Perkawinan
Orang Baduy
Perkenalkan nama saya Muhamad
Shafwan Iswara, saya adalah anak pertama dari dua bersaudara yang berasal dari
keluarga ternama di ibukota ini yaitu DKI Jakarta. Saya terlahir di kota ini
tepat nya pada tanggal 5 Maret 1995, tapi perlu kalian ketahui saya tidak asli
berasal dari Jakarta alias bukan orang asli Jakarta. Ayah saya adalah orang
campuran dari daerah Jawa Timur dan Belanda dan Ibu saya adalah orang asli dari
Nusa Tenggara Barat. Orang tua saya memberikan nama Muhamad Shafwan Iswara
diperoleh dari banyak cerita, yang pertama yaitu Muhamad nama ini di ambil dari
nama rasul kita yaitu Muhammad SAW, yang kedua Shafwan nama ini adalah murni
nama saya sendiri yang di karenakan saya adalah anak pertama (Shaf = barisan
& wan(one) = satu atau pertama), dan yang terakhir adalah Iswara, Iswara
ini sendiri adalah nama keluarga yang saya sebutkan tadi di atas, dan ini
adalah nama turun temurun dalam keluarga saya yang sudah bertahun tahun silam
lamanya, jika anda tanyakan dari kapan, saya tidak bisa menjawab nya karena
saya sendiri pun tidak mengetahui asal usul nya.
·
Perkawinan Sebuah Kewajiban
Bagi masyarakat Baduy sendiri,
perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Karena alasan itu-lah maka tata cara
perkawinan pun—dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga—juga
diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat.
Bagi masyarakat Baduy, prinsip
hidup berumah tangga adalah hidup selamanya. Dalam persepsi masyarakat Baduy,
jika seseorang sudah menentukan pasangan hidupnya, maka ia harus-lah
bertanggung jawab terhadap keluarganya termasuk di dalamnya dilarang untuk
menyakiti pasangan hidupnya dalam bentuk apa pun.
Masyarakat Baduy meyakini bahwa
perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan wajib dilakukan oleh
seluruh masyarakat Baduy tanpa terkecuali. Menurut mereka, perkawinan adalah
merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa
terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup, artinya
bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi
kodratnya sebagai manusia.
Ungkapan tersebut dengan jelas
diutarakan oleh salah seorang sesepuh Baduy sendiri bernama Ayah Mursid. Ia
mengatakan; ”Berbicara alam dunya teu bisa leupas jeung ngaran manusa. Sabab
alam dunya teu dititipkeunana ka manusa, keur ngamumule jeung melihara alam
supaya nyambung maka manusa kudu boga katurunan, anak, incu, buyut bisa aya
cukang lantarana manusa kawin makana perkawinan ieu hiji kawajiban atawa rukun
hirup manusa supaya ieu dunia bisa terus langgeng”. (Artinya: berbicara tentang
dunia tidak terlepas dari yang namanya manusia. Sebab alam dunia ini dititipkan
pada manusia, untuk menjaga dan memelihara alam agar supaya tetap
berkelanjutan, karena itu, maka manusia harus mempunyai keturunan; anak, cucu,
adanya buyut karena manusia kawin, makanya perkawinan adalah sebuah kewajiban
atau disebut dengan ”rukun hidup” manusia agar dunia ini tetap langgeng).
·
Batas Usia Calon Pengantin
Dalam tata cara perkawinan yang
diperaktekkan masyarakat Baduy, dan demi untuk menjaga harmonisasi keluarga,
maka aturan tentang batas usia minimal juga menjadi poin penting untuk
pertimbangan oleh adat Baduy. Hal ini penting diatur, mengingat, dalam membina
keluarga dibutuhkan mental yang kuat agar segala beban hidup berkeluarga dapat
diselesaikan dengan tanpa mengorbankan keutuhan keluarga. Alasan lain kenapa
masyarakat Baduy melarang anak-anak mudanya untuk menikah muda karena ada
anggapan bahwa jika menikah muda akan dapat merusak atau tidak baik bagi
keturunan yakni akan menghasilkan keturunan yang lemah. Karena alasan itu-lah,
maka bagi masyarakat Baduy, ketentuan adat yang mengatur seseorang boleh
menikah jika si perempuan sudah mencapai usia minimal 14 tahun dan laki-lakinya
minimal berusia 17.
