NIKMATNYA
KEINDAHAN DAN KEBUDAYAAN DI BIMA
- PENGANTAR
·
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Penulis dapat
menyelesaikan tulisan ini yang berjudul “Daya tarik Pariwisata dan Budaya di
Bima” dengan lancar walaupun saya tau tulisan ini jauh dari sempurna.
Tentunya
tulisan ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakannya. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan dalam pembuatan
tulisan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemanduan I Wisata Budaya yang
dibimbing oleh Bpk.Shobirien
Besar harapan penulis dari penyusunan tugas
ini bisa bermanfaat bagi siapa-pun yang membacanya serta masih banyak
kekurangan yang terdapat dalam tugas ini, karenanya penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk dijadikan acuan dan bahan pertimbangan di masa
yang akan datang.
Jakarta, 3 Januari 2016
Nur Suhartini
- PEMBAHASAN
·
Deskripsi Destinasi
Gambar 1.1. Pembangunan Patung Selamat Datang |
1)
ASAL USUL KOTA BIMA
Bima adalah sebuah kota otonom yang
terletak di Pulau Sumbawa bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Indonesia. Luas wilayah Kota Bima adalah 222,25 km2 terdiri dari 8,53 persen
diantaranya (18,96 km2) merupakan lahan sawah dan sisanya 91,47 persen (203,29
km2) merupakan lahan bukan sawah. Sejarahnya sendiri ialah Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo
telah mengalami perjalanan panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut
Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan
Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar
Sang Bima di Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan
menjadi permulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada masa
itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi.
Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang
dikuasainya.
Ada
lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara
yang menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan,
Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai
wilayah Bima bagian Timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi
tersebut sepakat mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure, Sang Bima
menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de Facto ia menyerahkan kembali
kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya.
Pada perkembangan selanjutnya,
putera Sang Bima yang bernama Indra Zambrut dan Indra Komala datang ke tanah
Bima. Indra Zamrutlah yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima
memasuki Zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah kerajaan
besar yang sangat berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya Nusantara.
Secara turun temurun memerintah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad 16.
Fajar islam bersinar terang di
seluruh Persada Nusantara antara abad 16 hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat
luas hingga mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan
tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan.
Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota La Ka’i yang bergelar Rumata Ma
Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir
(kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki
peradaban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun menurun
hingga tahun 1951.
Masa kesultanan berlangsung lebih
dari tiga abad lamanya. Sebagaimana ombak dilautan, kadang pasang dan kadang
pula surut. Masa-masa kesultanan mengalami pasang dan surut disebabkan pengaruh
imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi Nusantara. Pada tahun 1951 tepat
setelah wafatnya sultan ke-14 yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki
Zaman kemerdekaan dan status Kesultanan Bima pun berganti dengan pembentukan
Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah menjadi daerah
Kabupaten.
Pada tahun 2002 wajah Bima kembali
di mekarkan sesuai amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan
wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah yang terhampar di ujung timur pulau
sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah administrasi dan politik yaitu Pemerintah
kota Bima dan Kabupaten Bima. Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan
38 kelurahan.
Sebagai sebuah daerah yang baru
terbentuk, Kota Bima memiliki karakteristik perkembangan wilayah yaitu:
pembangunan infrastruktur yang cepat, perkembangan sosial budaya yang dinamis,
dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi.
Sudah 10 tahun ini Kota Bima
dipimpin oleh seorang Walikota dengan peradaban Budaya Dou Mbojo yang sudah
mengakar sejak jaman kerajaan hingga sekarang masih dapat terlihat dalam
kehidupan masyarakat Kota Bima dalam kesehariannya. Baik sosial, Budaya dan
Seni tradisional yang melekat pada kegiatan Upacara Adat, Prosesi Pernikahan,
Khataman Qur”an, Khitanan dan lain-lain.
