Halo…Apa kabar semuanya?
Perkenalkan kembali nama saya Hirfan
Ramadhan, saya merupakan mahasiswa pariwisata dari Universitas Negeri Jakarta
dan saya akan berbagi cerita sedikit tentang Banyuwangi.
Pengantar
Segala
puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan Nya mungkin blog sederhana ini tidak akan sanggup ditampilkan
dengan baik. Blog ini dibuat agar pengunjung dapat menambah pengetahuan
blog ini saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Blog ini
saya buat dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri saya maupun
yang datang dari PC dan Network. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya blog ini dapat dibuat.
Blog ini memuat tentang “Banyuwangi
sebagai The Sunrise of Java” mudah-mudahan yang sangat membantu sobat
blogger sekalian. Walaupun blog ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki
detail yang cukup jelas bagi pengunjung.Semoga blog ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pengunjungnya. Walaupun blog ini tidak memiliki
kelebihan dan banyak kekurangan. Saya mohon untuk saran dan kritiknya. Terima
kasih.
Pembahasan
Banyuwangi
“The Sunrise Of Java”
Apakah kalian sudah tahu apa maksud dari The Sunrise Of
Java yang saya torehkan sebagai judul diatas? Baiklah mungkin sebagian dari
kalian sudah ada yang mengetahuinya namun mungkin juga belum mengetahuinya dan
ini saatnya saya jelaskan sebagai pembuka dari cerita saya ini. Kalau kita
artikan dengan kata per kata ialah Banyuwangi merupakan matahari terbit dari
Jawa karena memang Banyuwangi adalah daerah yang pertama terkena sinar matahari
terbit di pulau Jawa. Namun jika dikaitkan oleh pariwisata pengertian
sebenarnya menurut saya adalah Banyuwangi merupakan kekayaan yang dianugerahi
untuk muncul dan wajib diketahui oleh siapapun seperti yang kita tahu bahwa
Banyuwangi dahulu sangat kurang diminati dari segi pariwisata ibaratnya
Banyuwangi hanyalah tempat transit saja bagi orang-orang yang ingin berpergian
ke Bali. Dengan keisitimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh Banyuwangi
akhirnya Banyuwangi bangkit dan percaya diri akan kekayaan alam yang
dimilikkinya baik dari gunung,pantai,taman nasional, dan kekayaan alam lainnya.
Berkat jerih payah masyarakat yang sangat semangat untuk mewujudkan Banyuwangi
menjadi lebih baik akhirnya tagline “The Sunrise Of Java” didapatkan oleh
Banyuwangi dan terbukti setiap tahunnya wisatwan yang berkunjung ke Banyuwangi
terus meningkat bahkan tidak hanya dari domestik saja melainkan wisatawan
mancanegara.
Sebelum membahas lebih jauh saya akan berikan informasi
umum dari Banyuwangi terlebih dahulu sebagai dasar bagi kalian para pembaca
yang kurang mengetahui mengenai Banyuwangi. Banyuwangi merupahkan salah satu
kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah
Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau Jawa,
di kawasan Tapal Kuda,
dan berbatasan dengan Kabupaten Situbondo
di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di barat. Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur
sekaligus menjadi yang terluas di Pulau Jawa, dengan luas wilayahnya yang
mencapai 5.782,50 km2, atau lebih luas dari Pulau Bali (5.636,66 km2). Di pesisir Kabupaten Banyuwangi, terdapat Pelabuhan Ketapang
yang merupakan perhubungan utama antara pulau Jawa dengan pulau Bali (Pelabuhan Gilimanuk).
Maka dari itu diawal saya
singgung bahwa Banyuwangi dahulu sebagai lokasi transit bagi orang yang ingin
berpergian ke Bali karena memang lokasinya yang berbatasan dengan pulau Bali.
