Pariwisata Budaya di
Sulawesi Selatan
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, sehingga saya
dapat menyelesaikan Tugas Pemanduan Wisata Budaya yang diberikan kepada saya.
Tulisan ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan tulisan ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada Pak Shobiriennur Rasyid selaku dosen yang telah memberikan kesempatan saya untuk menyusun tulisan ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Akhir kata kami berharap semoga tulisan tentang Pariwisata sejarah dan budaya ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Tulisan ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan tulisan ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada Pak Shobiriennur Rasyid selaku dosen yang telah memberikan kesempatan saya untuk menyusun tulisan ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Akhir kata kami berharap semoga tulisan tentang Pariwisata sejarah dan budaya ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Jakarta, 2 January 2016
PEMBAHASAN
Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian
selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar, dahulu disebut Ujungpandang.
Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' -
122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya 45.764,53 km². Provinsi ini berbatasan
dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi
Tenggara di timur, Selat Makassar di barat dan Laut Flores di selatan.
Bahasa yang umum
digunakan adalah:
· Bahasa Makassar adalah salah satu rumpun bahasa
yang dipertuturkan di daerah Makassar dan Sekitarnya.
Bahasa Bugis adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Bone sampai ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare, Sidrap, Wajo, Soppeng Sampai di daerah Enrekang, bahasa ini adalah bahasa yang paling banyak di pakai oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Bahasa Pettae adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Tana Luwu, mulai dari Siwa,Kabupaten Wajo, Enrekang Duri, sampai ke Kolaka Utara,Sulawesi Tenggara. Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana Toraja dan sekitarnya.
Bahasa Bugis adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Bone sampai ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare, Sidrap, Wajo, Soppeng Sampai di daerah Enrekang, bahasa ini adalah bahasa yang paling banyak di pakai oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Bahasa Pettae adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Tana Luwu, mulai dari Siwa,Kabupaten Wajo, Enrekang Duri, sampai ke Kolaka Utara,Sulawesi Tenggara. Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana Toraja dan sekitarnya.
·
Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Mamuju Utara. Di samping di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Mamuju Utara. Di samping di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
·
Bahasa Duria dalah salah satu rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi Selatan yang masuk dalam kelompok dialek Massenrempulu. Di antara kelompok Bahasa Massenremplu, Bahasa Duri memilki kedekatan dengan bahasa Toraja dan bahasa Tae' Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah perbatasan Tana Toraja.
Bahasa Duria dalah salah satu rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi Selatan yang masuk dalam kelompok dialek Massenrempulu. Di antara kelompok Bahasa Massenremplu, Bahasa Duri memilki kedekatan dengan bahasa Toraja dan bahasa Tae' Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah perbatasan Tana Toraja.
·
Bahasa Konjo terbagi menjadi dua yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo Pegunungan, Konjo Pesisir tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan Sekitarnya, di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi sedangkan Konjo pegunungan tinggal di kawasan tenggara gunung Bawakaraeng.
Bahasa Konjo terbagi menjadi dua yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo Pegunungan, Konjo Pesisir tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan Sekitarnya, di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi sedangkan Konjo pegunungan tinggal di kawasan tenggara gunung Bawakaraeng.
Mayoritas orang Sulawesi Selatan beragama Islam, kecuali di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah lainnya beragama Kristen. Salah satu kebiasaan yang cukup dikenal di Sulawesi Selatan adalah Mappalili. Mappalili (Bugis) atau Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu. Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) atau dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi. Pada Bulan Mei 2010, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 8.032.551 jiwa dengan pembagian 3.921.543 orang laki-laki dan 4.111.008 orang perempuan.
Senjata tradisional di
Sulawesi Selatan ada 2 jenis, yaitu:
Badik |
Papporok |
Adapun masakan/makanan
tradisional dari Sulawesi Selatan:
· Pisang Epe
· Pisang ijo
· Bassang
· Coto Makassar
· Kapurung
· Nasu Palekko
· Roti Maros
· Tenteng
· Baje Bandong
· Bipang
· Benno
· Baroncong
· Sop Saudara
· Barongko
· Bandang-Bandang
· Sup Konro
· Pallubasa
· Pallu Butung
Sejarah singkat
terbentuknya Sulawesi Selatan
Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua
ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur
laut dan Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan
lapisan budaya yang tua berupa alat batu Peeble dan flake telah dikumpulkan
dari teras sungai di lembah Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk
tulang-tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang telah punah. Selama masa
keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi Selatan
berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah.
Kerajaan Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah
Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu.
Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil,
dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di
sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di Bone. Pada tahun 1530,
Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa
menjadi pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun
1605, Raja Gowa memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan
Islam, dan antara tahun 1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan
Kerajaan Bone sehingga Islam dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan
Bugis. Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15
melihat Kerajaan Gowa sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang
pangeran Bugis bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah
jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan Gowa.