Suku asli masyarakat Kota Bima
adalah suku Bima atau dikenal dalam bahasa lokal nya “Dou Mbojo” dengan
mayoritas beragama islam dengan mata pencaharian nya Bertani, Bertenak, Melaut
dan sebagian Pegawai Negeri Sipil. Salah satu ke-unikan Kota Bima adalah sebagian
dari masyarakat nya juga berasal dari berbagai suku dan etnik di indonesia
seperti; Jawa, Sunda, Timor, Flores, Bugis, Bajo, Madura, Sasak (Lombok), Bali,
Minang dan Batak sehingga memberi warna tersendiri didalam keseharian mereka di
Kota Bima (suku-suku ini selalu memeriahkan upacara dan pawai pada hari-hari
besar di Kota Bima) dengan hidup berdampingan secara rukun dan damai serta
suasana kondusif.
2)
KEBUDAYAAN BIMA
Kebudayaan yang masih ada sampai
sekarang di Kota Bima ialah beberapa upacara adat yang masih dijalani oleh
masyarakat Bima, yaitu:
·
Upacara
Adat Dou Donggo dan Dou Mbojo
Dalam bahasa Mbojo, upacara adat
disebut “Rawi Rasa” Rawi Rasa berarti semua kegiatan yang dilakukan secara
gotong-royong oleh seluruh masyarakat. Rawi rasa terdiri dan dua jenis
kegiatan, yaitu rawi mori dan rawi made.
Yang dimaksud dengan rawi mori ialah kegiatan yang berhubungan dengan
upacara kehamilan, kelahiran, khitanan dan pernikahan. Sedang rawi made ialah
upacara yang berhubungan dengan kematian. Khusus bagi rawi made dilakukan
berdasarkan hukum Islam. Sehingga tidak ada upacara adat yang dilakukan pada
rawi made.
1
KELAHIRAN
Upacara
Nggana Ro Nggoa (Upacara Kehamilan dan Kelahiran Masyarakat Bima)
Yang
dimaksud dengan upacara nggana ro nggoa ialah rangkaian upacara adat yang
dimulai dan upacara “Salama Loko” sampai dengan upacara ”Dore Ro Boru”.
1.
Upacara Salama Loko.
Upacara Salama Loko disebut juga dengan
Kiri Loko dilakukan ketika kandungan
seorang ibu berumur tujuh bulan. Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu yang pertama kali
mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh sando
nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita.Upacara
akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di sekitar
jam 07.00.
Pada upacara ini keluarga dan
tetangga baik pria maupun wanita diundang hadir untuk menyaksikan. Disaat dukun
memperbaiki dan meraba-raba perut ibu hamil tersebut, saat itu pula para tamu
laki-laki mengadakan do`a zikir. Ibu-ibu juga hadir untuk menyaksikan upacara
salama loko /kiri loko, mereka umumnya membawa barang-barang
kado/hadiah/sumbangan untuk sang ibu hamil.
Sebuah
kearifan lokal Bima apabila seorang istri sedang hamil adalah kedua pasangan
suami istri dilarang untuk:
·
Berkata yang tidak senonoh
·
Menganiaya binatang atau manusia
·
Sedapat mungkin tidak menyembelih binatang
ternak
·
Tidak berhubungan suami istri bila
mendengar berita ada tetanga atau orang
lain meninggal
·
Tidak membuang air besar di sembarang
tempat
·
Tidak memotong sesuatu seperti kayu atau
mengunting kertas. Jika terpaksa,
ia harus ingat bahwa istrinya sedang hamil
·
Suami tidak diperkenankan berburu atau
melakukan pekerjaan yang kurang
baik seperti mengambil milik orang orang lain tanpa seijin orang yang
punya dan sebaginya serta
·
Khusus istri tidak boleh tidur disaat
matahari menjelang naik
2. Upacara Cafi Sari
Upacara cafi sari dilakukan setelah bayi
berumur tujuh hari. cafi sari dalam bahasa Indonesia berarti upacara menyapu
lantai. Maksud dari upacara ini, ialah
menyampaikan puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya karena sang
ibu bersama bayi sudah lahir dengan selamat. Menurut kepercayaan tradisional
pada usia tujuh hari, bayi akan memasuki kehidupan dunia, dan meninggalkan
kehidupan dalam kandungan.
