Sunday, January 3, 2016

Tugas 3 - Pariwisata Sejarah dan Budaya Indonesia



Halo…Apa kabar semuanya?
Perkenalkan kembali nama saya Hirfan Ramadhan, saya merupakan mahasiswa pariwisata dari Universitas Negeri Jakarta dan saya akan berbagi cerita sedikit tentang Banyuwangi.

Pengantar

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Nya mungkin blog sederhana ini tidak akan sanggup ditampilkan dengan baik. Blog ini dibuat agar pengunjung dapat menambah pengetahuan blog ini saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Blog ini saya buat dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri saya maupun yang datang dari PC dan Network. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya blog ini dapat dibuat.
Blog ini memuat tentang “Banyuwangi sebagai The Sunrise of Java” mudah-mudahan yang sangat membantu sobat blogger sekalian. Walaupun blog ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pengunjung.Semoga blog ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pengunjungnya. Walaupun blog ini tidak memiliki kelebihan dan banyak kekurangan. Saya mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Pembahasan

Banyuwangi “The Sunrise Of Java”
            Apakah kalian sudah tahu apa maksud dari The Sunrise Of Java yang saya torehkan sebagai judul diatas? Baiklah mungkin sebagian dari kalian sudah ada yang mengetahuinya namun mungkin juga belum mengetahuinya dan ini saatnya saya jelaskan sebagai pembuka dari cerita saya ini. Kalau kita artikan dengan kata per kata ialah Banyuwangi merupakan matahari terbit dari Jawa karena memang Banyuwangi adalah daerah yang pertama terkena sinar matahari terbit di pulau Jawa. Namun jika dikaitkan oleh pariwisata pengertian sebenarnya menurut saya adalah Banyuwangi merupakan kekayaan yang dianugerahi untuk muncul dan wajib diketahui oleh siapapun seperti yang kita tahu bahwa Banyuwangi dahulu sangat kurang diminati dari segi pariwisata ibaratnya Banyuwangi hanyalah tempat transit saja bagi orang-orang yang ingin berpergian ke Bali. Dengan keisitimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh Banyuwangi akhirnya Banyuwangi bangkit dan percaya diri akan kekayaan alam yang dimilikkinya baik dari gunung,pantai,taman nasional, dan kekayaan alam lainnya. Berkat jerih payah masyarakat yang sangat semangat untuk mewujudkan Banyuwangi menjadi lebih baik akhirnya tagline “The Sunrise Of Java” didapatkan oleh Banyuwangi dan terbukti setiap tahunnya wisatwan yang berkunjung ke Banyuwangi terus meningkat bahkan tidak hanya dari domestik saja melainkan wisatawan mancanegara.
            Sebelum membahas lebih jauh saya akan berikan informasi umum dari Banyuwangi terlebih dahulu sebagai dasar bagi kalian para pembaca yang kurang mengetahui mengenai Banyuwangi. Banyuwangi merupahkan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau Jawa, di kawasan Tapal Kuda, dan berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di barat. Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi yang terluas di Pulau Jawa, dengan luas wilayahnya yang mencapai 5.782,50 km2, atau lebih luas dari Pulau Bali (5.636,66 km2). Di pesisir Kabupaten Banyuwangi, terdapat Pelabuhan Ketapang yang merupakan perhubungan utama antara pulau Jawa dengan pulau Bali (Pelabuhan Gilimanuk). Maka dari itu diawal saya singgung bahwa Banyuwangi dahulu sebagai lokasi transit bagi orang yang ingin berpergian ke Bali karena memang lokasinya yang berbatasan dengan pulau Bali.
            Dari segi sejarah dan budaya, Banyuwangi menyimpan banyak sekali terhadap keduanya dan yang paling menarik perhatian saya yaitu keberadaan dari suku Osing yang berada di daerah ini. Suku Osing merupakan penduduk asli dari Banyuwangi atau bisa disebut juga dengan using atau wong Blambangan. Mengapa “wong Blambangan”? Karena sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun dan suku Osing merupakan pengikut setia dari kerjaan Blambangan sehingga mereka tetap bertahan di Banyuwangi setelah akhirnya kerajaan Blambangan ini jatuh akibat pengaruh kerajaan islam pada abad ke-14.suku Osing ini sendiri juga bekas masyarakat Majapahit yang melarikan diri tahun 1478 akibat kejatuhan kekuasaan Majapahit kala itu. Dulu masyarakat Osing menutup diri dengan dunia luar untuk mempertahankan agama Hindu di Blambangan. Namun ketika Belanda masuk pada abad ke-16, mereka memaksa orang Osing bekerja sama dengan orang luar. Pengaruh luar mulai masuk dan pada perkembangannya sebagian besar orang Osing lalu memeluk agama Islam. Bahkan banyak yang menikah dengan orang luar Osing dan menyebar ke berbagai daerah. Namun masyarakat Osing yang tetap bertahan, masih setia dengan adat istiadat Osing, meskipun agama Islam juga kuat di sana. Suku Osing dari dulu hingga sekarang masih memegang teguh setiap tradisi yang sudah ada dari dulu hingga sekarang karena hampir semua rangkaian kegiatan masyarakat selalu diiringi oleh upacara dan tradisi yang mana diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.
Desa Wisata Using


