Assalamualaikum wr.wb
Bismillahhirrahmannirrahim, perkenalkan nama saya Adnan
Rosary, usia saya 18 tahun dan saya lahir di Jakarta, khususnya jakarta utara
pada tanggal 11 April 1997. Saya asli Jakarta, dan kampung saya di Jakarta,
karena saya tinggal dengan nenek dari bapak saya yang sudah lama tinggal di
Jakarta. Kalau nenek dari ibu saya tinggal di Bogor, kalau menurut saya itu
bukan kampung,karena masih di daerah jabodetabek atau masih dekat untuk
dijangkau atau dikunjungi.
Saya adalah seorang mahasiswa di perguruan tinggi Negeri
yang ada di Jakarta, yaitu di Universitas Negeri Jakarta, yang ada di Jakarta
Timur. Saya mengambil Program study Usaha Jasa Pariwisata,sekarang semester
tiga, dan sebentar lagi akan memasuki semester empat. Gelar saya di UNJ adalah
Diploma 3 (D3) dengan standar kelulusan tiga tahun, dan semoga saya bisa lulus
tepat waktu. Amin. Selama saya di pariwisata,sudah banyak tempat yang sudah
saya kunjungi,seperti ke Bandung ( Musium Geologi ), ke Pangandaran Jawa Barat dan terakhir pada
menjelang akhir tahun saya dan teman-teman mengunjungi Banten (Suku Baduy). Dan
kali ini saya akan menjelaskan tentang Pariwisata budaya atau wisata Budaya
yang ada di Aceh.
Tidak hanya daerah-daerah pusat di Indonesia seperti Jawa
dan Bali yang mempunyai wisata budaya, tetapi Sumatera juga mempunyai wisata
budaya, sama seperti yang ada di Aceh. Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia.
Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan
merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh.
Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan
Andaman dan Nikobar di India dan
terpisahkan oleh Laut Andaman.
Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Aceh pertama dikenal
dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhirAceh (2009–sekarang). Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli.
Yang terbesar adalah Suku Aceh yang
mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di
pesisir timur utara sampai dengan Trumon di
pesisir barat selatan. Suku lain nya adalah Suku Gayo,
Suku Gayo Lut, Suku gayo luwes, Suku gayo Serbe Jadi yang mendiami wilayah
pegunungan di tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti, Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam ,
Singkil dan
Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Aceh Tamiang, dan
diPulau Simeulue terdapat Suku Sigulai.
Aceh merupakan kawasan yang
sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh
mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya
seperti:
Pada kalangan masyarakat
pedesaan di Aceh peusijuek merupakan prosesi adat yang cukup biasa dilakukan
bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun misalnya ketika membeli kendaraan
baru atau ketika hendak menabur benih padi di sawah. Sementara bagi masyarakat
perkotaan yang lebih modern tradisi peusijuek ini hanya dilakukan dalam
kegiatan-kegiatan adat saja misalnya dalam prosesi adat perkawinan.
Ritual peusijuek ini
mirip dengan tradisi tepung
tawar dalam budaya Melayu. Di Aceh yang melakukan acara peusijuek
adalah tokoh agama maupun adat yang dituakan ditengah masyarakat. Bagi kaum
lelaki yang melakukan peusijuek adalah tokoh pemimpin agama Teungku (Ustadz) sedangkan bagi wanitanya adalah Ummi
atau seorang wanita yang dituakan ditengah masyarakat. Diutamakan yang
melakukan peusijuek ini adalah mereka yang memahami dan menguasai hukum agama
sebab prosesi peusijuek ini diisi dengan acara mendoakan keselamatan dan
kesejahteraan bersama sesuai dengan agama Islam yang dianut secara umum oleh
masyarakat Aceh.
Aceh memiliki sumber
daya alam yang melimpah,
termasuk minyak
bumi dan gas alam.
Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di
dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit
Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya.
Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh
Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004.