Sebagai tanda terima kasih kepada sando
nggana, sang ibu memberi “soji” atau sesajen yang terdiri dan kue tradisional
mbojo. Seperti pangaha kahuntu, karuncu, pangaha bunga, pangaha sinci, ka dodo,
arunggina dan kalempe. Penyerahan soji merupakan lambang harapan orang tua,
agar bayinya kelak akan hidup bahagia sejahtera.
Bagi keluarga yang mampu, upacara cafi sari dilaksanakan bersamaan dengan upacara qeqa atau aqiqah. Yaitu upacara yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang menganjurkan orang tua untuk menyembelih seekor kambing yang sehat. Sebagai tanda syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Bagi keluarga yang mampu, upacara cafi sari dilaksanakan bersamaan dengan upacara qeqa atau aqiqah. Yaitu upacara yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang menganjurkan orang tua untuk menyembelih seekor kambing yang sehat. Sebagai tanda syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
3. Upacara Dore ro Boru
Upacara ini dilakukan setelah bayi
berusia tiga bulan. Upacara dore ro boru dilakukan secara bertahap sebagai
berikut:
a.
Upacara boru (upacara Potong rambut bayi)
Upacara
boru diawali dengan upacara doa. Memohon kepada Allah SWT. agar bayi tetap
sehat walafiat. Dan apabila dewasa, akan menjadi seorang yang beriman dan gagah
perkasa. Pelindung dan pembela keluarga serta dou labo dana (masyarakat -red).
Setelah upacara doa, maka dilanjutkan dengan upacara boru. Bayi digendong oleh
sando nggana. Tujuh orang tua adat laki-laki, secara bergilir memotong ujung
rambut bayi. Potongan rambut disimpan di pingga bura (piring putih) yang berisi
air dingin. Dengan harapan agar rambut bayl tumbuh subur, sebagai lambang
kesuburan dan kebahagiaan hidup.Pemotongan rambutdiiringi dengan jiki asraka
(jikir asrakal).
b.
Upacara Dore.
Yang dimaksud dengan upacara dore ialah, upacara menyentuhkan
telapak kaki bayi pada tanah. Beberapa gumpal tanah yang diambil dihalaman
masjid disimpan diatas pingga bura. Tanah itulah yang akan diinjak oleh bayi. Acara
dore, bertujuan untuk mengingatkan bayi, bahwa kelak dia akan hidup di bumi
yang bersih dan subur. Bayi harus mampu memanfaatkan kekayaan bumi untuk
kebahagiaan keluarga dan masyarakat. Sebab itu bayi harus menjaga keselamatan
bumi atau negeri.
Bayi yang di dore ro
boru, harus memakai pakaian adat upacara. Hampir sama dengan pakaian khitanan.
Kalau bayi itu laki-laki, maka harus memakai kondo loi, tembe monca (sarung
kuning lambang kejayaan), kawari, songko panggeta’a yang dihiasi jungge dondo.
Kalau bayi itu perempuan,maka harus memakai kondo lo’i, geno atau kondo randa
(kalung panjang), kawari dan bosa yaitu ponto kecil. (Bosa = gelang yang lebih
kecil dan ponto).
BERANJAK
DEWASA
Ketika
seorang anak beranjak dewasa, bagi masyarakat Bima merupakan saat yang tidak kalah sakralnya dengan kelahiran (baca tulisan terdahulu tentang prosesi
kelahiran menurut adat Mbojo). Proses menjadi dewasa sama halnya dengan momen
dimana seorang manusia beralih dunia, meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh
dengan keceriaan menuju masa remaja yang penuh tanggung jawab bagi diri,
keluarga maupun masyarakat.