Secara spesifik desa yang menjadi mayoritas tempat tinggal dari suku Osing bernama desa Kemiren kecamatan Glagah, Banyuwangi. Di desa inilah suku Osing melangsungkan setiap kegiatan dan aktifitasnya mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari. Karena semakin pesatnya perkembangan di zaman globalisasi seperti ini, tidak membuat suku Osing goyah akan godaan-godaan yang bisa saja menyerang mereka dan melunturkannya. Berkat ketaatan dan kesetiaan mereka lah suku Osing tidak pernah berubah keasliannya alias masih sama seperti dahulu kala sejak pertama kali suku ini lahir. Berbagai tradisi dan kesenian sering dilakukan oleh masyarakat Osing apalagi saat ini pariwisata berkembang sangat pesat tidak hanya di Indonesia bahakan luar negeri. Membuat setiap daerah saling berlomba untuk menunjukkan keunikannya demi mendapat keuntungan dari setiap wisatawan yang datang. Berikut beberapa tradisi unik dan menarik masyarakat Osing  yang berada di desa Kemiren kecamatan Glagah Banyuwangi.
1.      Tradisi Mudun Lemah / Tedak Siten
"Tedak Siten” ( tedak Siti), yaitu Tedak artinya Menapakkan Kaki dan Siten atau Siti yang berarti Tana, sehingga biasa orang Jawa menyebutnya "Mudun Lemah". Tradisi Tedak Siten atau Mudun Lemah dilakukan saat seorang anak berusia 7 lapan yaitu saat berusia 7 sampai menginjak bulan ke delapan. Karena pada usia ini anak mulai menapakkan kakinya pertama kali di tanah yaitu dengan belajar duduk dan belajar berjalan.
Alat alat yang diperlukan dalam Prosesi "Tedak Siten" adalah sebagai berikut:

1. Juadah 7 warna
2. Tangga Tebu dan injak - an Pasir/Tanah
3. Kurungan ayam dan beras ketan isi koin
4. Tumpeng beserta sayur urap dan ayam
 
Persiapan melakukan Tedak Siten
Budaya Tedak Siten (Mudun Lemah), prosesinya adalah sebagai berikut :

