Pariwisata Budaya di Desa Pampang, Samarinda
Assalamualaikum wr.wb
Hai pembaca perkenalkan nama saya Lisa
Hardianti. Saya lahir di Jayapura, 26 November 1995. Saya anak kedua dari tiga
bersaudara. Saya berkuliah di Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial,
Program Studi Usaha Jasa Pariwisata. Sebagai generasi muda Pariwisata di
Indonesia saya disini akan memberi informasi tentang Wisata Budaya terutama
yang ada di Desa Pampang, Samarinda. Mungkin sebagian dari anda tidak
mengetahui destinasi wisata budaya tersebut. Dimana di desa pampang anda dapat
menjumpai orang dari suku dayak kenyah yang masih kental akan budayanya. Selain
itu saya akan membahas tentang wisata Kampung Tenun Sarung Samarinda. Saya akan
mengulas wisata budaya yang ada di Samarinda, Kalimantan timur.
Kota Samarinda
merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Indonesia serta salah satu kota
terbesar di Kalimantan. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan
Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan
darat, laut dan udara. Dengan Sungai Mahakam yang membelah di tengah Kota
Samarinda, yang menjadi “gerbang” menuju pedalaman Kalimantan Timur. Kota ini
memiliki luas wilayah 718 kilometer persegi dan berpenduduk 805.688 jiwa pada tahun
2013 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda), menjadikan kota ini berpenduduk
terbesar di seluruh Kalimantan.
Di pedalaman Kalimantan Timur dihuni
oleh mayoritas Suku Dayak (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak) yang merupakan nama
penduduk pesisir pulau Borneo yang diberi kepada penghuni pedalaman yang
mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan
Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu
Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut sensus Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan
Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia
(268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar).
Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah
Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada
nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Ada yang membagi orang Dayak dalam
enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun
Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot
Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Istilah “Dayak” paling umum digunakan
untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau
itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak
yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya
disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang
etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari
bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh
menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa
Melayu yang berarti asli atau pribumi.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat
Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan
di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang
Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun
Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut
(rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian
Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah
Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung)
yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya
oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara
administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga
ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah
“Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk
asli setempat yang berbedabeda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu.
Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai
dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku
yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang
yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada
tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih
bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian
pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan
bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling
tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et
al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia,
sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai.
Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak
menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang
Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa
setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak
mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah
yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal mula asal suku Dayak pada tahun
(1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia
mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan
yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra
dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam. .
Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”,
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam
dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya
sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah,
bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit,
Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming
tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang
pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa
Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era
Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung
karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar
di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Suku Kenyah adalah suku Dayak
yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari dataran tinggi Usun Apau, daerah
Baram, Sarawak.
Dari wilayah tersebut suku Kenyah memasuki Kabupaten Malinau,
Kalimantan Timur melalui sungai
Iwan di Sarawak terpecah
dua sebagian menuju daerah Apau
Kayan yang sebelumnya
ditempati suku Kayan dan sebagian yang lainnya menuju daerah Bahau.
Pergerakan suku ini menuju ke hilir akhirnya sampai ke daerah Mahakam dan
akhirnya sebagian menetap di Kampung Pampang Samarinda Utara,
Samarinda. Sebagian lagi
bergerak ke hilir menuju Tanjung Palas. Suku Kenyah merupakan 2,4% penduduk
Kutai Barat.
Suku dayak Kenyah |
Suku Kenyah terbagi menjadi Kenyah
Dataran Rendah dan Kenyah Dataran Tinggi / Usun Apau Kenyah. Rumah rumah
tinggal mereka masih khas. Uma Da’du atau Lamin adalah rumah asli peninggalan
Dayak Kenyah yang masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, beratap
sirap. Lamin di hiasi lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuknya
sebagian menyerupai tattoo di tangan kaum wanitanya . Mereka juga dikenal mahir
membuat manik-manik dan pemahat handal patung Totem.
