Halo dunia! halo kawan-kawan insan pariwisata! Perkenalkan
nama saya Garin Girindra Dwi Saputra, saya biasa di panggil garin, gar, rin,
atau gege. Saya merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang dilahirkan 19
tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 9 Mei di DKI Jakarta. Saya adalah
mahasiswa semester 3 jurusan pariwisata di Universitas Negeri Jakarta, di
semester 3 ini merupakan semester yang bisa dikatakan cukup berat dan cukup
menguras tenaga, pikiran dan juga batin karena banyaknya tugas yang menumpuk di
semester ini, dan pada kesempatan ini saya akan menceritakan pengalaman saya di
sebuah desa adat yang mungkin sudah banyak orang yang tau tentang desa adat
ini, desa adat tersebut adalah desa adat Baduy yang terletak di wilayah Banten,
saya pergi ke desa adat tersebut untuk melaksanakan observasi untuk tugas UAS
pemanduan wisata Budaya. Saya berangkat ke desa adat Baduy bersama teman-teman
satu angkatan saya di jurusan pariwisata, untuk menuju ke desa adat Baduy
cukuplah mudah, kalian bisa menuju kesana dengan menggunakan kereta api ataupun
bus. Sebelum berangkat, saya dan teman-teman terlebih dahulu menghubungi
seorang tour guide yang merupakan warga Baduy yaitu Kang Arji untuk menjemput
dan menemani kami selama berada disana. Untuk perjalanan kali ini, saya dan
teman-teman saya menggunakan kereta api dan memesan tiket untuk berangkat dari
stasiun Tanah Abang dengan jurusan menuju Rangkas Bitung menggunakan kereta api
“Rangkas Jaya” dengan harga 15 ribu rupiah saja, cukup murah bukan? Lama
perjalanan dari stasiun Tanah Abang menuju ke stasiun Rangkas Bitung memakan
waktu sekitar 2 jam saja. Setelah sampai di stasiun Rangkas Bitung, kemudian saya
dan teman-teman menuju ke desa Ciboleger ditemani oleh Kang Arji dengan
menggunakan angkutan umum berupa minibus elf dengan harga sekitar 30 ribu
rupiah per orang untuk sekali berangkat dan bisa menampung sekitar 15 orang,
namun jika kalian ingin menyewa minibus tersebut maka harganya pun bisa sedikit
lebih murah dengan harga 800 ribu per minibus untuk pulang pergi kemudian saya
dan teman-teman memutuskan untuk menyewa 4 minibus, karena kami berjumlah
sekitar 60 orang. Untuk mencapai desa Ciboleger dari stasiun Rangkas Bitung
dengan menggunakan minibus akan memakan waktu selama kurang lebih 1 jam 30
menit, sesampainya di desa Ciboleger saya dan teman-teman mulai berjalan kaki dengan
ditemani Kang Arji dan Kang Arja untuk menuju ke Baduy luar tepatnya desa
Kanekes untuk meminta izin ke Jaro
atau perangkat desa adat Baduy atau jika di kota biasa disebut lurah. Setelah meminta
izin, kita dipersikahkan untuk mengisi buku tamu. Sebelum berangkat menuju
homestay, saya dan teman-teman terlebih dahulu berdiskusi tentang desa adat
Baduy dengan bapak Jaro, dalam
diskusi tersebut kami dijelaskan sedikit tentang desa adat Baduy dan
dipersilahkan untuk bertanya tentang apapun mengenai desa adat Baduy. Setelah
selesai berdiskusi saya dan teman-teman langsung menuju ke homestay yang
terletak di desa Marengo dan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama 20
menit, di perjalanan ini lah saya melihat sosok Kang Arja yang merupakan warga
asli Baduy dalam, seorang pria paruh baya yang memakai baju khas Baduy dalam
yang berwarna hitam dengan celana hitam juga, menggunakan udeng berwarna putih
yang juga ciri khas Baduy dalam dan
berjalan tanpa alas kaki. Bagi saya yang masih muda, jalur yang saya dan
teman-teman lalui merupakan jalur yang diisi batu-batuan serta tanah merah itu
cukup melelahkan dan membuat kaki sakit walaupun saya menggunakan alas kaki,
tak terbayang bagaimana rasanya jika menjadi sosok Kang Arja yang sudah paruh
baya dan tidak memakai alas kaki melewati jalur tersebut, mungkin beliau sudah
biasa melewatinya sehingga sepertinya beliau baik-baik saja dan tenaga beliau
tidak begitu terkuras. Di tengah perjalanan, Kang Arja sempat memetik sehelai
daun dari sebuah pohon dan berkata bahwa daun tersebut bisa digunakan untuk
mengobati penyakit kulit, mendengar perkataan beliau saya dan teman-teman
menjadi takjub dengan sosok Kang Arja, yang mewakili sosok orang Baduy dalam
yang tak pernah melalui pendidikan formal namun pengetahuan nya tentang alam
sangat luar biasa. Sesampainya di desa Marengo, saya dan teman-teman pun
langsung menaruh barang-barang dan beristirahat di homestay masing-masing. Saya
kemudian mencoba mengobrol dengan Kang Arja dan bertanya-tanya tentang Baduy,
namun sepertinya beliau kurang mengerti atau mungkin sedikit lupa Bahasa