Ketatnya aturan adat tentang batas
minimal warga Baduy boleh melakukan pernikahan karena hal ini merupakan ajaran
sakral sebagaimana tercatat dalam naskah Sanghiyang Siksakanda Ng Karesian pada
tahun 1518 M. Di antara isinya adalah; ”inilah ketentuan untuk kita menjodohkan
anak, jangan dikawinkan terlalu muda. Tidaklah baik menjodohkan anak di bawah
umur, karena nanti kita terbawa salah dan nanti yang mengawinkannya disalahkan
juga”.
Meskipun aturan adat begitu ketat
melarang prilaku nikah muda, akan tetapi ketika saya terjun kelapangan,
ternyata masih ada juga beberapa masyarakat Baduy—terutama Baduy Panamping—yang
berani melanggar ketentuan adat prihal batas minimal seseorang boleh menikah.
Di sebagian masyarakat Baduy, terutama Baduy Panamping ternyata batas minimal
seseorang boleh menikah terkadang tidak menjadi patokan, mereka berprinsip
asalkan terlihat sudah bisa bertanggung jawab, maka pernikahan itu pun
diizinkan. Bahkan tak jarang ditemukan praktek perkawinan yang masih di
bawah umur, khususnya pada kalangan perempuannya, yaitu antara usia dua belas
sampai dengan lima belas tahun. Bahkan ada pula yang menikah dibawah usia dua
belas tahun. Praktek perkawinan di bawah umur ini bagi masyarakat Baduy dikenal
dengan istilah “kawin gantung” yakni praktek perkawinan yang tidak seperti
biasanya yakni hanya dilakukan secara akad saja dan biasanya secara
sembunyi-sembunyi.
·
Perkawinan
Silang
Baduy Tangtu dan Baduy Panamping,
Orang Baduy dan Orang Luar Baduy
Meskipun secara hirarki masyarakat
Baduy terbagi dua (Baduy Tangtu dan Baduy Panamping), akan tetapi dalam pola
perkawinannya, masyarakat Baduy, dalam hal ini seorang pemuda atau laki-laki
Baduy Tangtu ternyata masih diperbolehkan untuk menikahi gadis atau perempuan
Baduy Panamping. Bahkan, meskipun status mereka sudah berubah menjadi warga
Baduy Panamping, kedudukan istrinya tersebut dapat diangkat kembali menjadi
warga Baduy Tangtu dan mereka biperbolehkan untuk kembali hidup di
wilayah Baduy Tangtu. Akan tetapi sebaliknya, jika gadis atau perempuan
Baduy Tangtu menikah dengan pemuda atau laki-laki warga Baduy Panamping, maka
status suaminya tidak boleh dibawa dan atau menjadi warga Baduy Tangtu, dan
secara otomatis keduanya harus hidup diwilayah Baduy Panamping. Dengan
demikian, dapat disimpulkan, bahwa dalam hal ini, status warga seorang istri
harus mengikuti status suaminya.
Selain pola perkawinan silang di
atas, ada juga pola perkawinan silang antara orang Baduy dengan orang luar
Baduy. Dalam hukum adat Baduy perkawinan seperti itu tidaklah dilarang.
Meskipun begitu, aturan adat Baduy secara tegas mengatakan bahwa jika ada orang
Baduy—baik laki-laki maupun perempuan—menikah dengan orang luar Baduy, maka ia
harus keluar secara resmi dari anggota kesukuannya dengan terlebih dahulu didoakan
oleh tokoh adat demi keselamatan dan kebahagiaan rumah tangganya. Ketika sudah
resmi keluar dari komunitas Baduy, maka proses perkawinan sudah tidak boleh
memakai tatacara Baduy lagi, melainkan tata cara orang luar Baduy sesuai dengan
tradisinya.