Dalam
adat Bima, proses pendewasaan seorang anak manusia ditandai dengan dua macam
upacara adat. Upacara adat ini merupakan pengejawantahan syariat Islam yaitu
kewajiban untuk melaksanakan khitan bagi laki-laki serta anjuran untuk
menamatkan pembelajaran baca Al-Qur’an sebagai penuntun hidup seorang manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Upacara Khitanan atau Sunatan Adat
Mbojo.
Upacara Suna dan Saraso
Pada
sore han, seusai ndoso dan compo
sampari, maka akan dilakukan upacara khitan. Khitan bagi anak laki-laki
disebut suna. Sedangkan bagi anak wanita disebut saraso. Upacara suna dilakukan
oleh seorang tokoh adat pria yang biasa melakukan sunat. Sedangkan saraso
dilakukan oleh tokoh adat wanita.
Upacara
suna dan saraso diiringi dengan irama genda ro no (gendang dan gong).
Dilanjutkan dengan pertunjukan permainan rakyat, seperti mpa’a sila, gantao dan
buja ka danda.
Khusus
bagi anak pria, seusai suna dilanjutkan dengan upacara maka dimana Anak yang
baru disunat, turun ke halaman. Ia mencabut kerisnya, sambil melompat, ia
mengucapkan tekad dengan suara lantang. Tekad itu berisi pernyataan setia
kepada agama. Kalau ada yang memusuhi agama, ia akan siap untuk membelanya.Jadi
upacara”maka” tak lain dan pernyataan si anak untuk slap membela agama. Upacara
maka diiringi dengan musik genda, no, katongga dan sarone atau silu.
Upacara Khatam Al Qur’an
Pada
masa lalu, anak-anak dou Mbojo wajib belajar Al Quran. Sehingga disekitar usia
tujuh dan sembilan tahun, harus sudah selesai menamatkan pelajaran membaca al
Qur’an. Sebagai tanda syukur orang tua, atas keberhasilan anaknya dalam membaca
Al Quran, maka akan diadakan upacara yang disebut ”Tama” atau khatam Al
Qur’an. Upacara tama dimeriahkan dengan
berbagai acara. Pada malam hari, diadakan tadarusan, serta hiburan berupa
atraksi hadrah, marhaban dan barzanji.
Pada
upacara itu si anak akan diuji oleh para ahil baca Al Quran. Di hadapan guru
ngajinya, ia akan membaca beberapasuratdan Al Quran.ApabilaIakeliru, maka para
ulama yang mendengarnya, akan segera menegur. Bapak Guru Ngaji yang mendampingi
akan menuntun muridnya. Apabila para ulama dan hadirin menilai, bahwa anak
tersebut sudah dapat membaca dengan lancar, maka berarti ia sudah lulus. Guru
ngaji bersama orang tua anak akan gembira. Sebaliknya apabila si anak sering
melakukan kesalahan, guru ngaji bersama orang tua akan sedih dan malu. Mereka
akan mendorong si anak untuk mengulangi lagi pelajaran baca Al Quran. Pada
siang hari upacara ini akan dimeriahkan dengan upacára atraksi kesenian rakyat
Upacara Peta Kapanca
bagian dari prosesi pernikahan adat Bima. Upacara Peta Kapanca biasanya dilakukan pada malam hari sebelum acara akad nikah dan resepsi pernikahan dilaksanakan. Upacara Peta Kapanca ini banyak dihadiri oleh kaum hawa sehingga mereka mengklaim kalau acara ini adalah acara khusus buat kaum hawa.Pada acara ini, calon pengantin wanita yang sudah di rias lengkap dengan pakaian adat Bima duduk di Uma Ruka (Rumah Mahligai) sambil menunggu ibu-ibu yang akan melumatkan daun Pacar (Inai) pada kuku-kuku calon pengantin wanita.Acara ini cukup meriah karena ada suguhan Ziki Kapanca yang dilantunkan oleh ibu-ibu yang seolah-olah memberikan do'a dan pengharapan buat calon pengantin agar kelak bisa mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang harmonis dan di ridhoi oleh Allah SWT. Syair Ziki Kapanca ini bernuansa Islami karena didalamya mengandung pujian kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Makna dari acara Peta Kapanca adalah merupakan peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Selain itu juga, acara ini memberikan pesan kepada wanita lajang agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri.