Belanda kemudian
mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan
masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang
selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan
Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat
mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka menjadi penguasa
di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah
Sulawesi Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda
yang saat itu sibuk menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah
usainya Perang Napoleon, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi
pemberontakan Ratu Bone. Namun perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus
berlanjut menentang kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905,
Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja, perlawanan di daerah ini terus
berlanjut hingga awal tahun 1930-an. Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan,
terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat
etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Pada abad ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas di
Sulawesi Selatan yaitu kerajaan Luwu, Gowa dan Bone, yang telah mencapai
kejayaan pada masa tersebut. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun
1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi provinsi Administratif Sulawesi dan
selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara
berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 13 Tahun
1964 Pemisahan dilakukan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara
menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan, kemudian terus disempurnakan dengan
ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Kebudayaan Sulawesi
Selatan
Budaya Sulawesi Selatan Seni Kebudayaan Daerah Sulsel - Mengenal budaya
propinsi Sulawesi Selatan berarti mengenal adat kebudayaan yang ada di seluruh
daerah Sulawesi Selatan. Di Sulsel terdapat Banyak suku/etnis tapi yang paling
mayoritas ada 3 kelompok etnis yaitu Makassar, Bugis dan Toraja. DEmikian juga
dalam pemakaian bahasa sehari-hari ke 3 etnis tersebut lebih dominan.
Kebudayaan yang paling terkenal bahkan hingga ke luar negeri adalah budaya dan
adat Tanah Toraja yang sangat khas dan sangat menarik. Lagu daerah
propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di
antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong,
lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis
Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe. Sedangkan lagu yang
berasal dari Tana Toraja adalah lagu Tondo.
Untuk rumah tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi Selatan yang
berasal dari Bugis, Makassar dan Tana toraja dari segi arsitektur tradisional
ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya. Rumah-rumah adat tersebut
dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada disana mempunyai
kolong di bawah rumahnya. Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk
tiap tingkatannya dengan status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang
raja, bangsawan, orang berpangkat atau hanya rakyat biasa. Hampir semua
masyarakat Sulsel percaya kalau selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di
Sulawesi Selatan adalah orang Toale. Hal ini di dasarkan pada temuan Fritz dan
Paul Sarasin tentang orang Toale (orang-orang yang tinggal di hutan/penghuni
hutan).
Salah satu upacara adat
yang terkenal yang terdapat di Sulawesi Selatan ada di Tanah Toraja (Tator)
Upacara adat tradisional tersebut bernama upacara Rambu Solo (merupakan upacara
dukacita/kematian). Upacara Rambu Solo merupakan upacara besar sebagai ungkapan
rasa dukacita yang sangat mendalam.
Beberapa kesenian yang
ada di sulawesi selatan :
1. Tari Paduppa Bosara
Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis
kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis.
Orang Bugis jika kedtangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda
kehormatan.
2. Tari Pakarena
Tari Pakarena Merupakan tarian khas Sulawesi Selatan, Nama Pakarena sendiri di
ambil dari bahasa setempat, yaitu karena yang artinya main. Tarian ini pada
awalnya hanya dipertunjukkan di istana kerajaan, namun dalam perkembangannya
tari Pakarena lebih memasyarakat di kalangan rakyat.
Tari Pakarena memberikan kesan kelembutan. Hal tersebut mencerminkan watak
perempuan yang lembut, sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama
pada suami. Sepanjang Pertunjukan Tari Pakarena selalu diiringi dengan gerakan
lembut para penarinya sehingga menyulitkan bagi masyarakat awam untuk mengadakan
babak pada tarian tersebut.
3. Tari Ma’badong
Tari Ma’badong hanya diadakan pada saat upacara kematian. Penari membuat
lingkaran dengan mengaitkan jari-jari kelingking, Penarinya bisa pria atau bisa
wanita. Mereka biasanya berpakaian serba hitam, namun terkadang memakai pakaian
bebas karena tarian ini terbuka untuk umum.
Tarian yang hanya diadakan pada upacara kematian ini hanya dilakukan dengan
gerakan langkah yang silih berganti sambil melangtungkan lagu kadong badong.
Lagu tersebut syairnya berisikan riwayat manusia malai dari lahir hingga mati,
agar arwah si Mati diterima di negeri arwah atau alam baka. Tarian Badong
bisanya belansung berjam-jam, sering juga berlansung semalam suntuk. Tarian
Ma’badong bisanya dibawakan hanya pada upacara pemakaman yang lamanya tiga hari
tiga malam khusus bagi kaum bangsawan di daerah Tana Toraja Sulawesi Selatan.
4. Tarian Pa’gellu
Tari Pagellu merupakan salah satu tarian dari Tana Toraja yang di pentaskan
pada acara pesta tambu Tuka, Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk menyambut
patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa
kegembiraan.
5. Tari Mabbissu
Tari Mabissu merupakan tarian bissu yang biasanya dipertunjukkan ketika upacara
adat. Para penarinya bissu (orang yang kebal) yang selalu mempertontokan
kesaktian mereka dalam bentuk tarian komunitas bissu bisa kita jumpai didaerah
pangkep sigeri sulawesi selatan.
6. Tari Kipas
Tari kipas Merupakan tarian yang memrtunjukan kemahiran para gadis dalam
memainkan kipas dengan gemulai alunan lagu.
