Saturday, January 2, 2016

Tugas-3 Pariwisata dan Budaya Indonesia




Pariwisata Budaya di Desa Pampang, Samarinda


Assalamualaikum wr.wb
Hai pembaca perkenalkan nama saya Lisa Hardianti. Saya lahir di Jayapura, 26 November 1995. Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saya berkuliah di Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Usaha Jasa Pariwisata. Sebagai generasi muda Pariwisata di Indonesia saya disini akan memberi informasi tentang Wisata Budaya terutama yang ada di Desa Pampang, Samarinda. Mungkin sebagian dari anda tidak mengetahui destinasi wisata budaya tersebut. Dimana di desa pampang anda dapat menjumpai orang dari suku dayak kenyah yang masih kental akan budayanya. Selain itu saya akan membahas tentang wisata Kampung Tenun Sarung Samarinda. Saya akan mengulas wisata budaya yang ada di Samarinda, Kalimantan timur.
Kota Samarinda merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Indonesia serta salah satu kota terbesar di Kalimantan. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota Samarinda, yang menjadi “gerbang” menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 805.688 jiwa pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda), menjadikan kota ini berpenduduk terbesar di seluruh Kalimantan.
Di pedalaman Kalimantan Timur dihuni oleh mayoritas Suku Dayak (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak) yang merupakan nama penduduk pesisir pulau Borneo yang diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar).
Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Istilah “Dayak” paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbedabeda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal mula asal suku Dayak pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam. .
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Suku Kenyah adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari dataran tinggi Usun Apau, daerah Baram, Sarawak. Dari wilayah tersebut suku Kenyah memasuki Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur melalui sungai Iwan di Sarawak terpecah dua sebagian menuju daerah Apau Kayan yang sebelumnya ditempati suku Kayan dan sebagian yang lainnya menuju daerah Bahau. Pergerakan suku ini menuju ke hilir akhirnya sampai ke daerah Mahakam dan akhirnya sebagian menetap di Kampung Pampang Samarinda Utara, Samarinda. Sebagian lagi bergerak ke hilir menuju Tanjung Palas. Suku Kenyah merupakan 2,4% penduduk Kutai Barat.
Suku dayak Kenyah