bagian dari prosesi pernikahan adat Bima. Upacara Peta Kapanca biasanya dilakukan pada malam hari sebelum acara akad nikah dan resepsi pernikahan dilaksanakan. Upacara Peta Kapanca ini banyak dihadiri oleh kaum hawa sehingga mereka mengklaim kalau acara ini adalah acara khusus buat kaum hawa.Pada acara ini, calon pengantin wanita yang sudah di rias lengkap dengan pakaian adat Bima duduk di Uma Ruka (Rumah Mahligai) sambil menunggu ibu-ibu yang akan melumatkan daun Pacar (Inai) pada kuku-kuku calon pengantin wanita.Acara ini cukup meriah karena ada suguhan Ziki Kapanca yang dilantunkan oleh ibu-ibu yang seolah-olah memberikan do'a dan pengharapan buat calon pengantin agar kelak bisa mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang harmonis dan di ridhoi oleh Allah SWT. Syair Ziki Kapanca ini bernuansa Islami karena didalamya mengandung pujian kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Makna dari acara Peta Kapanca adalah merupakan peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Selain itu juga, acara ini memberikan pesan kepada wanita lajang agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri.
Selain upacara
adat, kesenian juga tak luput dari kebudayaan yang ada di Bima. Diantaranya adalah:
1
Tarian
Suku ini sebagian besar masyarakatnya muslim,
yang ditandai dengan berbagai macam budaya da keseniannya. Salah satu
keseniannya dalam budayanya yaitu tarian-tarian khas suku Bima sendiri. Berikut
macam-macam tarian yang ada pada kebudayaan masyarakat Bima ;
a. Hadrah: merupakan tari tradisional Bima yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT. Hadrah yang dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa masuk ke Bima sekitar abad XIV sejak masuknya Islam ke daerah itu. Masyarakat Bima mengenal kegiatan kesenian yang mengandung warisan nilai-nilai islam ini dengan sebutan Jiki Hadra. Jiki Hadra adalah puji-pujian kepada Allah, Nabi dan Sahabat Nabi yang dinyanyikan sambil menari dengan iringan musik arubana (rebana) dalam prosesi Perkawinan, khitanan dan khatam Al-Quran masyarakat Bima.
b. Kanja: Tari tradisional Bima yang diciptakan Sultan Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1673 setelah mendapatkan inspirasi sejarah masuknya Islam ke Bima. Kanja berarti tantang, karena dalam tarian ini ada gambaran pertarungan dua orang panglima yang tangguh.
c. Karaenta: Tari tradisional Bima diawali dengan sebuah lagu berbahasa Makassar yang bernama Karaengta. Penarinya anak kecil berusia sekitar 10 tahun, tidak memakai baju, kecuali hiasan yang dalam bahasa Bima disebut Kawari atau dokoh. Tari hiburan ini merupakan dasar untuk mempelajari tarian kerajaan Bima yang lain.
d. Katumbu: Tari tradisional Bima yang berarti berdegup ini menggambarkan keluwesan dan keterampilan remaja putri. Tarian ini diperkirakan sudah ada sejak abad XV dan ditarikan keluarga istana.
e. Toja: Tari tradisional Bima yang diangkat dari legenda Indra Zamrud. Penciptanya Sulta Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1651. Tari ini menggambarkan lemah-gemulainya penari yang turun dari khayangan. * Lenggo: Tari tradisional Bima yang berarti melenggok, yang telah diadatkan dalam upacara Sirih Puan setiap perayaan Maulid. Tari ini menceritakan bagaimana guru agama Islam mengadakan penghormatan kepada muridnya, yaitu Sultan sebagai pernyataan saling menghormati.
f. Lengsara: Tari tradisional Bima yang dahulu dipertunjukkan dalam sidang eksekutif dan upacara Ndiha Molu (Maulid Nabi). Tari ini terakhir dipertunjukkan pada tahun 1963 dalam perkawinan keluarga raja, dan sekarang telah dihidupkan kembali.