Hubungan kekerabatan mereka mengikuti
garis keturunan patrilinial. Dalam satu lamin dapat dijumpai hidup beberapa
keluarga, mulai dari orang tua, anak, cucu, sepupu hingga keponakan. Dahulu
kala sebuah lamin malah dapat menampung lebih dari 100 KK, sehingga tidak ada
bentuk keluarga batih mutlak. Batih baru ada kalau sekiranya pasangan suami
istri mau memisahkan diri dari lamin. Namun hal ini jarang dilakukan, karena
pertimbangan ekonomi. Sebab, dengan memilih tinggal didalam lamin, segala
persoalan dan kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawab bersama. Hidup
komunal demikian, tentu ada resikonya. Kerahasiaan menjadi kosakata yang nyaris
tak mereka kenal. Kerahasiaan personal menjadi demikian tipis, agaknya hanyalah
setebal kelambu.
Mata pencaharian mereka memang bertani.
Umumnya, sebagai peramu hasil hutan dan peladang berpindah. Perladangan
dilakukan dengan sistem rotasi alam selama 4-7 tahun. Di desa Long Payao, Sei
Anai, dan Metun I, sistem rotasinya sampai 10 tahun. Inilah, agaknya, mengapa
suku Dayak kerap dituding sebagai perusak lingkungan hutan..
Untuk
bertahan hidup masyarakat suku Dayak juga berburu tetapi mereka tidak menunggu
binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang
yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka.
Caranya
itu adalah tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk
binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis
daun serai yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara
seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? Karena Rusa selalu melindungi anaknya.
Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan.
Celeng
(Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka untuk
memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali sehingga
muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah
menjadi target buruan. Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para
anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama berburu karena
anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu Enggang, burung
besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang
mirip suara Elang.
Alat
berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka
panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum
sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya
melumpuhkan atau bahkan mematikan.
Selama
berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu
berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu
mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan
mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang
bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat
melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat
tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan
mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam
memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana
kita memanfaatkan dan mengelolanya.
tradisi telinga panjang |
Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui
wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat
sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan
menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya
hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua. Proses penindikan
daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia
satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau
subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya
anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin.
Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh
dipakai oleh orang-orang biasa. Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah,
pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional
berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.
Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu,
budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang
memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku
Dayak. Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan
sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah
perang atau tidak mampu membayar utang. Disamping itu telinga panjang
digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi
lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah
manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu. Telinga panjang juga
memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran. Bayangkan saja, betapa beratnya
manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap hari,
kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih. Agar daun telinga
menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk
lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun
telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter. Selain status sosial,
wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga karena dianggap cantik.
Untuk melestarikan budaya, tradisi
maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya
suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar
1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.
Tetapi menurut penelitian Dr. Yekti
Maunati yang berkunjung ke Desa Long Mekar, sebuah desa Dayak di mana Dayak
yang otentik yang serupa dengan orang Dayak yang hidup di dan tinggal
pedalaman, ternyata penduduk Desa Long Mekar sendiri tidak semua memiliki tato
dan daun telinga yang panjang. Belakangan, terbukti bahwa hal ini hanya
sebagian benar, karena banyak orang yang telah memotong daun telinga mereka
yang [dulu sudah terlanjur] panjang.
Wisata Desa Budaya Pampang, Samarinda,
Kalimantan Timur. Desa pampang merupakan sebuah desa budaya yang terletak di
sungai Siring, kota Samarinda yang merupakan objek wisata andalan dari kota Samarinda.
Sejarah dari desa pampang ini bersemula dari sekitar tahun 1960-an, Pada waktu
itu suku dayak apo kayan dan kenyah berdomisili di wilayah Kutai Barat dan Malinau,
yang kemudian hijrah karena tidak mau bergabung dan tidak ingin ikut kedalam
wilayah malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang
menjanjikan. Rasa Nasiolisme mereka inilah yang kemudian membuat mereka memilih
tinggal dan tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian mereka menempuh perjalanan
panjang dan berpindah-pindah selama bertahun-tahun, hanya dengan berjalan
menggunakan kedua kaki. Untuk bertahan hidup, mereka singgah di tempat-tempat
yang dilewatinya dan kemudian berladang. Kehidupan mereka terus saja
berpindah-pindah untuk berladang. Kehidupan mereka teru saja berpindah-pindah
untuk berladang. Sehingga akhirnya mereka sampai dikawasan Pampang. Dan
akhirnya mereka memutuskan untuk hidup di desa pampang dan melakukan berbagai
kegiatan masyarakat, seperti bergotong royong, merayakan natal dan panen raya
bersama.