Suku Kenyah terbagi menjadi Kenyah Dataran Rendah dan Kenyah Dataran Tinggi / Usun Apau Kenyah. Rumah rumah tinggal mereka masih khas. Uma Da’du atau Lamin adalah rumah asli peninggalan Dayak Kenyah yang masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, beratap sirap. Lamin di hiasi lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuknya sebagian menyerupai tattoo di tangan kaum wanitanya . Mereka juga dikenal mahir membuat manik-manik dan pemahat handal patung Totem.
Hubungan kekerabatan mereka mengikuti garis keturunan patrilinial. Dalam satu lamin dapat dijumpai hidup beberapa keluarga, mulai dari orang tua, anak, cucu, sepupu hingga keponakan. Dahulu kala sebuah lamin malah dapat menampung lebih dari 100 KK, sehingga tidak ada bentuk keluarga batih mutlak. Batih baru ada kalau sekiranya pasangan suami istri mau memisahkan diri dari lamin. Namun hal ini jarang dilakukan, karena pertimbangan ekonomi. Sebab, dengan memilih tinggal didalam lamin, segala persoalan dan kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawab bersama.  Hidup komunal demikian, tentu ada resikonya. Kerahasiaan menjadi kosakata yang nyaris tak mereka kenal. Kerahasiaan personal menjadi demikian tipis, agaknya hanyalah setebal kelambu.
Mata pencaharian mereka memang bertani. Umumnya, sebagai peramu hasil hutan dan peladang berpindah. Perladangan dilakukan dengan sistem rotasi alam selama 4-7 tahun. Di desa Long Payao, Sei Anai, dan Metun I, sistem rotasinya sampai 10 tahun. Inilah, agaknya, mengapa suku Dayak kerap dituding sebagai perusak lingkungan hutan..
Untuk bertahan hidup masyarakat suku Dayak juga berburu tetapi mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka.
Caranya itu adalah tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan.
Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah menjadi target buruan. Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang mirip suara Elang.
Alat berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau bahkan mematikan.
Selama berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.
Seni budaya suku Kenyah sangat halus dan menarik, sehingga ragam seni hias banyak dipakai pada bangunan-bangunan di Kalimantan Timur. Bukan Sahaja terdiri daripada seni ukiran tetapi tarian dan juga cara hidup.
tradisi telinga panjang
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.
Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua. Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa. Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.
Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang. Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu. Telinga panjang juga memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran. Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih. Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter. Selain status sosial, wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga karena dianggap cantik.
Untuk melestarikan budaya, tradisi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.
Tetapi menurut penelitian Dr. Yekti Maunati yang berkunjung ke Desa Long Mekar, sebuah desa Dayak di mana Dayak yang otentik  yang serupa dengan orang Dayak yang hidup di dan tinggal pedalaman, ternyata penduduk Desa Long Mekar sendiri tidak semua memiliki tato dan daun telinga yang panjang. Belakangan, terbukti bahwa hal ini hanya sebagian benar, karena banyak orang yang telah memotong daun telinga mereka yang [dulu sudah terlanjur] panjang.
Wisata Desa Budaya Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur. Desa pampang merupakan sebuah desa budaya yang terletak di sungai Siring, kota Samarinda yang merupakan objek wisata andalan dari kota Samarinda. Sejarah dari desa pampang ini bersemula dari sekitar tahun 1960-an, Pada waktu itu suku dayak apo kayan dan kenyah berdomisili di wilayah Kutai Barat dan Malinau, yang kemudian hijrah karena tidak mau bergabung dan tidak ingin ikut kedalam wilayah malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang menjanjikan. Rasa Nasiolisme mereka inilah yang kemudian membuat mereka memilih tinggal dan tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian mereka menempuh perjalanan panjang dan berpindah-pindah selama bertahun-tahun, hanya dengan berjalan menggunakan kedua kaki. Untuk bertahan hidup, mereka singgah di tempat-tempat yang dilewatinya dan kemudian berladang. Kehidupan mereka terus saja berpindah-pindah untuk berladang. Kehidupan mereka teru saja berpindah-pindah untuk berladang. Sehingga akhirnya mereka sampai dikawasan Pampang. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk hidup di desa pampang dan melakukan berbagai kegiatan masyarakat, seperti bergotong royong, merayakan natal dan panen raya bersama.
Desa Pampang kemudian diresmikan sebagai desa budaya pada bulan Juni tahun 1991 oleh Gubernur Kalimantan Timur HM Ardans. Karena pemerintah merasa sangat antusias dengan desa budaya ini yang memiliki kegiatan positif dan bisa menjadi aset wisata unggulan baik di tingkat wisata lokal bahkan menuju mancanegara.
