”Wisata Budaya Melayu di Pulau
Penyengat”
Tanjung
Pinang, mungkin tidak banyak orang mengetahui dimana letak kota tersebut. Ada
pula, yang merasa aneh ketika mendengar nama kota tersebut. Ketika orang yang
tidak mengetahui daerah tersebut, maka mereka akan langsung berkata “dimana tuh?” “hah? Jauh banget” “oh, yang deket Malaysia itu?”. Kurang lebih
orang-orang akan berkata demikian, untuk mengekspresikan apa yang mereka
pikirkan saat mendengar kata Tanjung Pinang.
Tanjung Pinang terletak di provinsi Kepulauan Riau. Kebanyakan
masyarakat Indonesia lebih mengetahui Batam yang merupakan salah satu kota di
Kepulauan Riau. Padahal ibukota dari provinsi Kepulauan Riau adalah Tanjung
Pinang. Kota Tanjung Pinang ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Yaitu dimulai
dari zaman sebelum kemerdekaan Indonesia.
Gambar 1. Tugu Raja Haji Fisabilillah ikon kota Tanjung Pinang
Provinsi Kepulauan Riau merupakan
provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Riau. Provinsi Kepulauan Riau
terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi
ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten
Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan
Kabupaten Lingga. Tanjung Pinang
terletak di koordinat 0º5′ Lintang Utara; 104º27′ Bujur Timur. Provinsi
Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara; negara
Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat di timur; Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau di
sebelah barat.
Adapun luas wilayahnya
sebesar 252.601 Km2, di mana sekitar 95% – nya merupakan lautan dan hanya sekitar
5% merupakan wilayah darat.
Sebelum kemerdekaan, Kota
Tanjungpinang berasal dari Kerajaan Melayu yang didirikan sekitar Abad XVI.
Menurut sejarah pusat pemerintahan berkedudukan di Pulau Penyengat, sekarang
ini menjadi lokasi pariwisata budaya sebagai pusat pengembang budaya melayu.
Dengan raja pertama yang memerintah adalah bernama Raja Abdul Rahman. Pada masa
pemerintahan raja dari tahun 1722-1911. Raja Abdul Rahman menjalankan dengan
adil dan bijaksana, sehingga kesejahteraan rakyatnya meningkat dan selain keberhasilan
menjalankan roda pemeritahanya, kawasan ini menjadi terkenal di Nusantara serta
kawasan Semenanjung.
Kawasan kota ini
merupakan bagian dari Kerajaan
Melayu, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugal, Sultan Mahmud Syah menjadikan kawasan ini sebagai pusat
pemerintahan Kesultanan
Malaka. Kemudian menjadi pusat pemerintahan Kesultanan
Johor, sebelum diambil alih oleh Belanda terutama setelah Belanda menundukan
perlawanan Raja Haji Fisabilillah tahun 1784 di Pulau
Penyengat.
Nama
Tanjung Pinang , di ambil dari posisi wilayahnya yang menjorok ke laut yang
banyak ditumbuhi pohon sejenis pohon pinang. Pohon yang berada di Tanjung
tersebut menjadi petunjuk bagi para pelayar yang akan masuk ke sungai Bintan.
Tanjung Pinang merupakan pintu masuk ke sungai Bintan, yaitu tempat dimana
terdapat kerajaan Bentan.
Sejak abad ke-18, Tanjung Pinang memang sudah menjadi ibu
kota bagi beberapa negara, karesidenan, dan provinsi. Kota itu beberapa kali
dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu dan Kesultanan Riau-Lingga.
Belanda juga menjadikannya sebagai pusat karesidenan yang wilayahnya membentang
dari Siantan di Laut Natuna hingga ke wilayah yang kini dikenal sebagai Riau
dan Sumatera Utara.
Tanjung Pinang sangat erat dengan budaya melayu karena
mayoritas penduduk di kota ini adalah orang melayu. Sehingga tradisi melayu
masih sangat terjaga kelestariannya di Tanjung Pinang. Budaya khas melayu
seperi bahasa, adat istiadat, kesenian khas melayu, rumah panggung khas melayu,
dan kebiasaan-kebiasaan orang melayu. Semuanya masih bisa disaksikan di Tanjung
Pinang. Keanekaragaman budaya melayu tersebut terdapat dalam bentuk
1.