6.Mpa'a : tarian rakyat Bima yang berisi gerakkan-gerakkan silat.
g. Sere: Tari tradisional Bima yang berarti mengajak berperang yang semula ditarikan perwira perang bergelar Anangguru Sere. Tari ini dipertunjukkan di arena yang cukup luas di hadapan tamu yang berkunjung ke Bima.
h. Tari Mpaa Lenggogo dan Tari Batu Nganga. Tari Mpaa Lenggogo merupakan sebuah tarian untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Tarian ini sering dipertunjukkan pada upacara-upacara perkawinan atau upacara khitanan keluarga raja. Sedangkan Tari Batu Nganga merupakan sebuah tari berlatar belakang cerita rakyat yang mengisahkan tentang kecintaan rakyat terhadap putri raja yang masuk batu dan permohonan mereka agar sang putri dapat keluar dari dalam batu. Berikut ini adalah salah satu gambar Tari Mpaa Lenggogo dan Tari Batu Nganga.
Gambar 1.2. Tari Hadrah |
Gambar 1.3. Tari Batu Nganga |
Gambar 1.4. Tari Mpa Lenggogo |
2
Seni
Musik dan Sastra
a.
Alat musik tradisional
Alat-alat musik tradisional Bima terbagi
atas 5 jenis, yaitu :
1) Alat
musik ufi (tiup) : Silu adalah jenis alat musik aerofon tipe hobo, karena silu
memiliki lidah lebih dari satu. Lidah pada silu terdiri dari 4 lidah. Silu
tebuat dari kayu sawo, perak, dan daun lontar. Saat ini, menemukan silu dan
peniup silu sangat langka. Salah satu alat musik yang terancam punah adalah
Sanore. Sanore adalah salah satu jenis alat musik tiup. Menurut jumlah lidahnya
sarone termasuk tipe clarinet karena jumlah lidahnya hanya satu. Seperti halnya
Silu sarone pun terancam punah karena tidak ada generasi penerus yang bisa
meniup sarone.
2) Alat
musik bo-e (pukul) : Arubana atau Rebana ini dikenal masyarakat seiring
masuknya Islam di Bima. Di Lombok rebana digunakan untuk mengiringi Tari Rudat.
Sedangkan di Bima, arubana digunakan untuk mengiringi jiki (dzikir) dan tari
hadrah.
3) Alat
musik kobi (petik) : Gambo adalah alat musik berdawai tapi tidak berlekuk
seperti gitar. Gambo termasuk alat musik golongan kordofon jenis lud. Gambo
terbuat dari kayu, kulit kambing, dan senar plastik.
4) Alat
music toke (dipukul dengan alat pemukul) : Genda. Hampir semua aktifitas
instrument musik Bima menggunakan Genda. Genda adalah jenis musik perkusi.
Bahan untuk membuat genda adalah kayu, rotan, dan kulit kambing.
5) Alat
musik ndiri (gesek) : biola mbojo. Biola mbojo umumnya digunakan untuk
mengiringi rawa mbojo dan biola katipu
b. Kande
Kande
adalah sejenis puisi yang digubah untuk acara pelantikan Sultan dan pejabat
tinggi kesultanan. Kande berisi doa kepada Allah agar sultan dan para pejabat
tinggi menjalankan tugasnya sesuai dengan ajaran Islam dan berpedoman kepada
Allah dan Rasul. Kande tidak dibawakan oleh sembarang orang tetapi oleh
Gelarang Ngali, Sape, dan Gelarang Ndano.
c.
Rawa Mbojo
Rawa
mbojo adalah warisan budaya leluhur masyarakat bima. Biasanya diiringi oleh
alunan musik biola dan gambo. Rawa mbojo berisi pantun-pantun yang kocak dan menghibur.