Setelah gempa, gelombang tsunamimenerjang
sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau
hilang akibat bencana tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian
damai antara pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Wisata Budaya yang ada di Aceh :
1. Di Kotamadya Banda Aceh
a. Museum Tsunami Aceh (bahasa Inggris: Aceh TsunamiMuseum) adalah sebuah museum di Banda Aceh yang
dirancang sebagai monumen simbolis untuk bencana gempa
bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 sekaligus pusat pendidikan dan tempat
perlindungan darurat andai tsunami terjadi lagi. Museum Tsunami Aceh dirancang oleh
arsitek asal Indonesia, Ridwan Kamil. Museum ini merupakan sebuah
struktur empat lantai dengan luas 2.500 m² yang dinding lengkungnya ditutupi
relief geometris. Di dalamnya, pengunjung masuk melalui lorong sempit dan gelap
di antara dua dinding air yang tinggi — untuk menciptakan kembali suasana
dan kepanikan saat tsunami. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari Saman,
sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh.Dari atas, atapnya membentuk
gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh
yang selamat dari terjangan tsunami.Bangunan ini memperingati para korban, yang
namanya dicantumkan di dinding salah satu ruang terdalam museum, dan warga
masyarakat yang selamat dari bencana ini.
Selain perannya sebagai tugu
peringatan bagi korban tewas, museum ini juga berguna sebagai tempat
perlindungan dari bencana semacam ini pada masa depan, termasuk "bukit
pengungsian" bagi pengunjung jika tsunami terjadi lagi.
Koleksi
Pameran di museum ini meliputi
simulasi elektronik gempa
bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004, serta foto korban dan kisah
yang disampaikan korban selamat
b. Gunongan
Salah
satu bangunan peninggalan budaya yang bernilai sejarah dan masih dapat kita
saksikan dalam keadaan utuh adalah Gunongan lengkap dengan taman sarinya.
Gunongan ini terletak di pusat kota Banda Aceh, tepatnya berada di Kelurahan
Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Lokasi ini dapat dijangkau dengan
menggunakan kendaraan bermotor atau labi-labi melalui jalan Teuku Umar. Taman Sari Gunongan merupakan
salah satu peninggalan kejayaan Kerajaan Aceh, setelah kraton (dalam) tidak
terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh.
Gunongan
dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun
1607-1636. Pada masa itu, pada tahun 1613 dan tahun 1615 melalui penyerangan
dengan kekuatan ekspedisi Aceh 20.000 tentara laut dan darat, Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Johor
dan Kerajaan
Pahang di Semenanjung
Utara Melayu. Sebagaimana tradisi pada zaman dahulu, kerajaan yang kalah perang
harus menyerahkan glondong pengareng-areng (pampasan perang), upeti dan pajak
tahunan. Di samping itu juga harus menyerahkan putri kerajaan untuk diboyong
sebagai tanda takluk. Putri boyongan itu biasanya diperistri oleh raja dengan
tujuan untuk mempererat tali persaudaraan dari kerajaan yang ditaklukkannya,
sehingga kerajaan pemenang menjadi semakin besar dan semakin kuat kedudukannya.
Penaklukan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Melayu berpengaruh
besar terhadap diri Iskandar Muda. Putri boyongan dari Pahang yang sangat
cantik parasnya dan halus budi bahasanya membuat Sultan Iskandar Muda jatuh
cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintanya yang sangat besar, Sultan
Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan permaisurinya untuk membangun sebuah
taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan sebagai tempat untuk
menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan di tempat
asalnya terpenuhi. Selain sebagai tempat bercengkrama, Gunongan juga digunakan
sebagai tempat berganti pakaian permaisuri setelah mandi di sungai yang
mengalir di tengah-tengah istana Brakel (1975) melukiskan dalam Bustan,
gunongan ini dikenal sebagai gegunungan dari kata Melayu gunung dengan
menambahkan akhiran ‘an’ yang melahirkan arti “bangunan seperti gunung” atau
“simbol gunung”. Jadi gunongan adalah simbol gunung yang merupakan bagian dari
taman-taman istana Kesultanan Aceh.
C. Museum Rumoh Aceh
didirikan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh
Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya
berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut
berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang
pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914.
Rumoh
Aceh merupakan rumah panggung yang miliki tinggi beragam sesuai dengan
arsitektur si pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar
2,5 - 3 meter dari atas tanah. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya,
untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Merombak
rumoh Aceh terbilang tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah ruangan
dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambahkan atau menghilangkan tiang
bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah. Karena bagian ini yang sering
disebut dengan seuramoe likot (serambi belakang) dan seuramoe
reunyeun (serambi bertangga), yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh
yang selalu menghadap ke timur.