·
Praktek Perjodohan
Dalam tradisi hidup ber-rumah
tangga masyarakat Baduy, peranan orang tua sangat dominan. Jika salah satu
anaknya hendak berkeluarga, maka sang anak tidak diperkenankan menikah tanpa
restu atau pilihan orang tuanya. Bagi masyarakat Baduy, praktek pernikahan
melalui penjodohan mesih tetap berlaku, bahkan telah menjadi ketentuan adat
yang harus diikuti. Karena itu, praktek berpacaran layaknya seperti masyarakat
di luar Baduy tidak pernah dikenal.
Ketika saya mencoba membandingkan
pola perkawinan antara Baduy Tangtu(Dalam) dan
Baduy Penamping (Luar), ternyata ada perbedaan dari sisi perjodohan.
Bagi masyarakat Baduy Tangtu, praktek perjodohan masih tetap
dipatuhi, dan mereka dilarang untuk melanggarnya. Sedangkan bagi masyarakat
Baduy Panamping, praktek perjodohan ini nampaknya lebih longgar. Dalam
masyarakat Baduy Panamping, sudah banyak ditemukan pasangan muda-mudi
yang menikah berdasarkan hasil pilihannya sendiri, bahkan tanpa melibatkan
orang tua. Bahkan pada masyarakat Baduy Panampingsudah dikenal model
berpacaran (bobogohan) layaknya seperti masyarakat luar Baduy dengan model yang
lebih sederhana.
Meskipun begitu, pada dasarnya
semua warga Baduy tetap mementingkan restu orang tua akan pilihan mereka dan
hal ini tetaplah menjadi pegangan yang harus dipatuhi. Kondisi yang jauh lebih
longgar juga ditemukan pada masyarakat Baduy Dangka.
Meskipun aturan adat prihal
bagaimana hubungan antara laki-laki dan perempuan Baduy begitu ketat, akan
tetapi warga muda-mudi Baduy tetaplah bergaul satu sama lainnya, layaknya
seperti masyarakat luar Baduy. Hanya saja, ketika mereka hendak mengenal
seorang gadis Baduy secara lebih dalam untuk dijadikan istri, maka biasanya
mereka mengunjungi rumah seorang gadis tersebut secara berkelompok. Hal ini
merupakan aturan adat untuk mencegah prilaku yang dilarang dalam ketentuan adat
Baduy. Di antara ketentuan adat tersebut mengatakan bahwa seorang laki-laki
Baduy yang bukan anggota keluarganya di larang menyentuh—seperti mencium atau
lebih dari itu—seorang gadis Baduy. Dan jika hal itu terjadi, maka keduanya
akan mendapatkan hukuman adat yang cukup berat.
Dalam masyarakat adat Baduy,
ditentukan bahwa antara seorang pria dengan seorang wanita yang belum menikah
dilarang berhubungan rapat, termasuk di dalamnya bersentuhan tangan. Karena itu
hubungan berpacaran bagi masyarakat Baduy adalah hal yang dilarang oleh adat.
Lalu bagaimana jika antara seorang laki-laki berkeinginan mengenal lebih jauh
dengan seorang perempuan, aturan adat menentukan bahwa jika ada seorang pria
hendak mengenal seorang perempuan atau berkunjung kerumah seorang perempuan
tidak dilakukan dengan sendirian, akan tetapi dilakukan
dengan beramai-ramai bersama beberapa orang pria. Ketentuan adat ini
diberlakukan demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam praktek perjodohan di Baduy
Tangtu ini biasanya dilakukan pertama kali oleh orang tuanya, lalu kemudian
dilaporkan kepada sesepuh kampung itu sendiri. Dalam ketentuan adat, apabila
ada seorang pria yang sudah siap untuk menikah dan membentuk sebuah rumah
tangga, maka ia harus membicarakannya terlebih dahulu
kepada Puun (ketua suku). Setelah melakukan pembicaraan
dengan Puun, maka langkah selanjutnya—jika belum menemukan
pasangan—, Puun akan mencarikan jodoh yang sesuai. Setelah proses
pencarian jodoh ini selesai, maka Puun pun memberika izin kepada
pihak laki-laki tersebut untuk melamar pihak perempuan hasil
petunjuk Puuntersebut.