Rumah Adat Kepulauan Riau memang sangat kaya dengan keragaman seni dan budayanya,
seperti halnya keragaman bentuk dari rumah adat. Salah satu bentuk rumah
tradisional masyarakat Kepulauan Riau adalah Limas Potong. Jenis rumah adat
melayu yang lain adalah rumah tradisional Belah Bubung. Lain halnya rumah adat
di provinsi Riau daratan, rumah tradisionalnya yaitu Rumah Lontik dan Rumah
Salaso Jatuh Kembar.
Rumah Limas Potong berbentuk rumah panggung,
sebagaimana rumah tradisional di Sumatra pada umumnya. Tingginya sekitar 1,5
meter dari atas permukaan tanah. Dinding rumah dibuat dari susunan papan warna
coklat, sementara atapnya berupa seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta
pilar anjungan depan rumah dicat minyak warna putih.
Adapun rumah adat Kepulauan Riau lainnya yaitu Belah
Bubung. Dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Nama
rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya terbelah.
Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama rumah
Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda,
karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting
dan Limas.
2.
Seni Tari
Daerah Riau atau secara administratif disebut Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri) memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dari mulai sastra, musik,
dan tari. Salah satu dari kekayaan Kepri ialah Tari Melemangdan Tari Tandak.
-Tari Melemang
Salah satu tarian tradisional dari Kepulauan Riau yakni Tari Melemang.
Menurut sejarahnya tari Melemang berasal dari Tanjung Pisau Negeri Bentan
Penaga, kecamatan Bintan. Tarian ini pertama kali dimainkan sekitar abad ke-12.
Ketika itu, tari Melemang hanya dimainkan di istana Kerajaan Melayu Bentan yang
pusatnya berada dibukit batu, Bintan. Tarian ini hanya dipersembahkan bagi Raja
ketika sang Raja sedang beristirahat, karena merupakan istana yang ditarikan
oleh para dayang kerajaan. Namun setelah kerajaan Bentan mengalami keruntuhan
tari Melemang berubah menjadi tarian hiburan rakyat.Tari melemang biasanya
dimainkan oleh 14 penari, diantaranya seorang pemain berperan sebagai Raja,
seorang berperan sebagai permaisuri, seorang berperan sebagai puteri, empat orang
sebagai pemusik, seorang sebagai penyanyi serta enam orang sebagai penari,
mereka menggunakan kostum bergaya melayu sesuai dengan perannya.
- Tari Tandak
Tarian tandak ini merupakan tarian dengan mengkombinasikan nyanyian. Bentuk
tariannya berupa pantun yang saling bertimbal-balik antara kelompok pria dan
wanita. Lagu atau pantun pada tarian ini berisi tentang hal-hal yang ada di
bumi atau mengenai kehidupan sehari-hari manusia. Tari tandak adalah tarian
pergaulan yang sangat digemari atau disukai di daerah Riau. Tari ini merupakan
gabungan antara seni tari dan sastra, biasanya dipertunjukan pada malam hari.
Tarian ini bertujuan agar pemuda dan pemudi mempunyai
kesempatan untuk bertemu. Pertemuan itu kadang-kadang berakhir pada jatuh
cinta. Tari Tandak menjadi media silaturahmi tempat bertemunya antara pemuda
dan pemudi antar kampung. Banyak pasangan suami istri yang bermula dari
pertemuan acara tari Tandak ini namun ada pula yang kisah cintanya tidak
direstui pihak keluarga.
Tarian ini juga melambangkan ikatan ikatan yang
terjalin antara teman-teman yang berlainan kampung. serta menciptakan rasa aman
antar kampung. Dalam tarian ini, semua peserta bebas memilih pasangan. Karena
tarian ini merupaka hiburan sekaligus silaturahmi, acara ini banyak dihadiri oleh
warga, dari anak kecil hingga orang dewasa. Secara rutin acara tari tandak ini
dilaksanakan setiap bulan Juli-Oktober setiap tahunnya, di mana pada
bulan-bulan tersebut para petani usai melaksanakan panen.
3. Senjata Khas Kepulauan Riau
TumbukLada (Badik Tumbuk)
Tumbuk Lada merupakan sejenis senjata tradisional dari
daerah Kepulauan Riau yang digunakan para panglima perang dalam pertempuran.
