Sunday, January 3, 2016

T3_NurSuhartini_Bima




NIKMATNYA KEINDAHAN DAN KEBUDAYAAN DI BIMA



  1. PENGANTAR
·         KATA PENGANTAR
                               Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Penulis dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul “Daya tarik Pariwisata dan Budaya di Bima” dengan lancar walaupun saya tau tulisan ini jauh dari sempurna.
                               Tentunya tulisan ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakannya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan dalam pembuatan tulisan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemanduan I Wisata Budaya yang dibimbing oleh Bpk.Shobirien
                                 Besar harapan penulis dari penyusunan tugas ini bisa bermanfaat bagi siapa-pun yang membacanya serta masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tugas ini, karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan acuan dan bahan pertimbangan di masa yang akan datang.




       Jakarta, 3 Januari 2016



                                                                                                           Nur Suhartini




  1. PEMBAHASAN
·         Deskripsi Destinasi


 

Gambar 1.1. Pembangunan Patung Selamat Datang

                        
1)      ASAL USUL KOTA BIMA
             Bima adalah sebuah kota otonom yang terletak di Pulau Sumbawa bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Luas wilayah Kota Bima adalah 222,25 km2 terdiri dari 8,53 persen diantaranya (18,96 km2) merupakan lahan sawah dan sisanya 91,47 persen (203,29 km2) merupakan lahan bukan sawah. Sejarahnya sendiri ialah  Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi permulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada masa itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang dikuasainya.
             Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi  Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian Timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut sepakat mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure, Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de Facto ia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya.
             Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang bernama Indra Zambrut dan Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrutlah yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima memasuki Zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya Nusantara. Secara turun temurun memerintah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad 16.
             Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara antara abad 16 hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki peradaban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun menurun hingga tahun 1951.
             Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Sebagaimana ombak dilautan, kadang pasang dan kadang pula surut. Masa-masa kesultanan mengalami pasang dan surut disebabkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14 yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman kemerdekaan dan status Kesultanan Bima pun berganti dengan pembentukan Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah menjadi daerah Kabupaten.
             Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah yang terhampar di ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah administrasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten Bima. Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan.
             Sebagai sebuah daerah yang baru terbentuk, Kota Bima memiliki karakteristik perkembangan wilayah yaitu: pembangunan infrastruktur yang cepat, perkembangan sosial budaya yang dinamis, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi.
             Sudah 10 tahun ini Kota Bima dipimpin oleh seorang Walikota dengan peradaban Budaya Dou Mbojo yang sudah mengakar sejak jaman kerajaan hingga sekarang masih dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Kota Bima dalam kesehariannya. Baik sosial, Budaya dan Seni tradisional yang melekat pada kegiatan Upacara Adat, Prosesi Pernikahan, Khataman Qur”an, Khitanan dan lain-lain.
             Suku asli masyarakat Kota Bima adalah suku Bima atau dikenal dalam bahasa lokal nya “Dou Mbojo” dengan mayoritas beragama islam dengan mata pencaharian nya Bertani, Bertenak, Melaut dan sebagian Pegawai Negeri Sipil. Salah satu ke-unikan Kota Bima adalah sebagian dari masyarakat nya juga berasal dari berbagai suku dan etnik di indonesia seperti; Jawa, Sunda, Timor, Flores, Bugis, Bajo, Madura, Sasak (Lombok), Bali, Minang dan Batak sehingga memberi warna tersendiri didalam keseharian mereka di Kota Bima (suku-suku ini selalu memeriahkan upacara dan pawai pada hari-hari besar di Kota Bima) dengan hidup berdampingan secara rukun dan damai serta suasana kondusif.
2)      KEBUDAYAAN BIMA
             Kebudayaan yang masih ada sampai sekarang di Kota Bima ialah beberapa upacara adat yang masih dijalani oleh masyarakat Bima, yaitu:
·         Upacara Adat Dou Donggo dan Dou Mbojo
            Dalam bahasa Mbojo, upacara adat disebut “Rawi Rasa” Rawi Rasa berarti semua kegiatan yang dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh masyarakat. Rawi rasa terdiri dan dua jenis kegiatan, yaitu rawi mori dan rawi made.  Yang dimaksud dengan rawi mori ialah kegiatan yang berhubungan dengan upacara kehamilan, kelahiran, khitanan dan pernikahan. Sedang rawi made ialah upacara yang berhubungan dengan kematian. Khusus bagi rawi made dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga tidak ada upacara adat yang dilakukan pada rawi made.
1        KELAHIRAN
Upacara Nggana Ro Nggoa (Upacara Kehamilan dan Kelahiran Masyarakat Bima)
Yang dimaksud dengan upacara nggana ro nggoa ialah rangkaian upacara adat yang dimulai dan upacara “Salama Loko” sampai dengan upacara ”Dore Ro Boru”.
1. Upacara Salama Loko.
        Upacara Salama Loko disebut juga dengan Kiri Loko dilakukan ketika       kandungan seorang ibu berumur tujuh bulan. Upacara ini hanya dilakukan          bagi seorang ibu yang pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita.Upacara akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di sekitar jam 07.00.
            Pada upacara ini keluarga dan tetangga baik pria maupun wanita diundang hadir untuk menyaksikan. Disaat dukun memperbaiki dan meraba-raba perut ibu hamil tersebut, saat itu pula para tamu laki-laki mengadakan do`a zikir. Ibu-ibu juga hadir untuk menyaksikan upacara salama loko /kiri loko, mereka umumnya membawa barang-barang kado/hadiah/sumbangan untuk sang ibu hamil.
Sebuah kearifan lokal Bima apabila seorang istri sedang hamil adalah kedua pasangan suami istri dilarang untuk:
·       Berkata yang tidak senonoh
·       Menganiaya binatang atau manusia
·       Sedapat mungkin tidak menyembelih binatang ternak
·       Tidak berhubungan suami istri bila mendengar berita ada tetanga atau orang lain meninggal
·       Tidak membuang air besar di sembarang tempat
·       Tidak memotong sesuatu seperti kayu atau mengunting kertas. Jika terpaksa, ia harus ingat bahwa istrinya sedang hamil
·       Suami tidak diperkenankan berburu atau melakukan pekerjaan yang kurang baik seperti mengambil milik orang orang lain tanpa seijin orang yang punya dan sebaginya serta
·       Khusus istri tidak boleh tidur disaat matahari menjelang naik