Dari segi sejarah dan
budaya, Banyuwangi menyimpan banyak sekali terhadap keduanya dan yang paling
menarik perhatian saya yaitu keberadaan dari suku Osing yang berada di daerah
ini. Suku Osing merupakan penduduk asli dari Banyuwangi atau bisa disebut juga
dengan using atau wong Blambangan. Mengapa “wong Blambangan”? Karena sejarah
Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Hindu
Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun dan suku Osing merupakan
pengikut setia dari kerjaan Blambangan sehingga mereka tetap bertahan di
Banyuwangi setelah akhirnya kerajaan Blambangan ini jatuh akibat pengaruh
kerajaan islam pada abad ke-14.suku Osing ini sendiri juga bekas masyarakat
Majapahit yang melarikan diri tahun 1478 akibat kejatuhan kekuasaan Majapahit
kala itu. Dulu masyarakat Osing menutup diri dengan dunia luar untuk
mempertahankan agama Hindu di Blambangan. Namun ketika Belanda masuk pada abad
ke-16, mereka memaksa orang Osing bekerja sama dengan orang luar. Pengaruh luar
mulai masuk dan pada perkembangannya sebagian besar orang Osing lalu memeluk
agama Islam. Bahkan banyak yang menikah dengan orang luar Osing dan menyebar ke
berbagai daerah. Namun masyarakat Osing yang tetap bertahan, masih setia dengan
adat istiadat Osing, meskipun agama Islam juga kuat di sana. Suku Osing dari
dulu hingga sekarang masih memegang teguh setiap tradisi yang sudah ada dari
dulu hingga sekarang karena hampir semua rangkaian kegiatan masyarakat selalu
diiringi oleh upacara dan tradisi yang mana diwariskan secara turun temurun oleh
nenek moyang mereka.
Desa Wisata Using |
Secara
spesifik desa yang menjadi mayoritas tempat tinggal dari suku Osing bernama
desa Kemiren kecamatan Glagah, Banyuwangi. Di desa inilah suku Osing
melangsungkan setiap kegiatan dan aktifitasnya mulai dari bangun tidur di pagi
hari hingga tidur kembali di malam hari. Karena semakin pesatnya perkembangan
di zaman globalisasi seperti ini, tidak membuat suku Osing goyah akan
godaan-godaan yang bisa saja menyerang mereka dan melunturkannya. Berkat
ketaatan dan kesetiaan mereka lah suku Osing tidak pernah berubah keasliannya
alias masih sama seperti dahulu kala sejak pertama kali suku ini lahir.
Berbagai tradisi dan kesenian sering dilakukan oleh masyarakat Osing apalagi
saat ini pariwisata berkembang sangat pesat tidak hanya di Indonesia bahakan
luar negeri. Membuat setiap daerah saling berlomba untuk menunjukkan
keunikannya demi mendapat keuntungan dari setiap wisatawan yang datang. Berikut
beberapa tradisi unik dan menarik masyarakat Osing yang berada di desa Kemiren kecamatan Glagah Banyuwangi.
1. Tradisi Mudun Lemah / Tedak Siten
"Tedak Siten” ( tedak Siti),
yaitu Tedak artinya Menapakkan Kaki dan Siten atau Siti yang berarti Tana,
sehingga biasa orang Jawa menyebutnya "Mudun Lemah". Tradisi Tedak
Siten atau Mudun Lemah dilakukan saat seorang anak berusia 7 lapan yaitu saat
berusia 7 sampai menginjak bulan ke delapan. Karena pada usia ini anak mulai
menapakkan kakinya pertama kali di tanah yaitu dengan belajar duduk dan belajar
berjalan.
Alat alat yang diperlukan dalam Prosesi "Tedak Siten" adalah
sebagai berikut:
1. Juadah 7 warna
2. Tangga Tebu dan injak - an Pasir/Tanah
3. Kurungan ayam dan beras ketan isi koin
4. Tumpeng beserta sayur urap dan ayam
Budaya Tedak Siten (Mudun Lemah),
prosesinya adalah sebagai berikut :
1. Acara Tedak Siten ini di mulai dengan Menapaki juadah 7 warna, Juadah disini terbuat dari beras ketan dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih. Dan 7 warna disini yaitu hitam, kuning, hijau, biru, merah, putih, jingga.
Warna warna ini mempunyai makna sebagai berikut :
Putih = Watak Dasar
Biru = Jati Diri
Hijau = Lambang Kehidupan
Jingga = Matahari
Merah = Semangat
Kuning = Harapan tercapai
Hitam = Keagungan
Putih = Watak Dasar
Biru = Jati Diri
Hijau = Lambang Kehidupan
Jingga = Matahari
Merah = Semangat
Kuning = Harapan tercapai
Hitam = Keagungan
"Makna yang terkandung dalam
jadah ini merupakan simbol kehidupan yang akan dilalui oleh si anak, mulai dia
menapakkan kakinya pertama kali di bumi ini sampai dia dewasa, sedangkan
warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan si anak akan menghapai
banyak pilihan dan rintangan yang harus dilaluinya. jadah 7 warna disusun mulai
dari warna yang gelap ke terang".