1. Acara Tedak Siten ini di mulai dengan Menapaki juadah 7 warna, Juadah disini terbuat dari beras ketan dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih. Dan 7 warna disini yaitu hitam, kuning, hijau, biru, merah, putih, jingga.
Warna warna ini mempunyai makna sebagai berikut :
Putih = Watak Dasar
Biru = Jati Diri
Hijau = Lambang Kehidupan
Jingga = Matahari
Merah = Semangat
Kuning = Harapan tercapai
Hitam = Keagungan
"Makna yang terkandung dalam jadah ini merupakan simbol kehidupan yang akan dilalui oleh si anak, mulai dia menapakkan kakinya pertama kali di bumi ini sampai dia dewasa, sedangkan warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan si anak akan menghapai banyak pilihan dan rintangan yang harus dilaluinya. jadah 7 warna disusun mulai dari warna yang gelap ke terang".
2. Selanjutnya si anak Menaiki Tangga, dimana tangga ini terbuat dari Tebu jenis Arjuna,yaitu tangga yang dibuat dari batang tebu merah hati dan dihiasi kertas warna- warni.. Hal ini dimaksudkan agar dalam menapaki (menjalani) hidupnya, apa yang di lakukan seorang anak diharapkan semakin meningkat. Dan mampu melewati halangan dan rintangan hidupnya kelak.
3. Kemudian di teruskan menapaki pasir, ini dimaksudkan agar dalam dalam menjalani hidupnya dia siap dengan halangan atau rintangan apapun yang menghadangnya.
4. Setelah menapaki pasir, anak di bimbing di sebuah kurungan ayam yang telah dihiasi dan didalamnya terdapat beberapa mainan, alat tulis, uang, hp, stetoskop dan sebagainya. Dan Kemudian anak di suruh mengambil barang yang di sukainya. Dimana barang yang dipilih si anak merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah dewasa.
5. Prosesi selanjutnya adalah sebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam untuk di perebutkan (dalam hal ini yang menaburkan adalah di wakili bapaknya) , prosesi ini menggambarkan agar si anak kelak menjadi anak yang dermawan, suka bersedekah dalam lingkungannya.
6. Prosesi terakhir yaitu si anak dimandikan dengan bunga setaman Lalu mengenakan baju yang baru. Tujuannya yaitu agar si anak tetap sehat, membawa nama harum bagi keluarga, punya kehidupan yang layak, makmur dan berguna bagi nusa bangsa.
Si anak melakukan prosesi Tedak Siten

Setelah dimandikan, si anak diganti bajunya dengan baju yang baru. Diacara ini, si anak diumpamakan ganti baju sampai 7 kali, dicari yang cocok di badannya. Akhirnya baju yang terakhirlah yang cocok untuk dia. Setelah semua Prosesi tersebut dilaksanakan, kemudian memotong Tumpeng yang di lengkapi dengan sayur urap (hidangan yang terbuat dari sayur kacang panjang, kangkung dan kecambah yang diberi bumbu kelapa yang telah dikukus atau disangrai) dan ayam. Tumpeng melambangkan permohonan orang tua kepada sang Maha Pencipta agar si anak kelak menjadi anak yang berguna, sayur kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur kangkung bermakna dimanapun si anak hidup dia mampu tumbuh dan berkembang, sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak dapat hidup mandiri.

2.      Tradisi Koloan
Bagi anak-anak Suku Osing di Desa Kemiren yang akan khitan atau sunat wajib menjalani ritual khusus yang disebut Koloan. Koloan artinya jebakan. Ritual Koloan dilaksanakan untuk mempersiapkan mental karena biasanya seorang anak merasa takut kalau disunat.
Meneteskan darah Ayam yang telah disembelih kapada anak

Dalam tradisi Koloan, sang anak yang akan menjalani khitan harus ditetesi darah ayam yang dipimpin oleh pemimpin ritual. Dengan bertelanjang dada, si anak duduk di atas kursi kayu kecil, di depannya disajikan beberapa sesaji. Sang pemimpin ritual lalu mengucapkan doa dalam Bahasa Osing sambil mengusapkan bedak di wajah si anak. Setelah itu seekor ayam jago warna merah disembelih. Ayam yang dipakai tidak boleh sembarangan, bulunya harus berwarna merah dan belum pernah kawin. Darah segar yang keluar dari leher ayam kemudian diteteskan di atas kepala si anak hingga ayamnya mati. Setelah itu pemimpian ritual akan mengusapkan pitung tawar pada kepala si anak. Pitung tawar terbuat dari beras dan kunir, tujuannya agar si anak mempunyai kekebalan dari segala jenis penyakit dan marabahaya.
Anak dibawa ke sungai

Kemudian si anak dibawa ke sungai dan dimandikan oleh pemimpin ritual. Ketika berjalan ke sungai, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang sudah menjalani ritual Koloan dipercayai tidak lagi merasa takut saat akan disunat. Menurut salah satu pemimpin ritual Koloan, Sanusi Marhaedi , menyembelih ayam merupakan simbolisasi pengorbanan seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan  meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan. Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan bersama di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel pithik yang dihadiri oleh para tetangga.