2.  Upacara Cafi Sari
     Upacara cafi sari dilakukan setelah bayi berumur tujuh hari. cafi sari dalam bahasa Indonesia berarti upacara menyapu lantai.  Maksud dari upacara ini, ialah menyampaikan puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya karena sang ibu bersama bayi sudah lahir dengan selamat. Menurut kepercayaan tradisional pada usia tujuh hari, bayi akan memasuki kehidupan dunia, dan meninggalkan kehidupan dalam kandungan.
     Sebagai tanda terima kasih kepada sando nggana, sang ibu memberi “soji” atau sesajen yang terdiri dan kue tradisional mbojo. Seperti pangaha kahuntu, karuncu, pangaha bunga, pangaha sinci, ka dodo, arunggina dan kalempe. Penyerahan soji merupakan lambang harapan orang tua, agar bayinya kelak akan hidup bahagia sejahtera.
      Bagi keluarga yang mampu, upacara cafi sari dilaksanakan bersamaan dengan upacara qeqa atau aqiqah. Yaitu upacara yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang menganjurkan orang tua untuk menyembelih seekor kambing yang sehat.  Sebagai tanda syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

3.  Upacara Dore ro Boru
            Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia tiga bulan. Upacara dore ro             boru dilakukan secara bertahap sebagai berikut:
                                   a. Upacara boru (upacara Potong rambut bayi)
Upacara boru diawali dengan upacara doa. Memohon kepada Allah SWT. agar bayi tetap sehat walafiat. Dan apabila dewasa, akan menjadi seorang yang beriman dan gagah perkasa. Pelindung dan pembela keluarga serta dou labo dana (masyarakat -red). Setelah upacara doa, maka dilanjutkan dengan upacara boru. Bayi digendong oleh sando nggana. Tujuh orang tua adat laki-laki, secara bergilir memotong ujung rambut bayi. Potongan rambut disimpan di pingga bura (piring putih) yang berisi air dingin. Dengan harapan agar rambut bayl tumbuh subur, sebagai lambang kesuburan dan kebahagiaan hidup.Pemotongan rambutdiiringi dengan jiki asraka (jikir asrakal).
b. Upacara Dore.
        Yang dimaksud dengan upacara dore ialah, upacara menyentuhkan telapak kaki bayi pada tanah. Beberapa gumpal tanah yang diambil dihalaman masjid disimpan diatas pingga bura. Tanah itulah yang akan diinjak oleh bayi. Acara dore, bertujuan untuk mengingatkan bayi, bahwa kelak dia akan hidup di bumi yang bersih dan subur. Bayi harus mampu memanfaatkan kekayaan bumi untuk kebahagiaan keluarga dan masyarakat. Sebab itu bayi harus menjaga keselamatan bumi atau negeri.
                        Bayi yang di dore ro boru, harus memakai pakaian adat upacara. Hampir sama dengan pakaian khitanan. Kalau bayi itu laki-laki, maka harus memakai kondo loi, tembe monca (sarung kuning lambang kejayaan), kawari, songko panggeta’a yang dihiasi jungge dondo. Kalau bayi itu perempuan,maka harus memakai kondo lo’i, geno atau kondo randa (kalung panjang), kawari dan bosa yaitu ponto kecil. (Bosa = gelang yang lebih kecil dan ponto).
                 BERANJAK DEWASA