Rumoh
Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang
memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an)
yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari
keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van
Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar.
Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20
- 35 cm.
Saat
pembuatan film sejarah Pahlawan Nasional Tjut Nyak Dien dalam Perang Aceh -
Belanda, sang sutradara Eros Djarot, memilih rumoh Aceh besar tersebut
untuk mengisi beberapa scene dari filmnya tersebut.
Sejalan dengan program
pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan
permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui
Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek
Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan
pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung
pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer
dan perpustakaan, laboratorium dan
rumah dinas.
Selain untuk pembangunan
sarana/gedung museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan
koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan,
secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna
dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan program
Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun
Iskandar Muda (BAPERIS) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada
tanggal 2 september 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang
persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan untuk
dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi.
Dan saya akan mengambil contoh Pariwisata budaya yang ada di
suku Alas Aceh
Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas).
Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti
"tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang
membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui
banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
Dalam
pergaulan sehari-hari Suku Alas mempunyai Bahasa sendiri yakni Bahasa Alas (Cekhok Alas) Bahasa ini merupakan rumpun
bahasa dari Austronesia suku Kluet dikabupaten Aceh Selatan juga menggunakan Bahasa yang hampir sama dengan
bahasa suku Alas. Bahasa ini memiliki banyak kesamaan kosa kata dengan bahasa
Karo yang dituturkan masyarakat Karo di Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun
2000, jumlah penutur bahasa ini mencapai 195.000 jiwa. Diperkirakan bahasa ini
merupakan turunan dari bahasa Batak, namun Masyarakat Alas sendiri menolak
label "Batak" karena alasan perbedaan Agama yang dianut. Sementara
itu, tidak diketahui pasti apakah bahasa ini merupakan bahasa tunggal atau
bukan.
Sebagian besar suku Alas
tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas
merupakan lumbung padiuntuk
daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta
mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan
binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Kampung atau desa orang
Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan,
yang disebut merge.
Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup
kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis
keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut
adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.
Suku Alas 100% adalah penganut
agama Islam.
Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam
kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang
kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau
terhindar dari hama.
Bidang Sosial Ekonomi
Bagi salah seorang dari
suku Alas yang baru membentuk rumah tangga, secara adat akan dibantu orang tua
dari pihak lelaki dan orang tua di pihak perempuan. Orang tuanya akan memberikan
bantuan secara percuma sesuai dengan kemampuannya. Budaya memberi bantuan untuk
pengantin dalam suku Alas dikenal dengan berbagai istilah iaitu : (1) Jawè, artinya pisah rumah.
Pengantin yang dianggap telah cukup masa tinggal di rumah ibubapanya (orang tua
pengantin lelaki) harus membentuk rumahtangga yang baik dengan tinggal di rumah
lain. Sebagai modal awal, ibubapanya akan membeikan modal usaha dan beberapa
peralatan yang diperlukan. Pemberian modal ini biasanya disimbolkan dengan
pemberian beras satu bambu, air satu teko, ayam satu pasang, peralatan makan
seadanya. Ini menunjukkan bahwa orang tuanya mendidiknya untuk mandiri. Adapun
beras dan air sebagai simbol makanan pokok. Ayam sepasang sebagai modal usaha
dalam peternakan, dan piring, gelas serta peralatan dapur seadanya untuk
memasak makanan. Pemberian ini dimaksudkan sebagai modal awal dalam memulai
kehidupan yang baru dan selanjutnya harus berusaha mandiri “berdiri di atas
kakinya sendiri”.(2) Pesula’i,
bermaksud memberikan ‘hadiah’ sebagai cikal bakal dalam memulai kehidupan yang
baru. Pesula’i adalah pemberian dari orang tua pengantin perempuan kepada
anaknya dengan maksud membantunya dalam menempuh hidup baru. Budaya ini
menandakan bahwa ini adalah pemberian yang terakhir dari mereka untuk anaknya,
karena selannjutnya ia akan menjadi tanggungjawab suaminya. Barang-barang yang
biasanya diberikan adalah perhiasan dari emas dan alat-alat rumah tangga yang
diperlukan.
