Pariwisata Budaya di Suku Tengger - Bromo
Hello readers mania, salam hangat tersuper
untuk seluruh pembaca dimanapun dan kapanpun. Perkenalkanlah saya adalah anak
kedua yang berjenis kelamin perempuan yang lahir di bulan Juni, maka dari itu
nama saya adalah Isnaini Putri Yunita, tapi jangan khawatir kalian cukup
memanggil saya dengan sebutan ‘nita’. Saya adalah salah satu Mahasiswi D3
semester 3 program studi Usaha Jasa Pariwisata di sebuah Universitas ternama di
Jakarta yaitu Universitas Negeri Jakarta. Saya adalah seorang Hotelier yang
beralih profesi menjadi seorang Tour Guide, tetapi kedua profesi tersebut saya
sangat cintai karena berkaitan erat dengan dunia Pariwisata.
Pariwisata bukan hanya tentang
keindahan alam ataupun keindahan sebuah pemandangan, tetapi Pariwisata adalah
sebuah seni yang luar biasa ketika kita mencintai dunia Pariwisata seutuhnya.
Pariwisata juga sangat menguntungkan bagi siapapun terutama bagi para pekerja
wisata, karena di dalamnya kita dapat mendapatkan banyak sekali pembelajaran
dan sekaligus dapat menikmati keindahannya.
Terlepas dari hal itu,dalam
pemaparan kali ini saya akan menceritakan salah satu budaya yang ada di
Indonesia dalam bentuk tulisan. Siapa yang tak kenal dengan Bromo, salah satu
destinasi yang kini menjadi sangat menarik karena dikemas dengan sedemikian
rupa dan didukung oleh pemandangan alam yang indah. Saya sangat mencintai
keindahan yang ada di Bromo mulai dari gunungnya, sunset dan sunrisenya, serta
pemandangan di sekeliling gunung Bromo itu sendiri. Tetapi tak hanya
pemandangannya saja yang membuat Bromo menjadi begitu menarik, yaitu
bermukimnya Suku Tengger di lingkungan Bromo.
Ada 3 teori yang menjelaskan asal nama Tengger:
· Tengger berarti berdiri tegak atau berdiam
tanpa gerak, yang melambangkan watak orang Tengger yang berbudi pekerti luhur,
yang harus tercermin dalam segala aspek kehidupan.
· Tengger bermakna pegunungan, yang sesuai
dengan daerah kediaman suku Tengger.
· Tengger berasal dari gabungan nama leluhur
suku Tengger, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger.
Masyarakat suku Tengger dikenal taat
dengan aturan dan agama Hindu. Penduduk suku Tengger diyakini merupakan keturunan
langsung dari Kerajaan Majapahit. Nama Tengger berasal
dari legenda
Rara Anteng dan Jaka Seger yang diyakini
sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Rara
An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Jaka
Se-"ger".
Perasaan
sebagai satu saudara dan satu keturunan Rara Anteng-Jaka Seger inilah yang
menyebabkan suku Tengger tidak menerapkan sistem kasta dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo
atau Gunung Brahma dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali
masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada
atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah
kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak
gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan
purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan
Jawa.
KEBUDAYAAN MASYARAKAT TENGGER
Agama Masyarakat Suku Tengger
Agama
masyarakat suku Tengger adalah agama hindu yang masih mewarisi tradisi hindu
sejak zaman kejayaan majapahit. Namun saat ini juga masyarakat tersebut yang
menganut agama lain yaitu: Islam, Kristen Protestan, Khatolik serta Budha.
Walaupun orang Tengger beragama Hindu, mereka tidak dapat dapat dianggap
sebagai kelompok etnis berbeda dari orang jawa yang lain. Mereka adalah orang
Hindu tetapi tidak melakukan pembakaran mayat seperti orang Hindu di Bali.