                     Ketika seorang anak beranjak dewasa, bagi masyarakat Bima merupakan saat yang   tidak  kalah sakralnya dengan kelahiran (baca tulisan terdahulu tentang prosesi kelahiran menurut adat Mbojo). Proses menjadi dewasa sama halnya dengan momen dimana seorang manusia beralih dunia, meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan keceriaan menuju masa remaja yang penuh tanggung jawab bagi diri, keluarga maupun masyarakat.
Dalam adat Bima, proses pendewasaan seorang anak manusia ditandai dengan dua macam upacara adat. Upacara adat ini merupakan pengejawantahan syariat Islam yaitu kewajiban untuk melaksanakan khitan bagi laki-laki serta anjuran untuk menamatkan pembelajaran baca Al-Qur’an sebagai penuntun hidup seorang manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Upacara Khitanan atau Sunatan Adat Mbojo.
Upacara Suna dan Saraso
Pada sore han, seusai ndoso dan compo  sampari, maka akan dilakukan upacara khitan. Khitan bagi anak laki-laki disebut suna. Sedangkan bagi anak wanita disebut saraso. Upacara suna dilakukan oleh seorang tokoh adat pria yang biasa melakukan sunat. Sedangkan saraso dilakukan oleh tokoh adat wanita.
Upacara suna dan saraso diiringi dengan irama genda ro no (gendang dan gong). Dilanjutkan dengan pertunjukan permainan rakyat, seperti mpa’a sila, gantao dan buja ka danda.
Khusus bagi anak pria, seusai suna dilanjutkan dengan upacara maka dimana Anak yang baru disunat, turun ke halaman. Ia mencabut kerisnya, sambil melompat, ia mengucapkan tekad dengan suara lantang. Tekad itu berisi pernyataan setia kepada agama. Kalau ada yang memusuhi agama, ia akan siap untuk membelanya.Jadi upacara”maka” tak lain dan pernyataan si anak untuk slap membela agama. Upacara maka diiringi dengan musik genda, no, katongga dan sarone atau silu.
Upacara Khatam Al Qur’an
Pada masa lalu, anak-anak dou Mbojo wajib belajar Al Quran. Sehingga disekitar usia tujuh dan sembilan tahun, harus sudah selesai menamatkan pelajaran membaca al Qur’an. Sebagai tanda syukur orang tua, atas keberhasilan anaknya dalam membaca Al Quran, maka akan diadakan upacara yang disebut ”Tama” atau khatam Al Qur’an.  Upacara tama dimeriahkan dengan berbagai acara. Pada malam hari, diadakan tadarusan, serta hiburan berupa atraksi hadrah, marhaban dan barzanji.
Pada upacara itu si anak akan diuji oleh para ahil baca Al Quran. Di hadapan guru ngajinya, ia akan membaca beberapasuratdan Al Quran.ApabilaIakeliru, maka para ulama yang mendengarnya, akan segera menegur. Bapak Guru Ngaji yang mendampingi akan menuntun muridnya. Apabila para ulama dan hadirin menilai, bahwa anak tersebut sudah dapat membaca dengan lancar, maka berarti ia sudah lulus. Guru ngaji bersama orang tua anak akan gembira. Sebaliknya apabila si anak sering melakukan kesalahan, guru ngaji bersama orang tua akan sedih dan malu. Mereka akan mendorong si anak untuk mengulangi lagi pelajaran baca Al Quran. Pada siang hari upacara ini akan dimeriahkan dengan upacára atraksi kesenian rakyat