Setiap tahunnya didesa pampang digelar acara untuk memperingati hari ulang tahun, yang disebut dengan nama Pelas Tahun. Satu lagi ritual yang kini masih tetap diliestarikan adalah Upacara Junan. Upacara Junan merupakan tradisi yang suduh berumur ratusan tahun, namun hingga sekarang masih tetap dilaksanakan. Junan adalah ritual yang mengambil gula dari batang tebu dengan cara diperas menggunakan kayu ulin.
Pelas Tahun adalah upacara adat Suku Dayak Kenyah yang bermukim di Desa Budaya Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur. Upacara adat ini diselenggarakan sebagai wujud syukur kepada Tuhan yang telah memberikan anugerah berupa panen dari hasil pertanian masyarakat. Seperti juga namanya upacara adat Pelas Tahun dilakukan rutin setiap tahunya, biasanya diselenggarakan pada bulan Juni. Karena upacara ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur maka upacara Pelas Tahun lebih banyak menampilkan bermacam-macam tari-tarian khas Suku Dayak Kenyah. Umumnya tari-tarian yang ditampilkan seperti Tari Lemimpa, Tari Udo'Aban, Tari Ajai, Tari Pemung Tawai, Tari Hudoq, Tari Gong dan lain-lain. Tari-tarian yang ditampilkan dalam upacara tersebut kebanyakan merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat atas berkah yang diberikan Tuhan pada hasil pertanian mereka, seperti contohnya Tari Hudoq memiliki gerak tari yang menggambarkan permohonan pada Tuhan agar hasil pertanian yang ada diberkahi dan kedepanya bila bercocok tanam kembali akan mendapatkan hasil yang lebih berlimpah lagi.
Upacara Pelas Tahun mulai diselenggarakan sejak tahun 1999, sekaligus merupakan agenda rutin tahunan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Samarinda. Pada awalnya, Upacara Pelas Tahun merupakan pesta rakyat yang diselenggarakan pada saat panen, mulai dari sebelum memetik hasil panen hingga perayaan setelah memetik hasil panen dilakukan, sebagai wujud rasa syukur atas rejeki yang telah diperoleh. Namun bila ditilik lebih jauh tentang asal muasal upacara adat Pelas Tahun yang merupakan ungkapan rasa syukur pasca panen ini merupakan upacara adat yang telah ada sejak dahulu kala, namun tetap dilestarikan hingga saat ini oleh Suku Dayak Kenyah yang bermukim di Desa Budaya Pampang yang dahulunya adalah sub suku dayak Kenyah dari Long Us, Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang, bermigrasi dari kawasan itu dan kemudian berkembang seperti sekarang ini.
Pada acara ini dimeriahkan dengan 2 jenis tarian utama, yaitu Tari Lemimpa dan Tari Udo’ Aban, yang melambangkan warga Dayak dalam kesehariannya senantiasa memohon berkat kepada Tuhan sebelum bekerja. Air yang digunakan dalam Lemimpa akan disiramkan pada tanaman padi yang mulai tumbuh agar hasilnya melimpah. Tari Udo’ Aban ditarikan untuk mengusir hama tanaman, gangguan roh jahat dan bencana alam hingga tanaman padi dapat tumbuh subur. Upacara ini juga menjadi simbol bahwa hasil panen yang telah dipetik, layak/boleh untuk dinikmati. Selain digelar tari-tarian upacara Pelas Tahun diselenggarakan pula beragam perlombaan olahraga fisik, seperti lomba sumpit. Tradisi tersebut ditutup dengan penyelenggaraan pesta yang menyuguhkan beragam hidangan mewah dan dapat dinikmati sambil menyaksikan pergelaran tarian adat lain. Tujuan dari tradisi ini adalah mendoakan agar roh nenek moyang memberkati hasil panen yang telah dipetik dan agar semua hasil panen tersebut membawa keberkahan bagi seluruh kampung, sekaligus sebagai media hiburan bagi masyarakat untuk berekreasi sejenak setelah melakukan aktivitas rutin seharihari. Pada upacara inilah proses sosialisasi antar individu masyarakat dapat berlangsung secara optimal.
Wisatawan yang merasa penasaran ingin melihat langsung eksotis budaya desa pamang, adat istiadat dan sosok masyarakat dayak, yang memang sudah terkenal di dunia. Selain itu, pemerintah juga mendukung agar warga masyarakat dayak yang menghuni desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi-potensi lainnya, contohnya membuat cindera mata seperti manik-manik dan sejenisnya. Desa ini ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya yang memperlihatkan kesenian serta kebudayaan oleh Pemerintah Daerah dan menjadi tempat tinggal Suku Dayak Kenyah.
Sebenarnya suku Dayak yang tinggal di Kampung Pampang merupakan sub-etnis Dayak Kenyah. Semula kawasan tersebut merupakan hutan, namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa Long , Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan itu kemudian berkembang seperti sekarang ini. Kendati menerima budaya modern dari luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan ini dijadikan Kampung Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda. Warga suku Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya leluhurnya, seperti menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan tangan. Di Kampung ini pun masih terdapat Lamin (rumah panjang khas Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin membeli souvenir, di Desa Pampang banyak orang yang menjajakan berbagai pernak pernik dari yang kecil hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung kayu.