Indonesia sehingga tidak begitu banyak pertanyaan saya yang terjawab, namun
Kang Arja tetaplah sosok yang ramah dan murah senyum karena saat mengobrol
dengannya beliau selalu sempat tersenyum. Hari pun mulai sore dan saya pun
pergi untuk mandi di sungai yang ada di belakang homestay saya, setelah selesai
mandi saya kembali ke homestay untuk tidur karena saya cukup mengantuk karena
berjalan cukup jauh, saya pun terbangun malam hari sekitar pukul 7 kemudian
saya keluar homestay dan melihat Kang Arja sudah tidak berada di desa Marengo
lagi, kemungkinan dia sudah pulang pada saat saya mandi. Keesokan harinya saya
dan teman-teman sudah bersiap-siap sejak pukul 6 pagi untuk pergi menuju ke
desa Cibeo di Baduy dalam dan Kang Arja pun juga sudah siap untuk mengantar
kami ke desa Cibeo. Kami pun memulai perjalanan sekitar jam 7 dan menempuh
jalur yang cukup ekstrim seperti naik gunung, Kang Arja terlihat memimpin jalan
di paling depan rombongan kami. Saya dan teman-teman menempuh perjalanan selama
kurang lebih 5 jam dan sampai di desa Cibeo di Baduy dalam sekitar pukul 12
siang, lalu kami semua berisitirahat dan makan siang di rumah Kang Arja, sebelum
makanan dibagikan kami pun disuguhi buah durian oleh Kang Arja. Memang warga
Baduy kebanyakan penghasilannya dari buah durian, tak terkecuali Kang Arja, dan
rasa durian disana sangat enak dan juga manis karena Kang Arja berkata kalau
durian-durian di Baduy ini matang di pohon sehingga buah durian ini jatuh
sendiri dan tidak perlu susah-susah untuk mengambilnya dan rasanya pun akan
lebih enak daripada durian yang biasanya. Setelah selesai beristirahat kami
langsung memulai diskusi dengan Jaro
dari desa Cibeo dan dijelaskan mengenai budaya yang ada di Baduy dalam. Setelah
diskusi selesai, kami pun langsung kembali menuju desa Marengo untuk kembali
beristirahat, rasanya sangat melelahkan harus kembali menempuh perjalanan yang
sangat berat namun kami harus tetap semangat, masa kami kalah sama Kang Arja
sih. Di perjalanan pulang Kang Arja kembali menemani kami dan memimpin jalan
karena beliau lah yang mengetahui jalur mana yang harus dilalui karena kami
akan melewati jalur yang sedikit berbeda dari jalur berangkat, alhasil
perjalanan pun menjadi lebih cepat 1 jam dari perjalanan berangkat, saya pun
kembali dibuat kagum oleh Kang Arja. Sesampainya di desa Marengo saya pun
beristirahat di homestay dan kembali mengobrol dengan Kang Arja, saya bertanya
pada beliau kemarin pulang jam berapa, kemudian Kang Arja menjawab dia pulang
sekitar jam setengah 6, saya pun kaget dan bertanya memangnya Kang Arja masih
bisa melihat karena setengah 6 sudah lumayan gelap menurut saya dan perjalanan
yang ditempuh juga cukup lama karena saat tadi berangkat saja memakan waktu
kurang lebih 5 jam, lalu Kang Arja berkata dia masih bisa melihat jalan, lalu
saya bertanya lagi beliau sampai dirumah jam berapa, saya lebih kaget lagi
ketika beliau menjawab kalau dia sampai dirumah sekitar jam setengah 7, wow
saya dan teman-teman yang masih muda dan segar saja butuh waktu 5 jam untuk
sampai ke rumah Kang Arja, tapi Kang Arja yang paruh baya hanya butuh waktu 1
jam dan itupun malam dan beliau tak memakai alas kaki sama sekali, sunggu sosok
yang hebat memang Kang Arja, saya sangat salut dan kagum kepada beliau.
Keesokan harinya tiba saatnya bagi saya dan teman-teman untuk pulang ke Jakarta
dan itu berarti saya dan teman-teman akan berpisah dengan Kang Arja, agak
sedikit berat saya rasa untuk berpisah dengan Kang Arja, apalagi keramahan dan
sifat murah senyum beliau. Saya dan teman-teman pun bergegas untuk pergi
kembali ke desa Ciboleger dan menunggu minibus menjemput, Kang Arja pun kembali
menemani saya sampai ke desa Ciboleger dan tidak bisa menemani sampai ke
stasiun karena beliau sebagai orang Baduy dalam dilarang untuk naik kendaraan
apapun. Sesampainya di desa Ciboleger minibus kami pun telah menjemput, lalu
saya dan teman-teman berpamitan pada Kang Arja dan saya menyempatkan untuk
berfoto bersama Kang Arja untuk kenang-kenangan.
Begitulah singkatnya cerita saya saat berada di desa adat
Baduy dan juga tentang sosok Kang Arja, lelaki asal Baduy dalam yang kuat,
sangat baik hati, dan juga murah senyum yang membuat saya kagum selama berada
di desa adat Baduy. Sekian cerita dari saya, semoga dapat menginspirasi
kawan-kawan insan pariwisata se-Indonesia, wassalam!
Foto Bersama Kang Arja |
Garin Girindra Dwi Saputra
4423143943
Usaha Jasa Pariwisata (A) 2014
Universitas Negeri Jakarta
No comments:
Post a Comment