Namun demikian, selama sejarah manusia Tengger daerahnya dikurangi oleh orang
pendatang yang beragama Islam dari daerah lain di Jawa. Sampai tengah abad 19
kebanyakan desa-desa Tengger lebih rendah dari 1400m dikuasai oleh pendatang
yang beragama Islam. Upacara yang terkenal adalah upacara kasada terkenal hingga
manca Negara dan selalu ramai dihadiri banyak turis luar negeri maupun lokal.
Upacara Keagamaan Masyarakat Suku
Tengger
a.
Pujan Karo (Bulan Karo)
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah upacara karo
atau hari raya karo diawali tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat
menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru, kadang
pula membeli pakain hingga 2-5 pasang, perabotan pun juga baru. Makanan dan
minuman pun juga melimpah pada adat ini masyarakat suku tengger juga melakukan
anjang sana (silaturrahmi) kepada semua sanak saudara, tetangga semua
masyarakat Tengger. Uniknya tiap kali berkunjung harus menikamati hidangan yang
diberikan oleh tuan rumah. Tujuan penyelenggaraan upacara karo ini adalah:
mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dan menghormati leluhurnya,
memperingati asal-usul manusia, untuk kembali pada kesucian, dan untuk
memusnahkan angkara murka.
b. Pujan Kapat (Bulan Keempat)
Upacara kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun
saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta
selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin yang dilakukan bersama-
sama disetiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa,
dukun, dan masyarakat desa.
c. Pujan Kapitu (Bulan Tujuh)
Pujan kapitu (bulan tujuh), semua pini sepuh desa dan
keharusan pandita dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati
geni (nyepi) satu hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya
diisi dengan puasa mutih (tidak boleh makan makanan yang enak), biasanya hanya
makan nasi jagung dan daun – daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai
ditutup satu hari dengan pati geni. Pada bulan kapitu ini masyarakat suku
tengger tidak diperbolehkan mempunyai hajat.
d. Pujan Kawolu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tanggal 1
tahun saka. Pujan kawolu sebagai penutipan megeng. Masyarakat mengirimkan
sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin,
matahari, bulan dan bintang. Pujan kawolu dilakukan bersama dirumah kepala
desa.
e. Pujan Kasangan
Upacara ini jatuh pada bulan
kesembilan (sanga) tanggal 24 setelah purnama tahun saka. Masyarakat
berkeliling desa dengan membunyikan kenyongan dan membawa obpr. Upacara diawali
oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke kepal desa, untuk dimantrai oleh
pendeta, selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan
mengelilingi desa. Tujuan mengadakan upacara ini adalah memohon kepada Sang
Hyang Widi Wasa untuk keselamatan masyarakat tengger. Masyarakat bersama anak –
anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.
f. Kasada (Bulan Dua Belas)
Upacara kasada dilaksanakan tnggal 14 dan 15 dilakukan di
ponten pure luhur, semua masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak
hanya masyarakat Tengger yang beragama Hindu saja, tetapi semua masyarakat
Tengger yang beragama lainnya. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil
bumi yang sudah dimantrai dukun kekawah gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja
tetapi juaga bermusyawarah dan bersilaturrahmi dengan dukun dan masyarakat
Tengger. Upacara dilaksanakan pada saat purnama bulan kasada (ke dua belas)
tahun saka, upacara ini juga disebut dengan hari Raya Kurba. Biasanya lima hari
sebelum upacara Yadnya kasada, diadakan berbagai tontonan seperti: tari-tarian,
balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran. Sekitar pukul 05.00
pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat tengger mendaki gunung Bromo
untuk melempar kurban (sesaji) ke kawah gunung bromo. Setelah pendeta melempar
ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
g. Upacara Unan-unan
Upacara ini di adakan hanya tiap lima tahun sekali.
Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara
ngurawat jagat, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan kerbau.
Unan yaitu menagrungi bulan. Tujuan unan-unan yaitu untuk mengadaksn
penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam acara ini selalu diadakan acara
penyembelihan binatang ternak yaitu kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya
diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak kesanggar
pamujan.
h. Upacara yang dilakukan secara individu:
·
Upacara tujuh bulanan (sayut)
dipimpin oleh pandita dukun.