Desa Pampang kemudian diresmikan sebagai
desa budaya pada bulan Juni tahun 1991 oleh Gubernur Kalimantan Timur HM
Ardans. Karena pemerintah merasa sangat antusias dengan desa budaya ini yang
memiliki kegiatan positif dan bisa menjadi aset wisata unggulan baik di tingkat
wisata lokal bahkan menuju mancanegara.
Setiap tahunnya didesa pampang digelar acara
untuk memperingati hari ulang tahun, yang disebut dengan nama Pelas Tahun. Satu
lagi ritual yang kini masih tetap diliestarikan adalah Upacara Junan. Upacara Junan
merupakan tradisi yang suduh berumur ratusan tahun, namun hingga sekarang masih
tetap dilaksanakan. Junan adalah ritual yang mengambil gula dari batang tebu
dengan cara diperas menggunakan kayu ulin.
Pelas
Tahun adalah upacara adat Suku Dayak Kenyah yang bermukim di Desa Budaya
Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur. Upacara adat ini diselenggarakan sebagai
wujud syukur kepada Tuhan yang telah memberikan anugerah berupa panen dari
hasil pertanian masyarakat. Seperti juga namanya upacara adat Pelas Tahun
dilakukan rutin setiap tahunya, biasanya diselenggarakan pada bulan Juni. Karena
upacara ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur maka upacara Pelas Tahun
lebih banyak menampilkan bermacam-macam tari-tarian khas Suku Dayak Kenyah.
Umumnya tari-tarian yang ditampilkan seperti Tari Lemimpa, Tari Udo'Aban, Tari
Ajai, Tari Pemung Tawai, Tari Hudoq, Tari Gong dan lain-lain. Tari-tarian yang
ditampilkan dalam upacara tersebut kebanyakan merupakan perwujudan rasa syukur
masyarakat atas berkah yang diberikan Tuhan pada hasil pertanian mereka,
seperti contohnya Tari Hudoq memiliki gerak tari yang menggambarkan permohonan
pada Tuhan agar hasil pertanian yang ada diberkahi dan kedepanya bila bercocok
tanam kembali akan mendapatkan hasil yang lebih berlimpah lagi.
Upacara
Pelas Tahun mulai diselenggarakan sejak tahun 1999, sekaligus merupakan agenda
rutin tahunan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Samarinda. Pada
awalnya, Upacara Pelas Tahun merupakan pesta rakyat yang diselenggarakan pada
saat panen, mulai dari sebelum memetik hasil panen hingga perayaan setelah
memetik hasil panen dilakukan, sebagai wujud rasa syukur atas rejeki yang telah
diperoleh. Namun bila ditilik lebih jauh tentang asal muasal upacara adat Pelas
Tahun yang merupakan ungkapan rasa syukur pasca panen ini merupakan upacara
adat yang telah ada sejak dahulu kala, namun tetap dilestarikan hingga saat ini
oleh Suku Dayak Kenyah yang bermukim di Desa Budaya Pampang yang dahulunya
adalah sub suku dayak Kenyah dari Long Us, Apokayan, Kabupaten Bulungan yang
berjumlah 35 orang, bermigrasi dari kawasan itu dan kemudian berkembang seperti
sekarang ini.