·
Upacara Perkawinan Orang Baduy
Pada bagian ini akan coba
ditelusuri lebih jauh bagaimana praktek atau upacara dari perkawinan Orang
Baduy.
Berdasarkan hasil pengamatan
terkait proses perkawinan yang ada di masyarakat Baduy, ternyata ada dua model
proses perkawinan. Proses perkawinan yang di lakukan pada masyarakat Baduy
Tangtu dan Baduy Panamping memiliki perbedaan.
Pada masyarakat Baduy Tangtu,
ketika ke dua keluarga atau pihak telah sepakat untuk saling menjodohkan
anaknya, maka untuk sampai pada tujuan utama yakni melakukan perkawinan,
biasanya mereka melakukan beberapa prosesi ritual adat yang sudah ditentukan
secara turun temurun. Adapun prosesi adat pra-perkawinan yang biasanya
dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah prosesi pelamaran atau dalam bahasa
mereka disebut dengan “lalamar”.
Dalam
proses pelamaran, biasanya dilakukan sebanyak tiga tahap.
Lamaran pertama, dilakukan di rumah
pihak perempuan pada waktu sore hari. Proses lamaran ini dilakukan ketika
anak-anak mereka masih berada di ladang. Biasanya pihak orang tua pria
mendatangi rumah orang tua si perempuan dengan membawa sirih pinang sebagai
simbol bahwa kedatangan mereka akan melamar anaknya. Setelah ada kesepakatan
antara pihak laki-laki dan perempuan, maka pihak laki-laki pun mendatangi Jaro
Tangtu dalam rangka bermusyawarah membicarakan maksudnya akan mengawinkan
anaknya. Ketika berkunjung menemui Jaro Tangtu, pihak laki-laki biasanya
membawa perlengkapan syirih atau nyirih dalam bahasa mereka sebagai syarat
wajib yang harus dilakukan dalam proses lamaran pertama. Dalam pertemuan ini,
agenda yang dibicarakan adalah prihal penentuan waktu (hari, tanggal, dan
bulan) untuk proses lamaran kedua. Setelah pembicaraan itu selesai, maka Jaro
Tangtu pun keesokan harinya membicarakan kepada Puun sebagai petinggi warga
Baduy dalam rangka meminta petunjuk dan keputusan terkait dengan rencana salah
satu warganya yang akan menikahkan anaknya.
Lamaran kedua, bila maksud lamaran
pihak pria diterima oleh orang tua pihak perempuan, maka delapan bulan
kemudian, keluarga pihak pria dengan membawa calon pengantin pria
mendatangi rumah calon istrinya. Pada lamaran tahap kedua ini, biasanya
dilakukan acara nyereuhan atau dalam bahasa lain tukar cincin. Dalam
acara lamaran kedua ini juga kembali dibicarakan terkait dengan waktu
perkawinan. Dalam tahap kedua ini, seluruh warga Baduy Tangtu biasanya hadir
untuk menjadi saksi. Proses lamaran tahap kedua ini dilakukan di tempat khusus
namanya Balai Adat.