3.      Tradisi Mepe Kasur
Tradisi Mepe Kasur ini masih dalam satu rangkaian dengan Tradisi Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam harinya, maka Mepe Kasur dilakukan dari pagi hingga siang hari. Dalam bahasa Jawa Mepe Kasur artinya menjemur kasur. Masyarakat Osing meyakini salah satu sumber penyakit berasal dari kasur, oleh sebab itu kasur-kasur harus dijemur di halaman rumah agar sumber penyakit itu mati terkena sinar matahari. Yang unik dari Tradisi Mepe Kasur ini adalah warna kasurnya. Semua kasur milik warga Desa Kemiren berwarna abang cemeng. Dalam bahasa Osing abang artinya merah dan cemeng artinya hitam. Semua kasur di Desa Kemiren memang sengaja dibungkus dengan kain berwarna hitam dengan tepian berwarna merah. Keseragaman ini dimaksudkan sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.
Warga yang sedang melakukan tradisi menjemur kasur (Mepe Kasur)
Uniknya lagi, saat pelaksanaan Tradisi Mepe Kasur semua warga menjemur kasurnya secara bersamaan mulai dari jam tujuh pagi hingga matahari tenggelam. Maka jangan heran manakala melihat pemandangan unik di Desa Kemiren menjelang Hari Raya Idul Adha yaitu di kanan dan kiri jalan berderet ratusan kasur dengan warna yang seragam: abang cemeng. Setiap warga Desa Kemiren yang baru menikah pasti memiliki kasur abang cemeng. Warna cemeng dimaksudkan untuk menolak bala atau sial, sedangkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tangganya langgeng hingga maut memisahkan.

4.      Tradisi Tumpeng Sewu
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan Agama Islam menyebar dengan cepatnya di kalangan suku Osing. Itulah sebabnya kenapa tradisi unik Suku Osing merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan Islam.
Dalam bahasa Jawa, Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Dalam tradisi ini setiap keluarga mengeluarkan minimal satu buah tumpeng, sedangkan kepala keluarga di Desa Kemiren berjumlah sekitar 1.052 orang. Maka tak heran jika disebut Tumpeng Sewu karena bisa jadi keluarga yang berkecukupan akan mengeluarkan lebih dari satu tumpeng.
Tradisi Tumpeng Sewu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki yang telah mereka terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu diyakini sebagai selamatan tolak balak yang akan menghindarkan warga Desa Kemiren dari segala bencana dan penyakit yang mematikan. Tumpeng Sewu juga dilaksanakan untuk menghormati datangnya Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji.
Pelakasanaan acara Tumpeng Sewu oleh warga

Sebagaimana nasi tumpeng pada umumnya, Tumpeng Sewu berbentuk kerucut yang mempunyai filosofi bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Yang khas dari Tumpeng Sewu adalah menu Pecel Pithik yaitu ayam panggang yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu tertentu. Pecel Pithik akronim dari kalimat: “Ngucel-ucel barang sithik” yang artinya mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.

5.      Tradisi Nginang
Nginang adalah mengunyah sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur. Tradisi nginang atau mengunyah sirih ini sudah sulit kita temui pada masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun di Desa Kemiren, tradisi nginang ini masih banyak yang melakukannya, meskipun terbatas di kelompok usia lanjut saja. Tradisi Nginang sendiri hanya boleh dilakukan oleh wanita yang sudah menikah, dengan kata lain nginang bisa menjadi penanda apakah seorang wanita sudah mempunyai pasangan hidup atau belum. Yang membuat unik, setiap tahun diadakan lomba nginang bagi para warga Desa Kemiren. Tujuan diadakan lomba nginang adalah untuk melestarikan tradisi nginang di kalangan masyarakat desa Kemiren. Hal ini dilator belakangi fakta bahwa kegiatan nginang sudah nyaris hilang di kalangan anak muda. Maka tidak  heran jika pesertanya adalah nenek-nenek berusia di atas 50 tahun yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.
Nenek-nenek yang sedang duduk mungunggu giliran untuk Nginang di panggung

