public. Misalnya regulasi visa (imigrasi) yang jelas-jelas tidak
menguntungkan sektor pariwisata. Juga misalnya, terlalu ketatnya clearance bea
cukai bagi warga asing yang ingin membuat film promosi pariwisata di suatu
destinasi wisata dalam negeri. Lebih jauh lagi, pada kenyataannya kita
mengetahui bahwa sistem pengelolaan sampah, listrik, air, transportasi,
telekomunikasi dan infrastruktur publik lainnya kurang mendukung bagi
pengembangan pariwiasta yang berkualitas.
Setelah
kita dapat menyelesaikan problem konsolidasi, maka tentunya dengan mudah kita
akan dapat memperbaikai produk destinasi dan pemasarannya. Apa sih yang tidak
bisa kita lakukan jika kita sudah bersatu? Solusi bagi problem kedua dan ketiga
adalah rumusan masterplan yang holistik, sistematik dan integral, yang
dijabarkan dalam sebuah tourism strategic plan berkelanjutan dengan rincian
program kerja sesuai dengan potensi dan khasanah masing-masing destinasi.
Implikasi dari rumusan strategic plan ini memberikan kejelasan apa dan
bagaimana kita mengelola suatu destinasi pariwisata dan seberapa besar anggaran
pengelolaannya. Kerjasama private-public sector yang terstruktur dengan baik
adalah langkah awal menuju pengelolaan pariwisata yang professional &
proportional sesuai dnegan prinsip good & clean governance yang telah lama kita
dambakan. Nah, dengan langkah seperti ini kita akan menjadi ”lebih tahu diri”
dan ”tahu apa yang perlu dilakukan” dalam mengelola pariwisata yang merupakan
stimulator bagi perekonomian suatu bangsa.
Solusi untuk
mengatasi masalah tersebut adalah memperbanyak sumber daya manusia yang bagus
dan berkualitas untuk membuat pariwisata di Indonesia ini berkembang pesat,
menjaga kualitas dan kuantitas destinasi – destinasi yang ada di Indonesia,
menjaga kelestarian alam, memperbanyak fasilitas, membuat rumusan masalah untuk
mengatasi masalah yang ada dan berusaha untuk menjalankannya, lebih sering
mempromosikan destinasi di Indonesia, seperti Bali ke luar negeri. Semoga
bermanfaat dan menjadi acuan untuk memperbaiki masalah yang selama ini terjadi.
Afrizal Ditya Putera Pradyka
4423143931 - UJP B 2014
pradykaa@gmail.com
Daftar Pusaka:
artikel yg bermanfaat!
ReplyDeleteTakbir!!! Allah akbar , Subhanallah membaca artikel ini sangat bermandaat dan berdampak positif untuk inovasi holiday
ReplyDeleteSangat setuju dgn solusi yg diberikan! Indonesia butuh solusi yang seperti ini agar pariwisata di indonesia semakin maju.
ReplyDeleteOm swastyastu, salam dari bali gan.
ReplyDeleteSemoga pariwisata Indonesia semakin membaik di semua daerah
om shanti shanti shanti om
Dahsyat!!! artikel ini sangat dahsyat!
ReplyDelete