Dalam sesi lamaran kedua ini, orang
tua pihak pria menyerahkan anak yang akan dinikahkan untuk bekerja di
ladang milik calon mertuanya. Ketika pihak perempuan merasa cocok dengan hasil
kerja calon menantunya, maka biasanya diteruskan sampai enam bulan bahkan satu
tahun. Hal ini dilakukan agar pihak perempuan mengetahui bahwa calon
menantunya betul-betul bisa bekerja dan bisa bertanggungjawab atas keluarganya
kelak. Ketika proses penilaian ini selesai, dan pihak perempuan merasa yakin
atas kemampuan calon menantunya, maka proses lamaran ke tiga pun dilakukan.
Lamaran ketiga. Pada sesi lamaran
ketiga ini, pihak laki-laki kembali mendatangi pihak perempuannya dengan maksud
menegaskan keinginannya untuk menjodohkan anaknya. Pada proses lamaran ketiga
ini, biasanya pihak laki-laki membawa seserahan berupa seperangkat kebutuhan
dapur (alat-alat dapur) termasuk beras. Dalam sesi lamaran ketiga ini juga
dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Puun dan perangkat adat
Baduy. Acara dalam sesi lamaran ketiga ini masyarakat Baduy menyebutnya dengan
prosesseserenan atau dalam bahasa lain disebut dengan seserahan. Jika kita
perhatikan, praktek serah-serahan seperti ini memang bukanlah hal yang aneh,
karena cara ini pun biasanya dilakukan oleh masyarakat di luar Baduy.
Ada proses ritual yang menarik
dalam acara tahap lamaran ketiga ini. Proses ini sangat sakral sehingga tidak
boleh terlewatkan. Proses yang dimaksud adalah pembacaan syahadat
adat yang dibacakan secara langsung oleh Puun untuk kedua belah pihak yang
akan melangsungkan pernikahan. pembacaansyahadat batin ini berfungsi
sebagai sumpah setia agar pertalian jodoh mereka awet dan tidak ada perceraian
dikemudian hari.
Setelah proses lamaran selesai,
maka acara kawin adat ala tradisi Baduy pun dilakukan. Prosesi perkawinan
Baduy biasanya dilakukan sampai tiga hari. Pada hari pertama biasanya
diisi dengan acara persiapan pra perkawinan dengan menyiapkan semua kebutuhan
pesta perkawinan. Pada hari pertama ini juga semua kerabat—baik dari pihak pria
maupun wanita—berkumpul di tempat pengantin. Pada hari kedua, diadakanlah
upacara selamatan baik di rumah pria maupun wanita. Upacara ini dilakukan
sebagai rasa syukur dan berdoa kepada Sang Batara Tunggal dan para karuhun agar
acara perkawinan tersebut dapat berjalan dengan lancer. Biasanya yang hadir
dalam acara selamatan ini adalah kerabat terdekat dilingkungan masing-masing.
Pada upacara selamatan ini dipimpin oleh tangkesan atau dukun kampung. Acara
selamatan ini dilakukan pada waktu menjelang malam hingga tengah malam. Pada
waktu yang bersamaan juga diadakan upacara selamatan di Bale yang dihadiri oleh
masing-masing utusan pihak pengantin dan dihadiri juga oleh Puun, Jaro dan
kerabat pihak pengantin. Acara ini dipimpin langsung oleh Puun. Pada acara ini,
Puun memanjatkan doa-doa dan syahadat ala Baduy. Syahadat tersebut berbunyi;
Asyhadu sahadat sunda
Jaman Allah ngan sorangan
Kaduana Nabi Muhammad
Nu cicing dibumi anggarincing
Nu calik, calikna di alam keueung
Ngacacang dialam mokaha
Salamet umat Muhammad
Setelah acara selamatan pada hari
kedua selesai, maka pada hari ketiganya adalah puncak dari acara perkawinan.
Sebelum sang pengantin dibawa ke Balai Adat, biasanya si mempelai terlebih
dahulu di rias dengan tatarian ala Baduy. Setelah itu, maka si mempelai wanita
pun di bawa ke Balai Adat atau pendopo kepuunan. Acara ini dilakukan pada siang
hari dengan langsung dipimpin oleh Jaro Tangtu.