Upacara Peta Kapanca
bagian dari prosesi pernikahan adat Bima. Upacara Peta Kapanca biasanya dilakukan pada malam hari sebelum acara akad nikah dan resepsi pernikahan dilaksanakan. Upacara Peta Kapanca ini banyak dihadiri oleh kaum hawa sehingga mereka mengklaim kalau acara ini adalah acara khusus buat kaum hawa.Pada acara ini, calon pengantin wanita yang sudah di rias lengkap dengan pakaian adat Bima duduk di Uma Ruka (Rumah Mahligai) sambil menunggu ibu-ibu yang akan melumatkan daun Pacar (Inai) pada kuku-kuku calon pengantin wanita.Acara ini cukup meriah karena ada suguhan Ziki Kapanca yang dilantunkan oleh ibu-ibu yang seolah-olah memberikan do'a dan pengharapan buat calon pengantin agar kelak bisa mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang harmonis dan di ridhoi oleh Allah SWT. Syair Ziki Kapanca ini bernuansa Islami karena didalamya mengandung pujian kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

     Makna dari acara Peta Kapanca adalah merupakan peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Selain itu juga, acara ini memberikan pesan kepada wanita lajang agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri.





Selain upacara adat, kesenian juga tak luput dari kebudayaan yang ada di Bima. Diantaranya adalah:

1        Tarian
Suku ini sebagian besar masyarakatnya muslim, yang ditandai dengan berbagai macam budaya da keseniannya. Salah satu keseniannya dalam budayanya yaitu tarian-tarian khas suku Bima sendiri. Berikut macam-macam tarian yang ada pada kebudayaan masyarakat Bima ;

a.   Hadrah: merupakan tari tradisional Bima yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT. Hadrah yang dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa masuk ke Bima sekitar abad XIV sejak masuknya Islam ke daerah itu. Masyarakat Bima mengenal kegiatan kesenian yang mengandung warisan nilai-nilai islam ini dengan sebutan Jiki Hadra. Jiki Hadra adalah puji-pujian kepada Allah, Nabi dan Sahabat Nabi yang dinyanyikan sambil menari dengan iringan musik arubana (rebana) dalam prosesi Perkawinan, khitanan dan khatam Al-Quran masyarakat Bima.

b.   Kanja: Tari tradisional Bima yang diciptakan Sultan Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1673 setelah mendapatkan inspirasi sejarah masuknya Islam ke Bima. Kanja berarti tantang, karena dalam tarian ini ada gambaran pertarungan dua orang panglima yang tangguh.