Beragam kegiatan yang selalu menjadi agenda aktivitas masyarakat desa budaya Pampang ini, setiap minggu pukul 14:00 dan dikenakan biaya Rp15.000/orang dan setiap orang akan mendapatkan souvenir berupa gelang bertuliskan “Pampang”. Masyarakat Dayak Kenyah di desa pampang selalu menggelar pertunjukan budaya seperti Kancet Lasan, Kancet Punan, Kancet Nyelama Sakai, Enggang Terbang, Manyam tali, dan masih banyak lagi. Biasanya dilaksanakan dibangunan Lamin adat, bangunan lamin yang megah  dan penuh dengan ukiran-ukiran khas dayak akan menjadi daya tarik tersendiri.
Rumah Lamin adalah rumah adat dari Kalimantan Timur. Rumah Lamin adalah identitas masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Rumah Lamin mempunyai panjangsekitar 300 meter, lebar 15 meter, dan tinggi kurang lebih 3 meter. Rumah Lamin juga dikenal sebagai rumah panggung yang panjang dari sambung menyambung. Rumah ini dapat ditinggal oleh beberapa keluarga karena ukuran rumah yang cukup besar.  Salah satu rumah Lamin yang berada di Kalimantan Timur bahkan dihuni oleh 12 sampai 30 kelurga. Rumah Lamin dapat menampung kurang lebih 100 orang. Pada tahun 1967, rumah Lamin diresmikan oleh pemerintah Indonesia. Rumah Lamin memiliki ciri khas yaitu berupa ukiran-ukiran atau gambar yang mempunyai makna bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Salah satu fungsi dari ukiran-ukiran atau gambar pada tubuh rumah Lamin adalah untuk menjaga keluarga yang hidup dalam rumah dari bahaya. Setiap warna yang dipakai untuk menghias rumah Lamin mempunyai makna. Warna kuning melambangkan kewibawaan, warna merah melambangkan keberanian, warna biru melambangkan kesetiaan, dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa. Rumah Lamin dibuat dari kayu.
Samarinda sebagai ibukota propinsi Kalimantan Timur menyimpan beragam potensi wisata. Selain desa Pampang ada juga wisata kerajinan yang berada di daerah Samarinda Seberang yaitu Kampung Tenun Sarung Samarinda.
Sarung Samarinda ini merupakan salah satu kerajinan tangan khas Samarinda. Sarung Samarinda adalah jenis kain tenunan tradisional khas Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Sarung ini dibuat dengan cara ditenun dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang disebut Gedokan. Produk yang dihasilkan untuk satu buah sarung memakan waktu hingga berminggu-minggu, tak heran bila harga sarung samarinda tenun bisa mencapai ratusan ribu rupiah. 
Lokasi pengrajin sarung Samarinda terletak di Gang Pertenunan Rt.02 di Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda Seberang. Daerah ini menjadi sentral kerajinan tenun Sarung Samarinda dan pada pertengahan bulan Maret 2012 lalu, kawasan ini dicanangkan sebagai percontohan Kampung Pengrajin untuk dijadikan tujuan wisata nasional. Di kawasan ini, pengunjung dapat berwisata dengan melihat langsung proses pembuatan tenun Sarung Samarinda, sambil membeli sarungnya sebagai buah tangan.
Untuk bahan baku menggunakan benang katun dan benang sponsilk (sutera China). Sedangkan untuk pemasaran sudah mencakup skala nasional dengan harga jual yang relatif sangat terjangkau yaitu kisaran 200-700 ribu Rupiah. Sedangkan untuk proses pembuatannya memerlukan waktu hingga 2 minggu dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Namun untuk motiv sarung tenun yang berbeda dan sedikit rumit proses pembuatannya memerlukan waktu hingga 3 mingguan.
Dari informasi yang dijelaskan disini Indonesia memiliki berbagai macam budaya contohnya saja Desa Pampang, Samarinda yang masih bertahan dengan adat istiadat dan sosok masyarakat dayaknya. Kita bisa melihat langsung bagaimana wanita dayak kenyah yang memiliki ciri khas berkuping panjang dan tato. Selain itu, pemerintah juga mendukung agar warga masyarakat dayak yang menghuni desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi-potensi lainnya. Desa ini juga ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya yang memperlihatkan kesenian serta kebudayaan oleh Pemerintah Daerah dan menjadi tempat tinggal Suku Dayak Kenyah. Didesa tersebut biasanya menampilkan beberapa kegiatan untuk memperkenal budaya tersebut. Seperti dengan tari-tarian, budaya atau souvenir yang diberikan & diperjualkan. Wisata kerajinan Kampung Tenun Sarung Samarinda tidak kalah bagusnya dimana Sarung Samarinda adalah jenis kain tenunan tradisional khas Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan sarung ini dibuat dengan cara ditenun dengan menggunakan Alat Tenun yang disebut Gedokan. Untuk menghasilkan satu lembar sarung yang membutukan waktu berminggu-minggu untuk mengerjakannya. Jangan sampai budaya seperti ini sampai punah atau diakui negara lain. Sebagai generasi penerus Pariwisata di Indonesia harus menjaga dan mempromosikan budaya yang ada di Indonesia. Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat bagi anda.
Wassalamualaikum wr.wb