Dalam lomba nginang tersebut,  para nenek duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia untuk menunggu giliran tampil di panggung. Nenek-nenek penjaga tradisi itu memakai baju terbaiknya yaitu jarik dan kebaya. Setiap peserta membawa tempat kinang dari rumah. Tempat kinang biasanya terbuat dari kuningan atau kayu yang berukir indah. Kriteria penilaian didasarkan pada kepiawaian para nenek ketika meracik dan mengunyah sirih sambil melakukan wangsalan atau berbalas pantun, menari atau nembang. Tentu dibutuhkan kemampuan multitasking yang mumpuni untuk melakukan itu semua.

Kelima tradisi yang telah dijelaskan diatas merupakan suatu warisan yang tak akan pernah hilang dan sangat mahal harganya karena tradisi tidak akan pernah terbayar dengan apapun. Dari bentuk rumah di Kemiren sepertinya sarna.
Rumah adat suku Osing di desa Kemiren

Namun jika diamati lebih teliti ada perbedaan pada atap rumah yang ternyata menandai status penghuninya. Rumah yang beratap empat yang disebut ‘tikel balung’ melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah ‘crocogan’ yang beratap dua mengartikan bahwa penghuninya adalah keluarga muda dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, dan rumah “baresan’ yang beratap tiga yang melambangkan bahwa pemiliknya sudah mapan, secara materi berada di bawah rumah bentuk ‘tikel balung’ . Hampir di setiap rumah ditemukan lesung Hampir di setiap rumah ditemukan lesung (alat penumbuk padi) dan gudang tempat menyimpan sementara hasil panen. Di beberapa sudut jalan tampak gubuk beratapkan ilalang, yang dibangun di ujung kaki-kaki jajang  (bambu, dalam bahasa Osing) yang tinggi. Bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk “cangkruk” sambil mengamati keadaan di sekeliling desa. Pada masa lalu, gubuk seperti ini sengaja dibangun untuk memantau kedatangan “orang asing” yang mencurigakan. Desa Kemiren telah ditetapkan sebagai Desa Osing yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan keosingannya. Area wisata budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar budaya Osing. Banyak keistemewaan yang dimiliki oleh desa ini di antaranya penggunakan bahasa yang khas yaitu bahasa Osing. Kekhasan kehidupan dan pemukiman penduduk serta adat-istiadat suku Osing menjadi modal utama pemerintah daerah membangun Desa Wisata Osing. Wisata Osing yang sebenarnya adalah wisata budaya. Fasilitas rekreasi hanya merupakan tambahan yang dibangun sebagai pelengkap.
Bagi masyarakat Osing, semua yang berada di alam semesta ini merupakan anugerah maka dari itu kita patut mensyukurinya dengan semakin banyak rasa syukur akan semakin banyak keistimewaan yang akan didapat. Terbukti sampai saat ini, pariwisata Banyuwangi semakin terus meningkat dan menguntungkan masyarakat setempat karena secara tidak langsung masyarakat yang berkunjung akan menghabiskan uangnya disini. Bagi yang penasaran dengan suku Osing ini tidak perlu khawatir akan biaya yang mahal karena sekarang sudah banyak sekali perjalanan wisata dengan biaya murah apalagi keberadaan para Backpacker yang sedang menjadi tren saat ini. Saya akan menjelaskan tentang akses dan perkiraan estimasi biaya yang dikeluarkan jika ingin berkunjung ke desa Kemiren ini.
Untuk akses menuju desa kemiren jika ditempuh dari malang,anda bisa menaikki kereta tawang alun menuju stasiun karang asem dengan biaya sekitar Rp 30.000 atau relatif bisa naik.Perjalanan dari Malang menuju stasiun karang asem sekitar 8 jam. Kemudian setelah anda turun di stasiun karangasem, anda bisa menggunakan jasa rental motor dengan harga yang relatif terjangkau pula karena jaraknya sekitar satu jam untuk tiba di desa kemiren. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya tiba di desa Kemiren tempat dimana suku Osing berada. Ketika sampai, tidak perlu khawatir mengenai akomodasi atau tempat penginapan selama anda berlibur kesana karena warga Osing menyediakan homestay kepada para wisatawan dan untuk mendapatkannya anda harus meminta izin tinggal di homestay tersebut dengan warga disana. Untuk biaya homestay sendiri bisa dibayarkan dengan biaya seikhlasnya yang jelas dalam biaya yang wajar.
Ketika anda tiba disana, insyaallah jika anda beruntung anda bisa mendapati dan menyaksikan kelima tradisi yang telah saya infomasikan diatas. Karena begitu menariknya tradisi-tradisi tersebut membuat setiap wisatawan yang melihat menjadi puas dab ikut merasakan kemeriahan yang ada. Dalam bercocok tanam, masyarakat Kemiren menggelar tradisi selamatan sejak menanam benih, saat padi mulai berisi, hingga panen. Saat masa panen tiba, petani menggunakan ani-ani diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah.Saat menumbuk padi, para perempuan memainkan tradisi gedhogan, yakni memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi yang enak didengar.Selain itu, tak jarang dari mereka yang mendokumentsikan pada ponsel seluler mereka ataupun kamera yang telah mereka persiapkan selaat berkunjung disana.