c.   Karaenta: Tari tradisional Bima diawali dengan sebuah lagu berbahasa Makassar yang bernama Karaengta. Penarinya anak kecil berusia sekitar 10 tahun, tidak memakai baju, kecuali hiasan yang dalam bahasa Bima disebut Kawari atau dokoh. Tari hiburan ini merupakan dasar untuk mempelajari tarian kerajaan Bima yang lain.

d.  Katumbu: Tari tradisional Bima yang berarti berdegup ini menggambarkan keluwesan dan keterampilan remaja putri. Tarian ini diperkirakan sudah ada sejak abad XV dan ditarikan keluarga istana.

e.   Toja: Tari tradisional Bima yang diangkat dari legenda Indra Zamrud. Penciptanya Sulta Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1651. Tari ini menggambarkan lemah-gemulainya penari yang turun dari khayangan. * Lenggo: Tari tradisional Bima yang berarti melenggok, yang telah diadatkan dalam upacara Sirih Puan setiap perayaan Maulid. Tari ini menceritakan bagaimana guru agama Islam mengadakan penghormatan kepada muridnya, yaitu Sultan sebagai pernyataan saling menghormati.

f.   Lengsara: Tari tradisional Bima yang dahulu dipertunjukkan dalam sidang eksekutif dan upacara Ndiha Molu (Maulid Nabi). Tari ini terakhir dipertunjukkan pada tahun 1963 dalam perkawinan keluarga raja, dan sekarang telah dihidupkan kembali.
6.Mpa'a : tarian rakyat Bima yang berisi gerakkan-gerakkan silat.

g.   Sere: Tari tradisional Bima yang berarti mengajak berperang yang semula ditarikan perwira perang bergelar Anangguru Sere. Tari ini dipertunjukkan di arena yang cukup luas di hadapan tamu yang berkunjung ke Bima.

h.   Tari Mpaa Lenggogo dan Tari Batu Nganga. Tari Mpaa Lenggogo merupakan sebuah tarian untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Tarian ini sering dipertunjukkan pada upacara-upacara perkawinan atau upacara khitanan keluarga raja. Sedangkan Tari Batu Nganga merupakan sebuah tari berlatar belakang cerita rakyat yang mengisahkan tentang kecintaan rakyat terhadap putri raja yang masuk batu dan permohonan mereka agar sang putri dapat keluar dari dalam batu. Berikut ini adalah salah satu gambar Tari Mpaa Lenggogo dan Tari Batu Nganga.


Gambar 1.2. Tari Hadrah
Gambar 1.3. Tari Batu Nganga
Gambar 1.4. Tari Mpa Lenggogo







2        Seni Musik dan Sastra
                        a. Alat musik tradisional
 Alat-alat musik tradisional Bima terbagi atas 5 jenis, yaitu :
1)      Alat musik ufi (tiup) : Silu adalah jenis alat musik aerofon tipe hobo, karena silu memiliki lidah lebih dari satu. Lidah pada silu terdiri dari 4 lidah. Silu tebuat dari kayu sawo, perak, dan daun lontar. Saat ini, menemukan silu dan peniup silu sangat langka. Salah satu alat musik yang terancam punah adalah Sanore. Sanore adalah salah satu jenis alat musik tiup. Menurut jumlah lidahnya sarone termasuk tipe clarinet karena jumlah lidahnya hanya satu. Seperti halnya Silu sarone pun terancam punah karena tidak ada generasi penerus yang bisa meniup sarone.
2)      Alat musik bo-e (pukul) : Arubana atau Rebana ini dikenal masyarakat seiring masuknya Islam di Bima. Di Lombok rebana digunakan untuk mengiringi Tari Rudat. Sedangkan di Bima, arubana digunakan untuk mengiringi jiki (dzikir) dan tari hadrah.
3)      Alat musik kobi (petik) : Gambo adalah alat musik berdawai tapi tidak berlekuk seperti gitar. Gambo termasuk alat musik golongan kordofon jenis lud. Gambo terbuat dari kayu, kulit kambing, dan senar plastik.
4)      Alat music toke (dipukul dengan alat pemukul) : Genda. Hampir semua aktifitas instrument musik Bima menggunakan Genda. Genda adalah jenis musik perkusi. Bahan untuk membuat genda adalah kayu, rotan, dan kulit kambing.
5)      Alat musik ndiri (gesek) : biola mbojo. Biola mbojo umumnya digunakan untuk mengiringi rawa mbojo dan biola katipu
b.    Kande
Kande adalah sejenis puisi yang digubah untuk acara pelantikan Sultan dan pejabat tinggi kesultanan. Kande berisi doa kepada Allah agar sultan dan para pejabat tinggi menjalankan tugasnya sesuai dengan ajaran Islam dan berpedoman kepada Allah dan Rasul. Kande tidak dibawakan oleh sembarang orang tetapi oleh Gelarang Ngali, Sape, dan Gelarang Ndano.