Pada
acara ini dimeriahkan dengan 2 jenis tarian utama, yaitu Tari Lemimpa dan Tari
Udo’ Aban, yang melambangkan warga Dayak dalam kesehariannya senantiasa memohon
berkat kepada Tuhan sebelum bekerja. Air yang digunakan dalam Lemimpa akan
disiramkan pada tanaman padi yang mulai tumbuh agar hasilnya melimpah. Tari Udo’
Aban ditarikan untuk mengusir hama tanaman, gangguan roh jahat dan bencana alam
hingga tanaman padi dapat tumbuh subur. Upacara ini juga menjadi simbol bahwa hasil
panen yang telah dipetik, layak/boleh untuk dinikmati. Selain digelar
tari-tarian upacara Pelas Tahun diselenggarakan pula beragam perlombaan
olahraga fisik, seperti lomba sumpit. Tradisi tersebut ditutup dengan
penyelenggaraan pesta yang menyuguhkan beragam hidangan mewah dan dapat
dinikmati sambil menyaksikan pergelaran tarian adat lain. Tujuan dari tradisi
ini adalah mendoakan agar roh nenek moyang memberkati hasil panen yang telah
dipetik dan agar semua hasil panen tersebut membawa keberkahan bagi seluruh
kampung, sekaligus sebagai media hiburan bagi masyarakat untuk berekreasi sejenak
setelah melakukan aktivitas rutin seharihari. Pada upacara inilah proses
sosialisasi antar individu masyarakat dapat berlangsung secara optimal.
Wisatawan yang merasa penasaran ingin
melihat langsung eksotis budaya desa pamang, adat istiadat dan sosok masyarakat
dayak, yang memang sudah terkenal di dunia. Selain itu, pemerintah juga
mendukung agar warga masyarakat dayak yang menghuni desa Pampang untuk bisa
mengembangkan potensi-potensi lainnya, contohnya membuat cindera mata seperti
manik-manik dan sejenisnya. Desa ini ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya
yang memperlihatkan kesenian serta kebudayaan oleh Pemerintah Daerah dan
menjadi tempat tinggal Suku Dayak Kenyah.
Sebenarnya
suku Dayak yang tinggal di Kampung Pampang merupakan sub-etnis Dayak Kenyah. Semula
kawasan tersebut merupakan hutan, namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa
Long , Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan
itu kemudian berkembang seperti sekarang ini. Kendati menerima budaya modern
dari luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan
ini dijadikan Kampung Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda. Warga suku
Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya leluhurnya, seperti
menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan tangan. Di Kampung ini pun masih
terdapat Lamin (rumah panjang khas Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin
membeli souvenir, di Desa Pampang banyak orang yang menjajakan berbagai pernak
pernik dari yang kecil hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung
kayu.
Beragam
kegiatan yang selalu menjadi agenda aktivitas masyarakat desa budaya Pampang
ini, setiap minggu pukul 14:00 dan dikenakan biaya Rp15.000/orang dan setiap
orang akan mendapatkan souvenir berupa gelang bertuliskan “Pampang”. Masyarakat
Dayak Kenyah di desa pampang selalu menggelar pertunjukan budaya seperti Kancet
Lasan, Kancet Punan, Kancet Nyelama Sakai, Enggang Terbang, Manyam tali, dan
masih banyak lagi. Biasanya
dilaksanakan dibangunan Lamin adat, bangunan lamin yang megah dan penuh dengan ukiran-ukiran khas dayak
akan menjadi daya tarik tersendiri.
Rumah Lamin adalah rumah adat dari Kalimantan Timur.
Rumah Lamin adalah identitas masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Rumah Lamin
mempunyai panjangsekitar 300 meter, lebar 15 meter, dan tinggi kurang lebih 3
meter. Rumah Lamin juga dikenal sebagai rumah panggung yang panjang dari
sambung menyambung. Rumah ini dapat ditinggal oleh beberapa keluarga karena
ukuran rumah yang cukup besar. Salah satu
rumah Lamin yang berada di Kalimantan Timur bahkan dihuni oleh 12 sampai 30 kelurga.
Rumah Lamin dapat menampung kurang lebih 100 orang. Pada tahun 1967, rumah
Lamin diresmikan oleh pemerintah Indonesia. Rumah Lamin memiliki ciri khas
yaitu berupa ukiran-ukiran atau gambar yang mempunyai makna bagi masyarakat Dayak
di Kalimantan Timur. Salah satu fungsi dari ukiran-ukiran atau gambar pada
tubuh rumah Lamin adalah untuk menjaga keluarga yang hidup dalam rumah dari
bahaya. Setiap warna yang dipakai untuk menghias rumah Lamin mempunyai makna. Warna
kuning melambangkan kewibawaan, warna merah melambangkan keberanian, warna biru
melambangkan kesetiaan, dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa. Rumah
Lamin dibuat dari kayu.