Rawa berarti “nyanyian” dalam bahasa bima. Rawa mbojo ditampilkan dibeberapa
acara seperti upacara pernikahan tapi kadang juga dimainkan di ladang untuk
menyemangati para petani dalam bekerja. Beberapa jenis rawa mbojo yang dibagi
sesuai dengan irama (ntoko) dan pantun lagu (patu rawa) yaitu, Ntoko Sera,
Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, Ntoko Dali, Ntoko Haju Jati, Ntoko Kanco
Wanco, Ntoko Salondo Reo dan Rindo, Ntoko Jiki Maya, Teke Mpende, Sajoli,
E’aule, Tembe Jao Gaomba, dan masih banyak lagi.Rawa mbojo umumnya berisi syair
tentang kerinduan pada kekasih, menceritakan tentang kehidupan yang susah,
penyemangat, pemandangan yang indah, pujian kepada Allah dan Rasul. Sayangny,
akhir-akhir ini rawa mbojo sudah tidak banyak dinyanyikan oleh masyarakat bima.
Ada beberapa yang hampir punah.
3) POTENSI WISATA DI KOTABIMA
bukti-bukti sejarah Kerajaan dan
Kesultanan masih juga dapat dilihat sebagai Situs, Kepurbakalaan dan bahkan
menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang ada di Kota Bima dan menjadi objek kunjungan
bagi wisatawan lokal, nusantara bahkan mancanegara.
Sumber
daya alam Kota Bima juga memiliki daya tarik tersendiri sebagai Obyek Daya
Tarik Wisata karena letak Kota Bima berada di bibir Teluk yang sangat indah
yang menawarkan berbagai atraksi wisata laut dan pantai seperti; berenang,
berperahu, memancing, bersantai, melihat kehidupan masyarakat nelayan serta
menikmati makanan khas desa tradisional nelayan. Disisi lain alam dan hutan
serta hamparan sawah yang luas juga dapat dilihat di Kota Bima.
·
Wisata Budaya
Obyek
wisata yang ada di Kota Bima adalah :
1. Istana Kayu Asi Bou
Istana ini terletak di samping timur Istana Bima (sekarang Museum Asi Mbojo). Dinamakan Asi Bou karena didirikan setelah pendirian Istana Bima pada tahun 1927, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1936). Asi Bou dibangun oleh untuk Putera Mahkota Muhammad Salahuddin.
2. Masjid Muhammad Salahuddin
Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah dengan Wajir Ismail pada tahun 1737. Masjid ini terletak di Kampung Sigi atau di sebelah selatan lapangan Sera Suba (Jalan Soekarno Hatta).
3.
Museum Asi Mbojo
Lokasinya berada di pusat kota dan mudah diakses. Di Museum ini terdapat silsilah/tata urutan Raja dan Kesultanan Bima, benda tata urutan kepangkatan kepemerintahan, barang-barang serta pakain adat yang digunakan Istana Kerajaan, para prajurit serta masyarakat pada jaman itu.
Lokasinya berada di pusat kota dan mudah diakses. Di Museum ini terdapat silsilah/tata urutan Raja dan Kesultanan Bima, benda tata urutan kepangkatan kepemerintahan, barang-barang serta pakain adat yang digunakan Istana Kerajaan, para prajurit serta masyarakat pada jaman itu.
4. Museum Samparaja
merupakan museum yang ada di Kota Bima selain Museum Asi Mbojo. Museum ini terletak di Jalan Gajah Mada Kelurahan Moggonao Kota Bima. Koleksi yang ada di museum ini antara lain Kitab BO yang asli, kitab yang membahas ihwal Kerajaan Bima pada abad 14 Masehi.
5.