Sedangkan untuk kesenian, Masyarakat Osing sangat kaya akan tari-tarian dan musik diantaranya adalah:
1. Gandrung
2. Kuntulan
3. Barong
4. Gedhogan
5 Mocoan Ion tar yusuf
6. Burdah
7. Jaran kencak
8.Angklung paglak
9. Angklung caruk
10. Angklung tetak
11. Angklung Blambangan
12. Kenthulitan
13. Seni ukir
14. Tenun abaka
15. Tulup
16. Seni arsitektur rumah Osing
17. Seni kerajinan pembuatan biola gandrung
18. Seni kerajinan pembuatan barong Osing
19. Kiling
Dari semua kesenian yang disebutkan yang menurut saya paling terkenal dan diminati oleh setiap yang datang.
Tarian Gandrung khas Banyuwangi

Tari Gandrung, atau biasa disebut saja dengan Gandrung Banyuwangi adalah salah satu tarian tradisional Indonesia yang berasal dari Banyuwangi. Oleh karena tarian ini pulalah, Banyuwangi juga di juluki sebagai Kota Gandrung, dan terdapat beberapa patung penari gandrung di setiap sudut kota.Menurut asal muasalnya, tarian ini berkisah tentang terpesonanya masyarakan Blambangan kepada Dewi padi, Dewi Sri yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali. Tarian ini di bawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa langsung di ajak menari, biasa disebut sebagai paju. Memang tidak akan ada habisnya jika kita membicarakan tentang Banyuwangi khususnya suku Osing. Kekentalan adat,kemurnian masyarakat, dan keindahan setiap tradisi yang disuguhkan sangat mengagumkan dan patut dibanggakan sebagai aset pariwosata budaya dan sejarah bagi Indonesia maka dari itu, saya sangat berpesan agar tetap menjaga karifan lokal yang ada di Indonesia ini karena kalau bukan kita siapa lagi? Kemudian setelah puas berkeliling desa Kemiren dan belajar banyak terhadap pola hidup masyarakat, anda bias membeli souvenir –souvenir yang berada di desa ini dengan harga yang relatif murah dan terjangkau sebagai kenangan jika anda pernah berkunjung desa Kemiren ini. Bentuknya beragam dan hamper sama dengan barang-barang yang dijual di tempat wisata pada umumnya seperti gantungan kunci,gelang,accessories,belangkon,pakaian tradisional,peralatan rumah tangga,kerajinan tangan(tas,tikar,topi), dan lainnya.