2. Selanjutnya si anak Menaiki Tangga,
dimana tangga ini terbuat dari Tebu jenis Arjuna,yaitu tangga yang dibuat dari
batang tebu merah hati dan dihiasi kertas warna- warni.. Hal ini dimaksudkan
agar dalam menapaki (menjalani) hidupnya, apa yang di lakukan seorang anak
diharapkan semakin meningkat. Dan mampu melewati halangan dan rintangan
hidupnya kelak.
3. Kemudian di teruskan menapaki
pasir, ini dimaksudkan agar dalam dalam menjalani hidupnya dia siap dengan
halangan atau rintangan apapun yang menghadangnya.
4. Setelah menapaki pasir, anak di
bimbing di sebuah kurungan ayam yang telah dihiasi dan didalamnya terdapat
beberapa mainan, alat tulis, uang, hp, stetoskop dan sebagainya. Dan Kemudian
anak di suruh mengambil barang yang di sukainya. Dimana barang yang dipilih si
anak merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya
kelak setelah dewasa.
5. Prosesi selanjutnya adalah sebar
beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam untuk di perebutkan (dalam
hal ini yang menaburkan adalah di wakili bapaknya) , prosesi ini menggambarkan
agar si anak kelak menjadi anak yang dermawan, suka bersedekah dalam
lingkungannya.
6. Prosesi terakhir yaitu si anak
dimandikan dengan bunga setaman Lalu mengenakan baju yang baru. Tujuannya yaitu
agar si anak tetap sehat, membawa nama harum bagi keluarga, punya kehidupan
yang layak, makmur dan berguna bagi nusa bangsa.
Si anak melakukan prosesi Tedak Siten |
Setelah dimandikan, si anak diganti
bajunya dengan baju yang baru. Diacara ini, si anak diumpamakan ganti baju sampai
7 kali, dicari yang cocok di badannya. Akhirnya baju yang terakhirlah yang
cocok untuk dia. Setelah semua Prosesi tersebut dilaksanakan, kemudian memotong
Tumpeng yang di lengkapi dengan sayur urap (hidangan yang terbuat dari sayur
kacang panjang, kangkung dan kecambah yang diberi bumbu kelapa yang telah
dikukus atau disangrai) dan ayam. Tumpeng melambangkan permohonan orang tua
kepada sang Maha Pencipta agar si anak kelak menjadi anak yang berguna, sayur
kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur
kangkung bermakna dimanapun si anak hidup dia mampu tumbuh dan berkembang,
sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak
dapat hidup mandiri.
2. Tradisi Koloan
Bagi anak-anak Suku Osing
di Desa Kemiren yang akan khitan atau sunat wajib menjalani ritual khusus yang
disebut Koloan. Koloan artinya jebakan. Ritual Koloan dilaksanakan untuk
mempersiapkan mental karena biasanya seorang anak merasa takut kalau disunat.
Meneteskan darah Ayam yang telah disembelih kapada anak |
Dalam tradisi Koloan, sang
anak yang akan menjalani khitan harus ditetesi darah ayam yang dipimpin oleh
pemimpin ritual. Dengan bertelanjang dada, si anak duduk di atas kursi kayu
kecil, di depannya disajikan beberapa sesaji. Sang pemimpin ritual lalu
mengucapkan doa dalam Bahasa Osing sambil mengusapkan bedak di wajah si anak.
Setelah itu seekor ayam jago warna merah disembelih. Ayam yang dipakai tidak
boleh sembarangan, bulunya harus berwarna merah dan belum pernah kawin. Darah
segar yang keluar dari leher ayam kemudian diteteskan di atas kepala si anak
hingga ayamnya mati. Setelah itu pemimpian ritual akan mengusapkan pitung tawar
pada kepala si anak. Pitung tawar terbuat dari beras dan kunir, tujuannya agar
si anak mempunyai kekebalan dari segala jenis penyakit dan marabahaya.
Anak dibawa ke sungai |
Kemudian si anak dibawa ke sungai dan
dimandikan oleh pemimpin ritual. Ketika berjalan ke sungai, si anak juga harus
melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang sudah
menjalani ritual Koloan dipercayai tidak lagi merasa takut saat akan disunat. Menurut
salah satu pemimpin ritual Koloan, Sanusi Marhaedi , menyembelih ayam merupakan
simbolisasi pengorbanan seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang
mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah
bisa berbakti pada orangtuanya dan meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail.
Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan
dengan lancar dan tidak ada halangan. Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan
bersama di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel
pithik yang dihadiri oleh para tetangga.
3. Tradisi Mepe Kasur
Tradisi Mepe Kasur ini
masih dalam satu rangkaian dengan Tradisi Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu
dilakukan pada malam harinya, maka Mepe Kasur dilakukan dari pagi hingga siang
hari. Dalam bahasa Jawa Mepe Kasur artinya menjemur kasur. Masyarakat Osing
meyakini salah satu sumber penyakit berasal dari kasur, oleh sebab itu
kasur-kasur harus dijemur di halaman rumah agar sumber penyakit itu mati
terkena sinar matahari. Yang unik dari Tradisi Mepe Kasur ini adalah warna
kasurnya. Semua kasur milik warga Desa Kemiren berwarna abang cemeng. Dalam bahasa
Osing abang artinya merah dan cemeng artinya hitam. Semua kasur di Desa Kemiren
memang sengaja dibungkus dengan kain berwarna hitam dengan tepian berwarna
merah. Keseragaman ini dimaksudkan sebagai lambang kerukunan dan semangat
bekerja dalam rumah tangga.
Warga yang sedang melakukan tradisi menjemur kasur (Mepe Kasur) |
Uniknya lagi, saat pelaksanaan Tradisi
Mepe Kasur semua warga menjemur kasurnya secara bersamaan mulai dari jam tujuh
pagi hingga matahari tenggelam. Maka jangan heran manakala melihat pemandangan
unik di Desa Kemiren menjelang Hari Raya Idul Adha yaitu di kanan dan kiri
jalan berderet ratusan kasur dengan warna yang seragam: abang cemeng. Setiap
warga Desa Kemiren yang baru menikah pasti memiliki kasur abang cemeng. Warna
cemeng dimaksudkan untuk menolak bala atau sial, sedangkan warna merah melambangkan
kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh
dari sial dan rumah tangganya langgeng hingga maut memisahkan.
4. Tradisi Tumpeng Sewu
Pada awal terbentuknya
masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya
Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan Agama
Islam menyebar dengan cepatnya di kalangan suku Osing. Itulah sebabnya kenapa
tradisi unik Suku Osing merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan
Islam.
Dalam bahasa Jawa, Tumpeng
Sewu artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Dalam tradisi ini setiap keluarga
mengeluarkan minimal satu buah tumpeng, sedangkan kepala keluarga di Desa
Kemiren berjumlah sekitar 1.052 orang. Maka tak heran jika disebut Tumpeng Sewu
karena bisa jadi keluarga yang berkecukupan akan mengeluarkan lebih dari satu
tumpeng.
Tradisi Tumpeng Sewu
dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki
yang telah mereka terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu diyakini
sebagai selamatan tolak balak yang akan menghindarkan warga Desa Kemiren dari
segala bencana dan penyakit yang mematikan. Tumpeng Sewu juga dilaksanakan
untuk menghormati datangnya Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji.
Pelakasanaan acara Tumpeng Sewu oleh warga |
Sebagaimana nasi tumpeng
pada umumnya, Tumpeng Sewu berbentuk kerucut yang mempunyai filosofi bentuk
pengabdian kepada Sang Pencipta. Yang khas dari Tumpeng Sewu adalah menu Pecel
Pithik yaitu ayam panggang yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu
tertentu. Pecel Pithik akronim dari kalimat: “Ngucel-ucel barang sithik” yang
artinya mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.
5. Tradisi Nginang
Nginang adalah mengunyah
sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur. Tradisi nginang atau mengunyah sirih
ini sudah sulit kita temui pada masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun di
Desa Kemiren, tradisi nginang ini masih banyak yang melakukannya, meskipun terbatas
di kelompok usia lanjut saja. Tradisi Nginang sendiri hanya boleh dilakukan
oleh wanita yang sudah menikah, dengan kata lain nginang bisa menjadi penanda
apakah seorang wanita sudah mempunyai pasangan hidup atau belum. Yang membuat unik, setiap tahun diadakan
lomba nginang bagi para warga Desa Kemiren. Tujuan diadakan lomba nginang
adalah untuk melestarikan tradisi nginang di kalangan masyarakat desa Kemiren.