Bidang Pertanian
Pada bidang pertanian ada
beberapa istilah tolong menolong yang dilakukan. (1) Budaya Peleng Akhi, Budaya ini
mempunyai arti ‘bergiliran’. Maksudnya, bekerja sama dalam melakukan pekerjaan
di bidang pertanian dengan cara bergiliran. Orang yang telah dibantu
pekerjaannya oleh orang lain diwajibkan untuk menggantinya dengan bekerja di
lahan pertanian orang tersebut di lain waktu (2) Nempuhi, Artinya membantu orang
lain dalam hal bertani tanpa mengharapkan ganjaran dari pekerjaan itu. Budaya
ini biasanya dilakukan kepada orang yang dihormati separti guru atau pemimpin
kampung, serta orang yang mempunyai kelemahan secara fisik. Perilaku ini
dimaksudkan agar guru atau pemimpin dapat melakukan tugasnya dengan baik dalam
mendidik atau memimpin masyarakat.Khusus untuk membantu guru biasa disebut
dengan istilah nempuhi gukhu.
Pada kegiatan nempuhi ini biasanya mereka membawa makanan
sendiri sebagai tanda keikhlasan dalam membantu. Sebaliknya, bila yang dibantu
itu guru atau pemimpin, mereka mempunyai kesadaran untuk menyediakan makanan
dan minuman kepada para pekerja tersebut sebagai bentuk penghargaan dan
terimakasih.
Acara Adat Istiadat
Tradisi Pemamanan Suku Alas
Upacara adat istiadat
yang ada dalam masyarakat suku Alas adalah ‘Turun Mandi’, ‘Sunat Khitan’,
‘Perkawinan’, dan ‘Kematian’. Pada setiap kegiatan ini dikenal beberapa budaya
tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan posisinya dalam
struktur kekerabatan. Ada tiga struktur kekerabatan dalam suku Alas yaitu Wali, Sukut/Senine, dan
Pebekhunen/Malu. Adapun
bentuk tolong-menolong yang dilakukan adalah (1) Pemamanen, iaitu panggilan yang
diberikan kepada rombongan yang datang dari pihak Wali yaitu ayah dan saudara lelaki dari
perempuan (Malu) yang
mempunyai hajatan. Pada setiap acara adat Alas, pemamanen mempunyai peran
penting karena mereka adalah tamu yang dimuliakan. Dalam setiap kegiatan mereka
akan membawa bantuan kepada tuan rumah dan biasanya bantuan ini dalam bentuk
materi atau sejumlah uang. Semakin tinggi nilai bantuan maka semakin tinggi
pula prestige yang mereka dapatkan. Begitupula tuan rumah merasa lebih
dihormati dan dimuliakan. Slogan yang menjadi failosofi budaya ini adalah Besar wali karena malu, besar malu
karena wali. (2) Tempuh,
artinya bantuan yang diberikan oleh saudara dekat atau diistilahkan dengan
kelompok sukut artinya orang yang punya kerja
(saudara kandung atau masih mempunyai pertalian darah dan marga). Bantuan ini
terkadang ditentukan dalam musyawarah keluarga, namun terkadang juga tidak
ditentukan, sehingga pemberian didasarkan oleh kesadaran masing-masing yang
disesuaikan dengan kemampuannya, serta bergantung pula pada jauh dekatnya
pertalian kekerabatan yang dimiliki. (3) Nempuhi
Wali artinya membantu wali,
bantuan ini diberikan oleh Malu yaitu anak perempuan atau saudara
perempuan yang sudah kawin dan pebekhunen yaitu suaminya kepada pihak wali yang
mempunyai hajatan/acara adat. Dalam setiap kegiatan bantuan yang mereka berikan
adalah dalam bentuk tenaga, misalnya bertanggung jawab di dapur dalam
menyiapkan hidangan dan membereskannya. Sebenarnya Nempuhi Wali ini merupakan kewajiban yang
ditetapkan dalam budaya suku Alas tidak hanya pada kegiatan yang menyangkut
adat-istiadat, tetapi juga pada kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari
seperti membantu di sawah dan lain-lain.