Selain itu, Tumbuk Lada atau disebut Badik Tumbuk ini pada zaman dulu juga
menjadi salah satu kelengkapan pakaian adat selain keris di Kepulauan Riau,
Deli, Siak dan Semenanjung Tanah Melayu. Panjang pedang ini mencapai satu
meter. Pada pangkal sarung Tumbuk Lada terdapat bonjolan bundar yang selalunya
dihias dengan ukiran yang dipahat. Sarung senjata ini selalunya dilapis dengan
kepingan perak yang diukir dengan pola-pola rumit.Panjang bilah tumbuk lada
sekitar 27 cm hingga 29 cm. Lebar bilahnya sekitar 3.5 cm hingga 4 cm. Dari
tengah bilah sampai ke pangkalnya terdapat alur yang dalam.Tumbuk Lada digunakan secara menikam, mengiris dan menusuk dalam
pertempuran jarak dekat. Ia boleh dipegang dengan dua jenis genggaman yaitu
dengan mata keatas ataupun mata ke bawah. Senjata lainnya adalah kelewang,
digunakan prajurit tempo dulu.
4. Pakaian Adat Khas Kepri
Pria:
Pakaian pria yang digunakan pria disebut baju teluk
belanga. Baju ini dipadankan dengan celana panjang yang disuji. Sehelai kain
diikatkan ditengah badan hamper menyentuh lutut. Bagian kepala ditutup dengan
destar atau tanjak. Pada hari pernikahan pengantin pria memakai jubah yang
dilengkapi celana panjang, kain selempang dan ikat pinggang. Pengantin ini
memakai tutup kepala yg disebut ketu.
Wanita:
Wanita memakai atasan berupa baju kurung dan kain
selempang yang telah disuji. Bawahannya adalah kain songket dengan motif yang
cantik. Pakaian ini dilengkapi dengan perhiasan berupa anting, gelang dan
cincin. Pakaian pengantin dilengkapi baju telepuk dan kain cual. Sanggul kepala
dihiasi tusuk cempaka emas dan penutup dahi atau pasiani. Perhiasan lain yang
biasa digunakan adalah pending gelang dan cincin terbuat dari emas.
Pusat
budaya dan sejarah Melayu di Tanjung Pinang adalah pulau penyengat. Pulau ini
terletak 1,50 Km dari kota Tanjung Pinang. Transportasi
menuju pulau ini adalah menggunakan perahu motor yang biasa disebut oleh
masyarakat sekitar dengan nama pompong. Pompong ini tersedia baik di pelabuhan
Tanjungpinang maupun di pelabuhan Penyengat yang melayani penumpang dari pagi
yaitu sekitar pukul 06.00 WIB sampai dengan malam sekitar pukul 21.00 WIB. Dari
Tanjungpinang menuju Pulau Penyengat memerlukan waktu kurang lebih 15 menit
perjalanan yang ditempuh dengan pompong. Ongkos untuk para penumpang pompong
berbeda, yaitu apabila warga Pulau Penyengat dikenakan ongkos sebesar Rp.
1000,- sampai dengan 1500,- tetapi apabila pengunjung akan dikenakan ongkos
sebesar Rp. 2000,-. Namun apabila ada pesta perkawinan ataupun khitanan di
Pulau Penyengat dan kebetulan banyak warga Tanjungpinang yang menjadi undangan,
maka para undangan yang datang dari luar Penyengat tidak dipungut bayaran
karena tuan rumah telah menyediakan kendaraan laut tersebut yaitu dengan jalan
menyewa 2 sampai 4 pompong untuk keperluan menjemput dan mengantar para
undangan yang datang. Untuk membedakan pompong penumpang dengan pompong yang
mempunyai hajat, biasanya di atap depan pompong tersebut diselipkan bunga
manggar yaitu sejenis hiasan dari lidi yang dililitkan kertas krep
berwarna-warni sebagai tanda agar penumpang tidak keliru. Hiasan ini biasa
digunakan oleh masyarakat melayu ketika menyelenggarakan sebuah hajatan, baik
hajat perkawinan, khitanan, khatam Al-Quran, dan lain-lain.
Selain itu tempat menunggu penumpangpun dibedakan pula,
apabila untuk penumpang umum pompong yang menunggu di pelabuhan depan,
sedangkan untuk para undangan di pelabuhan belakang yang berjarak sekitar 100
meter. Adapun alat transportasi di darat yaitu kendaraan berupa becak motor
yang dapat dipakai oleh masyarakat setempat dan pengunjung. Rata-rata ongkos
becak ini adalah Rp.2000,-. Untuk para pendatang atau wisatawan yang ingin
mengunjungi situs-situs bersejarah mereka dikenakan biaya Rp15.000 sekali jalan
yang dapat mengelilingi seluruh tempat wisata yang ada di Pulau penyengat.