Samarinda sebagai
ibukota propinsi Kalimantan Timur menyimpan beragam potensi wisata. Selain desa
Pampang ada juga wisata kerajinan yang berada di daerah Samarinda Seberang
yaitu Kampung Tenun Sarung Samarinda.
Sarung Samarinda ini merupakan salah
satu kerajinan tangan khas Samarinda. Sarung Samarinda adalah jenis kain
tenunan tradisional khas Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Sarung ini dibuat
dengan cara ditenun dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang
disebut Gedokan. Produk yang dihasilkan untuk satu buah sarung memakan waktu
hingga berminggu-minggu, tak heran bila harga sarung samarinda tenun bisa
mencapai ratusan ribu rupiah.
Lokasi pengrajin sarung Samarinda
terletak di Gang Pertenunan Rt.02 di Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda
Seberang. Daerah ini menjadi sentral kerajinan tenun Sarung Samarinda dan pada
pertengahan bulan Maret 2012 lalu, kawasan ini dicanangkan sebagai percontohan
Kampung Pengrajin untuk dijadikan tujuan wisata nasional. Di kawasan ini,
pengunjung dapat berwisata dengan melihat langsung proses pembuatan tenun
Sarung Samarinda, sambil membeli sarungnya sebagai buah tangan.
Untuk bahan baku menggunakan benang
katun dan benang sponsilk (sutera China). Sedangkan untuk pemasaran sudah
mencakup skala nasional dengan harga jual yang relatif sangat terjangkau yaitu
kisaran 200-700 ribu Rupiah. Sedangkan untuk proses pembuatannya memerlukan
waktu hingga 2 minggu dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Namun
untuk motiv sarung tenun yang berbeda dan sedikit rumit proses pembuatannya
memerlukan waktu hingga 3 mingguan.
Dari informasi yang dijelaskan disini Indonesia
memiliki berbagai macam budaya contohnya saja Desa Pampang, Samarinda yang
masih bertahan dengan adat istiadat dan sosok masyarakat dayaknya. Kita bisa
melihat langsung bagaimana wanita dayak kenyah yang memiliki ciri khas
berkuping panjang dan tato. Selain itu, pemerintah juga mendukung agar warga
masyarakat dayak yang menghuni desa Pampang untuk bisa mengembangkan
potensi-potensi lainnya. Desa ini juga ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya
yang memperlihatkan kesenian serta kebudayaan oleh Pemerintah Daerah dan
menjadi tempat tinggal Suku Dayak Kenyah. Didesa tersebut biasanya menampilkan
beberapa kegiatan untuk memperkenal budaya tersebut. Seperti dengan
tari-tarian, budaya atau souvenir yang diberikan & diperjualkan. Wisata kerajinan
Kampung Tenun Sarung Samarinda tidak kalah bagusnya dimana Sarung Samarinda
adalah jenis kain tenunan tradisional khas Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan
sarung ini dibuat dengan cara ditenun dengan menggunakan Alat Tenun yang
disebut Gedokan. Untuk menghasilkan satu lembar sarung yang membutukan waktu
berminggu-minggu untuk mengerjakannya. Jangan sampai budaya seperti ini sampai
punah atau diakui negara lain. Sebagai generasi penerus Pariwisata di Indonesia
harus menjaga dan mempromosikan budaya yang ada di Indonesia. Semoga informasi
yang saya berikan bermanfaat bagi anda.
Wassalamualaikum wr.wb
LISA
HARDIANTI
KELAS
A
4423145742
Daftar Pustaka :
Sumber Foto :
Wah informasi baru ini buat saya, terima kasih banyak sharenya ya :D
ReplyDeleteWah makasih infonya bermanfaat banget
ReplyDeleteBaru ngerti sekarang.. Kalo ada kesempatan pengen kesana
ReplyDeleteIni ilmu baru buat saya. Terimakasih lisa untuk informasinya.. jangan bosen ya buat share pengetahuannya 😁😀
ReplyDeleteTerima kasih Lisa berkat membaca ini, jadi menambah pengetahuan . semoga bermanfaat bagi para pembaca yg lainnya yaa .