·
Upacara indungi anak, anak yang
menginjak masa remaja.
·
Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan
Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut
anak-anak yang menginjak usia 5 tahun.
· Upacara Ngruwat, jika ada saudara 2
laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.
·
Upacara Kawiahan (kawin), upacara
ini sama halnya dengan ijab Kabul.
·
Upacara Wala gara (Temu Manten).
·
Upacara Mendirikan Rumah.
·
Upacara Kematian, minimal 4 hari
setelah meningggal dilakukan upacara untas-untas (roh orang meningggal
diharapkan kembali pada pemiliknya).
i. Upacara Entas – Entas
Yakni upacara kematian yang terakhir
kali dan perkawinan. “Waktu sekarang ini merupakan hari-hari baik bagi
masyarakat Tengger untuk melaksanakan entas-entas dan perkawinan. Upacara
entas-entas oleh masyarakat Tengger seperti halnya upacara pembakaran mayat
(Ngaben) di Bali. Bedanya, di masyarakat Tengger yang dibakar adalah boneka
dari yang meninggal dunia.
Saya akan
mengulas sedikit tentang salah satu upacara yang menarik di dalam Suku Tengger
yaitu Upacara Yadnya Kasada. Upacara Yadnya Kasada atau Kasodo ini
merupakan ritual yang dilakukan setahun sekali untuk menghormati Gunung Brahma
(Bromo) yang dianggap suci oleh penduduk suku Tengger yang mendiami wilayah
Jawa Timur.
Upacara
ini bertempat di Pura Luhur Poten yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Utara
dan dilanjutkan ke Puncak gunung Bromo. Upacara ini diadakan pada tengah malam
hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan
Kasodo (bulan kesepuluh) menurut penanggalan Jawa, sekitar bulan
Desember/Januari menurut penanggalan Masehi.
Makna
kata Kasodo sendiri dari kata “kasada”, artinya sepuluh, menyirat makna bulan
kesepuluh pada kalender Tengger, waktu dilangsungkannya upacara Kasodo.
Melalui upacara tersebut, masyarakat Suku Tengger berharap panen yang
berlimpah, meminta tolak bala, atau kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu
dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo,
sementara masyarakat Tengger lainnya menuruni tebing kawah untuk menangkap
sesaji yang dilemparkan ke dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang
Maha Kuasa.
Upacara
Kasodo yang kita kenal sekarang ini merupakan cerita rakyat yang berkembang
dari sebuah cerita dari seorang pemuda bernama Jaka Seger yang meminang pemudi
cantik, Rara Anteng (Tengger adalah gabungan nama keduanya). Rara Anteng adalah
anak dari Raja Brawijaya yang kala itu sedang berkuasa, sekitar abad ke-14.
Mereka menikah dan hidup bahagia sampai suatu saat bosan karena tidak kunjung
diberikan anak. Maka pergilah mereka ke Gunung Bromo untuk berdoa pada dewa
agar mereka diberikan anak.
Doa
mereka dapat terkabul dengan syarat anak terakhir yang lahir harus dikorbankan
ke dalam kawah Gunung Bromo. Mereka setuju. Rara Anteng pun hamil dan
melahirkan 25 orang anak. Dengan berat hati mereka merelakan anak yang ke-25
untuk mengobankan nyawa demi keselamatan nyawa penduduk akibat Gunung Bromo
“marah” karena janji Jaka Seger dan Rara Anteng belum juga ditepati.
Setelah
pengorbanan anak yang ke-25 itu, terdengar suara anak tersebut dari kawah
Bromo. Suara anak itu meminta dirutinkannya persembahan setiap hari ke-14
di bulan Kasodo. Persembahan tahunan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal
upacara Kasodo. Dua puluh empat anak Rara Anteng dan Joko Seger tersebut yang
kemudian menjadi nenek moyang penduduk Tengger yang sekarang.