Nama Penyengat di berikan kepada pulau ini di
karenakan beberapa waktu yang lalu (sebelum zaman kerajaan) ada beberapa
pelaut suku Bugis yang datang mengambil air bersih dan saat itu di serang oleh
Penyengat (lebah) yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia. Sejak saat itu,
beberapa rekan nya menamakan pulau ini sebagai Pulau Penyengat. Sekarang pulau
penyengat telah di jadikan seperti desa wisata karena banyak wisatawan yang
mengunjungi pulau ini. Bahkan ada anggapan jika seseorang yang datang ke
Tanjung Pinang lalu tidak menyingahi pulau ini. Maka orang tersebut dianggap
belu pernah menginjakkan kaki di Kepulauan Riau.
Tempat wisata yang
menjadi ikon pulau penyengat adalah Masjid Sultan Riau. Masjid ini berdiri pada
tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M) oleh Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda
Riau VII. Bangunannya megah dan terawat dengan baik. Pesona masjid ini sudah menarik perhatian
para pengunjung bahkan ketika masih diperjalanan menuju pulau penyengat karena
bangunan masjid yang berwarna kuning mencolok. Walau terkesan tidak lazim untuk
bangunan mesjid yang umumnya berwarna putih. Warna kuning sendiri memiliki arti
yang sangat dalam bagi Kesultanan Riau yakni lambang kebangsawanan, kejayaan
dan kemasyuran. Dan warna kuning juga menjadi warna yang melambangkan ciri khas
orang Melayu.
Gambar
2. Masjid Raya Sultan Riau Penyengat
Keistimewaan lain dari Masjid Penyengat
adalah memiliki empat pilar yang berfungsi sebagai pengeras saat datang waktu
sholat. Dan ada empat menara yang
menghias kubahnya yang berbentuk seperti bawang. Ada dua bangunan kembar di
kiri dan kanan depan masjid. Sementara di bagian belakang terdapat sejumlah
makam keluarga Sultan. Pesona bangunan masjid ini juga terlihat dari
kubah-kubahnya yang berjumlah 17 buah yang merepresentasikan jumlah rakaat
shalat 5 waktu.
Masjid Raya Sultan Riau berukuran
18×19,80 m. Berdiri di atas lahan seluas sekitar 55×33 m. Keseluruhan bangunan
masjid berwarna kuning. Menurut cerita masyarakat, Sultan memerintahkan
menggunakan putih telur untuk memperkuat dinding masjid. Sementara untuk warna
menggunakan kuning telur. Tentu saja di butuhkan berton-ton telur yang digunakan
untuk mengecat masjid ini agar tampak mencolok. Namun sayang sekali, di zaman sekarang
warna masjid yang kuning sudah menggunakan cat.
Adapun
daya tarik lain yang membuat Pulau Penyengat selalu dikunjungi oleh para
wisatawan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri terutama wisatawan
yang datang dari negara Singapura dan Malaysia mereka ingin mengunjungi
peninggalan-peninggalan sejarah selain masjid yaitu, bekas istana atau kedaton,
makam raja-raja Melayu beserta keluarganya, benteng pertahanan, tempat
pemandian puteri, dan lain-lain. Warga Singapura dan Malaysia yang berkunjung
ke Penyengat terutama ingin berziarah ke makam Raja-raja. Alasannya Raja-raja
yang dimakamkan di Pulau Penyengat adalah raja-raja Melayu yang kekuasaannya
mencakup negeri Singapura dan Malaysia.
Gambar 3. Makam para raja yang menjadi tempat ziarah
Tempat yang tak kalah penting untuk dikunjungi adalah makam Raja Ali Haji
sang pujangga melayu atau lebih terkenal sebagai pencipta Gurindam Dua Belas. Gurindam dua belas adalah
sekumpulan syair yang diciptakan oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Beliau
adalah seorang sastrawan di Kepulauan Riau pada masanya dan diakui sebagai
salah satu Pahlawan Nasional.
Mengenai sebab-sebab Raja Ali Haji
menciptakan gurindam adalah sebagai mas kawin yang diberikan kepada Engku
Puteri Hamidah yang tinggal di Pulau Penyengat. Mas kawin ini dipahatkan di
batu marmer sebagai bukti rasa cintanya. Raja
Ali Haji menulis Gurindam Dua Belas berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
Kumpulan pasal-pasal dalam Gurindam Dua Belas ini berisi tentang ibadah,
kewajiban raja, kewajiban anak, kewajiban orang tua, budi pekerti luhur, dan
hidup dalam bermasyarakat. Sesuai dengan prinsip gurindam, yaitu larik pertama
adalah “syarat” sedangkan larik kedua merupakan “jawab”, larik kedua pada
Gurindam Dua Belas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada seseorang
apabila seseorang masuk ke dalam kondisi pada larik pertama. Apabila banyak mencela
orang, itulah tanda dirinya kurang berarti bila seseorang berada dalam kondisi
sering (banyak) mencela orang lain, berarti ia adalah orang yang kurang baik
atau memiliki cacat yang sebenarnya pantas dicela. Gurindam Dua Belas
menggunakan Bahasa Melayu yang merupakan dasar dari Bahasa Indonesia.