ReplyDeleteWaw makasih infonya yahh, keren dehh.
ReplyDeletePenjelasannya detail, menarik.
ReplyDeleteKeren banget ulasannya, makasih banyak buat infonya ^^
ReplyDeleteWahhh informasi yg sangat berguna, semoga saja dilain kesempatan bisa kesana. 🙏
ReplyDeleteBagus masukannya
ReplyDeleteInformasi yang sangat bermanfaat ^^ menambah pengetahuan dan wawasan tentang banyaknya ragam kebudayaan di negara kita. Semoga selalu terjaga kelestariannya. Terimakasih :)
ReplyDeletewah bagus banget informasinya, jadi menambah pengetahuan sekaligus jadi pengen ke sana hahaha
ReplyDeleteWaah keren nih .. nambah wawasan dan menarik untuk di kunjungi ..
ReplyDeleteGaya penulisan lebih komunikatif ya cantikk ...
Humba..! Humba..! Humba..!
ReplyDeleteHatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit.
Kua'-kua' te'leu mirip ngan tiga tawai, se'lu tawai, se'lu kimet, se'lu atai teleu nyelada dulu ira’ uva’e ka ngenja’at lebu’lu ni, tiga lu tawai lu, ngan lesau ira’ asi’ murip kume ileu, mpei lu uva’ ja’at kimet ngan senganak lu, selepe'apan.
@ianapokayan
Generasi Kenyah-Punan
Salam sejahtera.. :)
ReplyDelete~~ AKEU' MAGAT TONG TANA' ~~
Ei`,.. ineu' rengah ko' ?
Ngelan ka’au balei omok mena’ kegahang lem akeu jadi mare`ng kepe`h. :)
Akeu ngaken maneu jian tong tana' naneu ne'h magat tong tana'... Akeu lakau tong tana' dau nawa awah. Keruah ke' juk kivu akeu tai tong tana', naneu ne'h akeu' kenanak tong tana'.. :)
Akeu menyat ka'au nya'ap akeu tong kampe`n,.. nya'ap kampe`n poko tana'. Tana' mape` neu kereja batang. Mai tana' potong,... mai maneu kenat !
Jian` kenin :)
Ian Apokayan
~~~ oOo ~~~
~ ~ Saya mencintai hutan ~ ~
Hai,... Bagaimana keadaanmu?
Aku berharap Anda memiliki semangat baru dan juga memberi aku semangat. :)
Aku cukup mahir melakukan hal yang baik di hutan, karena aku mencintai hutan hujan... Aku hanya mampu berjalan di hutan di siang hari, Hai teman-teman, silahkan ikuti aku berjalan-jalan di hutan karena aku lahir di hutan. :)
Saya meminta Anda untuk membantu saya dalam kampanye, mendukung kampanye untuk menyelamatkan hutan. Tanah ini dihancurkan oleh pembalakan liar. Tidak merusak hutan kami,... jangan lakukan itu !
Terima kasih :)
Ian Apokayan
~~~oOo~~~
Terima kasih atas postingannya ya, cukup lengkap.
Bilamana ingin mengenal lebih jauh tentang tradisi adat, seni dan budaya kami bangsa Dayak di pulau Borneo (termasuk kerabat kami di Sarawak, Brunei dan Sabah), maka silahkan follow @ianapokayan.
Aku orang asli Dayak, dari keluarga besar suku Dayak Kenyah dan Punan, Borneo Utara. Masih banyak obyek wisata yang alami, mengasyikan dan menantang kecintaan kalian pada alam dan ekosistem hutan di Pulau Borneo.. salah satunya danau dengan 2 habitat, ada ikan air tawar dan ikan air laut/ asin yang dapat hidup dalam 1 danau, dan berair teramat jernih.. :)
Salam,
Ian Apokayan
081284638562