Marga
Menurut buku Sanksi dan
Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib Akbar MSC (2004) adapun marga–marga
etnis Alas yaitu : Selian, Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, dan
Pagan. kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu,
Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung,
Sebayang dan marga Tarigan.
Seni Tari
Adapun kesenian dari
etnis suku Alas (Musyawarah Adat Alas dan Gayo, 2003) :
1. Tari Mesekat
2. Pelabat
3. Landok Alun
4. Tangis Dilo
5. Canang Situ
6. Canang Buluh
7. Genggong
8. Oloi-olio
9. Keketuk layakh
Kerajinan
Adapun kerajinan
tradisional dari etnis alas seperti :
1. Nemet (mengayam daun
rumbia)
2. Mbayu amak (tikar pandan)
3. Bordir pakaian adat
4. Pande besi (pisau bekhemu)
2. Mbayu amak (tikar pandan)
3. Bordir pakaian adat
4. Pande besi (pisau bekhemu)
Makanan
Tradisonal
Adapun makanan
tradisional dari suku alas adalah :
1. Manuk labakh
2. Ikan labakh
3. Puket Megaukh
4. Lepat bekhas
5. Gelame
6. Puket Megaluh
7. Buah Khum-khum
8. Ikan pacik kule
9. Telukh Mandi
10. Puket mekuah
11. Tumpi
12. Godekhr
13. Puket sekuning
14. Cimpe
15. Getuk
2. Ikan labakh
3. Puket Megaukh
4. Lepat bekhas
5. Gelame
6. Puket Megaluh
7. Buah Khum-khum
8. Ikan pacik kule
9. Telukh Mandi
10. Puket mekuah
11. Tumpi
12. Godekhr
13. Puket sekuning
14. Cimpe
15. Getuk
Kesimpulan :
Jadi Aceh merupakan provinsi dari
Sumatera Utara yang memiliki banyak sekali tempat-tempat wisata budaya yang
dapat kita kunjungi. Tokoh penyebar agama islam di aceh, sangat dkenal oleh
masyarakat oleh karena itu dibuatlah banyak musium,tugu bahkan makam yang
banyak untuk kita datangi guna untuk mengetahui sosok yang telah berjuang di
masa lampau untuk satu tujuan bahkan mengorbkan dirinya sendiri. Dan aceh
mempunyai banyak sekali suku, salah satunya suku alas. Suku alas mempunyai
bahasa yang unik, mereka mempunyai bahasa yang mereka buat sendiri. Masyarakat
suku kute mengayomi sistem tolong menolong, terutama dalam hal ekonomi dan
pertanian. Suku Alas mempunyai 9 tarian, 4 kerajinan tradisional dan 15 macam
makanan tradisional yang masih ada sampai sekarang.
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Alas
Adnan Rosary
NIM : 4423145624
Usaha Jasa Pariwisata A 2014
gmail : adnanrosary@gmail.com
Adnan Rosary
NIM : 4423145624
Usaha Jasa Pariwisata A 2014
gmail : adnanrosary@gmail.com
Bagus
ReplyDeletedengan adanya tugas ini mampu membuat yang tidak tahu menjadi tahu. semangat menuju semester empat!
ReplyDeleteBagus dan detail
ReplyDeleteBagus..
ReplyDeleteTerima kasih atas infonya :) saya jadi semakin tau apa saja wisata budaya yang ada di Aceh.
ReplyDeleteKeren
ReplyDeleteAceh Destinasi pariwisata yang bagus, apalagi letaknya strategis sebagai pintu dan garda terdepan Indonesia. Kiranya dengan posisi yang tersebut dapat membuat Aceh jadi lebih berkembang lagi. Menarik sekali artikelnya :)
ReplyDeleteKeren
ReplyDeletecukup detail, bagusss
ReplyDeleteAceh, salah satu wilayah yang ingin saya kunjungi untuk mengabdi di sana. Ada banyak hal di Aceh dikembangkan lagi.
ReplyDeleteBagus nih artikelnya. Membantu orang yg mau mengenal Aceh lebih jauh
ReplyDelete