Gambar 4.
Gurindam dua belas pasal pertama
Dalam kata-kata yang termaktub di
gurindam tersebut sangat kental sekali nuansa keislaman, dikarenakan gurindam
tersebut memang berisi wejangan maupun nasehat yang sangat berguna dan bersifat
universal bagi masyarakat, khususnya masyarakat dimana Raja Ali Haji itu
tinggal, yaitu masyarakat Melayu. Hal ini dimungkinkan karena dominannya unsur
Islam dalam kehidupan bermasyarakat di kebudayaan Melayu sebagai dampak dari
lancarnya proses Islamisasi di wilayah tersebut, khususnya kepulauan Riau.
Di pulau Penyengat ini juga terdapat
balai adat melayu. Balai Adat merupakan salah satu komponen perangkat adat-istiadat
masyarakat melayu. Di Balai Adat biasanya digunakan oleh para tokoh
,cendekiawan, alim ulama, dan masyarakat untuk berkumpul bermusyawarah dan
bermufakat serta segala kegiatan yang berhubungan dengan adat. Dahulu pada masa
kerajaan, balai adat merupakan salah satu dari tiga komponen perangkat
eksistensi dari sebuah kerajaan, yaitu Istana, Masjid, dan Balai Adat.
Gambar 5. Balai Adat Melayu Indera Perkasa di pulau Penyengat
Di dalam gedung, kita
dapat melihat tata ruang dan beberapa benda perlengkapan adat resam Melayu,
serta berbagai perlengkapan atraksi kesenian yang digunakan untuk menjamu
tamu-tamu tertentu. Di bagian bawah Balai Adat ini terdapat sumur air tawar
yang konon sudah berabad lamanya dan sampai sekarang airnya masih mengalir dan
dapat langsung diminum.
Gambar 6. Pelaminan khas melayu di balai adat
Balai adat ini juga biasa digunakan oleh warga pulau penyengat untuk
melangsungkan acara pernikahan. Balai adat ini menyediakan pelaminan dan bahkan
menyediakan kamar pengantin. Semuanya bernuansa melayu lengkap dengan aksen
warna mencoloknya, namun itulah yang menambah semarak pernikahan adat melayu.
Di tengah era modern seperti sekarang ini. Dimana pengaruh
globalisasi semakin menjadi musuh kelestarian budaya bangsa. Pulau Penyengat masih menawarkan nostalgia kebesaran
Kesultanan Melayu Riau dan juga kebudayaan melayu yang masih sangat terjaga. Di
Pulau kecil ini kita bisa mengetahui betapa majunya kerajaan melayu pada zaman dahulu. Karya-karya agung dalam
bidang sastra lahir dari pulau ini. Peninggalan-peninggalan bersejarah masih
terawat meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Semua dipadukan dengan alam
pulau yang asri dengan keramahan penduduk Pulau Penyengat yang melemparkan
senyum kepada setiap tamu yang datang.
Sebagai
orang-orang yang mendalami kepariwisataan Indonesia. Kisa sebagai mahasiswa
pariwisata harus mengetahui setiap potensi wisata Indonesia. Wisata tidak
selalu tentang wisata alam yang hanya mengandalkan keindahan pemandangannya
saja. Namun, potensi wisata seperti wisata budaya dan sejarah juga harus
dikembangkan. Karena wisata budaya dan pendidikan akan memberikan pengalaman dan
pengetahuan tentang keunikan budaya setiap daerah di Indonesia untuk kita
semua. Sebagai penutup dari artikel ini, izinkan saya untuk menyampaikan sebuah
pantun.
Dari Lingga ke pulau Bintan
Pergi ke pasar membeli buah
Demikianlah
informasi saya sampaikan
Mohon maaf
atas kata yang salah
Terima kasih J
Sumber
:
http://www.huteri.com/2141/mengenal-makna-atau-maksud-dari-gurindam-12https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Penyengat
Nama : Raja Nurasima
Nim : 4423143944
Usaha Jasa Pariwisata
Universitas
Negeri Jakarta
No comments:
Post a Comment