Suku Tengger adalah pemeluk agama
Hindu lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu umumnya yang memiliki
candi-candi sebagai tempat peribadatan. Untuk melakukan peribadatan maka mereka
akan melakukannya di punden, danyang dan poten. Poten sendiri merupakan
sebidang lahan di lautan pasir di kaki Gunung Bromo sebagai tempat
berlangsungnya upacara Kasada. Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata
dalam suatu komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala.
Bagi masyarakat Suku Tengger,
Upacara adat adalah salah satu wujud rasa syukur masyarakat Tengger kepada
Tuhan. Ada banyak upacara adat di masyarakat Tengger yang memiliki tujuan bermacam-macam
diantaranya meminta berkah, menjauhkan malapetaka, wujud syukur atas karunia
yang diberikan tuhan kepada masyarakat Tengger. Salah satunya adalah upacara
adat Kasada.
Upacara ini adalah upacara untuk
memperingati pengorbanan seorang Raden Kusuma anak Jaka Seger dan lara Anteng.
Selain itu upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat tengger untuk meminta
keselematan dan berkah. Upacara ini dilaksanakan padat tanggal 14 s.d. 16 bulan
Kasada atau saat bulan purnama tampak di langit secara utuh setiap setahun
sekali.
Pada saat upacara ini berlangsung masyarakat suku tengger berkumpul dengan membawa hasil bumi, ternak peliharaan dan ayam sebagai sesaji yang disimpan dalam tempat yang bernama ongkek. Pada saat sudah mencapai di kawah gunung Bromo, seluruh sesaji tersebut dilemparkan ke tempat tersebut. Adapun upacara ini merupakan jalan ujian bagi pulun mulenen atau dukun baru untuk disahkan sebagai dukun, jika dukun baru keliru dalam melaksanakan proses upacara Kasada maka dukun tersebut gagal menjadi dukun. Upacara Kasada sebagai peringatan pengorbanan Raden Kusuma merupakan penghormatan kepada Raden Kusuma yang rela berkorban untuk keselamatan masyarakat tengger. Dalam legenda upacara Kasada di Gunung Bromo terdapat mahkluk halus yang tidak memiliki nama akan tetapi dipanggil Sang Yang Widi yang digambarkan sebagai asal-usulnya dari kerajaan Majapahit sebelum keturunan kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Ada perjanjian antara roh Dewa Kusuma dengan masyarakat Tengger yang harus memberi sesajian setiap tanggal 14 bulan Kasada.
Dalam upacara Kasada masyarakat
Tengger terdapat beberapa tahapan upacara yang harus dilaksanakan agar upacara
Kasada berlangsung dengan khidmat yaitu Puja purkawa, Manggala upacara, Ngulat
umat, Tri sandiya, Muspa, Pembagian bija, Diksa widhi, Penyerahan sesaji di
kawah Bromo. Proses berjalannya upacara Kasada dimulai pada Sadya kala puja dan
berakhir sampai Surya puja dimana seluruh masyarakat Tengger menuju Gunung
Bromo untuk menyampaikan korban. Upacara Kasada dimulai dengan pengukuhan
sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung
terbuka Desa Ngadisari. Tepat pada pukul 24.00 diadakan pelantikan dukun dan
pemberkatan masyarakat di lautan pasir Gunung Bromo. Bagi masyarakat Tengger,
dukun merupakan pemimpin dalam bidang keagamaan yang biasanya memimpin
upacara-upacara ritual perkawinan dll. Pada saat ini sebelum dukun dilantik,
para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan
mantra-mantra. Setelah selesai upacara, ongkek yang berisi sesaji dikorbankan
di Puden Cemara Lawang dan kawah Gunung Bromo. Seluruh ongkek tersebut
dilemparkan ke dalam kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan nenek
moyang mereka. Upacara Kasada Bromo sendiri telah digelar sejak masa Kerajaan
Majapahit dan Gunung Bromo memang dianggap sebagai tempat suci. Gunung Bromo
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti brahma atau seorang dewa yang
utama. Pada masa Dinasti Brawijaya, permaisurinya dikaruniai anak perempuan
bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa putri ini menikah dengan seorang
pemuda dari Kasta Brahmana bernama Joko Seger. Keduanya kemudian memutuskan
tinggal dan menjadi penguasa di Tengger saat Kerajaan Majapahit mengalami
kemerosotan dan pengaruh Islam semakin kuat di Pulau Jawa. Setelah sekian lama
hidup bersama, mereka sangat bersedih karena belum juga dikaruniai anak.