Hal ini dilator belakangi fakta bahwa kegiatan nginang sudah nyaris hilang di
kalangan anak muda. Maka tidak heran jika pesertanya adalah nenek-nenek
berusia di atas 50 tahun yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.
Nenek-nenek yang sedang duduk mungunggu giliran untuk Nginang di panggung |
Dalam lomba nginang
tersebut, para nenek duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia
untuk menunggu giliran tampil di panggung. Nenek-nenek penjaga tradisi itu
memakai baju terbaiknya yaitu jarik dan kebaya. Setiap peserta membawa tempat
kinang dari rumah. Tempat kinang biasanya terbuat dari kuningan atau kayu yang
berukir indah. Kriteria penilaian didasarkan pada kepiawaian para nenek ketika
meracik dan mengunyah sirih sambil melakukan wangsalan atau berbalas pantun,
menari atau nembang. Tentu dibutuhkan kemampuan multitasking yang mumpuni untuk
melakukan itu semua.
Kelima tradisi yang telah dijelaskan diatas
merupakan suatu warisan yang tak akan pernah hilang dan sangat mahal harganya
karena tradisi tidak akan pernah terbayar dengan apapun. Dari bentuk rumah di Kemiren sepertinya
sarna.
Rumah adat suku Osing di desa Kemiren |
Namun jika diamati lebih teliti ada perbedaan pada atap rumah
yang ternyata menandai status penghuninya. Rumah yang beratap empat yang
disebut ‘tikel balung’ melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah
‘crocogan’ yang beratap dua mengartikan bahwa penghuninya adalah keluarga muda
dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, dan rumah “baresan’ yang
beratap tiga yang melambangkan bahwa pemiliknya sudah mapan, secara materi
berada di bawah rumah bentuk ‘tikel balung’ . Hampir di setiap rumah ditemukan lesung Hampir di setiap rumah ditemukan
lesung (alat penumbuk padi) dan
gudang tempat menyimpan sementara hasil panen. Di beberapa sudut jalan tampak
gubuk beratapkan ilalang, yang dibangun di ujung kaki-kaki jajang (bambu, dalam bahasa Osing) yang tinggi.
Bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk “cangkruk” sambil mengamati
keadaan di sekeliling desa. Pada masa lalu, gubuk seperti ini sengaja dibangun
untuk memantau kedatangan “orang asing” yang mencurigakan. Desa Kemiren telah ditetapkan sebagai Desa Osing yang
sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan keosingannya. Area wisata
budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah
Osing dan diproyeksikan sebagai cagar budaya Osing. Banyak keistemewaan yang
dimiliki oleh desa ini di antaranya penggunakan bahasa yang khas yaitu bahasa
Osing. Kekhasan kehidupan dan pemukiman penduduk serta adat-istiadat suku Osing
menjadi modal utama pemerintah daerah membangun Desa Wisata Osing. Wisata Osing
yang sebenarnya adalah wisata budaya. Fasilitas rekreasi hanya merupakan
tambahan yang dibangun sebagai pelengkap.
Bagi masyarakat Osing, semua yang berada di alam semesta ini
merupakan anugerah maka dari itu kita patut mensyukurinya dengan semakin banyak
rasa syukur akan semakin banyak keistimewaan yang akan didapat. Terbukti sampai
saat ini, pariwisata Banyuwangi semakin terus meningkat dan menguntungkan
masyarakat setempat karena secara tidak langsung masyarakat yang berkunjung
akan menghabiskan uangnya disini. Bagi yang penasaran dengan suku Osing ini
tidak perlu khawatir akan biaya yang mahal karena sekarang sudah banyak sekali
perjalanan wisata dengan biaya murah apalagi keberadaan para Backpacker yang
sedang menjadi tren saat ini. Saya akan menjelaskan tentang akses dan perkiraan
estimasi biaya yang dikeluarkan jika ingin berkunjung ke desa Kemiren ini.
Untuk akses menuju desa kemiren jika ditempuh dari
malang,anda bisa menaikki kereta tawang alun menuju stasiun karang asem dengan
biaya sekitar Rp 30.000 atau relatif bisa naik.Perjalanan dari Malang menuju
stasiun karang asem sekitar 8 jam. Kemudian setelah anda turun di stasiun
karangasem, anda bisa menggunakan jasa rental motor dengan harga yang relatif terjangkau
pula karena jaraknya sekitar satu jam untuk tiba di desa kemiren. Setelah satu
jam perjalanan, akhirnya tiba di desa Kemiren tempat dimana suku Osing berada.