c.  Rawa Mbojo
Rawa mbojo adalah warisan budaya leluhur masyarakat bima. Biasanya diiringi oleh alunan musik biola dan gambo. Rawa mbojo berisi pantun-pantun yang kocak dan menghibur. Rawa berarti “nyanyian” dalam bahasa bima. Rawa mbojo ditampilkan dibeberapa acara seperti upacara pernikahan tapi kadang juga dimainkan di ladang untuk menyemangati para petani dalam bekerja. Beberapa jenis rawa mbojo yang dibagi sesuai dengan irama (ntoko) dan pantun lagu (patu rawa) yaitu, Ntoko Sera, Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, Ntoko Dali, Ntoko Haju Jati, Ntoko Kanco Wanco, Ntoko Salondo Reo dan Rindo, Ntoko Jiki Maya, Teke Mpende, Sajoli, E’aule, Tembe Jao Gaomba, dan masih banyak lagi.Rawa mbojo umumnya berisi syair tentang kerinduan pada kekasih, menceritakan tentang kehidupan yang susah, penyemangat, pemandangan yang indah, pujian kepada Allah dan Rasul. Sayangny, akhir-akhir ini rawa mbojo sudah tidak banyak dinyanyikan oleh masyarakat bima. Ada beberapa yang hampir punah.

3)  POTENSI WISATA DI KOTABIMA
                bukti-bukti sejarah Kerajaan dan Kesultanan masih juga dapat dilihat sebagai Situs, Kepurbakalaan dan bahkan menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang ada di Kota Bima dan menjadi objek kunjungan bagi wisatawan lokal, nusantara bahkan mancanegara.
Sumber daya alam Kota Bima juga memiliki daya tarik tersendiri sebagai Obyek Daya Tarik Wisata karena letak Kota Bima berada di bibir Teluk yang sangat indah yang menawarkan berbagai atraksi wisata laut dan pantai seperti; berenang, berperahu, memancing, bersantai, melihat kehidupan masyarakat nelayan serta menikmati makanan khas desa tradisional nelayan. Disisi lain alam dan hutan serta hamparan sawah yang luas juga dapat dilihat di Kota Bima.
·         Wisata Budaya
Obyek wisata yang ada di Kota Bima adalah : 

1. Istana Kayu Asi Bou
Istana ini terletak di samping timur Istana Bima (sekarang Museum Asi Mbojo). Dinamakan Asi Bou karena didirikan setelah pendirian Istana Bima pada tahun 1927, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1936). Asi Bou dibangun oleh untuk Putera Mahkota Muhammad Salahuddin.

2. Masjid Muhammad Salahuddin
Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah dengan Wajir Ismail pada tahun 1737. Masjid ini terletak di Kampung Sigi atau di sebelah selatan lapangan Sera Suba (Jalan Soekarno Hatta).


 




3. Museum Asi Mbojo
Lokasinya berada di pusat kota dan mudah diakses. Di Museum ini terdapat silsilah/tata urutan Raja dan Kesultanan Bima, benda tata urutan kepangkatan kepemerintahan, barang-barang serta pakain adat yang digunakan Istana Kerajaan, para prajurit serta masyarakat pada jaman itu.