Akhirnya mereka pun bersemedi di puncak Gunung Bromo dan mendapatkan petunjuk
bahwa permintaan mereka akan dikabulkan dengan syarat anak bungsu mereka
setelah lahir harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Setelah dikaruniai 25
orang anak, tiba saatnya pasangan ini harus mengorbankan si bungsu, mereka
tidak tega melakukannya. Akhirnya, Dewa marah dan membawa anak bungsu tersebut
masuk ke kawah Bromo. Timbul suara dari si anak bungsu agar orang tua mereka
hidup tenang beserta saudara-saudaranya. Untuk menghormati pengorbanan tersebut
maka setiap tahun dilakukan upacara sesaji ke Kawah Bromo dan terus berlangsung
secara turun menurun hingga saat ini.Upacara Kasada Masyarakat Tengger telah
membawa manfaat bagi masyarakat tengger. Selain untuk meminta keselamatan,
upacara ini mampu menyedot banyak perhatian seluruh kalangan masyarakat. Ada
nilai politik dalam upacara Kasada ini dimana upacara Kasada merupakan upacara
yang juga bertujuan untuk menancapkan kekuatan politik di daerah tersebut.
Tempat Keagamaan Masyarakat Suku
Tengger
Pemeluk
agama Hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk agama Hindu pada umumnya,
mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan
bertempat di Punden, danyang dan Poten. Poten merupakan sebidang lahan di
lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. Sebagai tempat
pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, Poten terdiri dari
beberapa bangunan yang ditata dalan suatu susunan komposisi dipekarangan yang
dibagi tiga mandala/zona yaitu:
a.
Mandala utama
Disebut
juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri
dari:
Ø Padma
berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuknya serupa candi
yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan.
Ø Bedawang
Nala melukisakan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor
atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma
yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi
padmasana.
Ø Bangunan
sekepat (tiang empat) fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktifitas
serangkaian upacara. Bale pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Ø Kori Agung Candi Bentar, bentuknya
mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat yang bertingkat-
tingkat mengecil ke atas.
b. Mandala madya
Disebut juga jaba tengah, tempat
persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
Ø Kori Agung
Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung empat
bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar.
Ø Bale
kentongan letaknya disudut depan pekarangan pura, bentuknya ssusunan tepas,
batur, sari dan atap penutup ruangan kentongan. Fungsinya untuk tempat
kentongan yang dibunyikan di awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian
upacara.
Ø Bale
bengong, disebut juga pawerangan suci letaknya diantara jaba tengah, mandala
nista. Bentuk bangunannya empat persegi. Fungsinya untuk mempersiapkan
keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari
desa tempat pemukiman.
c.
Mandala Nista
Disebut juga jaba sisi yaitu tempat
peralihan dari luar kedalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar
penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas
pekarangan pintu masuk di depan dan pitu masuk ke jeroan utama memaki kori
Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk
variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada
umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menghadap ke arah timur demikian pula
pemujaan dan persembahyangan menghadap kearah timur kearah yrbitnya matahari.
Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan menghadap ke barat
dan sebagian di sisi utara menghadap selatan (menurut bpk.Soedja’i).
d. Posesi Upacara Kasada
Upacara ini dilaksanakan setahun
sekali oleh masyarakat hindu tengger yang mendiami 41 desa pada 4 kecamatan di
Probolinggo, Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Upacara kasada diadakan mulai
tengah malam hingga dini hari, dan persiapannya dilaksanakan sejak 24.00 WIB
bergerak mulai di depan rumah dukun (pendeta) Mujono, dan sampai ke pantai
p[asir di pura Agung Puten kira-kira pukul 04.00 WIB. Menjelang menjelang
matahari terbit yang disebut dengan Surya Serwana. Pada pukul 05.00 WIB upacara
kasada dilaksanakan dengan terlebih dahulu dilakukan ritual di pura puten yang
dilnjutkan turun menuju kawah gunung Bromo yang berjarak 2 km untuk melakukan
ritual sesaji yang terdiri dari dua unsur penting, yaitu kepala bungkah dan
kepala gantung. Kepal bungkah itu artinya buah-buahan yang berasal dari tanah
seperti kentang dan ketela, serta kepala gantung yaitu buah-buahan yang
bergantung. Ritual sesaji itu merupakan sesembahan sebagai ciri utama kehidupan
dari masyarakat tengger, kecuali ada secara spesifik yang memiliki permohonan
khusus, biasanya korbannya yaitu ayam atau kambing ini, yang khusus mau jadi pejabat.
Pada pengambilan sesajen para pengambil sesajen memakai gala dari kain goni,
banyak tamu yang melemparkan sesajen ke kawah gunung bromo. Namun adapula yang
mengambil uang ke dalam kawah tersebut. Pada upacara kasada petani juga
melemparkan hasil pertaniaanya ke dalam kawah. Orang yang mengambil lemparan
tidak boleh hanya mengambil satu kali, tetapi harus tujuh kali berturut-turut.
Apabila melanggar maka orang tersebut mendapatkan musibah, seperti sakit. Cara
penyembuhannya adalah dengan cara meminta maaf dan juga membuat acara ruwatan
(bpk. Sugik).
e.
Dukun Masyarakat Suku Tengger
Dukun tengger berbeda dengan dukun
Jawa yang lain, mereka mempunyai tujuan menjaga kebudayaan dan melakukan
upacara-upacara tradisional. Dalam setiap desa Tengger ada dukun diatas mereka
ada satu dukun yang mengurus semua acara keagamaan, bernama “Lurah Dukun”.
Walaupun agama masyarakat Tengger masih kuat, saat ini dalam desa-desa Tengger
juga ada penduduk beragama Islam dan Kristen. Lurah Dukun dirumahnya melakukan
semeninga. Semeninga itu adalah prsiapan untuk upacara-upacara bertujuan untuk
beritahu para dewa-dewa sesaji akan dimulai. Kemudian satu hari setelah itu
baru sebelum para dukun turun sampai LAut Pasir mereka melakukan semeninga
lagi. Kemudian para dukun berjalan sampai potenyang terletak di kaki Gunung
Bromo. Sementara massa berkumpul di Laut Pasir sekitar Poten itu siap untuk
memulai upacaranya. Pada tengah malam upacara Kasada mulai dengan Lurah Dukun
menceritakan tentang Legenda Kasada dan berdoa kepada dewa Gunung Bromo dan
dewa Kusuma. Pula kalau ada dukun baru dia akan diresmikan oleh dukun lainnya
pada saat itu. Pemilihan dukun baru dengan cara demokrasi, dukun yang baru
tersebut merupakan dukun yang dipilih yang sudah banyak hafal mantra keagamaan.
f.
Legenda Kasada
Gunung Bromo tidak dapat dipisahkan
dari sistem kepercayaan mastarkat suku Tengger. Legenda kasada adalah merupakan
cikal bakal rakyat Tengger dan menggambarkan hubungan manusia dan makhluk halus
gunung Bromo. Dalam legenda kasada makhluk halus gunung Bromo tidak memilki
namA sendiri tetapi di panggil oleh nama Sang Yang Widhi. Cikal bakal Tengger
dalam ceritanya digambarkan sebagai asal – usulnya dari kerajaan majapahit dari
sebelum keturunan kerajaan Hindu-Budha di jawa. Tujuan legenda kasada adalah
bahwa suatu nenek monyang Tengger bernama “Dewa Kusuma” anak dari “Joko Seger”
dan “Rara Anteng” mengorbankan jiwanya untuk keluarganya dan orang Tengger.