Desa Sambori
Desa Sambori adalah sebuah desa
tradisional. Di Sambori ini didiami oleh orang/suku asli Bima yang disebut Dou
Donggo Ele (Orang Donggo yang tinggal di sebelah timur teluk Bima). Secara
historis orang bima atau dou mbojo dibagi dalam 2 (dua) kelompok masyarakat:
Asli dan Masyarakat Pendatang. Masyarakat donggo atau dou mbojo adalah
merupakan masyarakat yang paling lama mendiami Daerah Bima dibandingkan dengan
suku lain mereka bermukim didaerah pemukiman di daratan tinggi yang jauh dari
pesisir, memiliki bahasa adat istiadat yang berbeda dengan orang Bima atau Dou
mbojo. Dou donggo mendiami lereng-lereng gunung Lambitu yang di sebut Dou
Donggo Ele sementara Dou Donggo yang mendiami lereng gunung soromandi disebut
Dou Donggo Ipa, mereka tinggal disuatu perkampungan dengan rumah adat disebut
Lengge di kelilingi pegunugan dan pembukitan serta panorama alam yang indah dan
menarik untuk di nikmati.
Masyarakat
Desa Sambori Banyak yang memeluk Agama Islam, karena ada sebuah cerita sejarah
lama yang diyakini oleh Masyarakat Sambori yaitu sejak berdirinya Kerajaan
Bima, Islam pertama kali masuk di Kerajaan Bima melalui dataran tinggi yaitu di
Sambori oleh seorang Ulama dari Ternate yang bernama “Syekh Subuh”, karena
Beliau tiba di Sambori saat Subuh, kemudian Syekh Subuh menyiarkan ajaran Islam
di Sambori, makam Syekh Subuh berada di atas Puncak Gunung Sambori, atau di
sebut kuburan keramat.
Falsafah
hidup Dou Donggo Ele dan Dou Donggo Ipa senang hidup dalam kondisi pegunungan
dan daratan tinggi. Rumah dibangun sangat tinggi sekitar 6 sampai 7 meter
dengan ukuran kecil sekitar 3×4 meter dengan maksud untuk menyimpan panas, mata
pencahariannya dengan berladang dan beburu. Rasa kekeluargaan dan sukuisme
serta sifat gotong royong sangat erat.
Khusus
untuk Uma Lengge Sambori berbeda dengan bentuk bangunan Uma Lengge yang ada di
tempat lain. Pintu masuknya terdiri dari 3 daun pintu yang berfungsi sebagai
bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Jika daun pintu
lantai pertama dan kedua di tutup, ini menunjukkan bahwa yang punya rumah
sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tetapi jika ketiga pintu ditutup,
berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. Ini
merupakan sebuah kearifan lokal yang sudah ditunjukan oleh para leluhur suku
Bima. Tertutupnya pintu merupakan sebuah pesan yang disampaikan secara tidak
langsung oleh si empunya rumah bahwa dia sedang tidak ada di rumah. Disamping
itu, tamu atau tetangganya tidak perlu menunggu terlalu lama karena sudah ada
isyarat dari daun pintu tersebut.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Kota
Bima yang terdapat Nusa Tenggara Barat ini memiliki budaya yang masih kental
hingga sekarang, yaitu bisa dilihat dari adat adat yang terdapat disana seperti
upacara adat dari kelahiran hingga kematian. Kemudian, kesenian yang dapat kita
nikmati sebagai wisatawan semisal tarian yang beraneka ragam lalu alat musik
yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Dan wisata budaya yang sangat melimpah
serta unik, itu semua dapat kita nikmati jika nanti punya kesempatan untuk
berkunjung kesana.
Daftar Pustaka
https://pesonawisatabima.wordpress.com/obyek-dan-daya-tarik-wisata/wisata-sejarah/desa-sambori/
http://mbojonet.blogspot.co.id/2012/05/upacara-adat-dou-donggo-dan-dou-mbojo.html
http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia=5272&ic=2512
http://bimakota.go.id/post/read/24/SEJARAH-KOTA-BIMA
Nur Suhartini UJP A
4423143969
nursuhartiniaja@gmail.com
No comments:
Post a Comment