Penutup
Kesimpulan

            Akhirnya saya telah sampai diujung topik dari pembahasan mengenai suku Osing ini. Dari semua yang telah saya deskripsikan diatas, saya simpulkan bahwa suku osing yang terdapat di desa Kemiren kecamatan Galagah Banyuwangi ini merupakan salah satu aset andalan yang dimililki oleh Indonesia khususnya Banyuwangi. Alasan mengapa begitu berharga adalah masyarakat Osing masih sangat mematuhi ajaran ajaran leluhur mereka yang tercermin lewat tradisi-tradisi,upacara adat,dan ritual-ritual tertentu yang selalu mereka tegakkan guna menjaga keasliannya. Meskipun zaman sudah sangat modern masyarakat tidak lernah goyah dengan semua godaan dari arus globalisasi ya g semakin bergejolak ini. Terbukti mereka masih tetap menjaga kearifan yang rutin mereka lakukan disana. Hal itulah yang menjadikan setiap wisatawan yang berkunjung menjadi puas saat berkunjung dan terbukti selalu meningkat tiap tahunnya.  Dari tradisi mepe kasur contohnya semua kasur yang dijemur disepanjang jalan depan rumah warga warna nya diseragamkan yaitu merah dan hitam itu berarti bahwa masyarakat using tidak mengenal adanya perbedaan terutama dalam hal.kekayaan karena semuanya dianggap sama dan sederajst sehingga tiap warga tidak saling menyombongkan diri yang rentan sekali membuat perpecahan diantara mereka. Jadi jargon “the sunrise of java” untuk Banyuwangi adalah suatu Slogan yang benar pas dan tepat diberikan kepada daerah ini karena memang benar bahwa Banyuwangi disamping daerah yang pertama terkena sinar matahari terbit pertama di pulau Jawa namun juga suatu daerah yang kini sudah menjadi yang cukup berkompetitif dari segi pariwisata mengingat dahulu Banyuwangi sangat kurang diminati. Itu semua tak lain karena rasa cinta masyarakat terhadap daerahnya sangat tinggi sehingga mereka akan melakukan yang terbaik terhadap daerahnya agar daerahnya maju dan terus bergerak ke arah yang lebih baik.

Sumber Referensi




*Terima kasih kepada para pembaca dan saya sangat berharap akan komentar kalian mengenai postingan saya ini*




NAMA     : Hirfan Ramadhan
KELAS    : Usaha Jasa Pariwisata 2014 (B)
NIM         : 4423145623
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


8 comments:

  1. Jadi tertarik untuk pergi ke Baanyuwangi.. semoga bisa kesana melihat kearifan lokal dari suku osing di desa Kemiren

    ReplyDelete
  2. Penasaran mau ke Banyuwangi kebetulan saya traveler dan Banyuwangi salah satu yg belum sempet saya kunjungi
    Terima kasih infonya

    ReplyDelete
  3. Penasaran mau ke Banyuwangi kebetulan saya traveler dan Banyuwangi salah satu yg belum sempet saya kunjungi
    Terima kasih infonya

    ReplyDelete
  4. Saya masih kurang percaya jika di daerah banyuwangi terdapat suku osing yang baru pertama kali saya dengar dan ternyata saya sangat terkejut dengan keseharian mereka ditengah hiruk pikuk kebisingan kabupaten banyuwangi masih menjunjung tinggi aturan adat
    Nice info..

    ReplyDelete
  5. surga di banyu wangi? Saya baru tau . Thx infonya

    ReplyDelete
  6. Indoesia begitu kaya akan budayanya. Begitu juga dengan Banyuwangi yang memiliki beragam budaya dan tradisi. Setuju sekali denga postingan ini yang mengatakan 'Banyuwangi the sunrise of java'. Tetap berikan info yg bermanfaat yah.

    ReplyDelete
  7. Wah saya memang akhir ini pernah dengar tentang suku osing dan ternyata sukunosing seperti itu ya sangat kental akan adat istiadat sangat bangga dengan indonesia yang kaya suku bangsa
    Good job!

    ReplyDelete
  8. Kayanya admin harus banyak menggali ke unikan2 budaya-Budaya indonesia. Dan di salurkan agarbmenjadi informasi yang berguna

    Ditunggu artikel berikutnya

    ReplyDelete