Akibatnya adalah perjanjian di antara roh leluhur “Dewa Kusuma”dan orang
Tengger untuk memberi sesajian setiap tanggal 14 bulan kasada dalam ketanggalan
Tengger. Upacara sesajian itu bernama “Upacara Kasada” dan diikuti oleh orang
Tengger satu tahun sekali sampai sekarang. Dalam permulaan legenda kasada ada
tiga peran pokok. Yang pertama bernama ‘Kyai Dadap Putih’ suatu dukun dari
kerajaan majapahit. Dia datang ke daerah Tengger bertujuan bersemedi. Peran
yang kedua adalah orang perempuan muda bernam “Rara Anteng” pula datang dari
kerajaan majpahit.dia datang ke daerah Tengger untuk mencari ayahnya yang
menjadi hilang dan sambil semedi di gunungnya. Peran ketiga adalah “‘Joko
Seger” orang dari desa di daerah gunungnya. Dia pula mencari orang, pamannya
yang hilang sambil semedi di gunungnya. “Kyai Dadap Putih” bertemu dengan “Rara
Anteng” dan mengangkat dia sebagai anaknya. Saat “Rara Anteng” bersemedi dia bertemu dengan “Joko Seger” .(diceritakan oleh
Bpk.Soedja’i).
Pusaka
yang di miliki oleh Suku Tengger
a.
Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat Klonthong / Jodang wasiat jumlahnya
ada dua, yang pertama disimpan oleh masyarakat Suku Tengger Brang Wetan
tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo.bentuknya
berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang
kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari
Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di wilayah brang wetan
yaitu berbentuk bumbung terbuat dari kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat
tersebut merupakan benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng )
berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek
moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu
mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri.
b.
Lontar
(keropak)
Di
Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa
lama, yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya. Pusaka TRISULA yaitu
berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
Peralatan Upacara
Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa
jahitan,Udeng dan kain Selempang berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang
diperoleh sebagai warisan dari nenek moyang Suku Tengger. Prasen, berasal dari
kata rasi atau praci (Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa
mangkuk bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para
dukun berangka tahun Saka: 1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya
terdapat tanda tahun Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya
pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit. Tali sampet, terbuat dari kain
batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh Dukun Suku Tengger. Genta,
keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
KESIMPULAN
Jadi kesimpulan dari hasil pemaparan saya diatas adalah
masyarakat Suku Tengger yang bermukin di lingkungan Gunung Bromo masih memegang
teguh adat dan istiadat dari para leluhurnya. Itu semua bisa dibuktikan dengan
masih diberlakukannya upacara-upacara adat dan ketentuan-ketentuan adat yang
dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger. Dan upaya agar tradisi tersebut tidak
hilang begitu saja, masyarakat Suku Tengger mengajarkan kepada anak cucu mereka
tentang adat istiadat serta tradisi yang berasal dari leluhur mereka. Suku
Tengger mempercayai bahwa ketika mereka memegang teguh tradisi, mereka akan
tetap hidup dengan tentram dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://jurnalistik-fakta.blogspot.com/2010/12/kebudayaan-tengger.html diakses pada hari Minggu, 3 Januari 2016 pukul 08.23
WIB
2.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tengger
diakses pada hari Sabtu, 2 Januari 2016 pukul 22.10 WIB
3.
http://d16do.blogdetik.com/about-suku-tengger/
diakses pada hari Sabtu, 2 Januari 2016 pukul 22.30 WIB
4.
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/10/nyadran-penutupan-upacara-karo-suku-tengger/
diakses pada hari Minggu, 3 Januari 2016 pukul 10.33 WIB
Bekasi, 3 Januari 2016
Isnaini Putri Yunita
4423143927
Usaha Jasa Pariwisata A 2014
Universitas Negeri Jakarta
No comments:
Post a Comment