Ketika sampai, tidak perlu khawatir mengenai akomodasi atau tempat penginapan
selama anda berlibur kesana karena warga Osing menyediakan homestay kepada para
wisatawan dan untuk mendapatkannya anda harus meminta izin tinggal di homestay
tersebut dengan warga disana. Untuk biaya homestay sendiri bisa dibayarkan
dengan biaya seikhlasnya yang jelas dalam biaya yang wajar.
Ketika anda tiba disana, insyaallah jika anda beruntung anda
bisa mendapati dan menyaksikan kelima tradisi yang telah saya infomasikan
diatas. Karena begitu menariknya tradisi-tradisi tersebut membuat setiap
wisatawan yang melihat menjadi puas dab ikut merasakan kemeriahan yang ada.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Kemiren menggelar tradisi selamatan sejak
menanam benih, saat padi mulai berisi, hingga panen. Saat masa panen tiba,
petani menggunakan ani-ani diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan
di pematang-pematang sawah.Saat menumbuk padi, para perempuan memainkan tradisi
gedhogan, yakni memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi yang
enak didengar.Selain itu, tak jarang dari mereka yang mendokumentsikan pada
ponsel seluler mereka ataupun kamera yang telah mereka persiapkan selaat
berkunjung disana.
Sedangkan untuk
kesenian, Masyarakat Osing sangat kaya akan tari-tarian dan musik diantaranya
adalah:
1. Gandrung
2. Kuntulan
3. Barong
4. Gedhogan
5 Mocoan Ion tar yusuf
6. Burdah
7. Jaran kencak
8.Angklung paglak
9. Angklung caruk
10. Angklung tetak
11. Angklung Blambangan
12. Kenthulitan
13. Seni ukir
14. Tenun abaka
15. Tulup
16. Seni arsitektur rumah Osing
17. Seni kerajinan pembuatan biola gandrung
18. Seni kerajinan pembuatan barong Osing
19. Kiling
1. Gandrung
2. Kuntulan
3. Barong
4. Gedhogan
5 Mocoan Ion tar yusuf
6. Burdah
7. Jaran kencak
8.Angklung paglak
9. Angklung caruk
10. Angklung tetak
11. Angklung Blambangan
12. Kenthulitan
13. Seni ukir
14. Tenun abaka
15. Tulup
16. Seni arsitektur rumah Osing
17. Seni kerajinan pembuatan biola gandrung
18. Seni kerajinan pembuatan barong Osing
19. Kiling
Dari semua kesenian yang disebutkan yang menurut saya paling
terkenal dan diminati oleh setiap yang datang.
Tarian Gandrung khas Banyuwangi |
Tari Gandrung, atau biasa disebut saja dengan Gandrung
Banyuwangi adalah salah satu tarian tradisional Indonesia yang berasal dari
Banyuwangi. Oleh karena tarian ini pulalah, Banyuwangi juga di juluki sebagai
Kota Gandrung, dan terdapat beberapa patung penari gandrung di setiap sudut
kota.Menurut asal muasalnya, tarian ini berkisah tentang terpesonanya
masyarakan Blambangan kepada Dewi padi, Dewi Sri yang membawa kesejahteraan
bagi rakyat.Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen
dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali. Tarian
ini di bawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari
utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa langsung di ajak menari,
biasa disebut sebagai paju. Memang tidak akan ada habisnya jika kita
membicarakan tentang Banyuwangi khususnya suku Osing. Kekentalan adat,kemurnian
masyarakat, dan keindahan setiap tradisi yang disuguhkan sangat mengagumkan dan
patut dibanggakan sebagai aset pariwosata budaya dan sejarah bagi Indonesia
maka dari itu, saya sangat berpesan agar tetap menjaga karifan lokal yang ada
di Indonesia ini karena kalau bukan kita siapa lagi? Kemudian setelah puas
berkeliling desa Kemiren dan belajar banyak terhadap pola hidup masyarakat,
anda bias membeli souvenir –souvenir yang berada di desa ini dengan harga yang
relatif murah dan terjangkau sebagai kenangan jika anda pernah berkunjung desa
Kemiren ini. Bentuknya beragam dan hamper sama dengan barang-barang yang dijual
di tempat wisata pada umumnya seperti gantungan
kunci,gelang,accessories,belangkon,pakaian tradisional,peralatan rumah
tangga,kerajinan tangan(tas,tikar,topi), dan lainnya.