LISA HARDIANTI
KELAS A
4423145742


Lisahardianti95@gmail.com
Daftar Pustaka :
Sumber Foto :

15 comments:

  1. Wah informasi baru ini buat saya, terima kasih banyak sharenya ya :D

    ReplyDelete
  2. Wah makasih infonya bermanfaat banget

    ReplyDelete
  3. Baru ngerti sekarang.. Kalo ada kesempatan pengen kesana

    ReplyDelete
  4. Ini ilmu baru buat saya. Terimakasih lisa untuk informasinya.. jangan bosen ya buat share pengetahuannya 😁😀

    ReplyDelete
  5. Terima kasih Lisa berkat membaca ini, jadi menambah pengetahuan . semoga bermanfaat bagi para pembaca yg lainnya yaa .

    ReplyDelete
  6. Waw makasih infonya yahh, keren dehh.

    ReplyDelete
  7. Keren banget ulasannya, makasih banyak buat infonya ^^

    ReplyDelete
  8. Wahhh informasi yg sangat berguna, semoga saja dilain kesempatan bisa kesana. 🙏

    ReplyDelete
  9. Informasi yang sangat bermanfaat ^^ menambah pengetahuan dan wawasan tentang banyaknya ragam kebudayaan di negara kita. Semoga selalu terjaga kelestariannya. Terimakasih :)

    ReplyDelete
  10. wah bagus banget informasinya, jadi menambah pengetahuan sekaligus jadi pengen ke sana hahaha

    ReplyDelete
  11. Waah keren nih .. nambah wawasan dan menarik untuk di kunjungi ..
    Gaya penulisan lebih komunikatif ya cantikk ...

    ReplyDelete
  12. Humba..! Humba..! Humba..!
    Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit.

    Kua'-kua' te'leu mirip ngan tiga tawai, se'lu tawai, se'lu kimet, se'lu atai teleu nyelada dulu ira’ uva’e ka ngenja’at lebu’lu ni, tiga lu tawai lu, ngan lesau ira’ asi’ murip kume ileu, mpei lu uva’ ja’at kimet ngan senganak lu, selepe'apan.


    @ianapokayan
    Generasi Kenyah-Punan

    ReplyDelete
  13. Salam sejahtera.. :)


    ~~ AKEU' MAGAT TONG TANA' ~~

    Ei`,.. ineu' rengah ko' ?
    Ngelan ka’au balei omok mena’ kegahang lem akeu jadi mare`ng kepe`h. :)

    Akeu ngaken maneu jian tong tana' naneu ne'h magat tong tana'... Akeu lakau tong tana' dau nawa awah. Keruah ke' juk kivu akeu tai tong tana', naneu ne'h akeu' kenanak tong tana'.. :)

    Akeu menyat ka'au nya'ap akeu tong kampe`n,.. nya'ap kampe`n poko tana'. Tana' mape` neu kereja batang. Mai tana' potong,... mai maneu kenat !

    Jian` kenin :)
    Ian Apokayan

    ~~~ oOo ~~~

    ~ ~ Saya mencintai hutan ~ ~

    Hai,... Bagaimana keadaanmu?
    Aku berharap Anda memiliki semangat baru dan juga memberi aku semangat. :)

    Aku cukup mahir melakukan hal yang baik di hutan, karena aku mencintai hutan hujan... Aku hanya mampu berjalan di hutan di siang hari, Hai teman-teman, silahkan ikuti aku berjalan-jalan di hutan karena aku lahir di hutan. :)

    Saya meminta Anda untuk membantu saya dalam kampanye, mendukung kampanye untuk menyelamatkan hutan. Tanah ini dihancurkan oleh pembalakan liar. Tidak merusak hutan kami,... jangan lakukan itu !

    Terima kasih :)
    Ian Apokayan

    ~~~oOo~~~

    Terima kasih atas postingannya ya, cukup lengkap.
    Bilamana ingin mengenal lebih jauh tentang tradisi adat, seni dan budaya kami bangsa Dayak di pulau Borneo (termasuk kerabat kami di Sarawak, Brunei dan Sabah), maka silahkan follow @ianapokayan.
    Aku orang asli Dayak, dari keluarga besar suku Dayak Kenyah dan Punan, Borneo Utara. Masih banyak obyek wisata yang alami, mengasyikan dan menantang kecintaan kalian pada alam dan ekosistem hutan di Pulau Borneo.. salah satunya danau dengan 2 habitat, ada ikan air tawar dan ikan air laut/ asin yang dapat hidup dalam 1 danau, dan berair teramat jernih.. :)

    Salam,
    Ian Apokayan
    081284638562

    ReplyDelete