Pada acara ini ini kegiatan yang
dilakukan adalah ngabokor yakni penyerahan seperangkat sirih dan
pinang yang diletakkan di atas bokor yang terbuat dari logam kepada Puun oleh
Jaro. Dalam ritual penyerahan ini Jaro mengucapkan kata-kata;
“Tabe puun Girang
(Salam Takzim Tuan)
Ngaing kadatangan ku rakyat turunan
Sunda
(Aku kedatangan oleh rakyat
keturunan sunda)
Sejana ndeuk ngahalimpukeun
anak-anakna
(Maksud mereka hendak mengawinkan
anak-anaknya)
Muga kauninga jeung kawidian ku
Girang
(Mohon dimaklum dan diijinkan oleh
Tuan)
Ku para ayah nu aya, nu teu aya
(serta para tetua yang ada maupun
yang tidak ada)
Ngan bae neda tawakupna
(Namun mohon dimaafkan)
Najan rumasa jeung tetela maranehna
teu turunan Sunda
(Walaupun mereka mengaku dan memang
terbukti keturunan Sunda)
Anu biasa ngahiyang, kuduna mah
rebo ku babawaan
(yang terbiasa menghiyang,
seharusnyalah mereka membawa bawaan)
Pikeun ngahalimpukeun eta dua
panganten
(untuk mengawinkan kedua pengantin)
ukur bisa mawa seupaheun
satektekun”
(tapi mereka hanya membawa sirih
pinang sepahen)
Nampaknya tidak hanya sirih pinang
satu bokor yang diserahkan kepada Puun, sang kerabat pengantin pun kemudian
menyerahkan sepiring nasi dan ikannya kepada Puun. Setelah itu, Puun pun
kemudian berdo’a dan membaca mantra-mantra keselamatan yang kemudian ditiupkan
kepada sepiring nasi yang disajikan tersebut. Setelah itu, sepiring yang sudah
dibacakan mantra itu pun kemudian diserahkan kembali kepada sepasang pengantin
tersebut. Setelah itu pun masing-masing penganten saling menyuapi satu sama
lain secara bersama-sama. Setelah itu, maka seluruh kerabat dan perangkat
kepuunan yang terlibat pun kemudian makan bersama.
Setelah makan bersama selesai, maka
upacara pembasuhan kaki pengantin pria oleh pengantin wanita pun dimulai. Dalam
upacara ini, pengantin wanita mengambil air ke pancuran dan sang suami pun
menunggu di gelodog balai adat. Pembasuhan ke dua kaki suami oleh sang istri
dipecayai oleh masyarakat Baduy sebagai simbol tugas dan kesetiaan istri pada
suami. Dengan dibasuhnya kaki suami oleh istrinya, maka berakhirlah rangkaian
upacara perkawinan di Balai Adat.
Setelah upacara adat di Balai Adat
selesai, maka acara selanjutnya dengan diantarkan Jaro, upacara lanjutan pun
dilakukan dirumah mempelai wanita. Setibanya mereka berdua di rumah mempelai
wanita, maka keduanya pun didudukkan secara bersandingan. Mereka pun diminta
duduk menghadap Jaro. Dan Jaro pun menggenggam ke dua ibu jari pasangan
pengantin dan kemudian memantrainya. Di akhir ucapan mantra tersebut berbunyi:
“Tah ti kiwari mah sagala rupa ge
bagian dia duaan”
Artinya:
“Nah sejak saat ini segala macam
urusan menjadi bagia kalian berdua”
Setelah bacaan mantra oleh Jaro
selesai, maka sejak saat itu mereka telah disahkan sebagai pasangan suami istri
yang akan membina sebuah keluarga. Upaca ritual adat pun kemudian dilanjutkan
pada malam hari. Seluruh kerabat pengantin diminta untuk datang dan menikmati
menu makanan yang telah disiapkan. Di sela acara makan bersama, mereka dihibur
oleh juru pantun.