7. Gandrang Bulo
Gandrang Bulo merupakan sebuah pertunjukan musik dengan perpaduan tari dan
tutur kata. Nama Gandrang bulo sendiri diambil dari perpaduan dua suku kata,
yaitu gendang dan bulo, dan jika disatukan berarti gendang dari bambu. Ganrang
Bulo merupakan pertunjukan kesenian yang mengungkapkan kritikan dan dikemas
dalam bentuk lelucon atau banyolan.
8. Kecapi
Kecapi Merupakan sala satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan,
khusunya suku Bugis. Baik itu Bugis Makassar ataupun Bugis Mandar. Menurut
sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut sehingga
betuknya menyerupai perahu. Kecapi, biasanya ditampilkan sebagai musik
pengiring pada acara penjemputan para tamu pada pesta perkawinan, hajatan,
bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
9. Gendang
Gendang merupakan sala satu alat musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar,
yakni bulat panjang dan bundar mirip seperti rebana.
10. Suling
Suling bambu terdiri dari tiga jenis, yaitu:
Suling Panjang (Suling
Lampe) yang memiliki lima lubang nada dan jenis suling ini telah punah.
Suling calabai (siling
ponco) suling jenis ini sering dipadukan dengan biola, kecapi dan dimainkan
bersama penyanyi. Suling dupa Samping (musik bambu) musik bambu masih sangat
terpelihara biasanya digunakan pada acara karnaval atau acara penjemputan tamu.
Lagu Daerah Sulawesi
Selatan : Angin Mamiri, Ma Rencong
Pakaian Daerah
Sulsel: Bugis dan Makassar adalah Baju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan.
Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga
pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15
sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah
terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus
penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta
jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia,
seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Selatan. Disamping itu orang-orang Bugis juga banyak
ditemukan di Semenanjung Melayu ( Malaysia) dan Singapura yang telah beranak
pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut. Karena jiwa
perantau dari masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat banyak yang pergi
merantau ke mancanegara.
Sejarah
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat
di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara
Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai
dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading
Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya
sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga
dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi
lain di Sulawesi seperti Buton.
Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa
kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan
pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu,
Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan
membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah
dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa
Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah
peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten
Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama
kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian
Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)
Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah
Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang)
yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam
di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Adat dan Kebudayaan Suku
Bugis Di Sulawesi Selatan
Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di
Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam
perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh
Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di
seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah
nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah
berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga
disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah
didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari
“dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi
(Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal
to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini.
Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul
keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti
orang Bugis.
Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi
yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten
Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan
dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To
Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah
dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak,
termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna
Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La
Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain
di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan
tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra
terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan
jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan
silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain
baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang
tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di
antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘
Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak
Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal
peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah
keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak
sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih
cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan
sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi
merantau di negeri orang.
Konsep Ade‘ (Adat) dan
Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah
orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama
yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta
perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu
kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang
terkait satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng,
terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan
bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘
(syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa).
Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai,
La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan
tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan
dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar
dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga
konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang
terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya
upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji
pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa
apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih
menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka. Namun, setelah diterimanya
Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada
tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan
akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi
melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh
Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun
orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham
mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi
oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru
lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal,
serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang
menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur
perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah
kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan
waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan
syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘
matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La
Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam
tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama
manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga
terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan
sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis
sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal
yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi)
sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua
yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab
pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih
tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis
sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam
kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah
seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula
peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas,
adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa
budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan
dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam
memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya
masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh
dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan
manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka.
Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di
muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan
martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap
tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia
mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya
siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘
tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan.
Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan
tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal
nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus
dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam
mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga
jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang
sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam
menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat
pada pribadi mereka. Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut
adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to
manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di
bumi.
PENUTUP
Pada dasarnya Indonesia
kaya akan kebudayaan yang berada di pulau-pulau. Di setiap pulau mempunyai suku
yang beraneka ragam pula, contohnya Suku Bugis yang terdapat di Sulawesi
Selatan. Penyebaran Suku Bugis sudah banyak di Indonesia hingga ke Pulau
Kalimantan bahkan Pulau Sumatera akibat sifat manusia Suku Bugis yang suka
merantau, penyebarannya melalui perdagangan dan pernikahan, jadi tak heran jika
kita dapat menemukan Suku Bugis selain di Provinsi Sulawesi. Kekayaan
keseniannya pun menyebar luas dan harus di lestarikan dan di paten kan hak
ciptanya agar tidak dapat di klaim oleh Negara lain, karena itu merupakan
bagian dari kesenian Negara Indonesia.
Afrizal Ditya Putera
Pradyka
4423143931
pradykaa@gmail.com
Daftar Pusaka:
keren!
ReplyDeleteBermanfaat sekali dalam membantu saya belajar mengenai sulawesi selatan. Isinya sangat lengkap. Terimakasih:)
ReplyDeletesubahannallah, kampung halamanku. sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara
ReplyDelete