 







4. Museum Samparaja
merupakan museum yang ada di Kota Bima selain Museum Asi Mbojo. Museum ini terletak di Jalan Gajah Mada Kelurahan Moggonao Kota Bima. Koleksi yang ada di museum ini antara lain Kitab BO yang asli, kitab yang membahas ihwal Kerajaan Bima pada abad 14 Masehi.


 


5. Desa Sambori
          Desa Sambori adalah sebuah desa tradisional. Di Sambori ini didiami oleh orang/suku asli Bima yang disebut Dou Donggo Ele (Orang Donggo yang tinggal di sebelah timur teluk Bima). Secara historis orang bima atau dou mbojo dibagi dalam 2 (dua) kelompok masyarakat: Asli dan Masyarakat Pendatang. Masyarakat donggo atau dou mbojo adalah merupakan masyarakat yang paling lama mendiami Daerah Bima dibandingkan dengan suku lain mereka bermukim didaerah pemukiman di daratan tinggi yang jauh dari pesisir, memiliki bahasa adat istiadat yang berbeda dengan orang Bima atau Dou mbojo. Dou donggo mendiami lereng-lereng gunung Lambitu yang di sebut Dou Donggo Ele sementara Dou Donggo yang mendiami lereng gunung soromandi disebut Dou Donggo Ipa, mereka tinggal disuatu perkampungan dengan rumah adat disebut Lengge di kelilingi pegunugan dan pembukitan serta panorama alam yang indah dan menarik untuk di nikmati.
Masyarakat Desa Sambori Banyak yang memeluk Agama Islam, karena ada sebuah cerita sejarah lama yang diyakini oleh Masyarakat Sambori yaitu sejak berdirinya Kerajaan Bima, Islam pertama kali masuk di Kerajaan Bima melalui dataran tinggi yaitu di Sambori oleh seorang Ulama dari Ternate yang bernama “Syekh Subuh”, karena Beliau tiba di Sambori saat Subuh, kemudian Syekh Subuh menyiarkan ajaran Islam di Sambori, makam Syekh Subuh berada di atas Puncak Gunung Sambori, atau di sebut kuburan keramat.
Falsafah hidup Dou Donggo Ele dan Dou Donggo Ipa senang hidup dalam kondisi pegunungan dan daratan tinggi. Rumah dibangun sangat tinggi sekitar 6 sampai 7 meter dengan ukuran kecil sekitar 3×4 meter dengan maksud untuk menyimpan panas, mata pencahariannya dengan berladang dan beburu. Rasa kekeluargaan dan sukuisme serta sifat gotong royong sangat erat.
Khusus untuk Uma Lengge Sambori berbeda dengan bentuk bangunan Uma Lengge yang ada di tempat lain. Pintu masuknya terdiri dari 3 daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Jika daun pintu lantai pertama dan kedua di tutup, ini menunjukkan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tetapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. Ini merupakan sebuah kearifan lokal yang sudah ditunjukan oleh para leluhur suku Bima. Tertutupnya pintu merupakan sebuah pesan yang disampaikan secara tidak langsung oleh si empunya rumah bahwa dia sedang tidak ada di rumah. Disamping itu, tamu atau tetangganya tidak perlu menunggu terlalu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tersebut.











 
















C. PENUTUP

Kesimpulan
Kota Bima yang terdapat Nusa Tenggara Barat ini memiliki budaya yang masih kental hingga sekarang, yaitu bisa dilihat dari adat adat yang terdapat disana seperti upacara adat dari kelahiran hingga kematian. Kemudian, kesenian yang dapat kita nikmati sebagai wisatawan semisal tarian yang beraneka ragam lalu alat musik yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Dan wisata budaya yang sangat melimpah serta unik, itu semua dapat kita nikmati jika nanti punya kesempatan untuk berkunjung kesana.

No comments:

Post a Comment