Jika di wilayah Baduy
Tangtu, Puun bisa merangkap sebagai penghulu. Akan tetapi berbeda
dengan wilayah Baduy Panamping. Pada masyarakat Baduy Panamping, penghulu bisa
merupakan tokoh kampung Cicakalgirang dan bisa juga tokoh yang berasal dari
luar wilayah Baduy.
Pada masyarakat Baduy Tangtu
perkawinan hanya dilakukan secara adat Baduy saja. Berbeda dengan Baduy
Panamping, biasanya setelah kawin adat selesai dilakukan, maka mempelai
laki-laki dengan ditemani salah seorang kerabatnya pergi
ke amil dikampung Cicakalgirang. Di kampung Cicakalgirang ini-lah
satu-satunya kampung Baduy yang sebagian besar penduduknya sudah beragama
Islam. Keberadaan kampung Islam di Baduy ini, bagi masyarakat Baduy dianggap
perlu sebagai salah satu bentuk pengesahan perkawinan yang telah dilakukan.
Proses ini menarik untuk diamati, masyarakat Baduy yang kepercayaannya berbeda
dengan umat Islam umumnya, tetapi dalam tradisi perkwawinan ia tetap mengacu
kepada aturan yang diterapkan oleh agama Islam.
Jika dilihat dari ketentuan adat
ini, maka ada beberapa pesan yang bisa ditemukan;
pertama, masyarakat Baduy merasa
penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak hanya menurut
adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum negara.
Kedua, pola pernikahan seperti ini
dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang
pernah menjadi raja (penguasa) di tanah Banten yang beragama Islam
termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan adat
yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum
Islam.
Khusus bagi masyarakat Baduy
Panamping (Luar), sebelum proses pernikahan di mulai, mempelai laki-laki
mengucapkan ikrar (syahadat) dengan bahasa sunda kuno. Syahadat itu hampir
mirip dengan kalimat sahadat yang dipakai dalam Islam. Sedangkan dalam proses
ritual perkawinan, di masyarakat Baduy Tangtu (Dalam) yang disebut dengan
kawin batih (kawin kekal) dihadapanPuun, kedua mempelai dan orang
tuanya mengucapkan sadat tangtu, yang berbeda isinya dengan syahadat
Panamping.
Bagai masyarakat Baduy yang
ekonominya dianggap mampu, setelah proses akad perkawinan selesai, biasanya
kedua mempelai pengantin dihias oleh seorang juru aes (ahli rias).
Sebelum acara pesta perkawinan di mulai, terlebih dahulu dilaukan upacara adat
yang dipimpin oleh dukun adat, dan dihadiri oleh kerabat kedua belah pihak
termasuk masyarakat luas.
Tidak hanya itu, bagi orang Baduy
yang ekonominya berkecukupan biasanya menghadirkan acar-acara hiburan seperti;
mengundang pemain gamelan untuk memeriahkan pesta perkawinan di siang hari, dan
pada malam harinya dimeriahkan dengan permainan pantun yang diiringi alat musik
kecapi.
Daftar Pustaka :
id.wikipedia.org
Yahoo Answers
M.Shafwan Iswara
Usaha Jasa Pariwisata “A” 2014
4423143934
Fakultas Ilmu Sosial
Assalamualaikum akhi
ReplyDeleteSangat membantu sekali atas postnya,sangat membuka cakrawala pengetahuan kami akan sebuah suku di ujung barat pulau jawa. Semoga akhi bisa terus menyebarkan ilmu ilmu yg berguna di dunia
Assalamualaikum akhi
Wihhh makasih sob. Nambah wawasan terkait suku di indonesia nih
ReplyDeleteNice info bro, info nya bagus nih
ReplyDeleteGilaaak menambah ilmu banget dah gan
ReplyDeleteGilaaak menambah ilmu banget dah gan
ReplyDeleteBaru tau ane tentang perkawinan suku baduy itu gimana, thanks gan infonya :)
ReplyDelete