Sunday, January 3, 2016

Tugas 5 - Observasi Suku Baduy

Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Baduy

Hello semua Perkenalkan nama saya Karina Ginting, saya biasa di panggil dengan sebutan Ginting oleh teman-teman saya, karena Ginting merupakan nama marga bagi orang sumatera utara dan Saya lahir di Jakarta pada tanggal 7 Febuary 1995 saya anak ke dari 2 bersaudara, kami berdua perempuan, Status saya sebagai mahasiswa usaha jasa pariwisata di Unversitas Negeri Jakarta atau yang biasa di kenal dengan UJP 2014. Awalnya saya tidak begitu tau jelas mengenai jurusan yang saya pilih, karena tadinya jurusan ini bukan pilihan yang pertama, melainkan pilihan yang ke dua bagi pada saat menggikuti tes seksi masuk universitas, orang tua saya selalu menyakinkan saya bahwa pilihan yang saya dapat tidak salah dan dari situ saya mulai menyukai pariwisata seperti pepatah yang mengatakan “ My life is my adventure ”.
Foto di Baduy Luar

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari dan Indonesia memiliki beragam kesenian dan berbagai macam upacara adat mulai dari sabang sampai merauke. Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak.

Perjalanan saya dengan teman-teman berangkat dari kampus kami UNJ menuju ke Baduy menggunakan alat trasportasi kereta Api, Rangkas Jaya tujuan Tanah Abang –Rangkas bitung, kereta api kami berangkat Pukul 08.00 kami pun sudah menunggu kereta mulai dari jam 06.00. Setelah kereta datang kami langsung naik kedalam dan mencari tempat duduk yang sesuai pada tiket kereta dan perjalanan yang akan ditempuh selama 2 jam untuk menuju kestasiun Rangkas bitung.
Setelah kami sampai diStasiun Rangkas bitung, kami sudah di sambut oleh salah satu warga Desa Baduy Luar yaitu mang Arji. MangArji sebagai pemandu kami  mulai dari stasiun Rangkas bitung hingga ke DesaBaduy, keluar dari stasiun Rangkas bitung kami pun langsung naik elf yang sudah disewa oleh kami. Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping :

  Ø  Kelompok tangtu (baduy dalam) suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
     
  Ø  Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar),
       Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.




Anak Baduy
Souvenir Baduy










Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian, rambutan, pisang dan asam keranji, serta madu hutan. Masyarakat Kanekes hayati dari bertani. Selain itu, hutan di daerah Kanekes juga sangat menghasilkan. Berbagai macam buah tumbuh di hutan mereka. Karena itu, mereka hayati dari berjualan hasil bumi dan buah-buahan yang mereka peroleh dari hutan, serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.  Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri. Adapun sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy. Hingga saat ini, masyarakat Kanekes masih melakukan upacara seba. Yaitu upacara tanda patuh pada penguasa. Upacara seba ini dilakukan setahun sekali. Dalam upacara itu, masyarakat memberikan hasil bumi mereka kepada Gubernur Banten, nan dianggap sebagai penguasa setempat.

Kerajinan Tenun di Baduy
 Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “ Suku baduy masih setia dengan adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti leluhurnya.

Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari. Orang Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy. Kemandirian mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.

 “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di ladang dan menimba kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur Boedihartono, antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku Baduy selama beberapa tahun. “Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang meneladani moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku orang Baduy dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka pun polos, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi. Untuk menjaga kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa) Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang. Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam di sana. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.



Daftar Pustaka



Karina Ginting 
4423143948
Usaha Jasa Pariwisata A 2014
karinaginting02@yahoo.com





4 comments:

  1. refrensinya keren, ternyata begitu kehidupan msyrkt baduy. itu gambar anak kecil bawa duren, dia jualan duren ? masih kecil udh disuruh nyari duit. Oke liburan langsung kesana

    ReplyDelete
  2. dengan membaca artikel ini wawasan saya akan suku2 yang saya tidak ketahui dapat saya ketahui juga,,,,

    ReplyDelete
  3. Informasi yang unik.. Menambah wawasan tentang suku baduy lbh dalam..kereenn

    ReplyDelete
  4. Banyak orang mengira suku baduy kurang bersahabat, dengan membaca informasi ini membuat orang lain berniat untuk mengetahui kehidupan sesungguhnya suku baduy

    ReplyDelete