Penutup
Kesimpulan
Akhirnya saya telah sampai diujung topik dari pembahasan mengenai suku Osing ini. Dari semua yang telah saya deskripsikan diatas, saya simpulkan bahwa suku osing yang terdapat di desa Kemiren kecamatan Galagah Banyuwangi ini merupakan salah satu aset andalan yang dimililki oleh Indonesia khususnya Banyuwangi. Alasan mengapa begitu berharga adalah masyarakat Osing masih sangat mematuhi ajaran ajaran leluhur mereka yang tercermin lewat tradisi-tradisi,upacara adat,dan ritual-ritual tertentu yang selalu mereka tegakkan guna menjaga keasliannya. Meskipun zaman sudah sangat modern masyarakat tidak lernah goyah dengan semua godaan dari arus globalisasi ya g semakin bergejolak ini. Terbukti mereka masih tetap menjaga kearifan yang rutin mereka lakukan disana. Hal itulah yang menjadikan setiap wisatawan yang berkunjung menjadi puas saat berkunjung dan terbukti selalu meningkat tiap tahunnya. Dari tradisi mepe kasur contohnya semua kasur yang dijemur disepanjang jalan depan rumah warga warna nya diseragamkan yaitu merah dan hitam itu berarti bahwa masyarakat using tidak mengenal adanya perbedaan terutama dalam hal.kekayaan karena semuanya dianggap sama dan sederajst sehingga tiap warga tidak saling menyombongkan diri yang rentan sekali membuat perpecahan diantara mereka. Jadi jargon “the sunrise of java” untuk Banyuwangi adalah suatu Slogan yang benar pas dan tepat diberikan kepada daerah ini karena memang benar bahwa Banyuwangi disamping daerah yang pertama terkena sinar matahari terbit pertama di pulau Jawa namun juga suatu daerah yang kini sudah menjadi yang cukup berkompetitif dari segi pariwisata mengingat dahulu Banyuwangi sangat kurang diminati. Itu semua tak lain karena rasa cinta masyarakat terhadap daerahnya sangat tinggi sehingga mereka akan melakukan yang terbaik terhadap daerahnya agar daerahnya maju dan terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Sumber Referensi
*Terima kasih kepada para pembaca dan saya sangat berharap akan komentar kalian mengenai postingan saya ini*
NAMA : Hirfan Ramadhan
KELAS : Usaha Jasa Pariwisata 2014 (B)
NIM : 4423145623
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Jadi tertarik untuk pergi ke Baanyuwangi.. semoga bisa kesana melihat kearifan lokal dari suku osing di desa Kemiren
ReplyDeletePenasaran mau ke Banyuwangi kebetulan saya traveler dan Banyuwangi salah satu yg belum sempet saya kunjungi
ReplyDeleteTerima kasih infonya
Penasaran mau ke Banyuwangi kebetulan saya traveler dan Banyuwangi salah satu yg belum sempet saya kunjungi
ReplyDeleteTerima kasih infonya
Saya masih kurang percaya jika di daerah banyuwangi terdapat suku osing yang baru pertama kali saya dengar dan ternyata saya sangat terkejut dengan keseharian mereka ditengah hiruk pikuk kebisingan kabupaten banyuwangi masih menjunjung tinggi aturan adat
ReplyDeleteNice info..
surga di banyu wangi? Saya baru tau . Thx infonya
ReplyDeleteIndoesia begitu kaya akan budayanya. Begitu juga dengan Banyuwangi yang memiliki beragam budaya dan tradisi. Setuju sekali denga postingan ini yang mengatakan 'Banyuwangi the sunrise of java'. Tetap berikan info yg bermanfaat yah.
ReplyDeleteWah saya memang akhir ini pernah dengar tentang suku osing dan ternyata sukunosing seperti itu ya sangat kental akan adat istiadat sangat bangga dengan indonesia yang kaya suku bangsa
ReplyDeleteGood job!
Kayanya admin harus banyak menggali ke unikan2 budaya-Budaya indonesia. Dan di salurkan agarbmenjadi informasi yang berguna
ReplyDeleteDitunggu artikel berikutnya